Dimuat di Majalah Pendidikan Online, Rabu/24 April 2013
“UN 2013 bagaikan konser band gak mutu, terus panggungnya ambrol!” – Iwan Pranoto
Arita Gloria Zulkifli (Arita
Kiefl) layak disebut sebagai pelopor transformasi dunia pendidikan di
republik ini. Ia siswi kelas XII SMA Charitas Jakarta yang berani
berbicara blak-blakan ihwal karut-marut pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
2013.
Wawancara eksklusif dengan pemudi yang masih berusia 16 tahun ini ditayangkan live
oleh Metro TV pada Jumat malam (19/4). Semoga ada yang mengunggah
rekamannya di Youtube agar lebih banyak anak negeri yang menonton dan
tergetar hatinya. Semula Arita menulis di sebuah portal jurnalisme warga
pada Senin siang (15/4). Ia baru pulang merampungkan UN hari pertama
dan langsung menumpahkan isi hati:
**
Keluhan Lembar Jawab Ujian Nasional (LJUN) (Curahan Hati Seorang Pelajar)
Tulisan ini bukan provokasi, bukan
intimidasi, hanya bentuk curahan hati penyesalan dan kekecewaan seorang
siswi SMA kelas XII berumur 16 tahun yang merasa “dijahili’.
Hari ini tanggal 15 April 2013 bisa
dibilang hari penentu bagi kami siswa-siswi kelas 12 SMA seluruh
Indonesia. Hari ini, rutinitas tahunan Ujian Nasional dilaksanakan
secara serempak se-Indonesia (meskipun beberapa daerah, terpaksa
diundur).
Rasa takut pasti ada, wajar, kami
pelajar biasa, bukan super. Meski sering kali kami mengeluh karena
adanya UN dengan segala kecurangan yang sekarang ‘nyaris’ dianggap
kebenaran ini yang dilakukan oleh BANYAK oknum, namun inilah negara
tercinta kami, mau tak mau harus dijalani.
Tak bisa dipungkiri kecurangan UN
memang ada dimana-mana, bahkan aku ditawari secara cuma-cuma, dan bukan
munafik teman tercinta pun banyak yang mengandalkannya. Syukur,
teman-teman yang ku maksud bukan teman sekolah, kami semua bersih.
Sampai mati aku gak bakal pakai ‘contekan’, aku bukan pecundang. Lebih
baik aku gagal karena PRINSIP, keteguhan hati, nurani dan akhlak,
daripada berhasil karena curang. Bukan idealis, hanya realistis.
Namun, bukan kecurangan itu yang
ku maksud, bukan itu masalahku. Hari ini, pada saat ini, aku sangat
kecewa dengan LJUN yang digunakan tahun ini. Hanya selembar kertas
’se-level’ kertas HVS yang biasa kugunakan untuk coret-coret gak jelas. Bahkan ketika bulatan yang kupilih dihapus, cetakannya ikut terhapus.
Bukan itu kualitas yang kami harapkan! Fotokopi 100 perak saja cetakannya susah dihapus bahkan gak bisa. Bayangkan betapa riskannya LJUN tersebut. Padahal, kami selalu diwanti-wanti agar LJUN tetap rapi dan tidak bolong.
Beberapa nomor yang kuhapus nyaris
bolong kertasnya ketika hendak dibulatkan kembali (tentu sudah dengan
teliti dan sehalus mungkin). Bahkan LJK (Lembar Jawab Kerja) Try Out
kami sehari-hari jauh lebih baik kualitasnya daripada LJUN. Bukan mau
sok tahu, namun ini kenyataan yang kami hadapi, siswa-siswi yang merasa
dikadali.
Bukan mau menghakimi, namun hanya ingin
tahu. Apa anggaran sejumlah Rp 120.457.937.603,00 tidak cukup untuk
memberikan kualitas yang terbaik buat generasi penerus bangsa? Gak
muluk-muluk, kami hanya ingin diberikan fasilitas yang selayaknya. Kami
merasa hanya sebagai proyek tahunan dari beberapa oknum nakal yang
ingin dapat ‘bonus’ cuma-cuma. Jangan salahkan kami atas persepsi ini,
setiap hari yang kami tonton dan baca cuma berita negatif dan KORUPSI.
Kami hanya berharap, kami siswa-siswi
penerus bangsa, tidak dipandang sebelah mata lagi. Jangan rusak masa
depan kami. Jangan terus-terusan jadikan kami ‘kelinci percobaan’,
dengan segala proyek baru baik yang sudah dijalankan maupun yang akan
dilaksanakan.
Mungkin banyak siswa-siswi yang gak
merasa buruknya kualitas LJUN ketika dihapus, karena mungkin mereka
hanya menyalin dan tidak perlu menghapus. Namun, lebih banyak lagi
pelajar yang merasa kalau LJUN tersebut memang tidak layak. Aku punya
banyak bukti, dari ocehan pelajar-pelajar di sosial media.
Sekali lagi, ini bukan provokasi, cuma
curahan hati seorang pelajar dan jutaan pelajar lain, gak lebih. Mohon
dimengerti. Saya cuma berharap, UN tahun yang akan datang, bahan
kertasnya bukan kualitas tisu, tapi harus dipertebal.
Kecil (pelajar), bukan berarti tidak
bisa unjuk rasa. Semua orang berhak menegakkan kebenaran. Saya tidak
mau lagi berpura-pura ‘tidur nyenyak’ di ‘rumah sendiri’ yang
jelas-jelas dikepung ‘maling’. Namun, hati kecilku ini akan terus
berusaha percaya, tanah airku akan pulih. Salam sukses buat semua
siswa-siswi kelas 12 SMA! Jangan jadi pecundang, percaya sama diri
sendiri.
Arita Gloria Zulkifli (Arita Kiefl), 16 tahun
SMA Charitas
**
Penulis sengaja menampilkan curahan hati nan polos tersebut secara utuh, tanpa editing sama sekali. Walau memang banyak penulisan yang tak sesuai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) tapi toh
yang penting ialah esensi dan semangatnya. Lantas, spirit apa yang
tersirat di balik keluhan seputar LJUN (Lembar Jawaban Ujian Nasional)
di atas?
Pertama, kejujuran. Ia mengaku ditawari bocoran UN oleh seorang kenalan via BBM (BlackBerry Messenger),
tak tanggung-tanggung lengkap ada 20 tipe jawaban. Bahkan, ia tak
harus membayar sepeser rupiah pun alias gratis. Namun jawaban Arita
patut diacungi dua jempol, “Sampai mati aku gak bakal pakai ‘contekan’,
aku bukan pecundang. Lebih baik aku gagal karena PRINSIP, keteguhan
hati, nurani dan akhlak, daripada berhasil karena curang. Bukan
idealis, hanya realistis.”
Sikap tanpa kompromi pada nilai
kejujuran semacam itu yang dibutuhkan negeri ini untuk bangkit. Seorang
pembaca sontak menanggapi, “Senang mendengar masih ada pelajar yang
jujur, tidak mau menyontek sama sekali. Keep the spirit, masa
depanmu sama sekali tidak tergantung sama satu lembar jawaban UN, tapi
tergantung dari kepribadian, kejujuran, tekad, dan semangat untuk
menjadi lebih baik dari dirimu sekarang. GBU!”
Ironisnya, pengampu kebijakan publik
terutama Kemendikbud yang dipunggawai oleh M. Nuh terus berkelit bahwa
UN 2013 mayoritas berjalan lancar. Apa benar demikian? Faktanya di
lapangan sungguh jauh berbeda. UN 2013 bisa jadi merupakan pelaksanaan
Ujian Nasional terburuk sepanjang sejarah 68 tahun Indonesia merdeka.
Betapa tidak, ada naskah soal dan lembar
jawaban UN yang disatukan sehingga sebelum mulai mengerjakannya, para
siswa disuruh menyobeknya sendiri dengan menggunakan penggaris. Soal
yang tertukar juga banyak terjadi, baik itu lintas provinsi maupun
lintas mata pelajaran. Ujian bahasa Inggris mendapat soal Matematika,
sedangkan lembaran untuk daerah yang satu kesasar ke daerah lainnya.
Akhirnya soal dan lembar jawaban UN terpaksa difotokopi.
Selain itu, di beberapa daerah UN
mundur sampai lima jam, pukul 1 siang bel baru mulai berdentang.
Bahkan ada siswa yang sudah datang tapi disuruh pulang karena kiriman
soal dan lembar jawaban tak kunjung sampai. Tentara Nasional Indonesia
(TNI) sampai mendapat perintah dari panglima tertingginya untuk
mengirimkan setidaknya 5 buah pesawat militer. Tapi bukan untuk
berperang melainkan turut mendistribusikan lembar soal dan jawaban UN.
Sudah sedemikian nyata karut-marutnya kok
Mendikbud masih mengatakan semua baik-baik saja? Ibarat penyakit, yang
pertama dan utama ialah mengakui bahwa kita sakit, baru kita mulai
berupaya menemukan obat atau terapi yang tepat. Jika M. Nuh dan segenap
jajarannya di Kemendikbud tak kunjung mengakui kesalahannya dan terus
melemparkan tanggung jawab kepada pihak percetakan pemenang tender –
dalam hal ini PT. Ghalia – maka kejadian serupa niscaya terus berulang
di masa mendatang. Bahkan tak hanya di tingkat SMA, tapi merata di level
SMP dan SD.
Kedua, kritis.
Secara khusus, Arita yang bercita-cita menjadi presiden ini mengkritisi
LJUN yang setipis kertas tisu. Alhasil tatkala terjadi kesalahan
pengisian kolom lembar jawaban lantas menghapusnya bisa nyaris bolong.
Padahal kalau sampai berlubang bisa berpotensi untuk tak terpindai oleh
mesin saat dikoreksi kelak. “Apa anggaran sejumlah Rp
120.457.937.603,00 tidak cukup untuk memberikan kualitas yang terbaik
buat generasi penerus bangsa?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling.
Selain itu, secara psikis konsentrasi
para siswa tentu terganggu karena harus mengerjakan UN di atas “ranjau”
kertas. Selama ini pelajar memang cenderung dijadikan objek. UN yang
notabene banyak digugat oleh masyarakat masih tetap dipaksakan untuk
dijalankan. Bisa jadi ini cara terakhir sebelum pergantian Kurikulum
2013 untuk menuai rupiah guna kampanye jelang pemilihan umum 2014.
Dalam bahasa Arita, ia menyebutnya “proyek picik”.
Akhir kata, para siswa yang tergoda
untuk berbuat curang saat UN tidak ubahnya para koruptor tersebut.
Kelulusan, nilai bagus, dan kebanggaan mereka bersifat semu. Ibarat
gelembung balon sabun yang mudah pecah. Kendati demikian, Arita Gloria
Zulkifli telah menghembuskan angin perubahan demi pencerdasan kehidupan
bangsa yang lebih otentik. Melihatnya di televisi dan mencermati
tulisannya, memberikan harapan bahwa masih ada generasi muda yang bisa
diandalkan. Salam Pendidikan!
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/15/keluhan-ljun-curahan-hati-seorang-pelajar-551326.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar