Desember 29, 2013

Menggagas Kampung Tangguh Bencana

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Senin/30 Desember 2013

Pada akhir Desember 2013 ini curah hujan begitu tinggi. Biasanya, sejak siang awan hitam mulai menggantung di langit. Lantas, begitu sore luruh ke bumi dengan derasnya. Oleh sebab itu, warga yang bermukim di sepanjang kali Code, Winongo, dan Gajah Wong, Kota Yogyakarta perlu meningkatkan kewaspadaan. Agar kalau tiba-tiba banjir dan lahar dingin kiriman dari Merapi menghampiri langkah antisipatif dan mitigasi bisa dilakukan.

Salut untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Mereka berinisiatif membentuk kampung tangguh bencana (KTB). Menurut Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB, Muhtaruddin, 64 kampung tangguh bencana tersebar di seluruh tanah air.

Di Kota Yogyakarta sendiri, ada 10 KTB. Yakni Kampung Ledok Tukangan kelurahan Tegal Panggung kecamatan Danurejan, Kampung Joyonegaran kelurahan Wirogunan kecamatan Wirobrajan, Kampung Jetisharjo kelurahan Cokrodiningratan kecamatan Jetis, Kampung Sorosutan dan Dagaran kelurahan Sorosutan kecamatan Umbulharjo, Kampung Terban kelurahan Terban kecamatan Gondokusuman, Kampung Gemblakan Bawah kelurahan Suryatmajan kecamatan Danurejan, Kampung Prawirodirjan kelurahan Prawirodirjan kecamatan Gondomanan, Kampung Balirejo Mujamuju kecamatan Umbulharjo, dan Kampung Sodagaran kelurahan Tegalrejo kecamatan Tegalrejo.

Selain siaga menghadapi banjir dan kiriman lahar dingin dari Merapi, warga Kampung Tangguh Bencana juga belajar dan bersimulasi jika gempa bumi, gunung meletus, kebakaran, tanah longsor, angin puting beliung, dan aneka bencana lainnya menerjang.

Berdasarkan Pedoman Tangguh Bencana No. 1/2013, ada 9 program KTB. Yakni analisis resiko dengan membuat peta ancaman, kerentanan, dan kapasitas; mendirikan forum relawan; rencana aksi komunitas, rencana kontijensi desa; membuat jalur evakuasi, dan jalur ekonomi untuk pembiayaan pasca bencana.

Agus Winarto, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Kota Yogyakarta mengatakan bahwa 10 motor roda tiga telah dibagikan ke kampung-kampung. Moda tersebut dilengkapi dengan pompa air, jenset, mesin pemotong kayu (senso), tali temali atau vertical rescue, handy talkie, dan sebagainya. Pemeritah Kota (Pemkot) Yogyakarta juga telah menyiapkan stok logistik berupa bantuan pangan, sandang, dan papan (baca: barak pengungsian).

Pada 2006 dan 2010 tatkala gempa bumi mengguncang bumi Mataram dan gunung Merapi meletus jatuh begitu banyak korban. Salah satu penyebabnya karena warga bingung mau berbuat apa dalam situasi darurat.

Contoh konkretnya saat lahar dingin kiriman dari kawah Merapi membuat kali Code meluap, karena panik warga justru berlari menuju tepian sungai untuk menyelamatkan diri. Padahal itu sangat berbahaya. Ternyata banyak warga tidak tahu jalur evakuasi menuju titik kumpul yang aman.

Lewat pelatihan dan simulasi menghadapi bencana, warga bisa mengetahui dan langsung mempraktikkan langkah antisipatif dan mitigasi. Misalnya, tentang barang apa saja yang perlu dibawa ke tempat pengungsian. Bahkan jika tenaga medis belum tiba, mereka bisa memberikan pertolongan pertama pada korban.

Pada hemat penulis, program Kampung Tangguh Bencana ini juga perlu lebih melibatkan masyarakat. Sehingga warga dapat menjadi aktor utama. Misalnya saat menentukan jalur evakuasi, pemerintah kota dan tim relawan hanya menjadi fasilitator. Sebab masyarakat yang tinggal di sana selama 24 jam dan paham seluk-beluk lokasi kampungnya. 

Dari aspek semantik, pemilihan istilah KTB (Kampung Tangguh Bencana) juga lebih njawani. Sebab selama ini kawulo Ngayogyakarta Hadiningrat kalau ditanya berasal dari mana, pasti menyebut nama kampungnya, bukan nama kelurahan atau kecamatannya. Misalnya penulis, jika ditanya pasti menjawab berasal dari Kampung Nyutran. Jarang penulis menyebut dari Wirogunan atau Mergangsan.

Kendati demikian, program Kampung Tanggap Bencana ini juga perlu dikembangkan terus. Jangan hanya di 10 kampung di Kota Yogyakarta, tapi juga di kampung-kampung lainnya. Warga yang telah mendapat pelatihan teoritis dan mempraktikkan simulasi bisa berbagi pengetahuan dan pengalamannya kepada tetangga kampung lainnya. Media massa juga perlu menyebarluaskan ihwal mitigasi dan antisipasi bencana. Jangan hanya melulu memberitakan dampak-dampak pasca bencana.

Ke depannya, semoga  terbentuk masyarakat dan bangsa yang tangguh bencana. Kita perlu ngangsu kawruh dari Jepang saat mereka sigap menghadapi bencana kebocoran reaktor nuklir, gempa, dan tsunami.

Akhir kata, senada dengan kata pepatah dalam bahasa Inggris, “Prepare for the worst, expect for the best”. Bencana merupakan bagian dari dinamika alam. Cara bersahabat dengan lingkungan sekitar ialah memanajemen komunitas akar rumput (grassroot) agar tangguh menanggulangi bencana secara mandiri.

Sumber Foto: http://www.duniajogjanews.com/2013/03/26/makin-rajin-bikin-kampung-tangguh-bencana/
Sumber Foto: http://www.duniajogjanews.com/2013/03/26/makin-rajin-bikin-kampung-tangguh-bencana/

Desember 26, 2013

Untung Ganda Meresensi Buku

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Senin/23 Desember 2013

Banyak orang beranggapan kalau aktivitas membaca dan meresensi buku sebagai kegiatan yang menjemukan. Awalnya saya juga berpendapat demikian, tapi perlahan saya mulai memiliki cara pandang yang berbeda. Sejak masih kuliah, saya sudah rutin membaca dan mengirim resensi buku ke media massa, karena ternyata bisa dapat pemasukan lumayan dan kiriman buku-buku gratis dari penerbit di seluruh Indonesia. Tatkala resensi saya dimuat di media cetak, memang ada beberapa penerbit yang memberi fee. Jika tembus di koran lokal rata-rata mendapat Rp 100.000, sedangkan kalau tayang di koran nasional bisa mendapat Rp 150.000 lebih.

Selain itu, saya selalu mendapat kiriman buku gratis dari penerbit untuk diresensi lagi. Dari media cetaknya sendiri saya tentu mendapat honorarium juga. Bahkan saat masih kuliah saya selalu memberikan bukti cetak (berupa fotokopian) dimuatnya resensi saya di koran kepada pihak kampus. Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta relatif mengapresiasi mahasiswa yang mau menulis di media massa. 

Jadi setidaknya sudah ada 3 sumber pemasukan hasil meresensi buku. Yakni dari penerbit, koran yang bersangkutan, dan perguruan tinggi. Tapi sebelum mulai membaca buku, saya harus selektif. Pilih buku terbitan baru untuk diresensi di media massa. Misalnya sekarang tahun 2013, maka kita harus memilih buku-buku terbitan tahun 2013 juga. Kalau buku terbitan lama akan sulit dimuat di koran. Lalu bacalah buku yang telah dipilih tersebut sampai selesai. Jika ada poin-poin menarik tulis di secarik kertas beserta nomor halamannya. Itu akan menjadi salah satu paragraf dalam resensi yang hendak ditulis.

Catat juga kesalahan ketik, kekurangan tanda baca, sistematika yang tak runut, dan lainnya. Sebab meresensi bukan sekedar meringkas isi, tapi juga memberi rekomendasi pembenahan atas buku yang dibaca. Selesai membaca buku, segeralah untuk menulis tinjauannya agar tidak kehilangan ”emosi” membaca. Menurut Pepih Nugraha, itu ibarat ruh dalam resensi. Selain itu, sayang kalau kedahuluan penulis resensi lain. Bisa jadi mereka juga menulis resensi buku yang sama. Terakhir tapi penting, edit secara cermat resensi tersebut. Lalu, segera kirim resensi tersebut ke media cetak via e-mail. Selamat mencoba.

Sumber: http://studentbranding.com/wp-content/uploads/2010/02/books.jpg

Desember 23, 2013

Flashmob Pencak Silat Kejutkan Pengunjung Amplaz

Dimuat di Targetabloid.com, Selasa/24 Desember 2013
http://targetabloid.com/index.php/artikel/detail/1592

Yogyakarta,Targetabloid-Seratusan pesilat mengejutkan pengunjung di Ambarukmo Plaza (Amplaz) Yogyakarta pada Senin malam (23/12/2013) sekitar pukul 19.00-19.04 WIB. Pesilat lintas usia dari anak-anak sampai lanjut usia serempak meliuk-liuk menampilkan jurus-jurus silat andalan. Walau hanya berlangsung tak lebih dari 4 menit Flashmob bertajuk "Rancak Pencak" tersebut sukses menarik perhatian khalayak ramai. Para pengunjung berhenti sejenak dan turut menyaksikan dari lantai atas maupun dari sekeliling atrium.

Pagelaran budaya ini persembahan Paseduluran Angkringan Silat (PAS) www.paseduluranangkringansilat.com yang didukung oleh Tangtungan Project dan WhanyD Project. Para pesilat berasal dari beragam perguruan. Antara lain Tapak Suci, Persinas ASAD, PERPI Harimurti, POPSI, Perisai Diri, CEPEDI, PSTD, Reti Ati, Inti Ombak, Setia Hati Terate, dan Tunggal Hati Seminar.

Menurut Ludyarto Bimasena Wibowo selaku Koordinator PAS, Flashmob “Rancak Pencak” ini digelar dalam rangka menutup kegiatan Paseduluran Angkringan Silat di  2013. Tujuannya untuk lebih mengenalkan dan mendekatkan Pencak Silat kepada masyarakat secara lebih luas. Sebelumnya, sepanjang 2013 ini PAS sudah berhasil menggelar Pencak Malioboro Festival II pada Juni dan beberapa workshop berbagai aliran pencak silat baik dari Daerah Istimewa Yogyakarta maupun luar DIY.

“Tujuan digelarnya Flashmob ini agar Pencak Silat semakin dikenal masyarakat secara lebih luas, khususnya oleh pengunjung Ambarukmo Plaza. Selama ini, dengan maraknya beladiri asing yang masuk ke Indonesia dan digandrungi anak-anak muda membuat Pencak Silat yang merupakan seni beladiri asli Nusantara justru banyak dipandang sebelah mata. Padahal, pada saat yang bersamaan justru orang-orang asing banyak yang mendalami Pencak Silat karena mereka tahu dalam Pencak Silat terkandung tidak hanya tata berkelahi, tapi juga ajaran filosofi Nusantara yang sangat dalam. Karena itu kami sebagai pecinta silat tidak ingin kelak generasi muda Indonesia harus belajar Pencak Silat ke luar negeri,” ujar Ludy, panggilan akrab Ludyarto.

Ludy juga mengatakan, sudah merupakan keniscayaan bahwa kegiatan Pencak Silat digelar di mal-mal, seminar silat diselenggarakan di gym-gym, hotel, dan gedung-gedung ber-AC, supaya Pencak Silat lebih dikenal di kalangan anak-anak muda. “Flashmob ini juga bertujuan untuk mengguyubkan pesilat-pesilat dari berbagai perguruan yang ada di Yogyakarta. Sehingga Kota Yogyakarta bisa menjadi model kerukunan antar pesilat. Hal itu terlihat dari peserta Flashmob Pencak Silat yang merupakan gabungan dari berbagai perguruan silat yang ada di DIY,” imbuhnya.

Sementara itu, Whanny Darmawan, penulis buku dan juga seorang pesilat yang dalam acara Flashmob “Rancak Pencak” ini berperan sebagai konseptor menjelaskan ihwal Flashmob itu sendiri. Seniman dan dramawan tersebut memaparkan, “Flashmob merupakan sekelompok orang yang pada satu tempat dan waktu tertentu melakukan sesuatu hal yang tiba-tiba. Durasi waktunya pun cukup singkat. Flashmob “Rancak Pencak” sendiri merupakan sekelompok orang yang pada jam yang sudah ditentukan akan melakukan gerak silat secara tiba-tiba. Karena sifatnya mendadak dan untuk mengejutkan masyarakat, maka para pesilat tersebut tidak mengenakan seragam silat seperti yang terlihat pada kebanyakan performance-performance silat, tapi mereka menggunakan pakaian biasa sehari-hari bahkan yang biasa dipakai di mal.”

Dalam acara ini Whanny Darmawan dibantu oleh Suryo dari Persinas ASAD dan Aris dari Perpi Harimurti sebagai koreografer. Seratusan pesilat berlatih selama kurang lebih dua bulan untuk memersiapkan jurus-jurus yang akan diperagakan. Hampir 80% pesilat masih berusia kanak-kanak hingga remaja. Tapi  ada juga sesepuh yang sudah berumur di atas 70 tahun turut berakrobat dan memainkan senjata tongkat panjang.

Menurut Mulyo, perwakilan dari panitia, Flashmob “Rancak Pencak” ini melibatkan begitu banyak pihak. Jito dan Dwikoen beserta angkringan sastronya membantu dalam proses publikasi dan dokumentasi. Tim fotografi dan video PAS terdiri atas beberapa perguruan, antara lain Margaluyu, Setia Hati Teratai, Perisai Diri, dan Inti Ombak. Sigit Reco dari warung Lombok Ijo dan Lombok Abangnya pun menyediakan konsumsi nasi kotak bagi para pesilat.

Walau masih kanak-kanak, para pesilat cilik tampak begitu menikmati acara Flashmob "Rancak Pencak di pusat perbelanjaan terbesar di Yogyakarta tersebut. Menurut Hafis (9 tahun), ia senang sekali dan tidak tegang saat menampilkan jurus-jurus silat. Sedangkan Dion (11 tahun) mengatakan, “Aku suka silat karena bisa beladiri kalau ada penjahat.” Lantas, Amel (11 tahun) yang sudah berlatih silat sejak kelas 3 SD berkomentar singkat, “Aku senang!”

Selanjutnya dari kalangan remaja, Hasna (13 tahun) dari perguruan Perisai Diri mengaku sudah 5 tahun berlatih silat. Siswi kelas 3 SMPN 2 Yogyakarta tersebut rutin berlatih 2 kali seminggu, yakni pada hari Minggu (jam 8.00-10.00 WB) dan hari Kamis (jam 15.00-17.00 WIB). Tempat latihannya di SD Lempuyang Wangi, Yogyakarta. “Tadi memang agak canggung sih saat menampilkan Pencak Silat di muka umum, tidak sama seperti ketika latihan biasa,” ujarnya. Tapi ia tetap senang dan optimis Pencak Silat bisa lebih maju lagi di Indonesia.

Yanto, salah satu orangtua pesilat dari Bantul mengapresiasi acara Flashmob "Rancak Pencak" ini. Anaknya yang bernama Satria (11 tahun) diutus oleh SD Panembahan, Yogyakarta bersama 3 teman sebaya lainnya. Menurut Satria, awalnya ia dan teman-temannya mengikuti ektrakurikuler Pencak Silat di sekolah. Mereka tergabung dalam perguruan Reti Ati.

Yoyok Sulistya dari Perguruan Reti Ati merasa pun bersyukur karena banyak anak-anak yang mau belajar silat sejak usia dini. Yoyok mengaku lebih suka dipanggil sebagai pelestari silat ketimbang pelatih silat. “Kalau dibilang pelatih bukan, karena saya juga berlatih bersama-sama dengan anak-anak. Jadi istilah yang lebih tepat ialah pelestari silat,” ujar pendamping ekskul Pencak Silat di SD Gondolayu, SD Panembahan, SD Kadipiro, SD Badran, SD Bopkri, dan lain-lain tersebut.

Ia juga mengisahkan secuil sejarah Pencak Silat. “Dulu saat masa penjajahan Belanda, silat ibarat bemper bagi para pemuda Indonesia. Pada era 1930’an banyak generasi muda yang digladi lewat latihan Pencak Silat agar berani melawan penjajah,” imbuhnya.

Menurutnya, Perguruan Reti Ati sendiri termasuk silat Mataraman. Ada filosofi dalam gerakan dan jurus-jurus yang dimainkan. “Re” berarti Resik Ing, “Ti” singkatan dari Hati. “A” akronim dari Anjalari, sedangkan “Ti” yang terakhir berarti Titising Karep. “Jadi artinya dalam bahasa Indonesia, dengan hati yang bersih, apapun tujuannya pasti dapat tercapai,” pungkasnya.

Salah satu pengunjung dari Rusia turut mengungkapkan keterkejutannya, “Saya tak pernah menduga kalau gerakan beladiri semacam itu akan ditampilkan di dalam mal. Ternyata Flashmob Pencak Silat tadi bisa mendekatkan beladiri tradisional ke masyarakat di tempat modern. Ini cara yang ampuh agar Pencak Silat bisa terus lestari.” ( RED )


Editor dan Foto : Nugraha A-Yogyakarta

Desember 22, 2013

Sawung Jabo dan Sirkus Barock Tampil Impresif di Gedung Societad

Dimuat di Targetabloid.com, Minggu/22 Desember 2013

Senin malam (16/12/2013) sejak pukul 19.30 WIB Gedung Societed, Taman Budaya Yogyakarta (TBY) di Jln. Sriwedani sudah penuh sesak. Penonton yang datang belakangan harus rela duduk lesehan di atas karpet. Acara ini memang gratis dan terbuka untuk khalayak ramai. Total 19 lagu dibawakan oleh Muchamad Johansyah alias Sawung Jabo bersama Sirkus Barock. Mereka sukses memuaskan dahaga ribuan penggemarnya lewat sajian musik bertajuk “Cerita dari Jalanan”.

Bagus Mazasupa membuka konser dengan distorsi suara yang keluar dari keyboardnya. Sekilas terdengar seperti obrolan orang di warung makan, angkot, bus kota, kereta api, atau pangkalan ojek. Lalu, Ucok Hutabarat memainkan biolanya. Tapi tidak digesek melainkan dengan dipetik layaknya memainkan okulele. Suasana kian semarak tatkala Giana Sudaryono, satu-satunya perempuan di atas panggung rancak memainkan tamborine dan perkusi.

Setelah itu, Sawung Jabo http://sawungjabo.wordpress.com/ bersama Sirkus Barock langsung memainkan 6 komposisi lagu. Musik mereka memang khas. Sebab bukan sekadar bertralalili atau berkesenian saja, tapi juga berupaya mengetengahkan hasil perenungan yang mendalam. Berikut ini salah satu petikan lirik lagu “Kalau Batas Tak Lagi Jelas” dari album Anak Angin:

Kalau batas tak lagi jelas
Mata hati harus awas
Kata harus berjiwa
Langkah harus bermakna

Kalau batas tak lagi jelas
Mata hati harus awas
Setia pada jalan hidup
Tanpa mengingkari kenyataan

Mengintai hidup dari balik mega
Merambah hidup dibarengi doa
Menembus kabut-kabut pikiran
Dengan cahaya ketenangan

Kalau batas tak lagi jelas
Mata hati harus awas
Berkaca pada langit
Hening, diam, dan bergerak

Sebelum membawakan lagu ketujuh, Sawung Jabo ramah menyapa penonton, “Piye kabare? Kepanasan yo? Aku tak ngombe sik yo.” (Bagaimana kabarnya? Kepanasan ya? Saya minum dulu ya – terjemahan editor).  Walau sudah relatif berumur, musisi kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 4 Mei 1951 tersebut tetap kritis dan vokal.

Jabo mengkritisi hajatan politik, pemilu 2014 yang akan datang, “Sik dipilih sakjane sopo tho? (Yang dipilih sebenarnya siapa? – terjemahan editor). Rai-rai (foto wajah-wajah – terjemahan editor) mereka dipajang di mana-mana sok bijaksana. Padahal mereka belum pernah terbukti berjasa pada bangsa dan negara ini. Partai pun sulit untuk bisa dipercaya, apalagi yang memakai label agama. Kalau ada anggota partai politik yang menonton di sini, aku suruh bayar.”

Tak lupa ia memperkenalkan para punggawa Sirkus Barock. Antara lain Totok Towel dan Joel Tampeng pada gitar. Endy Barkah menggebuk drum. Sinung Ganung, sang pembetot bas dan Deni Dumbo pemain jimbe, bonang, terompe, serta suling. Sirkus Barock  telah mengeluarkan beberapa album. Antara lain Anak Setan (1975), Fatamorgana (1994), Jula Juli Anak Negeri (2001), Tur ke Sydney & Melbourne (1995 & 1996), dan Musik dari Seberang Laut yang masuk dalam album kompilasi Worldmusic dengan judul World Without Borders (1997).

Saat hendak melantunkan lagu kedelapan, Sawung Jabo mengundang seorang tamu istimewa. Oppie Andaresta naik ke atas panggung dan turut memainkan harmonika dalam tembang “Kesaksian Jalanan”. Berikut ini kutipan liriknya:

Negeri kaya raya
Merana terlunta-lunta
Dikhianati pengaku
Pengurus negeri ini

Pertiwiku terluka
Merana tak berdaya
Anak-anak cucunya
Makin rakus menjarah

Kesaksian jalanan
Kesaksian nurani
Menghantui tidurmu
Menyayat-nyayat sisa-sisa hidupmu

Kesaksian jalanan..
Kesaksian nurani..

Dalam konferensi pers pada Sabtu (14/12/2013) di TBY, Jabo sempat memaparkan alasan pemilihan tema “Cerita dari Jalanan”. Menurutnya ini bisa dianggap sebagai gosip murahan atau malah dinilai sebagai hasil analisa dari balik pagar yang ngawur. “Tetapi semua itu tetaplah merupakan sebuah opini dari kenyataan hidup sehari-hari di negeri ini. Harapannya semoga bisa memberi inspirasi bagi kehidupan bersama,” imbuhnya.
Dalam lagu berjudul “Dunia Binatang”, nyata sekali realitas keseharian tersebut. Terutama ranah politik dan ekonomi. Berikut ini kutipan liriknya:

Ada macan mencakar macan
Ular menggigit ular
Ada gajah membunuh gajah
Kita yang terinjak ya ho ho

Mata liar dimana mana
Mencari mangsa yang lemah
Tangan tangan yang penuh darah
Menindas sambil tertawa
Ada maling teriak maling
Ada musang berbulu domba
Monopoli menjadi jadi

Beberapa penonton mulai tak sabar ingin ikut menari. Pihak panitia memersilakan tapi cukup di pojok kanan panggung. Agar tidak menghalangi pandangan mata penonton yang duduk. Pada lagu ke-13 hingga ke-17, para penonton bernyanyi bersama layaknya sebuah koor. Lirik lagu “Jula-juli Anak Negeri”, “Bongkar”, “Kuda Lumping”, “Hio”, “Kesaksian” sudah mereka hapal di luar kepala.

Mereka
Dihinakan
Tanpa daya
Terbiasa hidup
Sangsi

Orang orang
Harus dibangunkan
Aku bernyanyi
Menjadi saksi

Kenyataan
Harus dikabarkan
Aku bernyanyi
Menjadi saksi

Lagu ini
Jeritan jiwa
Hidup bersama
Harus dijaga

Lagu ini
Harapan sukma
Hidup yang layak

Usai menyanyikan lagu “Kesaksian” tersebut, Sawung Jabo dan Sirkus Barock sudah berpamitan kepada seluruh hadirin. Tapi para penonton meminta agar mereka tetap tampil di atas panggung. Dua lagu para penonton teriakkan minta dinyanyikan, yakni “Badut” dan “Bento”. 

Begitu intro tembang “Bento” keluar dari petikan gitar merah Sawung Jabo, sontak seluruh penonton berdiri, bernyanyi, dan menari bersama. Tepat pukul 22.45 WIB konser berakhir. Para penonton memberikan tepuk tangan meriah untuk penampilan impresif Sawung Jabo dan Sirkus Barock.  (Red)

Editor dan Foto : Nugraha A- Yogyakarta

Desember 21, 2013

[Untukmu Ibu] Terima Kasih Ibu, Matur Nuwun Bude

Tulisan ini saya ikutsertakan dalam lomba event hari Ibu pada tanggal 22-23 Desember 2013. Mohon dukungan "like" dan komentar teman-teman sekalian di:

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/12/22/untukmu-ibu-terima-kasih-ibu-matur-nuwun-bude-620605.html

Matur nuwun sebelumnya dan selamat hari Ibu :-)

**

177 - “Mother how are you today?” Sepenggal lirik lagu gubahan Alice May (1847 - 16 Agustus 1887) ini kunyanyikan untuk menanyakan kabar ibu di surga. Ya beliau telah meninggal 30 tahun silam. Tepatnya tanggal 19 Agustus 1983.

Saat itu, aku masih berusia 2 tahun 3 hari. Yosefa Setya Budiati melahirkanku ke bumi biru ini pada 16 Agustus 1981 di Rumah Bersalin Xaverius, Pasir Gintung, Tanjung Karang, Lampung. Ibuku meninggal pada usia relatif muda, 29 tahun. Beliau kelahiran Muntilan, Jawa Tengah, 23 Januari 1954.

Menurut cerita bapak, ibu menghembuskan nafas terakhir saat hendak dibawa ke ruang operasi di rumah sakit. Ibu memang sejak lama mengidap penyakit lever. Kalau zaman sekarang mungkin mirip dengan Dahlan Iskan yang harus menjalani operasi transplantasi hati di negeri China.

Kalau Pak Dahlan sakit lever karena terlalu sibuk bekerja sebagai wartawan, ibuku sakit lever karena terlalu sibuk bekerja sebagai guru. Menurut cerita bapak, ibu mengajar mata pelajaran Matematika di dua sekolah, yakni di SMPN 1 Rawa Laut, Tanjung Karang dan SMP Budi Mulia, Kedaton, Bandar Lampung.

Selain itu, sepulang sekolah ibu juga masih memberikan les privat di rumah hingga larut malam. Kursi-kursi dengan pegangan khusus untuk alas menulis masih ada hingga kini. Menurut bapak, ibu sering lupa makan kalau sudah keasyikan bekerja.

Aku anak pertama dari pasangan muda tersebut. Kembali menurut cerita bapak, saat ibu meninggal beliau sedang mengandung 3 bulan. Jadi masing-masing sudah bersama buah hatinya masing-masing. Aku dan bapak di dunia ini, almarhum ibu dan calon adikku di surga sana.

Setelah ibu meninggal dunia, aku yang masih kecil dititipkan ke keluarga Bude Christina Suriyem. Karena setiap pagi bapak harus berangkat kerja sebagai guru. Beliau mengajar mata pelajaran Biologi di SMPN 1 Rawa Laut, Tanjung Karang. Sepulang sekolah, bapak menjemputku di rumah bude.

Sedikit intermezo ihwal kisah cinta kedua orang tuaku. Menurut cerita bapak, mereka sama-sama bekerja di SMPN 1 tersebut. Pun berasal dari pulau Jawa. Bapak dari Nyutran, Yogyakarta sedangkan ibu dari Muntilan, Jawa Tengah. Sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), mereka dulu mendapat tugas kerja mengajar di pulau Sumatra, tepatnya di Tanjung Karang, Lampung.

Selain itu, mereka juga sama-sama bernama Budi. Ibuku bernama Budiati, bapakku bernama Budiharjo. Teman-teman guru di SMPN 1 Rawa Laut sering bercanda dan menjodoh-jodohkan keduanya, “Pak Budi di mana Bu Budi?” Singkat cerita mereka pacaran dan akhirnya memutuskan untuk berumah tangga. Kalau zaman sekarang mungkin ini yang disebut cinlok (cinta lokasi).

Ingatanku ihwal sosok ibu sangat terbatas. Selain karena hanya 2 tahun 3 hari hidup bersamanya, juga karena saat itu aku masih kecil. Aku mengenali wajah ibu dari foto-foto hasil jepretan tustel (kamera) bapak yang tersimpan rapi di album keluarga.

Menurut cerita dari para kerabat, ibuku orangnya tegas. Kalau mengajar Matematika di kelas bahasa Jawanya “ngedongke”. Ia bisa membuat rumus-rumus Matematika yang rumit jadi gampang dipahami oleh para murid.

Tatkala mulai masuk TK (Taman Kanak-kanak) di TK Sejahtera 1, Kedaton, Bandar Lampung, aku sering merasa iri pada teman-teman sekelas. Mereka diantar oleh ibunya ke sekolah. Sedangkan aku setiap pagi berangkat sendiri.

Rumah bude tempat aku dititipkan memang dekat dengan sekolah. Cukup berjalan santai 5 menit sudah sampai. Bude Sur tak bisa mengantarku karena ia bekerja sebagai pembuat gorengan, seperti bakwan, tahu susur, tempe mendoan, dan lain-lain.

Pada jam-jam istirahat – dulu istilahnya “keluar main” - anak-anak lain lari berhamburan keluar kelas dan segera menghampiri ibu mereka masing-masing. Lantas, ada yang masih minta disuapi makanan bekal oleh ibunya. Sedangkan aku hanya sendirian menyantap bekal yang dibawakan oleh Bude Sur dari rumah tadi. Biasanya aku duduk di pojok dekat tiang sendirian. Saat itu aku sungguh merindukan ibuku.

Pada akhir pekan, aku diajak bapak bersama-sama nyekar (berziarah) ke makam ibu. Yang aku ingat bapak sering bermain sulap setelah berdoa di depan pusara ibu. Sulapnya menggunakan koin. Bapak menyembunyikan koin di sekitar makam ibu saat aku memejamkan mata. Kalau aku berhasil menemukannya, uang tersebut boleh kupakai untuk jajan. Saat itu jajanan favoritku ialah es lilin.

Saat nyekar ke makam ibu, aku juga sering bertanya-tanya, “Kenapa Tuhan ibuku Engkau panggil begitu cepat? Aku ingin menyusulnya ke surga, tapi bagaimana caranya Tuhan?” Kadang saat berdoa bersama bapak, dalam benak kecilku aku membayangkan adegan seperti di film-film, “Tiba-tiba pusara ibu terbuka, beliau bangkit kembali dari alam kubur. Sehingga aku bisa memiliki keluarga yang utuh. Ada bapak, ibu, dan anak.

Sepulang ke rumah, menjelang tidur di malam hari, aku ingin merasakan hangatnya dipeluk seorang ibu. Tapi kenyataannya yang ada di samping kananku hanya bapak. Lantas, aku membaringkan di samping kiriku guling berukuran besar. Kalau kangen dengan ibu, kudekap saja erat-erat guling tersebut hingga aku terlelap.

Untungnya Gusti mboten sare (Tuhan tidak pernah tidur), keluarga bude Suriyem tempat aku dititipkan begitu sayang padaku. Bude Sur dan Pakde Mardi aslinya memiliki lima anak kandung. Tapi kalau tetangga bertanya berapa anaknya, ia selalu menjawab anaknya ada 6, termasuk aku.

Kendati demikian, tetap saja kentara sekali bedanya. Karena aku memiliki kulit berwarna sawo matang dan berambut keriting seperti bapak dan ibuku, sedangkan anak-anak Bude Sur berkulit kuning langsat dan berambut lurus seperti bapak dan ibunya. Tapi Bude Sur sekeluarga tak pernah bersikap diskriminatif kepadaku. Aku jadi sering menginap dan tinggal bersama mereka.  

Bapak dan ibu memang sudah kenal lama dengan keluarga Pakde Mardi dan Bude Sur walau notabene mereka tak memiliki hubungan darah. Dulu ketika bapak dan ibu masih mengontrak rumah dan belum memiliki rumah sendiri, rumah kontrakan mereka di beralamat di belakang Pasar Koga, di lerang Gunung Perahu, Kedaton, Bandar Lampung. Lokasinya tepat berada di depan rumah Bude Suriyem.

Jadi pun praktis sejak saat ibuku masih ada, aku sudah sering dititipkan ke keluarga Bude Sur. Sebab bapak dan ibu harus berangkat kerja bersama mengajar di sekolah. Sepulang mengajar, mereka baru menjemput dan membawaku pulang ke rumah kontrakan.

Begitu ibu tidak ada lagi, frekuensi aku dititipkan ke rumah Bude Sur makin sering. Bahkan saat bapak mengajakku pulang ke rumah baru di Way Halim - ya bapak dan almarhum ibu telah mencicil rumah di Perumnas Way Halim, Bandar Lampung - aku tak mau. Aku sering juga menginap dan tinggal bersama keluarga bude Sur.  

Aku lebih merasa betah tinggal di rumah bude. Karena di sana ramai dan banyak temannya. Ada Mbak Anik, Mbak Yus, Mbak Sisil, Mas Nono, dan Mbak Lena (anak-anak kandung bude Sur). Sedangkan kalau di rumah baru di Way Halim, aku hanya berdua dengan bapak.

Aku tinggal bersama keluarga bude Suriyem sampai lulus SMP Xaverius Tanjung Karang. Lalu, setelah itu aku merantau ke Yogyakarta melanjutkan studi di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta.

Kini Bude Sur juga sudah meninggal dunia. Beliau mengidap penyakit kanker stadium IV. Saat menerima kabar kematiannya aku merasa sedih sekali. Aku seolah-olah kehilangan ibuku sendiri.

Pada kesempatan ini, tepat pada perayaan hari Ibu, 22 Desember 2013 aku mengucapkan selamat hari Ibu kepada ibu kandungku dan Bude Sur, “ibu” yang telah merawat dan membesarkanku. Selamat beristirahat di pangkuan-Nya. Mohon doa bagiku yang masih berziarah di dunia ini.

Aku bersyukur kepada Tuhan atas kebersamaan dengan ibu kandungku walau hanya berlangsung selama 2 tahun 3 hari. Karena banyak anak-anak lain yang telah ditinggal wafat ibunya saat masih berusia 0 tahun. Sang ibu meninggal dunia saat bertaruh nyawa melahirkan anaknya. Aku percaya hubungan fisik memang sudah berakhir tapi hubungan batin antara ibu dan anak abadi selamanya.

Akhir kata, aku juga berterimakasih kepada almarhum Bude Sur, “ibu” keduaku. Walau kami tak ada hubungan darah tapi beliau sungguh mencintaiku seperti menyayangi anak kandungnya sendiri. Matur nuwun Bude…

Nyutran, Yogyakarta, Minggu/22 Desember 2013

**
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana (klik link ini) http://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung juga di group FB Fiksiana Community https://www.facebook.com/groups/175201439229892/ )

Desember 20, 2013

Semangat Pengabdian Para Jagoan

Dimuat di Tabloid Banten Muda, Edisi Desember 2013

Judul: Orang-Orang Hebat, Dari Mata Kaki ke Mata Hati
Penulis: Emanuel Dapa Loka
Penerbit: Altheras Publishing
Cetakan: 1/Juli 2013
Tebal: xxv + 223 halaman
ISBN: 978-602-14175-0-8
Harga: Rp50.000

Nama Gerson Poyk tak asing lagi di jagat jurnalistik Indonesia. Sederet karya sastra apik telah ia tulis. Pun aneka penghargaan telah ia raih. Antara lain Hadiah Sastra Asia Tenggara Sea Write Award (1989) dan Adinegoro Award 1986 berkat tulisan “Padang Sabana Timur dan Sumba”. 

Ia juga sudah menulis 30-an novel. Selain itu, lebih dan ribuan cerpen bertebaran di media massa. Kendati demikian, kehidupan sehari-harinya tetap biasa saja. Kesederhanaan - untuk tidak mengatakan miskin - kentara sekali dalam kehidupan pria kelahiran Ba’a, Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), 16 Juni 1931 tersebut.

Suatu ketika kedua matanya terserang penyakit katarak. Beruntung mata kanannya telah berhasil dioperasi. Tapi untuk mengoperasi mata kirinya, ia harus berhitung berkali-kali. Gerson mengaku belum memiliki uang. “Uang itu masih tersimpan di otak dan imaginasi saya,” ujarnya tatkala diwawancarai Emanuel Dapa Loka.

Saat itu, ia memang sedang menyiapkan beberapa buah cerpen untuk membiayai operasi mata kirinya. “Saya sedang menulis lima cerpen. Honornya akan saya pakai untuk operasi mata yang kiri ini,” ungkapnya sambil melepas kaca mata (halaman 88).

Dalam buku “Orang-Orang Hebat, Dari Mata Kaki ke Mata Hati” ini terungkap walau Gerson Poyk hidup serba pas-pasan, ia sangat dermawan. Setiap kali mendapat uang, yang pertama-tama ia ingat justru teman-temannya. Ia berkeliling mencari mereka menanyakan kabar dan menyumbang dari pendapatannya tersebut. “Sebab saya pernah merasakan penderitaan itu…” imbuhnya.

Gerson mengisahkan keadaannya tatkala tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan anaknya yang sekarat. “Di Bima, anak laki-lakiku menderita diare sampai tubuhnya menjadi sangat kurus – tinggal tulang seperti anak-anak afrika yang kelaparan. Hatiku berkata, kira-kira 3 hari lagi ia akan diambli kembali oleh Tuhan. Aku pasrah setelah beberapa hari memberinya obat-obatan dari dokter, ramuan dedaunan dan doa kesembuhan insan. Berjalan terapung-apung di suatu senja yang murung, menanti putraku satu-satunya diambil kembali oleh penciptanya…” (halaman 92).

Hebatnya, saat itu ia justru menggelisahkan masa depan Indonesia. Di matanya, Indonesia bukan semakin maju malah semakin mundur. Pengangguran dan kemiskinan kian bertambah. Menurutnya anak-anak negeri ini teralienasi dari bumi subur dan laut kaya. “Kaki kita berdiri di atas tanah dan laut yang subur, tetapi kepala kita ada di padang pasir! Mungkin saja bangsa ini sangat libinal. Religiositas etis yang mestinya membantu kita mengembangkan modal sehingga bisa mengirimkan orang ke bulan, dihambat oleh energi syahwat, nafsu kekuasaan, intoleransi, rasa rendah diri yang menimbulkan perilaku neurotik,” ujarnya meradang.

Mantan wartawan tersebut meyakini bahwa sastra bisa menjadi solusi. “Melalui karya sastra kita harus menari, jangan membunuh. Mari kita adakan akrobat moral!” Ia bercita-cita sederhana, yakni mendampingi anak-anak SMP dan SMA untuk mengelola majalah sendiri. Uang hasil penjualan untuk kas mereka. Kini aktivitasnya tetap membaca, menulis dan sesekali ke kebun dengan sepeda. Meski usianya telah senja, Gerson masih sering tidur larut malam, bahkan hingga pukul 02.00WIB untuk menulis.

Masih banyak kisah para jagoan lainnya dalam buku ini. Total ada 20 kisah inspiratif yang menggetarkan. Kalau ditambah dengan 2 kata pengantar dan 1 epilog, maka ibarat belajar ilmu Kung Fu sidang pembaca bisa berguru dari 23 jagoan. Siapakah mereka? Antara lain Fransicus Welirang, Zuhairi Misrawi, Andre Graff, Dewa Budjana, Frans Magnis Suseno, Vincentius Kirjito, St Kartono, Andre Moeller, Anthony Dio Martin, Christie Damayanti, Kebamoto, dan lain-lain.

Kisah perjuangan drg. Aloysius Giyai, M.Kes (40 tahun) juga layak disimak. Ia berasal dari keluarga miskin dan tinggal di wilayah terpencil di Deiyai, Papua. Daerah tersebut terkenal karena kematian komunal akibat wabah kolera dan penyakit malaria. Dari delapan bersaudara, 5 di antaranya meninggal dunia. Yang masih hidup tinggal dokter Alo, demikian ia akrab di sapa, Damianus Giyai dan Octavia Giyai, SE.

Kendati demikian, segala keterbatasan fasilitas dan keterisolasian wilayah di atas tak kuasa mengungkungnya. Dokter Alo berhasil menjadi Direktur RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) di Abepura. Hebatnya, Alo tak lupa pada akarnya. Dalam pelayanan medis, ia kerap menabrak aturan agar bisa menolong orang sakit dengan cepat.

Suatu hari, dokter Alo memberikan pelayanan kesehatan kepada keluarga miskin yang tidak memegang JPS-BK (Jaringan Pengaman Sosial Bidang Kesehatan). Ia melakukan “pelanggaran” karena tergerak oleh rasa belas kasihan saat melihat pasien yang tak berdaya. “Nurani saya terketuk. Saya tidak mungkin membiarkan mereka menderita apalagi sampai meninggal. Mereka cukup menunjukkan surat keterangan dari Pastor atau Pendeta atau Tua-tua adat. Mereka tak boleh mengalami yang lebih pahit dari yang pernah saya alami,” tekadnya

Ketika dimintai pertanggunganjawab dari Depkes karena 30% penerima layanan JPS-BK tidak terdaftar, ia menjelaskan detail pemakaian dana beserta bukti-buktinya. Semua atas nama kemanusiaan dan sumpahnya sebagai dokter. “Pihak Depkes di Jakarta malah memuji saya. Sepulang ke Jayapura, Gubernur JP Salossa (almarhum) juga memberi penghargaan,” ujar Alo sembari tersenyum (halaman 161).

Agar semangat pengabdiannya itu menular ke banyak orang, dokter Alo sudah menulis buku otobiografi berjudul Memutus Mata Rantai Kematian di Tanah Papua; Becermin pada Fakta RSUD Abepura. Buku yang diterbitkan PAKAR-Papua Pustaka Rakyat Papua pada November 2012 silam itu menyajikan racikan data dan fakta yang dirangkai dalam aneka kisah menarik, menyentuh, dan menggetarkan. “Bukan untuk menonjolkan diri saya, tapi agar keadaan di Papua diketahui banyak orang dan dicarikan solusinya segera.”

Jika ditelisik secara saksama ada satu nilai keutamaan yang dilakoni oleh para jagoan  dalam buku setebal 223 halaman ini. Senada dengan pengamatan R. Priyono dalam bagian kata pengantar, mereka menjadi hebat karena pengabdian yang total bagi rakyat, bangsa, dan negara tanpa meminta perhatian atau penghargaan khusus.

Jaya Suprana pun mengapresiasi upaya Emanuel Dapa Loka menuliskan profil mereka, “Bayangkan betapa hebat kisah sorang putera Indonesia yang dilahirkan dan dibesarkan di Pulau Sumba, NTT yang – tentu saja – sempat menjadi joki menunggangi kuda Sumba, kemudian mengembara ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu sambil mencari nafkah sebagai penjual buku dengan menunggangi sepeda onthel dan akhirnya berhasil menulis buku hebat yang sedang Anda baca ini” (halaman 223).

Akhir kata, buku ini membuktikan adagium lawas yang tetap relevan, tak ada makan siang gratis (there is no free lauch). Menyitir pendapat Haililah Tri Gandhiwati, Dosen Public Relations Universitas Mercu Buana, “Perjuangan, pengorbanan, usaha keras merupakan syarat mutlak untuk meraih cita-cita.” Selamat membaca!

Mengenang Romo Kun

Dimuat di Majalah Basis, Nomor 11-12, Tahun ke-62, Desember 2013

Selasa kliwon malam (3/9/2013) Landung Simatupang dan kawan-kawan memukau ratusan hadirin yang memadati Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta. Saking membludaknya para penonton sampai harus duduk lesehan di sisi barat dan timur pendopo. 

Landung membacakan petikan gubahan pupuh Arjunawiwaha berdasarkan terjemahan mendiang Dr. Ignatius Kuntara Wiryamartana, S.J. untuk mengenang 40 hari meninggalnya pakar sastra Jawa kuna itu.

Tak kenal maka tak sayang, begitu kata pepatah. Siapakah Romo Kun? Lahir di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah pada 19 Oktober 1946 silam. Romo Kuntara menghembuskan nafas terakhir dalam usia 67 tahun di Rumah Sakit Elizabet, Semarang pada Jumat 26 Juli 2013 dinihari pukul 01.45 WIB. 

Ia pernah menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Namanya kian termasyhur berkat disertasi yang merupakan suntingan teks Kakawin Arjunawiwaha pada 1987. Buku Arjunawiwaha sendiri pernah diterbitkan oleh Duta Wacana University Press (1990). Disertasi tersebut terinspirasi dari kitab Kakawin Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042).

Menurut Hariadi Saptono, wartawan dan Direktur Eksekutif Bentara Budaya Jakarta (BBJ), pembacaan kutipan gubahan Arjunawiwaha untuk mengenang 40 hari Kuntara Wiryamartana SJ penting dilakukan. Karena Romo Kuntara merupakan seorang penghayat budaya Jawa yang mumpuni. Disertasi Arjunawaiwa tulisan beliau merupakan karya yang monumental, tapi tidak terlalu diperhatikan oleh khalayak ramai.

Saat ini generasi muda memang cenderung berkiblat pada budaya asing. Entah itu kebarat-baratan, kekorea-koreaan, keindia-indiaan, kecina-cinaan, dan lain-lain, padahal budaya lokal warisan leluhur menyimpan kebijaksanaan adiluhung. Misalnya dari segi bahasa, berapa banyak penerus bangsa yang masih bangga menggunakan bahasa Indonesia dan daerahnya? Sebagian besar justru lebih sering menggunakan bahasa alay dalam komunikasi sehari-hari.

Kendati demikian, Guruh Sukarno Putra pernah berpendapat bahwa itu bukan 100 persen kesalahan kaum muda. Kenapa? Karena generasi di atasnya tidak pernah mengajari dan memberi informasi memadai ihwal keberagaman budaya Nusantara. Salah satunya terkait kearifan lokal bahasa Jawa. Ada tingkatan dalam berbahasa yang mencerminkan unggah-ungguh, mulai dari ngoko, kromo madya, hingga kromo inggil.

Nyawiji

“Romo Kuntoro, bagi saya adalah seorang dosen yang mempunyai kemampuan akademik kuat. Ia banyak memberi pelajaran pada banyak orang, dan dia meminta untuk konsentrasi penuh pada bidang yang dipelajari,” begitulah testimoni Dr. Christanto Wismanugraha, selaku pengajar jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Dalam bahasa Jawa, Romo Kun menyebut proses tersebut dengan istilah sebagai nyawiji. Contoh konkretnya adalah Arjuna. Tatkala ia digoda oleh para bidadari agar terjaga dari tapa brata, Arjuna tetap bertafakur dalam semedi. Berikut ini petikan kisah yang digubah dan dibacakan oleh Landung Simatupang dkk dengan diiringi irama gamelan:

“Banyak tingkah para bidadari utusan dewa hendak membongkar tapa brata Panduputra. Matahari sudah pergi, rembulan mengganti. Kesengsem ia memandangi bidadari. Terbuai asmara ia, tak putus menyinari, akhirnya menyelinap sembunyi, awan menutupi.

Tergila-gila agaknya para aspari memandang rupawan Sang Arya Parta. Maunya menggoda, malahan tergoda. Terhenyak, termangu, dihanyut birahi mereka berlagu. Ada satu yang bergabung dalam senandung, sembari menjentik-jentik jari kaki.

Ada yang mencumbu pudak wangi, menggubah syair tentang Sang Parta. Bunga wangi itu didekap, disusuinya, sesekali dipandang dan disapanya, “Raden, anakku, ketakutanmu tak mendapat pengakuan sungguh terlalu! Sudahlah, berhenti menangis sayang! Bapamu itu memang tak pernah mau peduli!

Ada juga yang lincah, pantang mundur, mahir memancing gairah. Mencumbu merayu, menjepit tangan Sang Arya. O, ia mabuk kepayang mendekatkan tangan Arjuna pada susunya. Bagai mendesah rintih buluh bergesekan dengan hatinya.”

Aslinya naskah tersebut berbahasa Jawa kuna. Namun untuk kepentingan pementasan telah diadaptasi oleh Landung Simatupang ke dalam bahasa Indonesia dengan seizin almarhum. Tujuannya agar bisa dipahami oleh penonton. Bukan tidak mungkin, kelak pupuh Arjunawiwaha tersebut juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa internasional lainnya. Sehingga dapat mengharumkan nama bangsa dan dinikmati oleh masyarakat dunia.

Puisi

Selain menulis disertasi, Romo Kuntara juga gemar menulis puisi juga. Sebagian besar ditulis saat beliau studi lanjut di Delf, Belanda. Menurut Prof. P.M Laksana, “Separuh hidup saya di dalam hidup beliau. Ketika dingin menerjang dan kesepian menghantui di negeri orang, kami dua putra bangsa sering bertemu dan saling menguatkan satu sama lain.” Berikut ini petikan puisi Romo Kun yang dibacakan Kris Budiman, judulnya “Ketika Angin Mati.”

“Bunyi-bunyi terpendam berdenting-denting
Melantingkan suara-suara kehidupan
Aku pun terbungkuk menunduki gusuran jari-jemari
Merayapi lembaran kertas buram
Mengisi kekosongan yang menggamangkan…” (Delf, November 1982)

Pak Bambang dari Solo juga menjelaskan klangenan Romo Kuntara berupa wayang Petruk. Almarhum suka sekali dengan tokoh Punakawan tersebut karena sikapnya yang merdeka, prigel, dan wasis. Dulu saat masih mengajar sebagai dosen, Romo Kun juga tak melulu belajar di kelas. Para mahasiswanya diajak ke kraton, ke pantai, ke pasar tradisional, dll untuk merasakan dinamika kehidupan masyarakat dan menyatu dengan lingkungan sekitar.

Menurut Ons Untoro, dari Tembi Rumah Budaya menganggap bahwa kontribusi Romo Kun terasa sangat penting bagi Tembi, karena sejak Tembi didirikan pada 2000 beliau ikut membincangkan bersama dengan beberapa pemikir lainnya seperti Prof. Dr. P.M Laksono, Prof. Dr. Sumito A. Sayuti, dan P. Swantoro. “Kami berbincang-bincang mengenai embrio sebuah lembaga, yang sekarang dikenal publik dengan nama Tembi Rumah Budaya ini," ujarnya.

Bahkan nama "Tembi"  Romo Kun sendiri yang mengusulkan. Asal katanya dari Katemben, karena konon dusun Tembi merupakan tempat tinggal para abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tugasnya menyusui para putra dan putri keluarga Mataram. Daerah Tembi sejak dulu hingga kini memang relatif subur dan asri alamnya.

Akhir kata, Romo Kuntara telah meninggalkan kita semua. Kendati demikian, karya-karya beliau selalu mendapat tempat di hati para pembacanya. Selamat jalan Romo, semoga mendapat tempat terbaik di sisi-Nya…Sugeng tindak Romo...Rahayu....Rahayu...Rahayu...(T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta dan Pecinta Budaya Jawa)



Desember 19, 2013

Merefleksikan Tahun 2013 Bersama Kang Sobary

Dimuat di Targetabloid.com, Jumat/20 Desember 2013

Yogyakarta,Targetabloid-Selasa (17/12/2013) pukul 19.00-21.30 WIB Mohammad Sobary menyampaikan refleksi kebudayaan di Kantor DIAN/Interfidei (Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia), Jl. Banteng Utama 59, Perum Banteng Baru, Sinduharjo, Ngaglik, Yogyakarta. Mantan Pemimpin Umum Kantor Berita Antara tersebut mengulas topik “Kebenaran adalah Masa Depan Kita.”

Dalam undangannya, panitia menjelaskan bahwa refleksi ini bagian dari Tahun Kebenaran. Sebuah kampanye yang digagas oleh KKPK untuk memecah kebisuan suara kebenaran dari para korban yang terbungkam. Dalam kurun waktu Desember 2012 sampai Maret 2014, seluruh elemen masyarakat sipil (civil society) diajak turut menyebarluaskan suara-suara kebenaran. Sebagai bahan pembelajaran bagi masyarakat dalam menangani berbagai persoalan kekerasan yang terjadi di Indonesia.

Ismadi, Kepala Dukuh Dusun Banteng turut urun rembug di awal acara. Menurutnya, agama dan budaya tak bisa dipisahkan satu sama lain. Agama tanpa budaya ibarat sayur tanpa bumbu. “Dusun Banteng ini ialah miniaturnya Indonesia.  Di sini ada dua masjid dan dua gereja tapi suasana tetap kondusif, aman, saling menghargai perbedaan, dan dapat hidup berdampingan dengan rukun, “ imbuhnya.

Pak Dukuh juga menambahkan, “Banyak orang-orang top dari dalam dan luar negeri datang ke Dusun Banteng ini. Kalau kami harus ikut seminar untuk mengikuti ceramah mereka pasti tak kuat membayar. Oleh sebab itu, kami mengucapkan terima kasih kepada DIAN/Interfidei karena lembaga lintas iman ini sangat bermanfaat bagi masyarakat setempat.”

Lalu, Elga Sarapung balik mengapresiasi Pak Dukuh dan warganya. “Kalau ada rombongan datang ke sini menaiki bis besar dan kendaraannya terpaksa diparkir di pinggir jalan, mohon maaf kalau sedikit menghalangi kelancaran lalu lintas. Terima kasih atas pengertian penghuni RT 7, 8, 9 dan seluruh warga Banteng,” ujar Direktur DIAN/Interfidei tersebut.

Ia juga berterima kasih kepada Kang Sobary yang jauh-jauh telah datang dari Jakarta. “Di pengujung tahun 2013 ini merupakan saat yang tepat untuk berefleksi bersama. Banyak hal yang terjadi sepanjang tahun ini. Dari tayangan televisi kita bisa menyaksikan aneka peristiwa, dari yang paling tidak baik sampai yang baik. Tahun depan kita masih belum tahu, semoga yang terbaiklah yang bakal terjadi,” pungkasnya.  

Selanjutnya, Achmad Munjid mengambil alih kendali diskusi. Menurut Munjid, perkenalan dengan budayawan tersebut lewat tulisan-tulisan beliau. “Karya tulis Kang Sobary itu singkat, padat tapi maknanya mendalam dan analisis-analisisnya mengejutkan,” ujarnya. 

Mohamad Sobary pernah menjadi Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance Reform). Jabatan tersebut berakhir Juli 2009. Kini Sobary sedang memfokuskan diri pada penulisan novel tentang keluarga Syailendra yang membangun Borobudur. Di tengah kesibukan itu, dia telah menyelesaikan catatan kenangan dengan Gus Dur. Pertama, Jejak Guru Bangsa: Meneladani Kearifan Gus Dur. Kedua, Gus Dur dan Kang Sobary : KeIndonesiaan dan Kemanusiaan (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Mohamad_Sobary).

Tanpa berpanjang lebar, sang moderator memersilakan alumnus Monash University, Australia tersebut untuk menguraikan refleksinya. Kang Sobary melihat Dusun Banteng ini sebagai cermin corak kebudayaan di Indonesia. Pak Dukuh dan warga bisa menerima DIAN/Interfidei dengan tangan terbuka. Ini berkah dari langit karena kaum intelektual, terpelajar, tokoh agama dan kepercayaan yang berbeda-beda pernah hadir di sini sebagai cahaya cemerlang. Ini bukan dari sudut pandang ekonomi saja, tapi juga rohani. “Laboratorium kebudaayan ini ada tanpa didesain, terjadi begitu saja seperti daru dari langit. Di Jakarta kini banyak orang merasa memiliki wahyu sehingga minta diberi kekuasaan. Padahal wahyu itu datang sendiri tak perlu dicari ke mana-mana,” ujarnya.

Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, 7 Agustus 1952 tersebut lantas mengusulkan konsep kebenaran masa depan, yakni kebenaran untuk semua. “Sebuah proyek kebudayaan untuk menata kebenaran bagi seluruh warga negara. Ini ibarat jembatan besar agar kita semua bisa melewati hari ke hari dengan nyaman. Dalam pemikiran saya, kebenaran ilmiah, politik, hukum, dan ilahiah harus kita pakai semua agar tidak timpang. Rumusannya menjadi kebenaran yang adil dan manusiawi,” imbuhnya.

“Kebenaran akan benar kalau adil. Bisa jadi benar secara hukum tapi kalau melukai keadilan seorang ibu, itu bukan kebenaran. Kebenaran juga akan benar kalau manusiawi, orang mau berjualan kok malah digusur. Tapi kenapa mini market justru diberi ijin berjualan 24 jam bahkan sampai masuk ke gang-gang sempit di kampung. Sehingga ibu-ibu pemilik warung kecil yang hendak mencari untung beberapa ratus rupiah saja terpaksa gulung tikar,” papar Kang Sobary.

Kang Sobary juga mengajak hadirin mengembara kembali (flashback) ke abad 10 pada era pemerintahan Raja Airlangga di Kediri. Menurut pengagum dalang, almarhum Ki Timbul tersebut, ia banyak belajar nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dari kidung macapat dan tembang Jawa. Termasuk karya-karya sastra warisan leluhur dari zaman Airlangga, salah satunya gubahan pujangga Jayabaya.

Sebelum memasuki sesi tanya-jawab, moderator memersilakan hadirin menikmati sajian angkringan yang telah disediakan panitia. Ada wedang jahe, teh hangat, nasi kucing (porsi mini), gorengan tahu, tempe, bakwan, sate telur puyuh, salak pondok, dll. Alunan musik akustik juga menemani saat jeda tersebut.

Selepas istirahat, Alissa Wahid, Koordinator Sekretariat Nasional Gerakan Gusdurian yang kebetulan hadir turut menyampakan gagasannya. Ia berpendapat bahwa Indonesia tidak akan menemukan kebenaran di masa depan bila kita - terutama pemimpin negara ini – kini enggan mengobati luka-luka masa lalu.

Psikolog Keluarga tersebut juga mengajak hadirin belajar dari almarhum Nelson Mandela di Afrika Selatan. Di sana bisa terjadi rekonsiliasi karena kesediaan kedua belah pihak yang pernah bertikai mau mengobati luka-luka masa lalu. “Sedangkan kita di Indonesia cenderung merepresi masalah-masalah yang terjadi di masa lalu. Kita bersembunyi di balik hikmah, harapan, dan kata-kata bijak. Padahal lukanya tetap ada dan tak pernah sembuh,” imbuhnya.

Sebagai solusi, ia memberi contoh dari upaya Gus Dur merangkul masyarakat Papua tempo hari. “Beliau menyadari bahwa ada luka-luka lama yang harus disembuhkan terlebih dahulu,” kenang Alissa Wahid.  Semangat inklusif Presiden ke-4 RI untuk membangun negara yang menghargai pluralitas agama, etnis, golongan dan mengupayakan pemerataan akses ekonomi masyarakat itu tetap relevan diterapkan saat ini.

Pada sesi tanya jawab, Sudarto mengungkapkan cerita dari seorang dosen di sebuah universitas negeri terkemuka. Menurut sang dosen, setiap hari ia seolah berhadapan dengan mahasiswa-mahasiswi yang mirip zombie. “Di mana semangat kaum muda yang siap mendobrak kemapanan dan berani memberontak itu?” tanyanya.

Menurut Kang Sobary, tidak apa begitu karena dari dulu memang begitu. Pangeran Diponegoro pun mencari kawan untuk melawan penjajah Belanda tidak gampang. “Kalau kamu tidak punya teman maju sendiri,” ujarnya. Lalu, Kang Sobary menawarkan cara jihad pada tataran pemikiran, yakni dengan menulis di media massa dan menulis buku. Selain itu, ia juga merekomendasikan sebuah gerakan tanpa gerakan.

Misalnya menghadapi mini market yang bertebaran di mana-mana sampai ke dalam gang-gang sempit di kampung, mereka ibarat singa yang mau menerkam semua makhluk yang lemah. “Tak usah bergerak, jangan menginjak halaman mini market tersebut selama 1, 2, 3, sampai 1.000 bulan, lama-lama juga akan tutup sendiri. Inilah gaya kaum Samin. Perlawanan yang lembut, ahimsa Gandhi ala sini,” pungkasnya. ( RED )

Editor dan Foto : Nugraha A- Yogyakarta

Desember 17, 2013

Pelatihan Jurnalistik BPPM Bersama Kontributor Targetabloid Yogyakarta

Dimuat di Targetabloid.com, Selasa/17 Desember 2013

Yogyakarta,Targetabloid-Sabtu (14/12/2013) dan Minggu (15/12/2013) pukul 10.00-16.00 WIB puluhan aktivis perempuan dan ibu-ibu dari Kabupaten Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, dan Kota mengikuti pelatihan jurnalistik di  aula C lantai 2, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM), Jln. Tentara Rakyat Mataram, Yogyakarta. Nugroho Angkasa, kontributor di www.targetabloid.com menjadi narasumbernya.

Menurut Tata Gandhi,  perwakilan dari panitia penyelenggara, para peserta pelatihan jurnalistik ini merupakah hasil seleksi dari ratusan perempuan yang telah mendaftar. Tujuannya agar mereka bisa belajar menjadikan tulisan sebagai alat perjuangan. “Sebab sebagian besar peserta merupakan sukarelawati gerakan sosial kemasyarakatan. Antara lain aktivis perempuan, pendamping anak-anak jalanan, guru sekolah, dosen universitas, penggerak kaum muda, dan juga ibu rumah tangga,” imbuhnya.  

Pada hari pertama, Nugroho Angkasa memaparkan materi seputar menulis. Lantas, pada hari kedua, alumnus Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma yang telah menulis ratusan artikel sejak masih duduk di bangku kuliah tersebut mengulas ihwal editing dan teknis pengiriman naskah  ke media massa, baik media cetak maupun online.

Pria kelahiran Kedaton, Bandar Lampung, 32 tahun silam tersebut meminjam istilah dari Hernowo, menulis merupakan salah satu cara untuk mengikat makna. Uniknya, ia menggunakan permainan sulap magic ring untuk menjelaskan filosofi tersebut. Selain itu, Nugroho juga mengutip tesis Sindhunata, “Pekerjaan pertama seorang penulis adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan tangan.”

“Kawan-kawan di sini telah memiliki modal dasar itu. Sebab sebagian besar merupakan aktivis sosial kemasyarakatan di daerahnya masing-masing. Nah tinggal merefleksikan pengalaman di lapangan tersebut dalam bentuk tulisan,” imbuhnya. Tak sekadar beretorika, pasca mengenali hambatan dan alasan menulis, para peserta langsung praktik menuangkan gagasan. Karena latar belakang yang berbeda, beragam genre tulisan yang tercipta. Mulai dari liputan, opini, cerita anak, puisi, feature, hingga jurnal harian (diary).

Pada pengujung acara, para peserta bersama-sama memelajari 14 kriteria penulis yang baik. Referensinya dari buku "Jurnalisme Dasar" karya Luwi Ishwara. Isinya hasil penelitian Roy Peter Clark, staf di Poynter Institute for Media Studies. Salah satu ciri penulis yang baik adalah mereka melihat dunia bagaikan laboratorium jurnalisme. Sebuah gudang dengan gagasan cerita. Jika mereka ke lapangan pasti menemukan berita.

Menurut Miftah Bachria Saadah, kader pendamping pengembangan kreativitas perempuan berbasis budaya adiluhung, pelatihan menulis ini dapat membangkitkan semangat para peserta untuk membiasakan menulis setiap hari. Sehingga perempuan dapat menyuarakan budaya perempuan-perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan santun. “Rencananya setelah diedit seluruh hasil tulisan dalam pelatihan tersebut akan dimuat di blog http://perempuanjogjaadiluhung.blogspot.com/ supaya publik bisa membaca juga,” pungkasnya.
( RED )

Editor dan Foto : Nugraha Angkasa-Yogyakarta

Desember 16, 2013

Belajar Bahasa Inggris lewat Permainan

Dimuat di Suara Merdeka, Sabtu/14 Desember 2013

DUNIA anak-anak adalah dunia bermain. Penuh tawa, canda, dan keceriaan. Oleh sebab itu, pembelajaran Bahasa Inggris pun perlu disampaikan lewat permainan. Salah satunya dengan Inside Outside Game. Caranya sangat mudah dan dapat dimainkan oleh anak-anak usia 5 tahun ke atas.

Pertama, bagilah kelas menjadi dua kelompok. Misalnya dalam satu kelas terdiri atas 20 siswa, maka masing-masing kelompok terdiri atas 10 anak. Tak perlu dibedakan secara gender, boleh berbaur antara yang laki-laki dan perempuan.

Kedua, kelompok pertama diminta duduk bersila/timpuh. Jadi, sebelumnya perlu disiapkan alas, berupa karpet atau tikar. Sementara kelompok kedua diminta duduk di atas bangku. Alhasil, ada dua saf yang berbeda.

Ketiga, guru meminta salah satu siswa menjadi volunteer alias sukarelawan. Ia harus keluar kelas untuk beberapa saat. Tugasnya nanti menebak siswa/siswi yang berpindah tempat dari tempat duduknya. Jadi sebelum keluar ia harus memerhatikan dengan saksama susunan/barisan teman-temannya yang duduk. Baik mereka yang duduk bersila di atas karpet maupun yang duduk di atas bangku.

Keempat, selama sukarelawan tadi berada di luar (outside) kelas, anak-anak yang berada di dalam (inside) kelas boleh berdiskusi menentukan siapa yang mau berpindah tempat duduk. Minimal dua orang dan maksimal 4 orang. Agar tak terlalu mudah sekaligus tak terlampau sulit menebaknya.

Kelima, guru memanggil kembali anak yang keluar tadi. Setelah ia masuk ke dalam kelas, ia harus menunjuk siapa saja temannya yang berpindah tempat duduk. Untuk contoh instruksi dalam bahasa Inggris silakan menyimak dokumentasi Hollis Lima berikut ini http://www.youtube.com/watch?v=qcDDG1SqDxY.

Moralitas

Lewat permainan sederhana tersebut, anak-anak belajar menyimak (listening) instruksi dari guru atau fasilitator. Selain itu, mereka juga berlatih untuk bisa fokus memerhatikan susunan tempat duduk teman-temannya. Alhasil, indera pendengaran dan penglihatan mereka terstimuli secara optimal.

Dari aspek moralitas, anak-anak juga bersikap jujur dan fair. Bagi anak yang berada di luar (outside) tidak boleh mengintip dari balik jendela. Adapun bagi anak-anak yang di dalam (inside) tidak boleh memberi tahu, mereka harus diam dan bisa menjaga rahasia. Terakhir tapi penting, mereka belajar mempraktikkan percakapan dengan bahasa Inggris (conversation). Terutama tatkala berembuk menentukan 2-4 anak yang hendak berpindah tempat duduk. Selamat mencoba! (24)

—T Nugroho Angkasa SPd, guru privat Bahasa Inggris di Yogyakarta.


Potret Ketangguhan Penyandang Disabilitas

Dimuat di Harian Jogja, Kamis/12 Desember 2013

Shakepeare (23 April 1564 - 23 April 1616) mengatakan bahwa peradaban suatu bangsa berbanding lurus dengan tingkat apresiasi terhadap kaum perempuan. Bila diredefinisikan secara lebih makro, isu gender berkelindan erat dengan masalah diskriminasi. Bukan hanya kaum hawa yang dimarjinalisasikan, tapi juga penyandang disabilitas.

Kaum difabel memang masih dipandang sebelah mata. Padahal, mereka banyak yang lebih berprestasi. Kenapa? karena relatif lebih sadar diri. Alhasil, mereka melakukan apapun secara lebih tekun. Dalam rangka Hari Penyandang Disabilitas Internasional (3 Desember 2013), ada kisah nyata 2 orang tangguh yang layak disimak. Baik yang  difabel sejak lahir alias bawaan dan penyandang disabilitas akibat kecelakaan. 

Ternyata keterbatasan fisik tak bisa mengendurkan tekad untuk maju. Senada dengan pendapat Rina Shu, “Yang kubutuhkan semangat, bukan kaki.” Wanita ini terlahir dengan penyakit muscular dystrophy. Sepasang kakinya lumpuh. Akibat kelainan genetik yang menyerang fungsi otot. Tatkala balita lain mulai merangkak, Rina tak pernah mengalami langkah kaki pertama di tanah.

Untungnya, kedua orang tua Rina bersikap nrimo saja. Mereka tetap mengupayakan si kecil merasakan hidup senormal-normalnya. Bapak dan ibu tak pernah malu dengan keberadaannya. Bahkan Rina acapkali diajak ke kantor. Mereka membanggakannya di depan para rekan kerja. Hal ini membuat Rina tumbuh menjadi remaja yang penuh percaya diri.

Kendati demikian, saat duduk di bangku SMA, tubuh ringkihnya tak kuasa menahan himpitan beban fisik dan mental. Akibat tanggungjawab besar sebagai seorang pelajar. Penyakit asmanya pun sering kambuh. Alhasil, ia menjadi langganan rumah sakit. Setiap bulan Rina keluar-masuk untuk berobat. Bahkan bukan hanya dia yang sakit-sakitan, ibunya juga terserang stroke. Sehingga terpaksa beraktivitas di atas kursi roda.

Di negeri ini tak ada makan siang gratis. Biaya rumah sakit pun begitu mahal. Kondisi keuangan keluarga kian terpuruk. Uang pensiunan sekadar untuk menyambung hidup. Tabungan sudah ludes. Karena harus membayar ongkos operasi kanker usus ayah. Dengan berat hati, Rina memilih berhenti sekolah. Terbayang cita-citanya mau jadi ahli bahasa dan psikolog. Saat itu, gambarannya kian memudar. Namun, itulah keputusan yang terbaik.

Teman-teman datang menjenguk ke rumah. Mereka mengucapkan kata perpisahan sembari melinangkan air mata. Para guru menggenggam jemari tangan Rina. Mereka memberi dukungan bahwa hidup tetap bisa maju walau tanpa ijasah.

Hari-hari permulaan di rumah sungguh membosankan. Rina tak mau hidupnya berakhir seperti ini. Alpa memberi makna pada dunia. Betapa nista hidup ini, ibarat seonggok daging yang tercampak di atas bumi, lalu hilang ditelan waktu. Ia bertekad untuk berbuat sesuatu.

Kemudian Rina teringat kegemaran lamanya, yakni menulis. Ia mulai berpikir untuk memberi arti pada eksistensi. Caranya lewat merangkai kata di atas selembar kertas. Rina berinisiatif menulis cerpen dan mengirimnya ke majalah remaja. Namun berkali-kali ia menelan kekecewaan. Karena naskahnya dikembalikan bersama surat penolakan. Rina sempat ngambek dan mogok menulis. Ia merasa terlalu memaksakan diri dan berharap banyak dari dunia jurnalistik.

Akibatnya, ia kian terbenam dalam lembah keputusasaan, “Barangkali aku memang diciptakan untuk jadi manusia yang sekadar bernapas. Tanpa perlu memberi sumbangsih bagi dunia yang sudah mengijinkan aku tinggal di dalamnya,” batinnya. Singkat cerita, tiada yang abadi, pun termasuk kemalangan hidup. Rina kembali bangkit. Kecintaannya pada aksara - ditambah kondisi keluarga yang kian terpuruk - memaksanya untuk kembali bertekun dalam jagat kata.

Ternyata, ia menemukan ketenangan dan rasa aman saat menulis. Pena dan kertas menjadi sahabat terbaik. Rina bisa mencurahkan segala duka, suka, dan kecewa pada mereka.Tapi sekarang ada sedikit perubahan, ia tak lagi menulis cerpen. Rina memberanikan diri menulis novel. Setiap hari ia menulis kata demi kata, kalimat demi kalimat di atas lembaran kertas folio bergaris. Saat itu, ia tak memiliki komputer. Alhasil, prosesnya relatif lebih  lama.

Namum Rina percaya pada pepatah lama. Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada komputer pena pun oke. Alasannya masuk akal, kalau meununggu sampai ada komputer, waktunya akan terbuang sia-sia. Ada satu kisah menggetarkan. Sang ayah merasa bersalah karena tak bisa membelikan laptop. Di tengah penderitaan merasakan nyeri akibat kanker paru-paru, ayahnya menghampiri Rina di kamar. Beliau meminta maaf.

Hal itu kian memacu semangat Rina untuk menyelesaikan novelnya. Sehingga bisa membahagiakan keluarga dan mendapat penghasilan tambahan untuk mereka. Ironisnya, sang ayah terlebih dahulu dipanggil Tuhan. Sebelum novel itu terbit. Untuk mengenang kasih beliau, Rina menambahkan nama “Shu” di sampul buku. “Shu” merupakan modifikasi dari kata “Soerachmad”, nama belakang ayahnya.

Pada Januari 2011 Rina Shu menerbitkan novel pertama Kimi Shinjeteru secara independen (indie). Banyak komentar positif dari sidang pembaca. Ia berharap karyanya tak hanya memberi hiburan, tapi juga menyuntikkan inspirasi.

Hebatnya, pasca menjadi penulis terkenal, Rina Shu tetap rendah hati. Ia justru teringat pada teman-teman difabel lainnya. Menurut analisis dan pengalaman pribadinya, penyandang disabilitas sungguh sulit meraih kesejahteraan hidup. Namun sejatinya kendala itu bukan terletak pada keterbatasan fisik, melainkan pada kekurangseriusan pemerintah dalam menjamin apa yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara. Dalam hati, Rina Shu berjanji untuk mengangkat harkat hidup para difabel. Ia hendak membuktikan pada dunia bahwa mereka dapat memberi arti besar dalam hidup ini.

“Kaki ini boleh lumpuh, dan tak bisa membawaku ke tempat-tempat yang kuinginkan. Namun untuk melangkah sesungguhnya tidak memerlukan kaki. Yang diperlukan untuk melangkah adalah semangat yang besar…” begitulah pedoman hidup Rina Shu (Berjalan Menembus Batas, 2012).

Dua Detik

Pernahkah Anda berpikir bahwa ketika Anda bisa menggerakkan kaki untuk berjalan itu adalah anugerah? Persis dengan ketika bernafas. Betapa manusia, setidaknya saya, dahulu tidak pernah memikirkan bahwa bisa menghirup oksigen (O2) lantas mengeluarkan karbondioksida (CO2) itu juga sejatinya adalah anugerah yang tiada tara dari-Nya. Jalan … ya berjalan saja … bernafas saja … manusia tak pernah memikirkannya. Semuanya sudah serbaotomatis…

Begitulah renungan sederhana tapi mendalam dari Mulyanto Utomo. Pasca kunduran (tertabrak) mobil berbobot lebih dari 2 ton dan terseret sejauh 3 meter pada 4 April 2008 silam, jurnalis dari Solo tersebut patah tulang belakangnya. Alhasil, organ tubuh dari pinggang sampai ujung jempol kaki mati rasa dan tak bisa digerakkan sama sekali. Ia musti duduk di atas kursi roda. Saat itu baru penulis menyadari betapa dapat berlari-lari ke sana kemari mengejar bola tenis sungguh sebuah mukzijat.

Anak ke-5 dari delapan bersaudara ini bersepakat dengan pendapat Dr. Albert M. Hutapea MPH (Keajaiban-Keajaiban dalam Tubuh Manusia, 2008). Dalam alam raya memang banyak hal yang mengagumkan. Tapi, dari semua hal yang menakjubkan tersebut, sejatinya tubuh manusialah yang paling membuat orang berdecak kagum. Badan seseorang terdiri atas kelompok besar makhluk hidup berupa 100.000.000.000 (seratus miliar) sel.

Patah tulang punggung yang mendera penulis bukan perkara sepele. Dalam dunia medis disebut CMS (Cedera Modula Spinalis) atau CSJ (Spinal Cord Injury) alias cedera sum-sum tulang belakang. Saat dilarikan ke rumah sakit (RS), satu gerakan kecil saja mengakibatkan sekujur tubuhnya terasa dicabik-cabik. Seperti ada sepotong besi panas ditusukkan dari tubuh bagian bawah sampai menembus ubun-ubun.

Pasca operasi penampilan luar penulis begitu tegar, tapi sejatinya ayah 4 anak tersebut dihantui rasa cemas. Terutama terkait masa depan anak istri, pekerjaan, biaya perawatan rumah sakit, dan segala ketakutan duniawi akibat menjadi seorang paraplegia inferi. Eufimisme dari istilah penyandang disabilitas lumpuh total.

Untungnya, ia berkenalan via BBM (BlackBerry Messenger) dengan Pepeng Ferrasta Soebardi, artis ibukota yang mengidap multiple sclerosis. Cak Pepeng kehilangan fungsi saraf motorik, sensorik, dan otonom akibat terserang spesies virus langka. Dari gua Cinere, Cak Pepeng berbagi insight (pemahaman yang menyejukkan). Pelawak kondang tersebut membedakan antara pain dan sick. “Rasa nyeri alias pain tidak akan membuat manusia sakit atau sick, sakit secara kejiwaan. Asalkan manusia mampu mengatasi penderitaan dengan selalu mengingat Allah…” Pepeng memang menolak minum pain killer, karena menurutnya di masa depan dosis berlebihan bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal.

Tak hanya lewat upaya medis, Cak Mul (panggilan akrabnya) juga berupaya menempuh jalur alternatif agar bisa sembuh seperti sedia kala. Dari kakaknya yang tinggal di pelosok Madiun, ada resep rahasia seorang tetua. Yakni, dengan mengumpulkan puluhan bekicot untuk diambil cairannya yang berada di pucuk cangkang. Setelah terkumpul, sang kakak membawa langsung ke Solo. Cara lainnya dengan disetrum. Penulis duduk di kursi. Telapak kakinya menginjak lempengan besi yang dihubungkan dengan steker listrik.

Namun akhirnya, Cak Mul mengambil satu kesimpulan. Tak ada yang bisa mengembalikan fungsi saraf utama di tulang punggungnya. Ia menerima dengan lapang dada dan pasrah sumarah pada Sang Pencipta. Hebatnya, penulis tetap “tegak berjalan” dalam kelumpuhan. Terutama lewat guratan-guratan pena-nya. Walhasil, pada perayaan Hari Pers Nasional dan HUT ke-64 PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tahun 2010, Mulyanto Utomo dianugerahi predikat sebagai tokoh yang menginspirasi masyarakat (2 Detik Mengubah Hidup, 2012).

Akhir kata, Rina Shu dan Mulyanto Utomo dua sosok tangguh. Walau diterjang musibah tetap pantang menyerah. Kelumpuhan tak bisa merampas semangat untuk terus berkarya bagi sesama lewat guratan pena. Sepakat dengan tesis Cak Mul, “Rasa senang, bahagia, sedih, dan duka terkait dengan hati. Ketika manusia telah menemukan sandaran hati yang diilhamkan Tuhan, semuanya akan lebih mudah. Tuhanlah sandaran terkuat.” Selamat Hari Penyandang Disabilitas Internasional! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris, Editor, dan Penerjemah Lepas. Tinggal di Jogjakarta)





Desember 15, 2013

Kolaborasi Musik Lica Cecato dari Brazil dan Fombi dari Indonesia

Dimuat di Targetabloid.com, Jumat/13 Desember 2013

Kamis (12/12/2013) pukul 20.00-21.00 WIB di Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta musikus jazz asal Brazil, Lica Cecato berkolaborasi dengan delapan musikus muda Forum Musik Tembi (Fombi) dari Indonesia. Acara bertajuk “Paint Your Life, BrazIndo Musical Calours” ini gratis dan terbuka untuk umum.

Tepat pukul 20.00 pembawa acara, Maria menyapa ramah seluruh hadirin yang berjajar duduk di sisi selatan pendopo. Ia memaparkan sejarah singkat kelahiran Forum Musik Tembi. Fombi merupakan komunitas pelaku dan penikmat musik di bawah naungan Tembi Rumah Budaya. “Komunitas ini merupakan ruang kreatif untuk mengolah, mengembangkan, dan menyosialisasikan musik. Terutama di kalangan generasi muda. Fombi telah berdiri sejak Mei 2011. Untuk info lebih komplit silakan klik di www.tembi.net,” imbuhnya.

Sedangkan, Lica Cecato seorang penyanyi dan gitaris asal Brazil. Ia gemar menggabungkan puisi, tari, dan seni rupa dengan suara jazz yang berorientasi multibahasa. Putri seorang pemain saksofon dan cucu konduktor tersebut sudah terjun di jagat musik sejak 1985. Ia pernah mendapat beasiswa penuh dari Berklee College of Music dan memenangi Sarah Vaughan Award. 

Selain itu, pada 1994 Cecato berkontribusi dalam penyusunan Music of the World dalam perayaan ulang tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Album pertamanya Constelario dirilis di Brazil pada 2001 dan diproduksi oleh Junior Aguiar. Tahun-tahun berikutnya, ia aktif manggung di berbagai festival dan pameran seni di hampir seluruh penjuru dunia. Info selengkapnya bisa klik di www.licacecato.com

Selanjutnya, tanpa berpanjang lebar personil Fombi dan Lica Cecato segera naik ke pendopo. Mereka mempersembahkan hasil workshop collective creative. Selama 3 hari (9-11 Desember 2013) mereka telah berlatih dan menciptakan kreasi musik kolaboratif. Terdiri atas idiom musik Brazil dan musik tradisi Indonesia. Total ada 6 komposisi lagu dan musik yang dimainkan secara apik. Antara lain berjudul “Music Color”, “Bezo”, dan lain-lain. 

Di beberapa komposisi Lica Cecato memegang gitar dan menyanyi. Ia ditemani vokalis dari Fombi, Nisfulail Dwi Puspita. Pada alat musik pun relatif variatif tapi tetap terjaga keharmonisannya. Ada tabuhan kendang Sunda serta bonang Jawa dari Gigin, petikan gitar akustik dari Braniawan dan Praditya, hentakan jimbe dan drum dari Rukaya dan Tommy, serta alunan piano dan pianika dari Putri Dinda dan Gigih Pradipta. Irama samba ala Brazil dan sentuhan etnis ala Nusantara mengundang penonton untuk turut bergoyang bersama. 

Di jeda antar lagu,  Lica Cecato aktif berinteraksi dengan para penonton. Tapi karena menggunakan pengantar bahasa Inggris,  Nisfulail Dwi Puspita harus merangkap sebagai penerjemah. Cecato mengatakan, “This is the quality of music that will never be made again.Thank you for being here.” Artinya kurang lebih, inilah kualitas sebuah musik, apa yang telah dimainkan tak bisa dibuat sama persis di lain waktu. Terima kasih telah hadir di sini. (Red)

Editor dan Foto: Nugroho A - Yogyakarta