Desember 20, 2013

Semangat Pengabdian Para Jagoan

Dimuat di Tabloid Banten Muda, Edisi Desember 2013

Judul: Orang-Orang Hebat, Dari Mata Kaki ke Mata Hati
Penulis: Emanuel Dapa Loka
Penerbit: Altheras Publishing
Cetakan: 1/Juli 2013
Tebal: xxv + 223 halaman
ISBN: 978-602-14175-0-8
Harga: Rp50.000

Nama Gerson Poyk tak asing lagi di jagat jurnalistik Indonesia. Sederet karya sastra apik telah ia tulis. Pun aneka penghargaan telah ia raih. Antara lain Hadiah Sastra Asia Tenggara Sea Write Award (1989) dan Adinegoro Award 1986 berkat tulisan “Padang Sabana Timur dan Sumba”. 

Ia juga sudah menulis 30-an novel. Selain itu, lebih dan ribuan cerpen bertebaran di media massa. Kendati demikian, kehidupan sehari-harinya tetap biasa saja. Kesederhanaan - untuk tidak mengatakan miskin - kentara sekali dalam kehidupan pria kelahiran Ba’a, Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), 16 Juni 1931 tersebut.

Suatu ketika kedua matanya terserang penyakit katarak. Beruntung mata kanannya telah berhasil dioperasi. Tapi untuk mengoperasi mata kirinya, ia harus berhitung berkali-kali. Gerson mengaku belum memiliki uang. “Uang itu masih tersimpan di otak dan imaginasi saya,” ujarnya tatkala diwawancarai Emanuel Dapa Loka.

Saat itu, ia memang sedang menyiapkan beberapa buah cerpen untuk membiayai operasi mata kirinya. “Saya sedang menulis lima cerpen. Honornya akan saya pakai untuk operasi mata yang kiri ini,” ungkapnya sambil melepas kaca mata (halaman 88).

Dalam buku “Orang-Orang Hebat, Dari Mata Kaki ke Mata Hati” ini terungkap walau Gerson Poyk hidup serba pas-pasan, ia sangat dermawan. Setiap kali mendapat uang, yang pertama-tama ia ingat justru teman-temannya. Ia berkeliling mencari mereka menanyakan kabar dan menyumbang dari pendapatannya tersebut. “Sebab saya pernah merasakan penderitaan itu…” imbuhnya.

Gerson mengisahkan keadaannya tatkala tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan anaknya yang sekarat. “Di Bima, anak laki-lakiku menderita diare sampai tubuhnya menjadi sangat kurus – tinggal tulang seperti anak-anak afrika yang kelaparan. Hatiku berkata, kira-kira 3 hari lagi ia akan diambli kembali oleh Tuhan. Aku pasrah setelah beberapa hari memberinya obat-obatan dari dokter, ramuan dedaunan dan doa kesembuhan insan. Berjalan terapung-apung di suatu senja yang murung, menanti putraku satu-satunya diambil kembali oleh penciptanya…” (halaman 92).

Hebatnya, saat itu ia justru menggelisahkan masa depan Indonesia. Di matanya, Indonesia bukan semakin maju malah semakin mundur. Pengangguran dan kemiskinan kian bertambah. Menurutnya anak-anak negeri ini teralienasi dari bumi subur dan laut kaya. “Kaki kita berdiri di atas tanah dan laut yang subur, tetapi kepala kita ada di padang pasir! Mungkin saja bangsa ini sangat libinal. Religiositas etis yang mestinya membantu kita mengembangkan modal sehingga bisa mengirimkan orang ke bulan, dihambat oleh energi syahwat, nafsu kekuasaan, intoleransi, rasa rendah diri yang menimbulkan perilaku neurotik,” ujarnya meradang.

Mantan wartawan tersebut meyakini bahwa sastra bisa menjadi solusi. “Melalui karya sastra kita harus menari, jangan membunuh. Mari kita adakan akrobat moral!” Ia bercita-cita sederhana, yakni mendampingi anak-anak SMP dan SMA untuk mengelola majalah sendiri. Uang hasil penjualan untuk kas mereka. Kini aktivitasnya tetap membaca, menulis dan sesekali ke kebun dengan sepeda. Meski usianya telah senja, Gerson masih sering tidur larut malam, bahkan hingga pukul 02.00WIB untuk menulis.

Masih banyak kisah para jagoan lainnya dalam buku ini. Total ada 20 kisah inspiratif yang menggetarkan. Kalau ditambah dengan 2 kata pengantar dan 1 epilog, maka ibarat belajar ilmu Kung Fu sidang pembaca bisa berguru dari 23 jagoan. Siapakah mereka? Antara lain Fransicus Welirang, Zuhairi Misrawi, Andre Graff, Dewa Budjana, Frans Magnis Suseno, Vincentius Kirjito, St Kartono, Andre Moeller, Anthony Dio Martin, Christie Damayanti, Kebamoto, dan lain-lain.

Kisah perjuangan drg. Aloysius Giyai, M.Kes (40 tahun) juga layak disimak. Ia berasal dari keluarga miskin dan tinggal di wilayah terpencil di Deiyai, Papua. Daerah tersebut terkenal karena kematian komunal akibat wabah kolera dan penyakit malaria. Dari delapan bersaudara, 5 di antaranya meninggal dunia. Yang masih hidup tinggal dokter Alo, demikian ia akrab di sapa, Damianus Giyai dan Octavia Giyai, SE.

Kendati demikian, segala keterbatasan fasilitas dan keterisolasian wilayah di atas tak kuasa mengungkungnya. Dokter Alo berhasil menjadi Direktur RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) di Abepura. Hebatnya, Alo tak lupa pada akarnya. Dalam pelayanan medis, ia kerap menabrak aturan agar bisa menolong orang sakit dengan cepat.

Suatu hari, dokter Alo memberikan pelayanan kesehatan kepada keluarga miskin yang tidak memegang JPS-BK (Jaringan Pengaman Sosial Bidang Kesehatan). Ia melakukan “pelanggaran” karena tergerak oleh rasa belas kasihan saat melihat pasien yang tak berdaya. “Nurani saya terketuk. Saya tidak mungkin membiarkan mereka menderita apalagi sampai meninggal. Mereka cukup menunjukkan surat keterangan dari Pastor atau Pendeta atau Tua-tua adat. Mereka tak boleh mengalami yang lebih pahit dari yang pernah saya alami,” tekadnya

Ketika dimintai pertanggunganjawab dari Depkes karena 30% penerima layanan JPS-BK tidak terdaftar, ia menjelaskan detail pemakaian dana beserta bukti-buktinya. Semua atas nama kemanusiaan dan sumpahnya sebagai dokter. “Pihak Depkes di Jakarta malah memuji saya. Sepulang ke Jayapura, Gubernur JP Salossa (almarhum) juga memberi penghargaan,” ujar Alo sembari tersenyum (halaman 161).

Agar semangat pengabdiannya itu menular ke banyak orang, dokter Alo sudah menulis buku otobiografi berjudul Memutus Mata Rantai Kematian di Tanah Papua; Becermin pada Fakta RSUD Abepura. Buku yang diterbitkan PAKAR-Papua Pustaka Rakyat Papua pada November 2012 silam itu menyajikan racikan data dan fakta yang dirangkai dalam aneka kisah menarik, menyentuh, dan menggetarkan. “Bukan untuk menonjolkan diri saya, tapi agar keadaan di Papua diketahui banyak orang dan dicarikan solusinya segera.”

Jika ditelisik secara saksama ada satu nilai keutamaan yang dilakoni oleh para jagoan  dalam buku setebal 223 halaman ini. Senada dengan pengamatan R. Priyono dalam bagian kata pengantar, mereka menjadi hebat karena pengabdian yang total bagi rakyat, bangsa, dan negara tanpa meminta perhatian atau penghargaan khusus.

Jaya Suprana pun mengapresiasi upaya Emanuel Dapa Loka menuliskan profil mereka, “Bayangkan betapa hebat kisah sorang putera Indonesia yang dilahirkan dan dibesarkan di Pulau Sumba, NTT yang – tentu saja – sempat menjadi joki menunggangi kuda Sumba, kemudian mengembara ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu sambil mencari nafkah sebagai penjual buku dengan menunggangi sepeda onthel dan akhirnya berhasil menulis buku hebat yang sedang Anda baca ini” (halaman 223).

Akhir kata, buku ini membuktikan adagium lawas yang tetap relevan, tak ada makan siang gratis (there is no free lauch). Menyitir pendapat Haililah Tri Gandhiwati, Dosen Public Relations Universitas Mercu Buana, “Perjuangan, pengorbanan, usaha keras merupakan syarat mutlak untuk meraih cita-cita.” Selamat membaca!

Tidak ada komentar: