April 29, 2013

Menjelajahi Pemikiran Budaya Umar Kayam dan Kuntowijoyo (Bagian 2)

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Selasa/30 April 2013
http://mjeducation.co/menjelajahi-pemikiran-budaya-umar-kayam-dan-kuntowijoyo-bagian-2/

Dialog

Selanjutnya, B. Rahmanto menjadikan pidato pengukuhan Guru Besar Umar Kayam di Fakultas Sastra UGM pada 19 Mei 1989 yang berjudul Transformasi Budaya Kita untuk belajar dari sejarah masa lalu. Ternyata dialog budaya masyarakat etnik dengan agama-agama besar seperti Budha, Hindu, dan Islam menciptakan sintesis yang mengagumkan. Misalnya dialog budaya dengan agama Budha, Hindu, dan Islam sejak era Sriwijaya, Mataram I, Singosari, Majapahit, Aceh, Makassar, Bone, kemudian Mataram II hingga Demak dan Pajang.
13672954141004839648
Partiningsih, Ika Ayu, B. Rahmanto (dari kiri ke kanan)
Dialog budaya tersebut menghasilkan arsitektur fisik seperti Borobudur, Mendut, Panataran dan juga arsitektur “dalam” seperti state-craft, kiat dan seni memerintah, konsep-konsep baru tentang kesenian: seni tari, seni pertunjukan, kesusastraan, dll.

Tapi pertanyaannya ialah mengapa masyarakat etnik yang sanggup dan mampu mengembangkan dialog budaya yang sedemikian kreatif sehingga menghasilkan karya monumental yang sampai saat ini masih tegak berdiri, tidak mampu bahkan bisa dikatakan tak berdaya menghadapi kebudayaan Barat yang direpresentasikan oleh Portugis, Belanda, Inggris, dll?

Pak Kayam dalam pidato tersebut menjelaskan alasannya. Karena peradaban Budha, Hindu dan Islam datang lewat jalur-jalur perdagangan yang konvensional sesuai kaidah yang dikenal dan diterima di Asia Timur dan Asia Tenggara, mereka masuk secara bertahap dan relatif damai. Perembesan budaya secara perlahan tersebut merupakan faktor signifikan terciptanya sintesis budaya. Sedangkan pedagang Barat datang dengan perang, penaklukan, dan kolonialisme. Mereka haus wilayah, doyan jalur perdagangan, dan memaksakan agama baru. Oleh sebab itu, satu per satu negara-negara di kawasan Asia Tenggara ditaklukkan dan dijajah.

Dalam situasi terpuruk tersebut, generasi muda merintis kemerdekaan Indonesia. Mereka melakukan terobosan-terobosan menembus setiap kendala yang membelenggu vitalitas.  Karena penjajahan memang terbukti telah mencegah dan mengurung perkembangan budaya kita sendiri.

Artinya, bangsa ini membutuhkan kepercayaan diri terhadap masa depan, kebanggaan pada kebudayaan kita sendiri, keberanian bersikap terbuka terhadap kultur lain, kepercayaan kepada kekuatan rakyatnya sendiri, sikap jatmika dan penuh simpati kepada masyarakat pinggiran. Bukankah mayoritas rakyat kita yang harus mengambil bagian dalam transisi sosial dan budaya bangsa?

Terakhir, B. Rahmanto menguraikan gagasan yang ada dalam novel Para Priyayi. Intinya ada proses transformasi konsep pengabdian Sumantri, Kumbakarna, dan Karna dalam Tripama. Selain itu, novel tersebut juga memuat transformasi konsep ngenger/penghambaan para priyayi pinggiran dan redefinisi konsep pasrah dan sumarah.

Adaptasi

Selanjutnya, giliran Partiningsih untuk urun rembug. Mahasiswi S2 Fakultas Ilmu Budaya UGM menyebut Kuntowijoyo sebagai akademisi sekaligus sastrawan. Karya beliau di dunia ilmu dan sastra sebanding jumlahnya. Karya ilmiah Kuntowijoyo fokus di bidang sejarah dan budaya (10 buku dan 50 judul tulisan). Tapi dalam diskusi kali ini, Partiningsih hanya membahas 4 novel, yakni Pasar (1972), Kotbah di Atas Bukit (1976), Mantra Penjinak Ular (2000), dan Waspirin dan Satinah (2003).
13672953701739705222
Partiningsih
Novel Pasar menggambarkan manusia Jawa dan perubahan sosial budaya dalam hidupnya. Pak Mantri, tokoh utamanya, merupakan sosok priyayi Jawa yang terpelajar, memiliki sopan santun, dan memegang erat tata karma. Kendati demikian, nilai-nilai tersebut justru menghambat kepemimpinannya sebagai petugas pasar, karena pasar mulai beranjak menuju alam modern.

Akhirnya Pak Mantri menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Paijo. Suksesi berlangsung lancar dan damai. Paijo dipilih karena dirinya merupakan representasi dari sintesis antara manusia Jawa dan kemodernan. Selain itu, usianya masih relatif muda, sehingga dapat mengikuti derap perubahan jaman.

Menurut pengamatan Partiningsih, keempat novel Kuntowijoyo di atas melukiskan kegelisahan antara tegangan dua kubu yang berbeda: desa-kota, jasmani-rohani, material-spiritual, modern-tradisi, dll. Novel Khotbah di Atas Bukit menggambarkan pergulatan dunia kota (mesin) dengan keadaan bukit yang tenang dan sunyi yang mampu membawa manusia pada perenungan hakikat kehidupan.

Novel Mantra Penjinak Ular mengetengahkan kesenian wayang yang menggeliat di tengah situasi politik Orde Baru. Novel Waspirin dan Warsinah mengabadikan perjuangan kaum miskin yang tak berdaya menghadapi rezim yang tak manusiawi dan menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya.

Terakhir, Partiningsih menyimpulkan sikap budaya Kuntowijoyo, “Nilai-nilai Barat atau modernisasi-lah yang harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai Islam dan budaya Jawa, bukan Islam dan Jawa yang harus menyesuaikan diri dengan selera Barat,“ ujar perempuan yang berkerudung tersebut.

1367295328611028102
Peserta Diskusi

Relevansi

Pada sesi tanya jawab, Afif mahasiswa S2 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM mengatakan bahwa pemikiran Umar Kayam mirip dengan gagasannya Romo Mangun, yakni tentang Generasi Pasca Indonesia. Beliau menggali konsep ini dari nasionalisme ala Syahrir.

Seyogyanya, masyarakat pasca reformasi menjadikan ide-ide Syahrir tersebut sebagai rujukan. Tapi tampaknya secara sosiologis ada anomali di sini. Karena pemikiran Umar Kayam, Romo Mangun dan Syahrir tak laku di Indonesia. Kenapa bisa seperti itu?

B. Rahmanto menanggapi begini, “Aneka perbedaan pendapat di era pasca reformasi ini kian mengukuhkan bahwa dialog itu memang sangat penting. Sebab menyitir pendapat Umar Kayam, “…selama dialog tidak ada, yang terjadi adalah hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang menang.”

Menurut Dr. Aprinus, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, acara diskusi ini juga untuk memperingati hari kelahiran Pak Kayam, 30 April mendatang. Tapi ternyata mencari pembicara yang mempelajari tokoh-tokoh intelektual dan budaya Indonesia relatif sulit, karena akademisi kita lebih banyak mempelajari tokoh-tokoh luar negeri. Selain itu, acara ini juga untuk menggairahkan kembali budaya berdiskusi di kota pendidikan ini. Dewasa ini, orang cenderung sibuk dengan perlengkapan gadget-nya masing-masing. “Ngobrol tentang nilai-nilai dan kemudian disosialisasikan ke masyarakat, itu yang penting,” ujarnya.

April 28, 2013

Menjelajahi Pemikiran Budaya Umar Kayam dan Kuntowijoyo (Bagian 1)

Dimuat di Majalah Pendidikan Onlene Indonesia, Senin 29 April 2013)
http://mjeducation.co/menjelajahi-pemikiran-umar-kayam-dan-kuntowijoyo-bagian-1/

1367208295709933186

Kamis pagi (24/4), hangat sinar matahari menemani kedatangan para peserta diskusi kebudayaan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Walau acara baru dimulai pukul 10.00 WIB, sejak jam 09.30 WIB area parkir Pusat Studi Kebudayaan di Jl. Lingkungan Budaya I, Sekip Utara sudah penuh sesak. Puluhan motor pengunjung berjajar di sisi selatan gedung yang terbilang sudah cukup tua tersebut.

Dalam undangan yang berwarna merah-putih tertulis, “Perkembangan kajian kebudayaan saat ini tidak dapat dilepaskan dari beragam pemikiran yang mengisi ruang diskursus kebudayaan. Kebudayaan yang dituntut untuk dapat memberikan alternatif solusi bagi persoalan negara bangsa kini tidak pernah sepi dari perdebatan. Di tengah ramainya dialog tentang kebudayaan yang makin santer, menilik ulang pemikiran kebudayaan dari para pemikir ‘lokal’ menjadi penting untuk dilakukan.” Artinya, budaya memiliki peranan penting dalam mengatasi problem-problem sosial-ekonomi dalam keseharian masyarakat.

Oleh sebab itu, pada April 2013 Pusat Studi Kebudayaan UGM memilih topik bahasan ihwal Umar Kayam dan Kuntowijoyo. Dua tokoh besar yang notabene sangat akrab dengan diskursus (perbincangan) kebudayaan di Indonesia. Tujuan diskusi publik ini untuk menggali kembali pemikiran beliau-beliau sehingga dapat dihadirkan secara lebih segar dalam konteks perbincangan kebudayaan modern.

1367122186952026548
Partiningsih, Ika Ayu, B. Rahmanto (dari kiri ke kanan)

Narasumber dalam diskusi yang dimoderatori oleh Ika Ayu tersebut ialah Drs. B. Rahmanto, M.Hum, Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma (membahas pemikiran budaya Umar Kayam) dan Partiningsih, Mahasiswa S2 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (membahas pemikiran budaya Kuntowijoyo). Pasca kedua pemantik diskusi menyampaikan paparannya masing-masing, barulah para peserta bisa menanggapi dalam sesi tanya-jawab.

B. Rahmanto membuka paparannya dengan kutipan cerita dari Prof. Dr. Faruk HT. Isinya mengisahkan pengalaman Faruk bersama Umar Kayam. Pada medio 1980-an, mereka sempat terlibat dalam penelitian mengenai ludruk di Surabaya. Karena metode riset yang dipilih adalah metode kualitatif dengan pengamatan langsung di lapangan dan melakukan wawancara mendalam dengan para responden, mereka tak punya pilihan lain selain mengunjungi beberapa pertunjukan ludruk yang digelar pada saat itu.

Mereka juga mengunjungi sebuah kampung di pinggiran kota Surabaya, Pak Kayam ingin bertemu dan melakukan wawancara langsung dengan para pemain ludruk. Lalu, mereka singgah di kediaman pimpinan kelompok kesenian tersebut. Wawancara berlangsung tak terlalu lama, mungkin hanya sekitar satu jam. Sesudah itu, mereka kembali ke pusat kota Surabaya.

Prof. Faruk sudah mencatat sederet informasi hasil wawancara Pak Kayam dengan  pimpinan dan anggota kelompok ludruk di atas. Ada informasi tentang terpojoknya ludruk ke pinggiran kota akibat serbuan bioskop, ada informasi mengenai asal-usul berdirinya kelompok kesenian tersebut, dan lain sebagainya.

Keesokan harinya, ketika Pak Kayam diminta memberikan ceramah di sebuah acara diskusi di kota Surabaya, yang akan dikatakan tentu soal kesenian ludruk yang telah mereka teliti bersama. Prof. Faruk membayangkan Pak Kayam akan bercerita mengenai persoalan seperti informasi yang sudah dicatatnya. Memang benar demikian, tapi ada informasi lain yang disampaikan beliau pada ceramah tersebut.

Di bagian awal pidato, Pak Kayam justru bercerita tentang suasana yang ada di dalam dan di sekitar rumah pimpinan ludruk yang mereka kunjungi tersebut. Ia bercerita mengenai kekumuhan tempat kediaman mereka, bercerita tentang aroma selokan yang berada tepat di depan rumah itu, dan bercerita pula tentang jamuan yang saat itu disuguhkan, yakni segelas air ber-es. Dalam hati mereka meragukan kesterilannya tapi demi menghormati tuan rumah, mereka tetap meminumnya sampai habis.

Dari kisah di atas, Prof. Faruk sekadar ingin menyampaikan bahwa Pak Kayam memang mempunyai memori yang kuat akan segala hal yang konkret. Ia selalu ingat bentuk apa pun yang pernah dilihatnya, entah yang terjadi di masa kanak-kanaknya maupun yang terjadi beberapa saat saja sebelum ia menceritakannya kembali. Ia pun cepat sekali menangkap dan mengingat kata-kata, istilah-istilah, nama-nama, gambar-gambar, suara-suara, dan dapat menceritakannya kembali dengan sangat hidup sehingga siapa saja yang mendengar ceritanya merasa seolah mengalami apa yang disampaikannya itu.

Lalu, dari segi metodologi penelitian, ternyata Pak Kayam tidak menyukai metode kuantitatif yang justru mengabstraksi realitas dalam bentuk yang samar dan terlalu sumir sehingga memposisikan objek penelitian sebagai aktualisasi yang terbelenggu dalam model-model general.

1367122272440363958
B. Rahmanto

Setelah menuntaskan cerita dari Prof. Faruk tentang sosok Pak Kayam, B. Rahmanto menyampaikan kegelisahannya sebelum mulai merunut pemikiran budaya Umar Kayam. Apakah dengan mempelajari buku-buku ilmiah karya Pak Kayam, cerpen-cerpennya, novel-novelnya, atau melalui ingatan ketika kuliah di Pusat Studi Kebudayaan di Bulaksumur, di warung-warung makan tempat ia kerap ditraktir, atau saat diundang jamuan makan di rumah dinas beliau?

Akhirnya, dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma membatasi pencariannya atas pemikiran budaya Prof. Umar Kayam melalui 3 rujukan, yakni Pembebasan Budaya-budaya Kita (Pidato Kebudayaan pada 18 Agustus 1989), Transformasi Budaya Kita (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada 19 Mei 1989), dan novel Para Priyayi.

Transformasi

Sejak dulu, Pak Kayam sudah menawarkan tinjauan sejarah kebudayaan lengkap dengan analisisnya. Mulai dari proses Jawanisasi atau Indonesianisasi terhadap pengaruh kebudayaan India hingga zaman pasca Mataram awal, pengaruh Islam, datangnya orang Barat, sampai sebelum dan sesudah kemerdekaan RI.

Menurut Pak Kayam, transformasi budaya merupakan suatu proses yang lama, bertahap-tahap dan pada saat yang sama dapat juga dimaknai sebagai sebuah titik balik (turning point) yang cepat, bahkan abrupt (mendadak).

Lantas, beliau mengutip pendapat Weber, ternyata transformasi masyarakat Eropa menjadi masyarakat kapitalis terjadi karena di dalam tubuh budaya masyarakat Eropa sudah terkandung “bumbu-bumbu” (ingredient) budaya yang niscaya melahirkan “semangat kapitalisme tersebut.”

B. Rahmanto yang menjabat sebagai editor Majalah Basis tersebut mengaitkan tesis di atas dengan konteks Indonesia. Kembali ia merujuk pada pemikiran kebudayaan Prof. Kayam. Ada dua jalur yang saling berkelindan dalam proses transformasi budaya di tanah air.  Pertama, transformasi budaya yang menarik budaya etnik ke tatanan budaya negara-kebangsaan. Ini merupakan konsekuensi dari komitmen untuk bersedia bersatu bernaung di bawah satu negara-kebangsaan yang berbentuk satu republik kesatuan. Kedua, transformasi budaya yang menggeser budaya agraris ke tatanan budaya industri modern. Ini merupakan konsekuensi dari komitmen untuk mengubah sistem ekonomi pertanian tradisi menjadi suatu sistem ekonomi industri dan perdagangan.

(Bersambung)
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi

Panduan Hidup Berkesadaran

Dimuat di Radar Seni, Minggu/28 April 2013

Judul: Sanyas Dharma, Sebuah Panduan bagi Penggiat dan Perkumpulan Spiritual
Penulis: Anand Krishna
Penerbit:  Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/Desember 2012
Tebal: viii + 500 halaman
ISBN: 978-979-22-9105
Harga: Rp88.000 

Proses penggarapan buku ini tergolong fenomenal. Karena ditulis tatkala Anand Krishna menanti detik-detik eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) di Padepokan Anand Ashram Ubud, Bali. Pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006) tersebut lantas dijemput paksa dan diterbangkan ke Jakarta pada Sabtu, 16 Februari 2013 silam.

Terkait perampasan hak kebebasan dan pelanggaran HAM tersebut, Prof. M.A.S Hikam langsung angkat bicara dan memberikan dukungan moril. Menristek pada era mendiang Gus Dur tersebut menulis di http://www.mashikam.com/2013/02/pemanggilan-paksa-dg-kekerasan-thd.html?spref=tw, “Nasib pejuang HAM dan tokoh spiritual Anand Krishna (AK) sungguh menyedihkan. Upaya untuk menjebloskan beliau ke bui secara paksa dan kekerasan pun dilakukan oleh pihak Kejaksaan. Padahal cara-cara tersebut selain melanggar aturan hukum yang berlaku, juga menampilkan arogansi dan kesewenangan. Kasus yang dihadapi Pak AK menjadi perhatian internasional karena begitu banyak kecurangan dan pelanggaran yang dilakukan pihak Jaksa sejak masih di PN Jaksel. Bahkan, putusan bebas murni pun kemudian dilanggar dengan kasasi oleh MA yang mencabutnya. Apa yang menimpa Pak AK adalah bukti nyata bahwa kendati negeri ini telah mengalami reformasi, tetapi hukum belumlah menjadi panglima. Semoga Pak AK tetap bersabar dan bertahan dalam melawan kesewenang-wenangan. Dan para pendukungnya pun tidak terprovokasi oleh prilaku aparat. Saya yakin kebenaran pada akhirnya akan menang, kendati kejahatan ditopang oleh kekuasaan sebesar apapun.”

Untungnya, “Sanyas Dharma” lebih dahulu terbit, yakni pada akhir Desember 2012. Kini aktivis spiritual lintas agama tersebut dibui di LP Cipinang karena tuduhan kasus merek orang lain http://news.detik.com/read/2012/11/14/100955/2091191/10/astaga-jaksa-pakai. Kendati demikian, visi “Satu Bumi, Satu Langit, Satu Umat Manusia” dan pemikiran pluralistisnya terus terdiseminasi luas ke khalayak ramai lewat karya tulis ini.

Secara epistemilogis, istilah “sanyas dharma” terdiri atas 2 kata. “Sanyas” arti harafiahnya jalan(nyasa) pelepasan keduniawian dari keterikatan (sam) sehingga seseorang dapat mengintegrasikan diri dengan kehendak Ilahi (ni asa). Sedangkan, “dharma” sinonim dengan kebajikan atau berbuat baik. Jadi “sanyas dharma” berarti jalan untuk melepaskan diri dari keterikatan duniawi dengan cara berbuat kebajikan bagi sesama seturut kehendak Ilahi.

Menurut Anand Krishna, dalam tradisi leluhur kita di wilayah peradaban Sindu yang membentang dari Afganistan (Kandahar) sampai Australia (Astraley), masa kehidupan manusia dibagi menjadi 4 domain.

Pertama, Brahmacharya Ashram yakni masa ketika seorang anak dan remaja belajar menemukan potensi dirinya. Tapi bukan sekadar mengenali potensi diri, pun mengembangkan dan mengolahnya lewat aneka kegiatan kreatif. Lalu, pada akhir masa pendidikan tersebut ia  menerima gelar sarjana alias sang kreator. Lazimnya proses ini terjadi pada usia 20-25 tahun.

Kedua, Grahasthya Ashram merupakan masa ketika seseorang sudah memiliki pekerjaan tetap dan memutuskan untuk hidup berkeluarga. Ia berkomitmen untuk membina jalinan rumah tangga dan menunaikan seluruh tanggung jawab sebagai orang tua.

Masa ini berlanjut hingga usia 48 tahun saat seseorang sudah menyelesaikan tanggung jawabnya terhadap anak-anak. Dalam pengertian, anak-anaknya sudah meraih pendidikan dan mulai dapat hidup mandiri. Masa ini masih bisa diperpanjang lagi, tapi batas maksimal sampai usia 60 tahun. Nah saat itulah, ia diharapkan sudah selesai mengurusi keluarga.

Ketiga, Vanaprashta Ashram ialah masa seseorang mengunakan seluruh waktu dan energinya untuk mendalami laku spiritual. Masa ketika dia tidak lagi mengurusi urusan duniawi.

Agar lebih optimal mengolah diri dan mendalami spiritual, seorang vanaprashti boleh bergabung dengan salah satu ashram atau padepokan. Sehingga selain mendalami spiritual, ia juga dapat membaktikan diri untuk kepentingan umum.

KeempatSanyas Ashram inilah tahap akhir kehidupan anak manusia. Orang yang telah memasuki masa sanyas hendaknya melepaskan segala macam kemelekatan duniawi.

Ia tidak lagi membedakan antara anak orang lain atau anaknya sendiri. Ia mampu  menghormati dan menghargai segenap titah ciptaan tanpa pilih kasih.  Alhasil, ia berbagi kedamaian, kasih, dan harmoni bagi siapa dan apa saja. Oleh karena itu, ia disebut sebagai sadhu alias pembawa berkah (halaman 12).
 
Melampaui Ego

Hambatan utama bagi pejalan spiritual ialah bagaimana memangkas belukar ego. Pelampauan ego ini merupakan langkah awal yang mesti ditempuh. Tanpa mengambil langkah pertama tersebut, dia tidak akan pergi ke mana-mana (nowhere). Menurut penulis 160 buku lebih ini, ego selalu terburu-buru. Ia pun suka mencari jalan pintas (short cut). Dan demi kepentingan egoistik tersebut, ia tega menyengsarakan, memfitnah, dan mencelakakan orang lain.

Buku ini tak sekadar memuat teori njlimet yang membuat dahi mengerut dan kepala pusing, tapi juga begitu membumi dengan memberi contoh-contoh praktis. Referensi utamanya ialah wejangan dari Swami Kriyananda. Misalnya ketika ada orang yang memuji kita, ucapkan terimakasih dengan bibirmu. Tapi jauh di dalam lubuk hatimu, tetaplah ingat bahwa dirimu hanya sebuah alat di tangan-Nya (halaman 111).

Sebaliknya, jika seseorang diremehkan, maka sadarlah betapa tidak pentingnya dirimu. Secara lebih mendalam diuraikan bahwa setiap orang yang merasa diri penting dan seolah kehidupan di atas muka bumi akan berakhir jika pendapatnya tidak didengar, atau dirinya sudah tidak ada lagi, sesungguhnya hanya bermimpi semu untuk mengelabui diri sendiri.

Lalu, Swami Kriyananda berbagi pengalamannya riil sendiri. Suatu ketika beliau diundang sebagai salah satu narasumber dalam pertemuan membahas rencana pembentukan komunitas spiritual. Di antara sederet pembicara yang memiliki nama besar, sesungguhnya hanya Swami Kriyananda saja yang memiliki pengalaman konkrit di lapangan. Para pembicara lainnya sekadar membahas seturut pengetahuan intelek belaka. Ironisnya, dalam pertemuan tersebut tidak ada seorang pun yang memperhatikan saran-saran Swami Kriyananda.

Hal semacam ini acap terjadi. Mereka yang tidak atau belum mengenal kehidupan dalam komunitas spiritual sering memiliki stigma negatif. Padahal jika berani berjujur dengan diri sendiri, pandangan miring tersebut merupakan cerminan negativtas dalam diri mereka sendiri. Ada yang mengatakan  padepokan meditasi identik dengan pengkultusan seorang pemimpin atau guru, ada yang menganggapnya tidak berkontribusi terhadap masyarakat, dan sederet pandangan bernada minor lainnya.

Kendati demikian, Swami Kriyananda tidak merasa tersinggung, beliau malah mengundang para pembicara untuk makan bersama di suatu restoran. Pikir sang Swami, dalam keadaan yang lebih santai dan informal mereka mau mendengarkan pengalaman dirinya hidup dalam suatu komunitas spiritual. Sehingga dapat menjadi referensi berharga bagi kebaikan komunitas yang hendak mereka dirikan kelak.

Ternyata pucuk dicinta ulam tak kunjung tiba, harapan tinggal harapan semata, realitasnya tak pernah demikian. Persis seperti saat berada di ruang pertemuan, mereka sibuk dengan teori-teori muluk mereka, tentu sesuai bidang yang mereka kuasai masing-masing. Sehingga tak tersedia ruang untuk dialog, apalagi berbagi dari hati ke hati (heart to heart).

Uniknya dari pengalaman tersebut Swami Kriyananda belajar, “Saat itu aku baru menyadari betapa tidak pentingnya diriku. Dan kesadaran itu membebaskan diriku dari segala macam harapan dan pikiran. Aku merayakan kesadaran itu!” (halaman 134).

Akhir kata, buku ini niscaya memfasilitasi siapa saja yang hendak belajar hidup berkesadaran. Sebuah panduan berharga untuk meniti ke dalam diri, menemukan jati diri, dan berbagi mutiara pencerahan dengan segenap titah ciptaan. Sebab menyitir pendapat BR Indra Udayana, Pendiri dan Pengasuh Ashram Gandhi, “Penegasian terhadap kehidupan duniawi bukan berarti meninggalkan dunia, melainkan justru memberi arti yang utuh atas eksistensi dunia ini.” Selamat membaca!

1367148231502024126

April 24, 2013

Susno Duadji Gagal Dieksekusi, Anand Krishna Tetap Dibui, Kok Bisa?


RIMANEWS - Sebagai orang awam yang tak begitu paham hukum, saya mengernyitkan dahi sembari geleng-geleng kepala tatkala menyaksikan proses (percobaan) eksekusi lewat layar kaca (live) terhadap Susno Duadji di kediamannya di Jalan Dago Pakar Nomor 6, Kelurahan Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Rabu (24/4/2013) silam.

Pertanyaannya,  apa yang membuat bingung? Yakni karena pihak kejaksaan tebang pilih. Senada dengan pendapat Anggota Komisi III DPR, Eva Sundari, “Anand Krishna (AK) dengan kasus yang sama, yaitu tidak terpenuhi KUHP pasal 197 yang harusnya batal menurut hukum ada pemaksaan eksekusi. Aparat kajari Jakarta Selatan dikerahkan, dibantu polisi setempat menangkap paksa AK. Tapi ternyata untuk Susno Duadji (SD) dan salah satu bupati didiamkan saja hingga saat ini.”

Selain itu, politisi PDIP tersebut juga menyoroti perlindungan yang diberikan Polda Jabar kepada Susno Duadji. Seharusnya polisi netral dan tak memihak (Sumber: http://news.detik.com/read/2013/04/24/210917/2229706/10/susno-gagal-dieksekusi-komisi-iii-pengacara-bisa-perintah-polri-ya?991101mainnews).

Di sisi lain, pihak pengacara mantan Kabareskrim Mabes Polri tersebut memaparkan alasan penolakan mereka. Salah satunya karena dalam putusan di tingkat pengadilan tinggi (PT) terjadi kesalahan fatal. Kasus orang lain dipakai untuk menjerat Susno. Nah ternyata setali tiga uang dengan modus operandi yang dilakukan untuk mengkriminalisasikan Anand Krishna. Parahnya lagi, itu justru terjadi di tingkat MA (Mahkamah Agung).

Putusan MA terhadap Krisna Kumar Tolaram Gang Tani alias Anand Krishna terdapat kejanggalan juga. Dalam putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencantumkan kasus pidana merek sebagai salah satu alasan kasasi.

Seperti dalam salinan putusan Anand Krishna yang di-download dari website MA, Rabu (14/11/2012), dalam halaman 38 muncul pertimbangan JPU Martha Berliana Tobing mengajukan kasasi:

“Bahwa sebagai bukti bagi Judex Juris tentang tidak pedulinya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap fakta hukum yang tertuang dalam tuntutan pidana kami dapat dilihat dari putusan yang dibuat oleh Judex Facti Nomor 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 yang tidak secuil pun menyinggung tuntutan pidana kami sehingga dengan demikian sungguh cukup beralasan demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum untuk menganulir putusan Nomor 20/Pid/2006/PT/Bdg tanggal 21 April 2006 yang dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat.”

Setelah ditelusuri, nomor perkara 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 adalah sengketa pidana merek. Dalam berkas perkara MA tersebut, duduk sebagai terdakwa Erik Mulya Wijaya.

Erik didakwa atas perbuatan yang melanggar pasal 24 ayat 1 UU No 5/1984 tentang Perindustrian. Di tingkat kasasi, Erik dihukum 2 tahun penjara karena menggunakan merek yang sama dengan merek yang terdaftar milik pihak lain (Sumber: http://news.detik.com/read/2012/11/14/100955/2091191/10/astaga-jaksa-pakai-kasus-pidana-merek-untuk-kasasi-anand-krishna).

Yusril Ihza Mahendra menganalogikannya secara gamblang, “Saya maling ayam, lalu Anda yang dihukum, mau?” tanyanya kepada reporter salah satu televisi swasta. Kemalasan staf pengadilan membuat mereka suka copy paste. Secara lebih makro, pakar hukum tata negara itu menandaskan betapa kacaunya persidangan kita. Alhasil, tidak ada kepastian hukum di negeri ini. Bagaimana bangsa Indonesia bisa maju?

Dalam blog pribadinya, AS Hikam juga turut mengomentari anomali hukum ini. Menristek pada era Gus Dur itu menulis, “Eksekusi paksa terhadap Susno Duaji (SD) oleh pihak Kejaksaan, ada miripnya dengan yang terjadi dengan kasus Pak Anand Krishna (AK). Pihak Kejaksaan mengklaim menjalankan putusan MA sementara SD dan AK menganggap putusan tersebut tidak sesuai dengan aturan hukum.

Tindakan Kejaksaan adalah eksekusi secara paksa pada kedua terdakwa. Namun kemiripan itu stop sampai di sini. Dalam eksekusi paksa terhadap Pak AK, pihak kepolisian (Bali) justru membantu Kejaksaan, yang tak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap pendukung Pak AK di Ashram Ubud, sehingga beberapa perempuan mengalami luka. Sementara, dalam kasus SD, sampai status ini diposting, tampaknya Polda Jabar justru melindungi SD dari tim Kejaksaan dengan membawa sang mantan Jenderal Polisi tersebut ke Mapolda.

Memang, ketika Pak AK dulu dieksekusi paksa pun, beliau pergi ke Mapolda untuk menghindari kekerasan lebih jauh. Namun, alih-alih ada negosiasi, beliau malah langsung di bawa ke Jakarta dan masuk ke penjara Cipinang. Kita belum tahu apakah dari sana SD juga akan menuju ke balik jeruji, karena konon pihak Kejaksaan dan pengacara SD sedang negosiasi di Mapolda. Apakah mungkin karena Pak AK bukan mantan Jenderal Polisi, sehingga tidak perlu repot-repot negosasi? Wallahua’lam…” (Sumber: http://www.mashikam.com/2013/04/kisah-dua-eksekusi-paksa-kejaksaan.html)

Secara kritis AS Hikam juga mempertanyakan standar ganda yang diterapkan aparat kepolisian, “Terlepas dari persoalan hukum (yang mbulet menurut orang yang bukan pakar hukum seperti saya), tetapi sikap Polri dalam soal SD ini sungguh memalukan dan terang–terangan manipulatif. Polisi melakukan “penyelamatan” dengan alasan yang sangat hebat: karena diminta oleh warganegara (SD) yang merasa terancam keselamatan dan keamanannya (sambil menyitir pasal-pasal dari UU Hanneg No 3/2002).

Argumen ini terdengar hipokrit jika kita bertanya: apakah Polri juga melakukan hal yang sama kepada Pak Anand Krishna? Apalagi kepada rakyat kecil yang tiap hari terancam preman, jemaah Ahmadiyah yang terancam nyawa dan terusir, jemaah Syi’ah yang diusir dar kampungnya, dll? Jawabannya cuma satu kata: Mbelgedhes!!

Mengerikan! Hukum bisa hancur di tangan para penegak hukum! Itulah yang disebut “rule BY law” sebagai lawan dari “role OF law.” (Sumber: http://www.facebook.com/mashikam?fref=ts) (tna)

April 23, 2013

Angin Perubahan Itu Dihembuskan Oleh Pemudi Berusia 16 Tahun

Dimuat di Majalah Pendidikan Online, Rabu/24 April 2013

“UN 2013 bagaikan konser band gak mutu, terus panggungnya ambrol!” – Iwan Pranoto

Arita Gloria Zulkifli  (Arita Kiefl) layak disebut sebagai pelopor transformasi dunia pendidikan di republik ini. Ia siswi kelas XII SMA Charitas Jakarta yang berani berbicara blak-blakan ihwal karut-marut pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2013.
Wawancara eksklusif dengan pemudi yang masih berusia 16 tahun ini ditayangkan live oleh Metro TV pada Jumat malam (19/4). Semoga ada yang mengunggah rekamannya di Youtube agar lebih banyak anak negeri yang menonton dan tergetar hatinya. Semula Arita menulis di sebuah portal jurnalisme warga pada Senin siang (15/4). Ia baru pulang merampungkan UN hari pertama dan langsung menumpahkan isi hati:

**
Keluhan Lembar Jawab Ujian Nasional (LJUN) (Curahan Hati Seorang Pelajar)

Tulisan ini bukan provokasi, bukan intimidasi, hanya bentuk curahan hati penyesalan dan kekecewaan seorang siswi SMA kelas XII berumur 16 tahun yang merasa “dijahili’.

Hari ini tanggal 15 April 2013 bisa dibilang hari penentu bagi kami siswa-siswi kelas 12 SMA seluruh Indonesia. Hari ini, rutinitas tahunan Ujian Nasional dilaksanakan secara serempak se-Indonesia (meskipun beberapa daerah, terpaksa diundur).

Rasa takut pasti ada, wajar, kami pelajar biasa, bukan super. Meski sering kali kami mengeluh karena adanya UN dengan segala kecurangan yang sekarang ‘nyaris’ dianggap kebenaran ini yang dilakukan oleh BANYAK oknum, namun inilah negara tercinta kami, mau tak mau harus dijalani.

Tak bisa dipungkiri kecurangan UN memang ada dimana-mana, bahkan aku ditawari secara cuma-cuma, dan bukan munafik teman tercinta pun banyak yang mengandalkannya. Syukur, teman-teman yang ku maksud bukan teman sekolah, kami semua bersih. Sampai mati aku gak bakal pakai ‘contekan’, aku bukan pecundang. Lebih baik aku gagal karena PRINSIP, keteguhan hati, nurani dan akhlak, daripada berhasil karena curang. Bukan idealis, hanya realistis.

Namun, bukan kecurangan itu yang ku maksud, bukan itu masalahku. Hari ini, pada saat ini, aku sangat kecewa dengan LJUN yang digunakan tahun ini. Hanya selembar kertas ’se-level’ kertas HVS yang biasa kugunakan untuk coret-coret gak jelas. Bahkan ketika bulatan yang kupilih dihapus, cetakannya ikut terhapus.

Bukan itu kualitas yang kami harapkan! Fotokopi 100 perak saja cetakannya susah dihapus bahkan gak bisa. Bayangkan betapa riskannya LJUN tersebut. Padahal, kami selalu diwanti-wanti agar LJUN tetap rapi dan tidak bolong.

Beberapa nomor yang kuhapus nyaris bolong kertasnya ketika hendak dibulatkan kembali (tentu sudah dengan teliti dan sehalus mungkin). Bahkan LJK (Lembar Jawab Kerja) Try Out kami sehari-hari jauh lebih baik kualitasnya daripada LJUN. Bukan mau sok tahu, namun ini kenyataan yang kami hadapi, siswa-siswi yang merasa dikadali.

Bukan mau menghakimi, namun hanya ingin tahu. Apa anggaran sejumlah Rp 120.457.937.603,00 tidak cukup untuk memberikan kualitas yang terbaik buat generasi penerus bangsa? Gak muluk-muluk, kami hanya ingin diberikan fasilitas yang selayaknya. Kami merasa hanya sebagai proyek tahunan dari beberapa oknum nakal yang ingin dapat ‘bonus’ cuma-cuma. Jangan salahkan kami atas persepsi ini, setiap hari yang kami tonton dan baca cuma berita negatif dan KORUPSI.

Kami hanya berharap, kami siswa-siswi penerus bangsa, tidak dipandang sebelah mata lagi. Jangan rusak masa depan kami. Jangan terus-terusan jadikan kami ‘kelinci percobaan’, dengan segala proyek baru baik yang sudah dijalankan maupun yang akan dilaksanakan.

Mungkin banyak siswa-siswi yang gak merasa buruknya kualitas LJUN ketika dihapus, karena mungkin mereka hanya menyalin dan tidak perlu menghapus. Namun, lebih banyak lagi pelajar yang merasa kalau LJUN tersebut memang tidak layak. Aku punya banyak bukti, dari ocehan pelajar-pelajar di sosial media.

Sekali lagi, ini bukan provokasi, cuma curahan hati seorang pelajar dan jutaan pelajar lain, gak lebih. Mohon dimengerti. Saya cuma berharap, UN tahun yang akan datang, bahan kertasnya bukan kualitas tisu, tapi harus dipertebal.

Kecil (pelajar), bukan berarti tidak bisa unjuk rasa. Semua orang berhak menegakkan kebenaran. Saya tidak mau lagi berpura-pura ‘tidur nyenyak’ di ‘rumah sendiri’ yang jelas-jelas dikepung ‘maling’. Namun, hati kecilku ini akan terus berusaha percaya, tanah airku akan pulih. Salam sukses buat semua siswa-siswi kelas 12 SMA! Jangan jadi pecundang, percaya sama diri sendiri.

Arita Gloria Zulkifli (Arita Kiefl), 16 tahun
SMA Charitas

**

Penulis sengaja menampilkan curahan hati nan polos tersebut secara utuh, tanpa editing sama sekali. Walau memang banyak penulisan yang tak sesuai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) tapi toh yang penting ialah esensi dan semangatnya. Lantas, spirit apa yang tersirat di balik keluhan seputar LJUN (Lembar Jawaban Ujian Nasional) di atas?

Pertama, kejujuran. Ia mengaku ditawari bocoran UN oleh seorang kenalan via BBM (BlackBerry Messenger), tak tanggung-tanggung lengkap ada 20 tipe jawaban. Bahkan, ia tak harus membayar sepeser rupiah pun alias gratis. Namun jawaban Arita patut diacungi dua jempol, “Sampai mati aku gak bakal pakai ‘contekan’, aku bukan pecundang. Lebih baik aku gagal karena PRINSIP, keteguhan hati, nurani dan akhlak, daripada berhasil karena curang. Bukan idealis, hanya realistis.”

Sikap tanpa kompromi pada nilai kejujuran semacam itu yang dibutuhkan negeri ini untuk bangkit. Seorang pembaca sontak menanggapi, “Senang mendengar masih ada pelajar yang jujur, tidak mau menyontek sama sekali. Keep the spirit, masa depanmu sama sekali tidak tergantung sama satu lembar jawaban UN, tapi tergantung dari kepribadian, kejujuran, tekad, dan semangat untuk menjadi lebih baik dari dirimu sekarang. GBU!”

Ironisnya, pengampu kebijakan publik terutama Kemendikbud yang dipunggawai oleh M. Nuh terus berkelit bahwa UN 2013 mayoritas berjalan lancar. Apa benar demikian? Faktanya di lapangan sungguh jauh berbeda. UN 2013 bisa jadi merupakan pelaksanaan Ujian Nasional terburuk sepanjang sejarah 68 tahun Indonesia merdeka.

Betapa tidak, ada naskah soal dan lembar jawaban UN yang disatukan sehingga sebelum mulai mengerjakannya, para siswa disuruh menyobeknya sendiri dengan menggunakan penggaris. Soal yang tertukar juga banyak terjadi, baik itu lintas provinsi maupun lintas mata pelajaran. Ujian bahasa Inggris mendapat soal Matematika, sedangkan lembaran untuk daerah yang satu kesasar ke daerah lainnya. Akhirnya soal dan lembar jawaban UN terpaksa difotokopi.

Selain itu, di beberapa daerah UN mundur sampai lima jam, pukul 1 siang bel baru mulai  berdentang. Bahkan ada siswa yang sudah datang tapi disuruh pulang karena kiriman soal dan lembar jawaban tak kunjung sampai. Tentara Nasional Indonesia (TNI) sampai mendapat perintah dari panglima tertingginya untuk mengirimkan setidaknya 5 buah pesawat militer. Tapi bukan untuk berperang melainkan turut mendistribusikan lembar soal dan jawaban UN.

Sudah sedemikian nyata karut-marutnya kok Mendikbud masih mengatakan semua baik-baik saja? Ibarat penyakit, yang pertama dan utama ialah mengakui bahwa kita sakit, baru kita mulai berupaya menemukan obat atau terapi yang tepat. Jika M. Nuh dan segenap jajarannya di Kemendikbud tak kunjung mengakui kesalahannya dan terus melemparkan tanggung jawab kepada pihak percetakan pemenang tender – dalam hal ini PT. Ghalia – maka kejadian serupa niscaya terus berulang di masa mendatang. Bahkan tak hanya di tingkat SMA, tapi merata di level SMP dan SD.

Kedua, kritis. Secara khusus, Arita yang bercita-cita menjadi presiden ini mengkritisi LJUN yang setipis kertas tisu. Alhasil tatkala terjadi kesalahan pengisian kolom lembar jawaban lantas menghapusnya bisa nyaris bolong. Padahal kalau sampai berlubang bisa berpotensi untuk tak terpindai oleh mesin saat dikoreksi kelak. “Apa anggaran sejumlah Rp 120.457.937.603,00 tidak cukup untuk memberikan kualitas yang terbaik buat generasi penerus bangsa?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

Selain itu, secara psikis konsentrasi para siswa tentu terganggu karena harus mengerjakan UN di atas “ranjau” kertas. Selama ini pelajar memang cenderung dijadikan objek. UN yang notabene  banyak digugat oleh masyarakat masih tetap dipaksakan untuk dijalankan. Bisa jadi ini cara terakhir sebelum pergantian Kurikulum 2013 untuk menuai rupiah guna kampanye jelang pemilihan umum 2014. Dalam bahasa Arita, ia menyebutnya “proyek picik”.

Akhir kata, para siswa yang tergoda untuk berbuat curang saat UN tidak ubahnya para koruptor tersebut. Kelulusan, nilai bagus, dan kebanggaan mereka bersifat semu. Ibarat gelembung balon sabun yang mudah pecah. Kendati demikian, Arita Gloria Zulkifli telah menghembuskan angin perubahan demi pencerdasan kehidupan bangsa yang lebih otentik. Melihatnya di televisi dan mencermati tulisannya, memberikan harapan bahwa masih ada generasi muda yang bisa diandalkan. Salam Pendidikan!
1366782718457592847
Sumber Foto: http://ciricara.com

Kreativitas Itu Lintas Batas

Dimuat di Oase Kompas.com, Rabu/24 April 2013

Judul: Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati
Penulis: Wahyu Aditya
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: II/ Februari 2013
Tebal: xvii + 302 halaman
ISBN: 978-602-8811-99-6
Harga: Rp59.000 

Masih ingatkah Anda pada kasus Prita Mulyasari? Ia seorang ibu rumah tangga di Tangerang yang digugat oleh sebuah Rumah Sakit Internasional. Saat itu, banyak masyarakat merasa gerah menyaksikan ketidakadilan yang menimpa Prita. Ia harus membayar ganti rugi sebesar Rp204 juta hanya karena sebuah surat elektronik yang memuat komplain terkait perawatan di rumah sakit tersebut. Prita dituntut dengan pasal pencemaran nama baik.

Dalam waktu relatif singkat, jutaan masyarakat Indonesia berinisiatif menggalang dana dengan mengumpulkan koin untuk membayar ganti rugi tersebut. Wahyu Aditya pun tergerak berpartisipasi sesuai kompetensinya. Seniman desain dan aktivis animasi ini membuat logo perlawanan. Proses produksi desain Free Prita! hanya memakan waktu 2 jam. Tak ada yang menyuruhnya, sekadar respon spontan terhadap sebuah fenomena sosial.

Lantas, Pendiri HelloMotion Academy yang sejak 2004 telah meluluskan 2.000 siswa tersebut menyebarkannya lewat blog, Facebook, dan forum-forum on line populer seperti Kaskus. Harapannya sederhana saja, agar banyak orang menggunakan gambar grafis tersebut di avatar atau profile picture mereka sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap Prita.

Beberapa hari kemudian, paska penulis merilis logo tersebut, para panitia yang sedang menggalang dana untuk Prita menjadikannya sebagai logo resmi. Pun logo yang notabene dibuat secara spontan tersebut juga dipakai untuk kampanye penggalangan dukungan lewat T-shirt, stiker, banner, backdrop, press conference, hingga poster konser amal. Lihat dokumentasinya di halaman 66. Pemenang Best Short Movie dalam JiFfest 2004 itu merasa bangga karena menjadi bagian dari gerakan penggalangan dana yang fenomenal. Tak tanggung-tanggung total uang yang terkumpul Rp650 juta lebih! Selain itu, akhirnya Prita juga bebas. “Senang rasanya ketika karya kita bermanfaat untuk banyak orang,” ujarnya (halaman 67).

Sistematika buku “Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati” terdiri atas 17 butir pencerahan untuk menemukan sumber kreativitas dalam diri. Antara lain berjudul, “Lakukan Hal Spontan,” “Rangkul Keterbatasan,” “Mampu Mengurai,” “Fleksibel Saja,” dll.  Pemenang Wirausaha Muda Mandiri 2008 ini memang sengaja mendesain buku ini agar bisa dibaca tanpa harus dirunut dari awal sampai akhir. Pembaca dapat menikmatinya secara acak (random). Selain itu, jika pembaca bosan dengan cover depan yang asli, kita bisa menggambar desain sampul sendiri setelah diputar dan dilipat. Kreatif bukan?

Juara Dunia British Council – International Young Creative Entrepreneur 2007 ini juga mendirikan Kementerian Desain Republik Indonesia (KDRI) (belum/tidak sah) pada Agustus 2006 silam. Visi kementerian ini untuk menyebarkan semangat Indonesia ke dunia melalui kekuatan visual! Sasaran propaganda ialah anak muda dan siapa saja yang berjiwa muda. Caranya dengan membentuk komunitas berjiwa militan bernama Gembolers. Kenapa disebut demikian? Karena Menteri KDRI ialah Mas Gembol (halaman 236).

Mas Gembol hobi sekali mendesain ulang visual produk pemerintahan Indonesia yang dianggap kaku, monoton, dan nggak asyik. Saat ini, KDRI beranggotakan puluhan ribu orang Gembolers yang aktif berinteraksi lewat dunia maya. Ciri khas mereka sangat “Gembol sekali”. Dalam pengertian berpikiran terbuka, tidak anarkis, kreatif, dan tentunya cinta Indonesia. Pada halaman 245 termaktub salah satu logo hasil kreasi mereka, ‘Kenali, Cintai Indonesia!” Ibarat kata pepatah, “Bagaimana mau sayang kalau belum kenal?”

Dalam pelbagai seminar, penulis sering mendengar curhatan peserta. Banyak anak muda yang dipaksa oleh orang tua mereka untuk menjadi PNS. Bahkan ada yang sampai diancam tidak boleh pulang kalau tak mau menuruti. Menurut Wahyu Aditya, profesi PNS tidaklah jelek, malah merupakan pekerjaan mulia. Karena tugasnya melayani masyarakat dan berbhakti pada negara. Kendati demikian, para pemikir tua juga harus menyadari bahwa dunia terus berubah. Jenis profesi baru di abad ke-21 ini bermunculan ibarat jamur di musim hujan.

Misalnya Ligwina Hananto, ibu 3 anak ini bekerja sebagai Perencana Keuangan Independen. Ia lebih banyak mengurusi keuangan sebuah keluarga. Suaranya ceplas-ceplos, celetukannya jujur, sehingga membuat pendengarnya sadar diri, terutama terkait masalah finasial. Visinya sederhana tapi mulia, Mbak Ligwina mau menciptakan keluarga kelas menengah yang melek finasial, memiliki keuangan yang terencana - mulai dari dana pendidikan, dana pensiun, lancarnya pembayaran utang hingga paham investasi. Tesisnya pun unik, semakin banyak kelas menengah yang kuat niscaya Indonesia kian makmur (halaman 272).

Buku setebal 302 halaman ini menyadarkan bahwa kreativitas itu lintas batas. Mulai dari ranah sosial kemasyarakatan sampai finansial an sich. Layak dibaca oleh setiap orang yang mau jadi lebih kreatif. Menyitir pendapat Fadly Padi, “Kreativitas adalah salah satu bentuk kemerdekaan dalam berimaginasi. Kreativitas itulah yang mencetak orang-orang besar!” Selamat membaca dan salam kreatif! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam), Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman dan TK Mata Air Yogyakarta)

13667645571924390880

April 20, 2013

Apakah UN (Masih) Dibutuhkan?

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu/20 April 2013

Tingkah pongah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M. Nuh sungguh membuat jengah. Betapa tidak, tatkala diwawancarai para wartawan ihwal desakan mundur terkait pelaksanaan UN (Ujian Nasional) tahun ajaran 2012-2013 yang amburadul, ia malah berakting layaknya seorang aktor, melangkah mundur lantas maju lagi sembari tersenyum-senyum.

Menurut hemat penulis, kurang elegan jika seorang menteri bersikap seperti itu. Terlebih saat 5.000-an lebih siswa-siswi SMA/SMA/MA/SMALB di 11 provinsi di Indonesia terpaksa menelan kekecewaan karena UN-nya ditunda. Kalau kejadian serupa terjadi di Jepang, besar kemungkinan pejabat bersangkutan telah melakukan harakiri. Sebab mereka masih memiliki budaya malu. Dalam konteks ini, pendidikan karakter kian menemukan relevansinya. Terutama bagi para pengampu kebijakan publik. Paribasan kejawen juga terbukti kebenarannya, melik nggendong lali (kekuasaan memang membuat lupa).

Secara kontras, sikap Dahlan Iskan bisa jadi suri tauladan bagi M. Nuh. Kendati berbeda kasus, namun terlihat jelas kepedulian dan sisi humaniora pendiri JAWA POS grup tersebut. Pada Selasa (16/4/2013) Menteri BUMN itu menemui Fransiskus secara langsung, seorang demonstran yang sudah 2 hari nekat bertahan di pucuk menara SUTET di depan Pasar Senen, Jakarta. Lalu, mantan Dirut PLN tersebut meneriakinya (semula tanpa TOA) dan merayu pria asal Flores itu segera turun demi keselamatan bersama.

Artinya, alangkah lebih baik kalau Mendikbud juga menunjukkan empati serupa kepada para “korban”, dengan datang ke daerah terpencil di salah satu provinsi yang jadwal UN-nya mundur. Lantas, temui dan sapa siswa-siswi yang dirundung kekecewaan tersebut. Selain itu, berikan garansi (jaminan) agar insiden serupa tak akan terulang di masa depan. Indonesia sudah 68 tahun merdeka, tapi baru kali ini penundaan UN sampai 3 hari (Senin, Selasa, Rabu). Dari total 33 provinsi dari Sabang sampai Merauke, sepertiganya atau 11 daerah terpaksa baru akan melaksanakan UN pada Kamis (18/4/2013).

Ironisnya, yang dijadikan kambing hitam ialah pihak percetakan. PT. Ghalia merupakan 1 dari 6 perusahaan printing pemenang tender yang dituding tak memenuhi tenggat waktu (deadline). Kendati demikian, fakta ini masih simpang siur. Kedua belah pihak seperti saling lempar bola panas. Sebab, pihak PT. Ghalia menyatakan seharusnya mereka diberi waktu 60 hari, tapi pihak Kemendikbud ngotot mengatakan deadline-nya sama dengan yang lain, yakni 25 hari.

Sebagai langkah pragmatis, kini personil ditambah untuk mengepak dan mendistribusikan lembar soal dan jawaban UN. Bahkan pihak TNI, Kepolisian, Pemda, Dinas Pendidikan setempat dikerahkan. Tak ayal kondisi ini mengingatkan pada kondisi darurat perang dan bencana nasional. Insiden semacam ini harusnya bisa diantisipasi jika Kemendikbud tidak terlalu “Barat Sentris.” Mengapa soal dan lembar jawaban harus dicetak di Jakarta dan Bogor saja? Mari belajar dari banyak penerbitan surat kabar nasional yang memiliki percetakan di daerah. Alhasil, proses distribusi bisa lebih mudah dan lancar.

Lantas secara paradigmatis, penulis sepakat dengan tesis J. Sumardianta. Menurut Guru SMA Kolese John De Britto Yogyakarta itu karut-marut sepanjang masa UN dalam sistem pendidikan nasional merupakan fenomena kodok rebus (Guru Gokil Murid Unyu, Bentang, 2013). Sebab departemen pendidikan seolah telah mengkondisikan masyarakat, guru, dan siswa menderita lewat status quo bernama UN.

Sentralistis

Padahal dari segi teknis saja, UN jelas berseberangan dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP memberikan kewenangan pada guru untuk mengkreasi kurikulum, yakni agar selaras dengan konteks sosial, ekonomi dan lingkungan di mana sekolah berada. Spirit KTSP multikultural, demokratis, dan desentralisasi. Sebaliknya semangat UN sentralistis dan monokultural.

Bahkan sejak 2011 proporsi nilai UN dibanding nilai sekolah 60:40. Perbandingan ini jelas timpang dan tak adil. Sebab UN yang notabene hanya sekali menguji sebagian mata pelajaran diberi porsi besar. Sedangkan nilai sekolah yang komprehensif mulai dari nilai rapor, ujian praktik, dan ujian sekolah justru jatahnya kecil. Selain itu, soal UN seluruhnya berupa pilihan ganda. Ini merupakan produk mental primitif. Pun sebuah proses mengingat dengan gradasi kualitas mental paling rendah. Apalagi jika siswa sudah mendapat bocoran kunci jawaban.

Agar lulus UN para siswa cukup menghafal jawaban tanpa pernah paham tentang ontologi dan epistimologinya. Padahal nilai UN bagi siswa SMA cenderung mubazir karena tidak memiliki fungsi sertifikasi. Sama sekali tak bisa dipakai untuk masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN). Bukankah lulusan SMA yang hendak melanjutkan studi ke PTN harus lolos tes SNMPTN? Sedangkan, bagi yang masuk lewat jalur undangan khusus, harus menunjukkan nilai rapor semester I sampai V yang notabene dilaksanakan jauh hari sebelum UN digelar.

Setali tiga uang dengan nasib pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), hasil UN mereka percuma. Toh saat mereka mencari kerja yang diverifikasi bukan nilai UN tapi kecakapan keras (hardskill) dan lunak (softskill) dalam bidang permesinan (mekanik), pengolahan makanan (jasa boga), peternakan, perikanan, dan pertanian. Alhasil, UN justru merecoki konsentrasi siswa SMK kelas XII karena terpecah untuk persiapan UN yang teoritis konseptual, sedangkan praktik vokasional justru dinafikan. Lebih miris jika berbicara tentang SMALB (Sekolah Menengah Atas Luar Biasa). Siswa-siswi yang memiliki kondisi psikis dan fisiologis berbeda harus mengerjakan soal yang sama dengan peserta didik lainnya.

Akhir kata, bisa jadi insiden penundaan UN ini sebuah peringatan (warning) bagi kita semua, yakni agar evaluasi pendidikan seyogyanya tak diseragamkan. Ibarat petani yang bercocok tanam, tanaman mesti diperlakukan sesuai konteks alam setempat. Artinya proses pembelajaran pun harus seturut penjiwaan pendidik, yakni guna menjawab kebutuhan riil para siswa. Pertanyaan besarnya ialah, “Apakah UN (masih) dibutuhkan anak bangsa?”
13664607692039541236
Sumber Foto: http://mjeducation.co/apakah-un-masih-dibutuhkan/

April 19, 2013

Ide Kreatif Dirangsang, Bukan Tunggu Wangsit

Dimuat di Harian Detik, Sabtu/20 April 2013

1366420898158766415

Judul: Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati
Penulis: Wahyu Aditya
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: II/ Februari 2013
Tebal: xvii + 302 halaman
ISBN: 978-602-8811-99-6
Harga: Rp59.000

“Jadilah seperti anak kecil, hilangkan prasangka agar tercipta karya-karya kreatif.”

Bagaimana sih cara memunculkan ide-ide kreatif? Lewat buku ini, penulis berbagi jurus ampuh, yakni dengan berani bertanya kepada diri sendiri. Teknisnya,  mari berefleksi dengan awalan kalimat, “Bagaimana kalau…?” Contohnya, “Bagaimana kalau saya mendirikan restoran dengan menu makanan tanpa MSG?”

Wahyu Aditya juga menceritakan pengalamannya sendiri. Dulu ia pernah bertanya-tanya, “Kenapa anak-anak muda zaman sekarang kurang mengenal tokoh pewayangan?” Lantas muncul pertanyaan susulan, “Bagaimana kalau ia mengubah visual Gatot Kaca versi wayang kulit jadul menjadi Gatot Kaca versi anak gaul? Hasil kreasinya dapat dilihat di halaman 74. Desain kaus oblong bergambar Gatot Kaca berwajah angker ternyata laku keras. Bahkan peminatnya tak hanya dari kalangan anak muda, tapi juga dari anak-anak kecil sampai manula.

Lantas, Pendiri HelloMotion Academy yang sejak 2004 telah meluluskan 2.000 siswa tersebut menandaskan bahwa proses pencarian ide kreatif lebih sering tak cukup sekadar dengan menunggu wangsit. Tapi manusia harus berjuang merangsang ide kreatif tersebut agar segera muncul ke permukaan. Caranya dengan menantang diri sendiri untuk menjawab pertanyaan yang telah kita lontarkan sebelumnya (halaman 77).

Sistematikanya, “Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati” terdiri atas 17 butir pencerahan untuk menemukan sumber kreativitas dalam diri. Antara lain berjudul, “Lakukan Hal Spontan,” “Rangkul Keterbatasan,” “Mampu Mengurai,” “Fleksibel Saja,” dll. Pemenang Wirausaha Muda Mandiri 2008 ini memang sengaja mendesain buku ini agar bisa dibaca tanpa harus dirunut dari awal sampai akhir. Pembaca dapat menikmatinya secara acak (random). Selain itu, jika pembaca bosan dengan cover depan yang asli, kita bisa menggambar desain sampul sendiri setelah diputar dan dilipat. Kreatif bukan?

Pemenang Best Short Movie dalam JiFfest 2004 ini juga memberikan contoh nyata kreativitas anak negeri dalam hal berpakaian. Yoris Sebastian, seorang creativepreneur yang sempat menjabat sebagai general manager termuda di Hard Rock Café Jakarta berkata kepadanya bahwa setiap kali meeting dengan klien, ia selalu menggunakan kaus oblong.

Yoris hendak membuktikan bahwa kaus jangan dianaktirikan sebagai pelindung badan dalam aktivitas kasual saja. Alhasil, kebiasaan tersebut menjadikannya tampak berbeda dan unik dibanding dengan konsultan kreatif lainnya yang lazimnya berdandan formal dan “klimis” (Informal ke Formal, halaman 149).

Cara lain untuk mengasah kreativitas adalah belajar pada anak kecil. Mereka senang mengamati dan menebak bentuk awan dalam wujud lain sesuai imaginasi masing-masing.  Permainan ini merupakan contoh kegiatan sederhana yang bisa dilakukan untuk melatih kreativitas dan daya imaginasi. Ada awan berbentuk kuda dan anjing. Silakan simak fotonya di halaman 191. Dalam konteks ini, tesis Thomas Huxley menjadi relevan, “Jadilah seperti anak kecil, hilangkan prasangka agar tercipta karya-karya kreatif.”

Buku setebal 302 halaman ini menyadarkan bahwa kreativitas itu pun merupakan salah satu sifat Tuhan. Layak dibaca oleh setiap anak manusia yang hendak memekarkan benih kreativitas agar senantiasa berbuah lebat. Selamat membaca dan salam kreatif! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam), Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman dan TK Mata Air Yogyakarta)
13664208621810926741

April 13, 2013

Walau Terluka Tetap Bangkit dalam Cinta

Dimuat di Majalah Nuntius, Edisi April 2013

Judul: I’m in Love, Mencari, Terluka, dan Bangkit
Penulis: Rut Pamestri Utami
Penerbit: Bening Diva Press Yogyakarta
Tahun: I/September 2012
Tebal: 235 halaman
ISBN: 9786027695085
Harga: Rp35.000 

Rasanya renyah dan gurih. Gaya penuturannya pun mengalir lancar. Bahkan St. Kartono sampai merekomendasikan agar novel I’m in Love ini diadaptasi menjadi FTv (Film Televisi). Kenapa? Karena memuat pesan keutamaan bagi kaum muda bahwa komitmen lebih penting ketimbang perasaan sesaat.

Selain itu, secara teknis guru bahasa Indonesia SMA Kolese de Britto Yogyakarta tersebut menilai karya fiksi perdana Rut Pamestri Utami ini tepat akurat sudut pandangnya. Alih-alih memakai kata ganti orang ketiga, penulis yang sehari-hari berprofesi sebagai pustakawati di SMA Santo Hendrikus Surabaya lebih memilih kata ganti orang pertama. Sehingga kesannya relatif akrab dan sekadar berbagi cerita kepada pembaca.

Alkisah, Renata berkali-kali merasa patah hati karena ditolak pria. Kota pahlawan menjadi saksi perjuangan cintanya. Rere “menembak” 3 orang lelaki berturut-turut. Mulai dari Aldo, Moses, sampai Radith. Tapi semua bertepuk sebelah tangan.

Alasan mereka beraneka ragam, Aldo sekadar mengganggapnya sebagai sahabat, Moses sudah memiliki kekasih, dan Radith masih berharap mantannya yang kabur ke Australia kembali lagi. Untung, ia masih memiliki sahabat yang selalu siap menemani, namanya Tere. Ironisnya, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, ternyata Aldo sejak lama memendam cinta pada Tere.

Sebagai obat penawar atas kepedihan hatinya, Rere memutuskan pulang ke tanah kelahirannya di Yogyakarta. Namun terlebih dahulu ia mengundurkan diri (resign) dari kantor tempatnya bekerja. Tatkala hampir naik kereta di Stasiun Surabaya, Radith tiba-tiba datang menghampiri.

Awalnya, Rere mengira Radith akan meralat jawaban dan menerima cintanya, tapi ternyata semua hanya ada di angan. “Aku berterimakasih atas semua perhatian kamu selama ini. Makasih kamu sudah mau mengerti tentang hubunganku dengan Merry,” ujar pria idamannya tersebut (halaman 60).

Dua tahun berlalu seiring bergulirnya roda waktu, Rere kini sudah memiliki pacar, namanya Irgi. Tapi luka batinnya masih tetap menganga. Sejatinya, ia terpaksa menerima Irgi hanya karena desakan Mama.

Ibunda Rere seorang single parent, ayahnya sudah meninggal dunia. Sehingga beliau berperan ganda, sebagai ibu rumah tangga dan juga pencari nafkah keluarga. Rere anak pertama dari 2 bersaudara. Adiknya laki-laki bernama Milo.

Sang ibu sering menceramahi Rere tentang masalah pasangan hidup, “Renata umur kamu sudah 25 tahun. Sudah sepantasnya menikah. Sampai kapan kamu mau terus kelayapan tak jelas seperti sekarang. Apa sih kurangnya Irgi, sudah mapan, tampan dan berasal dari keluarga berada pula. Apa kamu mau jadi perawan tua?”  Tapi Rere mau lebih fokus mengembangkan karir. Ia kini bekerja di sebuah usaha percetakan.

Sistematikanya, buku ini terdiri atas 27 bab. Antara lain dari “Patah Hati’, “Penolakan Lagi”, ‘Perpisahan”, “Pertemuan Kembali”, “Cinta itu Datang Lagi”, “Dua Cinta”, “Ketika Cinta Harus Memilih”, hingga “Akhir Cerita Cinta”. Kelebihan penulis pada kemampuan deskripsi. Ia piawai memvisualisasikan adegan dengan rinci dan meracik dialog secara wajar.

Setting cerita ada di dua kota, Surabaya dan Yogyakarta. Tempat-tempat romantis mendapat ruang eksplorasi tersendiri dalam novel ini. Misalnya Pantai Kenjeran di ujung Jawa Timur, jika cuaca sedang cerah dari sana tampak pulau Madura. Lantas, Bukit Bintang di Wonosari, Gunung Kidul, dari sana kota Yogyakarta tampak bertabur aneka indah pada malam hari. Secara tak langsung penulis mempromosikan daerah wisata lokal nan menawan.

Fenomena sosial juga membumbui lika-liku hidup Rere mencari cinta sejatinya. Misalnya ketika Radith berkunjung ke kota Gudeg, ia biasa nongkrong menikmati senja di tepi Kali Code. Sungguh kocak, kalau ke sana ia sering berjumpa dengan waria lanang ora wedhok ora, “Permisi Mas, eike mo numpang ngamen dulu ya. Yei-yei mo pada request lagu apaan nih? Yuk cap-cus sambil bergoyang! (halaman 81).

Akhir petualangan Rere terbilang indah. Ia berhasil selamat dari terkaman cinta. Jelang bab-bab penutup tersaji kejutan dalam novel bergenre post-teenlit ini. Intinya, wanita yang semula mengejar pria, kini justru balik dipuja banyak jejaka. Alhasil, Rere harus menentukan satu di antara sederet alternatif. Mulai dari Moses, Irgi, Radith, dll semua bersaing memperebutkan hati Renata. Lantas siapakah juaranya? Silakan membaca sendiri bukunya.

Novel setebal 235 halaman ini bukan kisah cinta biasa. Di dalamnya termaktub prinsip kesediaan untuk berkorban, semangat pantang menyerah, dan kelapangan hati menghormati pilihan orang lain. Sepakat dengan tesis penulis ihwal hakikat cinta, “Tak perlu alasan untuk mencintai, hanya mencintai saja. Tak perlu balasan dalam mencinta, hanya memberi tanpa berharap menerima…”(T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon, Ekskul English Club SMP Kanisius Sleman dan TK Mata Air Yogyakarta)
1365854795990995613

April 10, 2013

Menguak Lika-liku Menjadi Seorang Ibu


Judul: Resep Cinta Ibu
Penulis Bersama: 11 Ibu Muda
Penerbit: Antarnusa Yogyakarta
Cetakan: 1/ November 2012
Tebal: 111 halaman
ISBN: 978-602-18405-4-2
Harga: Rp30.000 

Pada suatu sore, seorang Ibu duduk termenung di kursi rodanya di tepian sebuah danau. Ia ditemani anaknya yang telah mapan dan hidup berkeluarga. Lalu, sang Ibu bertanya, “Itu burung apa yang berdiri di sana?” “Bangau Mama,” anaknya menjawab dengan sopan.

Tak lama berselang, sang Ibu bertanya lagi, “Itu yang warna putih burung apa?” Sedikit kesal anaknya menjawab, “Ya bangau Mama…”

Belum sampai 5 menit, ibunya kembali bertanya, “Lantas itu burung apa?” Ibunya menunjuk burung bangau tadi yang sedang terbang. Dengan nada kesal si anak menjawab, “Ya bangau Mama, kan sama aja! emang Mama gak liat dia terbang!”

Air menetes dari sudut mata sang Mama, lantas ia berujar lirih, “Dulu 35 tahun yang lalu, aku memangkumu dan menjawab pertanyaan yang sama untukmu sebanyak 10 x. Kini, aku hanya bertanya 3 kali, kamu sudah membentakku 2 kali.”

Cerita klasik dari dataran China tersebut memverifikasi kebenaran pepatah lama, “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan (pengkolan).”

Padahal tak sekadar mengajari anak berbicara, Ibu juga telah mengandung janin selama 9 bulan 10 hari, kemudian berjuang menghadirkan bayi ke dunia dengan pertaruhan nyawa dalam persalinan yang bersimbah darah, peluh, dan air mata.

Bahkan pengorbanannya tak berhenti sampai di situ, ibu siap begadang menemani bayinya, memberi ASI, mengganti dan mencuci popok, menyuapi makan, meninabobokan sebelum tidur, merawat ketika sakit, (menitah) mengajarkan berjalan, mengenal lingkungan sekitar, mendidik dan mengantar ke sekolah.

Buku “Resep Cinta Ibu” ini membangkitkan kenangan manis ihwal orang tua, terutama sosok Mama. Terdiri atas 18 kisah pengalaman menjadi Bunda. Penulisnya 11 wanita yang dikaruniai kesempatan menjadi figur feminim tersebut.

Ternyata salah satu dilema terbesar kaum ibu ialah membagi waktu untuk buah hati tercinta dan karir. Terutama pasca persalinan dan saat menyusui dengan ASI ekslusif. Air susu alami pertama yang dikeluarkan berupa cairan bening. Dalam bahasa medis disebut kolostrum. Kandungan gizinya dapat meningkatkan daya tahan tubuh (imunitas). Jadi sedari awal, para ibu seyogianya memberikan “hak” para bayi tersebut.

Menurut salah satu penulis, Ibu Nenny, “Buatlah aktivitas menyusui menjadi sesuatu yang menyenangkan kita dan membahagiakan bayi. Sungguh hal ini luar biasa. Begitu Allah memudahkan segala urusan bila hati kita sudah berniat, tenang, dan ikhlas (halaman 46).”

Wanita yang bekerja di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tersebut lantas berbagi tips agar ASI tetap mengalir deras. Caranya dengan rajin makan sayur-sayuran. Antara lain daun katuk, kacang hijau, susu kedelai, sayur bayam, madu asli, dan banyak minum air putih.

Di Indonesia, ada dua organisasi yang sangat aktif memromosikan pentingnya ASI eksklusif, yaitu Sentra Laktasi Indonesia (Selasi) dan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). Kedua lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut gencar melakukan pelatihan dan konseling seputar ASI.

Menjadi ibu memang sebuah kebanggaan bagi setiap perempuan. Karena ia merasa sempurna sebagai seorang wanita.  Bunda sebutan istimewa bagi kaum Hawa yang telah menikah dan melahirkan seorang anak.

Dalam tradisi Islam, Ibu dimuliakan lewat ayat-ayat Al-quran. Hadis Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu mengisahkan, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian baru ayahmu…” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Ibunda Nabi Musa juga rela berpisah di tepi sungai demi keselamatan anaknya. Demikian pula dengan Ibunda Isa Sang Masiha yang tetap bertahan menghadapi cercaan tetangga karena Isa kecil lahir tanpa sosok seorang ayah. Bunda Maria berjuang sendiri untuk membesarkan dan mendidik Nabi Isa.

Pun perjuangan Siti Hajar, Ibunda Nabi Ismail tak pelak mengundang decak kagum. Beliau rela hidup di padang pasir yang tandus. Ibunda Nabi Ismail kemudian berlari seorang diri dari bukit Safa ke bukit Marwah demi seteguk air untuk  bayinya.

Menjadi Telingaku

Buku ini juga memuat kisah seorang ibu yang memiliki anak tuna rungu. Di suatu gereja, pastor parokinya gemar bernyanyi. Saat homili beliau suka menyisipkan sebait lagu yang sedang hit (populer). Secara kreatif beliau mengubah beberapa bagian liriknya. Tentu sesuai isi kotbah yang sedang disampaikan (halaman 80).

Pada bait yang lucu - pasca diubah oleh Pastor - umat di gereja sangat menikmati lantunan suara emas beliau. Anak penulis yang besar, Vincent bertanya, ”Bu, kenapa Pastor mengubah lagunya? ‘kan kalimatnya bukan seperti itu.” ”Ya supaya umat tidak bosan dan isi wejangan Romo bisa mudah diingat kita semua,” jawab sang Ibu. Si anak kembali menyahut,” Oh…gitu ya Bu. Pastornya pintar…” Sembari tersenyum mengingat bunyi syair tersebut.

Namun berbeda dengan Vinta, anak kedua Estiningsih Budi Rahayu. Tampak Vinta memasang wajah  bingung   sambil  menoleh ke kiri dan kanan. Dia mencolek tangan ibunya dan berkata, ”Bu, apa yang lucu? Mengapa orang-orang tertawa? Kalau di gereja harus sopan, tidak boleh bergurau!” Lalu sang Ibu menjelaskan bahwa tadi Romo berkotbah, beliau menyanyikan sebuah lagu bagus. Dan…ada syair yang diganti supaya umat tidak mengantuk.

”Wah, Pastor hebat ya Bu, bisa membuat orang senang. Kalau saya bisa mendengar, saya pasti tertawa juga dan sepulang misa saya mau bilang ke beliau bahwa saya suka homili Pastor. Tapi saya tuli jadi tidak bisa mengerti,” sahut Vinta. Tatkala mendengar tanggapan itu, spontan hati sang Ibu merasa “tertusuk”. Kenapa? karena ia sering menganggap bahwa Vinta hanya perlu tahu hal-hal yang memang ia butuhkan sebagai anak tuna rungu.

Singkat cerita, Ibunda tadi menjelaskan pelan-pelan ihwal nyanyian Pastor. Agar bisa dibaca gerak bibirnya. Untuk memeroleh efek jenaka, sang Ibu berujar, ”Tadi Romo waktu menyanyi ada kata yang lupa. Dia memerhatikan dengan saksama sembari menahan tawa dan berkata, ”Wah… Pastor tadi malu, ya Bu…Ditertawakan banyak orang di gereja. Tapi tidak apa-apa, karena Pastor hebat dan suaranya pasti merdu!”

Seusai Ekaristi keduanya pulang berjalan kaki karena jarak rumah dan gereja hanya beberapa ratus meter. Di jalan Vinta menggenggam tangan ibunya dan berkata, ”Terima kasih ya Bu, sudah  menjadi telingaku. Kalau Ibu sama-sama tuli seperti saya, pasti kita tidak bisa tertawa bersama Pastor. Saya senang Ibu tidak tuli, bisa membantu saya mendengarkan.” Dan di sepanjang perjalanan air mata sang Ibu terus berlinang… (halaman 83).”

Tiada mawar tanpa duri begitu pula buku ini. Sebagian besar kontributor penulisnya baru kali pertama menulis. Sehingga dari segi redaksional perlu ada pembenahan. Misalnya pada bagian kata pengantar, “…kisah-kisahnya sungguh bermakna dan dapat dijadikan pelepas dahaga yang memberikat kekuatan (halaman 9).” Barangkali yang dimaksud ialah “memberikan”. Dalam konteks ini, peran editor dan proof reader menjadi sangat signifikan.

Terlepas dari kelemahan tersebut, buku setebal 111 halaman ini menguak lika-liku menjadi seorang ibu secara detail. Sejak dari proses mengandung sampai teknis cara mendidik anak. Layak dijadikan bacaan bagi para pasangan yang berencana membangun rumah tangga, ibu-ibu muda, dan siapa saja yang peduli pada pengorbanan sosok terpenting dalam hidup manusia tersebut. Menyitir syair Byron in Sardanapulus, “Payudara ibulah yang memancarkan kehidupanmu ke dunia. Bibirnya yang mengajarkan tutur kata pertamamu. Ia pula yang menyeka airmatamu ketika pertama engkau menjerit kepada dunia. Dan…keluh-kesahmu selalu berakhir di telinga Ibu.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam), Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air Yogyakarta)
1365641010735071325

April 06, 2013

Mengoptimalkan Kinerja Otak Kanan

Dimuat di Jogjakarta-Jateng Pos, Minggu/7 April 2013


Judul: Klinik Belajar Otak Kanan
Penulis: Femi Olivia
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan: 1/Juni 2012
ISBN: 9786020027296
Tebal: xii + 176 halaman
Harga: Rp32.800

Setidaknya ada tiga model pembelajaran anak didik. Tipe visual lebih mudah mengingat dengan cara menggambar dan membuat peta pikiran (mind mapping). Sedangkan, tipe auditori lebih mudah memahami pelajaran lewat obrolan santai, akrostik, dan lagu. Tapi ternyata mayoritas anak merupakan pembelajar kinestetik. Mereka lebih mudah menangkap pelajaran jika diijinkan menyentuh dan mempraktikkan langsung. Eksperimen lewat tamasya ke alam, gerakan aktif, dan olah seni sangat bermanfaat bagi proses pembelajaran (halaman 57).

Lewat buku Klinik Belajar Otak Kanan ini, Femi Olivia juga memaparkan riset intensif Prof. Howard Gardner dari Harvard University. Prof. Gardner ialah penemu 8 jenis kecerdasan anak. Tipe musikal lebih suka belajar sambil mendengarkan musik. Tipe visual-spasial lebih suka memerhatikan media gambar warna-warni. Tipe logis-matematis lebih suka bergelut dengan angka. Tipe lingustik kaya perbendaharaan kata dan bahasa. Tipe kinestetik lebih suka belajar menggunakan gerakan. Tipe intrapersonal rajin mencatat di buku harian. Tipe interpersonal menikmati proses belajar bersama teman-teman. Tipe naturalis biasanya suka belajar di bawah langit di tengah alam terbuka.

Artinya, orang tua dan para guru perlu memerhatikan anak secara cermat. Sehingga dapat mengenali kecenderungan belajar mereka. Alhasil, proses pembelajaran menjadi mudah, lancar, dan menyenangkan. Prinsipnya sederhana tapi universal. Tidak ada anak bodoh di dunia ini. Mereka hanya perlu diberi kesempatan untuk mengeluarkan potensi diri secara optimal. Senada dengan petuah bijak Plato, “Arah pendidikan dimulai ketika seorang anak dapat menentukan masa depannya sendiri.”

Sistematika buku terdiri atas 4 bagian pokok. Pertama, bagian pengantar menggugat orang tua dan guru yang terlalu “memanjakan” otak kiri anak ketimbang otak kanannya. Kedua, antara lain memuat arah kemampuan retrival alias proses memanggil kembali informasi dalam otak. Ketiga, aneka jurus untuk merayu anak agar jadi “hobi” belajar. Keempat, panduan bagi para orang tua dan guru untuk memfasilitasi buah hati tercinta menjadi murid jempolan.

Menurut penulis, salah satu cara efektif untuk menghapal ialah lewat media cerita. Dongeng ialah alat pengingat mujarab. Kenapa? Sebab menghubungkan kata-kata dalam sebuah rangkaian sehingga mudah digambarkan dalam pikiran. Sebagai contoh, saat anak musti mengingat macam-macam enzim bisa dirangkai dalam bentuk kisah, “Ada 3 orang bekerja pada Pak ENZIM. Pertama, si AMILASE yang bekerja di bagian pH netral alias sedikit asam. Kedua, si PEPSIN yang mengidap sakit lambung karena suka makan buah asam. Ketiga, TRIPSIN yang suka basa-basi kalau ditawari makan sate usus halus.” (halaman 100).

Anak juga jadi lebih mudah belajar kalau materi pelajaran dijadikan orkes suara. Secara khusus, pembelajar tipe auditori sangat menggemari teknik ini. Misalnya untuk mengingat macam-macam peristiwa alam, banjir (seolah-olah mendengar suara air mengalir byur, byur, byur). Halilintar (seolah-olah mendengar suara petir menyambar duuuuuer!). Hujan (seolah-olah mendengar gemericik tetesan hujan yang jatuh di atap tes tes tes).

Prinsip Dasar

Buku ini tak hanya memuat tips praktis mengembangkan kemampuan belajar anak, tapi juga memaparkan prinsip dasar dalam mendidik. Terapkan satu model pengasuhan hanya untuk satu anak. Kenapa? Sebab setiap anak itu unik. Tuhan terlalu kreatif untuk menciptakan dua anak yang bertabiat sama. Selain itu, jika ingin meningkatkan prestasi akademik anak dan memperoleh hasil yang bertahan lama (durable). Ada 3 syarat mutlak, yakni konsistensi, dedikasi, dan kesabaran. Analoginya mirip meregangkan gelang karet, jangan disentak namun harus perlahan-lahan sekali (halaman 63).

Selain itu, penulis mengungkapkan pula hasil penelitian mutakhir dari Columbia University. Ternyata anak-anak yang keluarganya secara teratur makan bersama dalam keadaan rileks, bukan hanya berkemungkinan kecil menyalahgunakan obat terlarang (baca: narkoba), tapi juga terbukti dapat mendapat nilai tinggi di kelas. Oleh sebab itu, resepnya sederhana, sajikan hidangan sehat, matikan TV dan HP/BB, nikmati keakraban antar anggota keluarga satu sama lain. Pun jadikan aktivitas ini sebagai kebiasaan harian.

Pesan lain yang tak kalah penting, jangan biarkan anak hanya duduk di sofa menonton televisi sepanjang hari. Anak-anak harus lebih aktif melakukan kegiatan fisik dan mengalirkan endorphin (morfin alami) ke seluruh tubuh. Caranya mudah, yakni dengan bergabung dengan tim olah raga atau kegiatan ekskul lainnya. Sehingga ia pun dapat meningkatkan jaringan sosial dan pergaulan dengan rekan sebaya. Tapi jika anak lebih suka sendiri, ia tetap perlu berjalan kaki dan bermain di lingkungan pekarangan rumah. Kenapa? Karena para ahli bersepakat bahwa anak yang aktif bergerak relatif lebih ceria hidupnya.

Buku setebal 161 halaman ini dapat menjadi referensi berharga bagi para orang tua dan pendidik dalam proses mendampingi proses tumbuh-kembang anak secara memadai. Kemampuan otak kiri dan otak kanan memang sama pentingnya. Alhasil, buah hati tercinta dapat mengoptimalkan anugerah inteligensia tersebut. Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam), Ekskul Englsih Club di SMP Kanisius Sleman dan TK Mata Air Jogjakarta).

1365296315723131532