Desember 16, 2013

Potret Ketangguhan Penyandang Disabilitas

Dimuat di Harian Jogja, Kamis/12 Desember 2013

Shakepeare (23 April 1564 - 23 April 1616) mengatakan bahwa peradaban suatu bangsa berbanding lurus dengan tingkat apresiasi terhadap kaum perempuan. Bila diredefinisikan secara lebih makro, isu gender berkelindan erat dengan masalah diskriminasi. Bukan hanya kaum hawa yang dimarjinalisasikan, tapi juga penyandang disabilitas.

Kaum difabel memang masih dipandang sebelah mata. Padahal, mereka banyak yang lebih berprestasi. Kenapa? karena relatif lebih sadar diri. Alhasil, mereka melakukan apapun secara lebih tekun. Dalam rangka Hari Penyandang Disabilitas Internasional (3 Desember 2013), ada kisah nyata 2 orang tangguh yang layak disimak. Baik yang  difabel sejak lahir alias bawaan dan penyandang disabilitas akibat kecelakaan. 

Ternyata keterbatasan fisik tak bisa mengendurkan tekad untuk maju. Senada dengan pendapat Rina Shu, “Yang kubutuhkan semangat, bukan kaki.” Wanita ini terlahir dengan penyakit muscular dystrophy. Sepasang kakinya lumpuh. Akibat kelainan genetik yang menyerang fungsi otot. Tatkala balita lain mulai merangkak, Rina tak pernah mengalami langkah kaki pertama di tanah.

Untungnya, kedua orang tua Rina bersikap nrimo saja. Mereka tetap mengupayakan si kecil merasakan hidup senormal-normalnya. Bapak dan ibu tak pernah malu dengan keberadaannya. Bahkan Rina acapkali diajak ke kantor. Mereka membanggakannya di depan para rekan kerja. Hal ini membuat Rina tumbuh menjadi remaja yang penuh percaya diri.

Kendati demikian, saat duduk di bangku SMA, tubuh ringkihnya tak kuasa menahan himpitan beban fisik dan mental. Akibat tanggungjawab besar sebagai seorang pelajar. Penyakit asmanya pun sering kambuh. Alhasil, ia menjadi langganan rumah sakit. Setiap bulan Rina keluar-masuk untuk berobat. Bahkan bukan hanya dia yang sakit-sakitan, ibunya juga terserang stroke. Sehingga terpaksa beraktivitas di atas kursi roda.

Di negeri ini tak ada makan siang gratis. Biaya rumah sakit pun begitu mahal. Kondisi keuangan keluarga kian terpuruk. Uang pensiunan sekadar untuk menyambung hidup. Tabungan sudah ludes. Karena harus membayar ongkos operasi kanker usus ayah. Dengan berat hati, Rina memilih berhenti sekolah. Terbayang cita-citanya mau jadi ahli bahasa dan psikolog. Saat itu, gambarannya kian memudar. Namun, itulah keputusan yang terbaik.

Teman-teman datang menjenguk ke rumah. Mereka mengucapkan kata perpisahan sembari melinangkan air mata. Para guru menggenggam jemari tangan Rina. Mereka memberi dukungan bahwa hidup tetap bisa maju walau tanpa ijasah.

Hari-hari permulaan di rumah sungguh membosankan. Rina tak mau hidupnya berakhir seperti ini. Alpa memberi makna pada dunia. Betapa nista hidup ini, ibarat seonggok daging yang tercampak di atas bumi, lalu hilang ditelan waktu. Ia bertekad untuk berbuat sesuatu.

Kemudian Rina teringat kegemaran lamanya, yakni menulis. Ia mulai berpikir untuk memberi arti pada eksistensi. Caranya lewat merangkai kata di atas selembar kertas. Rina berinisiatif menulis cerpen dan mengirimnya ke majalah remaja. Namun berkali-kali ia menelan kekecewaan. Karena naskahnya dikembalikan bersama surat penolakan. Rina sempat ngambek dan mogok menulis. Ia merasa terlalu memaksakan diri dan berharap banyak dari dunia jurnalistik.

Akibatnya, ia kian terbenam dalam lembah keputusasaan, “Barangkali aku memang diciptakan untuk jadi manusia yang sekadar bernapas. Tanpa perlu memberi sumbangsih bagi dunia yang sudah mengijinkan aku tinggal di dalamnya,” batinnya. Singkat cerita, tiada yang abadi, pun termasuk kemalangan hidup. Rina kembali bangkit. Kecintaannya pada aksara - ditambah kondisi keluarga yang kian terpuruk - memaksanya untuk kembali bertekun dalam jagat kata.

Ternyata, ia menemukan ketenangan dan rasa aman saat menulis. Pena dan kertas menjadi sahabat terbaik. Rina bisa mencurahkan segala duka, suka, dan kecewa pada mereka.Tapi sekarang ada sedikit perubahan, ia tak lagi menulis cerpen. Rina memberanikan diri menulis novel. Setiap hari ia menulis kata demi kata, kalimat demi kalimat di atas lembaran kertas folio bergaris. Saat itu, ia tak memiliki komputer. Alhasil, prosesnya relatif lebih  lama.

Namum Rina percaya pada pepatah lama. Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada komputer pena pun oke. Alasannya masuk akal, kalau meununggu sampai ada komputer, waktunya akan terbuang sia-sia. Ada satu kisah menggetarkan. Sang ayah merasa bersalah karena tak bisa membelikan laptop. Di tengah penderitaan merasakan nyeri akibat kanker paru-paru, ayahnya menghampiri Rina di kamar. Beliau meminta maaf.

Hal itu kian memacu semangat Rina untuk menyelesaikan novelnya. Sehingga bisa membahagiakan keluarga dan mendapat penghasilan tambahan untuk mereka. Ironisnya, sang ayah terlebih dahulu dipanggil Tuhan. Sebelum novel itu terbit. Untuk mengenang kasih beliau, Rina menambahkan nama “Shu” di sampul buku. “Shu” merupakan modifikasi dari kata “Soerachmad”, nama belakang ayahnya.

Pada Januari 2011 Rina Shu menerbitkan novel pertama Kimi Shinjeteru secara independen (indie). Banyak komentar positif dari sidang pembaca. Ia berharap karyanya tak hanya memberi hiburan, tapi juga menyuntikkan inspirasi.

Hebatnya, pasca menjadi penulis terkenal, Rina Shu tetap rendah hati. Ia justru teringat pada teman-teman difabel lainnya. Menurut analisis dan pengalaman pribadinya, penyandang disabilitas sungguh sulit meraih kesejahteraan hidup. Namun sejatinya kendala itu bukan terletak pada keterbatasan fisik, melainkan pada kekurangseriusan pemerintah dalam menjamin apa yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara. Dalam hati, Rina Shu berjanji untuk mengangkat harkat hidup para difabel. Ia hendak membuktikan pada dunia bahwa mereka dapat memberi arti besar dalam hidup ini.

“Kaki ini boleh lumpuh, dan tak bisa membawaku ke tempat-tempat yang kuinginkan. Namun untuk melangkah sesungguhnya tidak memerlukan kaki. Yang diperlukan untuk melangkah adalah semangat yang besar…” begitulah pedoman hidup Rina Shu (Berjalan Menembus Batas, 2012).

Dua Detik

Pernahkah Anda berpikir bahwa ketika Anda bisa menggerakkan kaki untuk berjalan itu adalah anugerah? Persis dengan ketika bernafas. Betapa manusia, setidaknya saya, dahulu tidak pernah memikirkan bahwa bisa menghirup oksigen (O2) lantas mengeluarkan karbondioksida (CO2) itu juga sejatinya adalah anugerah yang tiada tara dari-Nya. Jalan … ya berjalan saja … bernafas saja … manusia tak pernah memikirkannya. Semuanya sudah serbaotomatis…

Begitulah renungan sederhana tapi mendalam dari Mulyanto Utomo. Pasca kunduran (tertabrak) mobil berbobot lebih dari 2 ton dan terseret sejauh 3 meter pada 4 April 2008 silam, jurnalis dari Solo tersebut patah tulang belakangnya. Alhasil, organ tubuh dari pinggang sampai ujung jempol kaki mati rasa dan tak bisa digerakkan sama sekali. Ia musti duduk di atas kursi roda. Saat itu baru penulis menyadari betapa dapat berlari-lari ke sana kemari mengejar bola tenis sungguh sebuah mukzijat.

Anak ke-5 dari delapan bersaudara ini bersepakat dengan pendapat Dr. Albert M. Hutapea MPH (Keajaiban-Keajaiban dalam Tubuh Manusia, 2008). Dalam alam raya memang banyak hal yang mengagumkan. Tapi, dari semua hal yang menakjubkan tersebut, sejatinya tubuh manusialah yang paling membuat orang berdecak kagum. Badan seseorang terdiri atas kelompok besar makhluk hidup berupa 100.000.000.000 (seratus miliar) sel.

Patah tulang punggung yang mendera penulis bukan perkara sepele. Dalam dunia medis disebut CMS (Cedera Modula Spinalis) atau CSJ (Spinal Cord Injury) alias cedera sum-sum tulang belakang. Saat dilarikan ke rumah sakit (RS), satu gerakan kecil saja mengakibatkan sekujur tubuhnya terasa dicabik-cabik. Seperti ada sepotong besi panas ditusukkan dari tubuh bagian bawah sampai menembus ubun-ubun.

Pasca operasi penampilan luar penulis begitu tegar, tapi sejatinya ayah 4 anak tersebut dihantui rasa cemas. Terutama terkait masa depan anak istri, pekerjaan, biaya perawatan rumah sakit, dan segala ketakutan duniawi akibat menjadi seorang paraplegia inferi. Eufimisme dari istilah penyandang disabilitas lumpuh total.

Untungnya, ia berkenalan via BBM (BlackBerry Messenger) dengan Pepeng Ferrasta Soebardi, artis ibukota yang mengidap multiple sclerosis. Cak Pepeng kehilangan fungsi saraf motorik, sensorik, dan otonom akibat terserang spesies virus langka. Dari gua Cinere, Cak Pepeng berbagi insight (pemahaman yang menyejukkan). Pelawak kondang tersebut membedakan antara pain dan sick. “Rasa nyeri alias pain tidak akan membuat manusia sakit atau sick, sakit secara kejiwaan. Asalkan manusia mampu mengatasi penderitaan dengan selalu mengingat Allah…” Pepeng memang menolak minum pain killer, karena menurutnya di masa depan dosis berlebihan bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal.

Tak hanya lewat upaya medis, Cak Mul (panggilan akrabnya) juga berupaya menempuh jalur alternatif agar bisa sembuh seperti sedia kala. Dari kakaknya yang tinggal di pelosok Madiun, ada resep rahasia seorang tetua. Yakni, dengan mengumpulkan puluhan bekicot untuk diambil cairannya yang berada di pucuk cangkang. Setelah terkumpul, sang kakak membawa langsung ke Solo. Cara lainnya dengan disetrum. Penulis duduk di kursi. Telapak kakinya menginjak lempengan besi yang dihubungkan dengan steker listrik.

Namun akhirnya, Cak Mul mengambil satu kesimpulan. Tak ada yang bisa mengembalikan fungsi saraf utama di tulang punggungnya. Ia menerima dengan lapang dada dan pasrah sumarah pada Sang Pencipta. Hebatnya, penulis tetap “tegak berjalan” dalam kelumpuhan. Terutama lewat guratan-guratan pena-nya. Walhasil, pada perayaan Hari Pers Nasional dan HUT ke-64 PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tahun 2010, Mulyanto Utomo dianugerahi predikat sebagai tokoh yang menginspirasi masyarakat (2 Detik Mengubah Hidup, 2012).

Akhir kata, Rina Shu dan Mulyanto Utomo dua sosok tangguh. Walau diterjang musibah tetap pantang menyerah. Kelumpuhan tak bisa merampas semangat untuk terus berkarya bagi sesama lewat guratan pena. Sepakat dengan tesis Cak Mul, “Rasa senang, bahagia, sedih, dan duka terkait dengan hati. Ketika manusia telah menemukan sandaran hati yang diilhamkan Tuhan, semuanya akan lebih mudah. Tuhanlah sandaran terkuat.” Selamat Hari Penyandang Disabilitas Internasional! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris, Editor, dan Penerjemah Lepas. Tinggal di Jogjakarta)





Tidak ada komentar: