Dimuat di Radar Seni, Minggu/28 April 2013
Judul: Sanyas Dharma, Sebuah Panduan bagi Penggiat dan Perkumpulan Spiritual
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/Desember 2012
Tebal: viii + 500 halaman
ISBN: 978-979-22-9105
Harga: Rp88.000
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/Desember 2012
Tebal: viii + 500 halaman
ISBN: 978-979-22-9105
Harga: Rp88.000
Proses penggarapan buku ini tergolong
fenomenal. Karena ditulis tatkala Anand Krishna menanti detik-detik
eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) di Padepokan Anand Ashram Ubud,
Bali. Pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006)
tersebut lantas dijemput paksa dan diterbangkan ke Jakarta pada Sabtu,
16 Februari 2013 silam.
Terkait perampasan hak kebebasan dan
pelanggaran HAM tersebut, Prof. M.A.S Hikam langsung angkat bicara dan
memberikan dukungan moril. Menristek pada era mendiang Gus Dur tersebut
menulis di http://www.mashikam.com/2013/02/pemanggilan-paksa-dg-kekerasan-thd.html?spref=tw,
“Nasib pejuang HAM dan tokoh spiritual Anand Krishna (AK) sungguh
menyedihkan. Upaya untuk menjebloskan beliau ke bui secara paksa dan
kekerasan pun dilakukan oleh pihak Kejaksaan. Padahal cara-cara tersebut
selain melanggar aturan hukum yang berlaku, juga menampilkan arogansi
dan kesewenangan. Kasus yang dihadapi Pak AK menjadi perhatian
internasional karena begitu banyak kecurangan dan pelanggaran yang
dilakukan pihak Jaksa sejak masih di PN Jaksel. Bahkan, putusan bebas
murni pun kemudian dilanggar dengan kasasi oleh MA yang mencabutnya. Apa
yang menimpa Pak AK adalah bukti nyata bahwa kendati negeri ini telah
mengalami reformasi, tetapi hukum belumlah menjadi panglima. Semoga Pak
AK tetap bersabar dan bertahan dalam melawan kesewenang-wenangan. Dan
para pendukungnya pun tidak terprovokasi oleh prilaku aparat. Saya
yakin kebenaran pada akhirnya akan menang, kendati kejahatan ditopang
oleh kekuasaan sebesar apapun.”
Untungnya, “Sanyas Dharma” lebih dahulu
terbit, yakni pada akhir Desember 2012. Kini aktivis spiritual lintas
agama tersebut dibui di LP Cipinang karena tuduhan kasus merek orang
lain http://news.detik.com/read/2012/11/14/100955/2091191/10/astaga-jaksa-pakai.
Kendati demikian, visi “Satu Bumi, Satu Langit, Satu Umat Manusia” dan
pemikiran pluralistisnya terus terdiseminasi luas ke khalayak ramai
lewat karya tulis ini.
Secara epistemilogis, istilah “sanyas dharma” terdiri atas 2 kata. “Sanyas” arti harafiahnya jalan(nyasa) pelepasan keduniawian dari keterikatan (sam) sehingga seseorang dapat mengintegrasikan diri dengan kehendak Ilahi (ni asa).
Sedangkan, “dharma” sinonim dengan kebajikan atau berbuat baik. Jadi
“sanyas dharma” berarti jalan untuk melepaskan diri dari keterikatan
duniawi dengan cara berbuat kebajikan bagi sesama seturut kehendak
Ilahi.
Menurut Anand Krishna, dalam tradisi
leluhur kita di wilayah peradaban Sindu yang membentang dari Afganistan
(Kandahar) sampai Australia (Astraley), masa kehidupan manusia dibagi
menjadi 4 domain.
Pertama, Brahmacharya Ashram
yakni masa ketika seorang anak dan remaja belajar menemukan potensi
dirinya. Tapi bukan sekadar mengenali potensi diri, pun mengembangkan
dan mengolahnya lewat aneka kegiatan kreatif. Lalu, pada akhir masa
pendidikan tersebut ia menerima gelar sarjana alias sang kreator.
Lazimnya proses ini terjadi pada usia 20-25 tahun.
Kedua, Grahasthya Ashram merupakan masa
ketika seseorang sudah memiliki pekerjaan tetap dan memutuskan untuk
hidup berkeluarga. Ia berkomitmen untuk membina jalinan rumah tangga
dan menunaikan seluruh tanggung jawab sebagai orang tua.
Masa ini berlanjut hingga usia 48 tahun
saat seseorang sudah menyelesaikan tanggung jawabnya terhadap
anak-anak. Dalam pengertian, anak-anaknya sudah meraih pendidikan dan
mulai dapat hidup mandiri. Masa ini masih bisa diperpanjang lagi, tapi
batas maksimal sampai usia 60 tahun. Nah saat itulah, ia diharapkan
sudah selesai mengurusi keluarga.
Ketiga, Vanaprashta Ashram
ialah masa seseorang mengunakan seluruh waktu dan energinya untuk
mendalami laku spiritual. Masa ketika dia tidak lagi mengurusi urusan
duniawi.
Agar lebih optimal mengolah diri dan mendalami spiritual, seorang vanaprashti boleh
bergabung dengan salah satu ashram atau padepokan. Sehingga selain
mendalami spiritual, ia juga dapat membaktikan diri untuk kepentingan
umum.
Keempat, Sanyas Ashram inilah tahap akhir kehidupan anak manusia. Orang yang telah memasuki masa sanyas hendaknya melepaskan segala macam kemelekatan duniawi.
Ia tidak lagi membedakan antara anak
orang lain atau anaknya sendiri. Ia mampu menghormati dan menghargai
segenap titah ciptaan tanpa pilih kasih. Alhasil, ia berbagi
kedamaian, kasih, dan harmoni bagi siapa dan apa saja. Oleh karena itu,
ia disebut sebagai sadhu alias pembawa berkah (halaman 12).
Melampaui Ego
Hambatan utama bagi pejalan spiritual
ialah bagaimana memangkas belukar ego. Pelampauan ego ini merupakan
langkah awal yang mesti ditempuh. Tanpa mengambil langkah pertama
tersebut, dia tidak akan pergi ke mana-mana (nowhere). Menurut penulis 160 buku lebih ini, ego selalu terburu-buru. Ia pun suka mencari jalan pintas (short cut). Dan demi kepentingan egoistik tersebut, ia tega menyengsarakan, memfitnah, dan mencelakakan orang lain.
Buku ini tak sekadar memuat teori njlimet
yang membuat dahi mengerut dan kepala pusing, tapi juga begitu membumi
dengan memberi contoh-contoh praktis. Referensi utamanya ialah
wejangan dari Swami Kriyananda. Misalnya ketika ada orang yang memuji
kita, ucapkan terimakasih dengan bibirmu. Tapi jauh di dalam lubuk
hatimu, tetaplah ingat bahwa dirimu hanya sebuah alat di tangan-Nya
(halaman 111).
Sebaliknya, jika seseorang diremehkan,
maka sadarlah betapa tidak pentingnya dirimu. Secara lebih mendalam
diuraikan bahwa setiap orang yang merasa diri penting dan seolah
kehidupan di atas muka bumi akan berakhir jika pendapatnya tidak
didengar, atau dirinya sudah tidak ada lagi, sesungguhnya hanya
bermimpi semu untuk mengelabui diri sendiri.
Lalu, Swami Kriyananda berbagi
pengalamannya riil sendiri. Suatu ketika beliau diundang sebagai salah
satu narasumber dalam pertemuan membahas rencana pembentukan komunitas
spiritual. Di antara sederet pembicara yang memiliki nama besar,
sesungguhnya hanya Swami Kriyananda saja yang memiliki pengalaman
konkrit di lapangan. Para pembicara lainnya sekadar membahas seturut
pengetahuan intelek belaka. Ironisnya, dalam pertemuan tersebut tidak
ada seorang pun yang memperhatikan saran-saran Swami Kriyananda.
Hal semacam ini acap terjadi. Mereka
yang tidak atau belum mengenal kehidupan dalam komunitas spiritual
sering memiliki stigma negatif. Padahal jika berani berjujur dengan
diri sendiri, pandangan miring tersebut merupakan cerminan negativtas
dalam diri mereka sendiri. Ada yang mengatakan padepokan meditasi
identik dengan pengkultusan seorang pemimpin atau guru, ada yang
menganggapnya tidak berkontribusi terhadap masyarakat, dan sederet
pandangan bernada minor lainnya.
Kendati demikian, Swami Kriyananda
tidak merasa tersinggung, beliau malah mengundang para pembicara untuk
makan bersama di suatu restoran. Pikir sang Swami, dalam keadaan yang
lebih santai dan informal mereka mau mendengarkan pengalaman dirinya
hidup dalam suatu komunitas spiritual. Sehingga dapat menjadi referensi
berharga bagi kebaikan komunitas yang hendak mereka dirikan kelak.
Ternyata pucuk dicinta ulam tak kunjung
tiba, harapan tinggal harapan semata, realitasnya tak pernah demikian.
Persis seperti saat berada di ruang pertemuan, mereka sibuk dengan
teori-teori muluk mereka, tentu sesuai bidang yang mereka kuasai
masing-masing. Sehingga tak tersedia ruang untuk dialog, apalagi
berbagi dari hati ke hati (heart to heart).
Uniknya dari pengalaman tersebut Swami
Kriyananda belajar, “Saat itu aku baru menyadari betapa tidak
pentingnya diriku. Dan kesadaran itu membebaskan diriku dari segala
macam harapan dan pikiran. Aku merayakan kesadaran itu!” (halaman 134).
Akhir kata, buku ini niscaya
memfasilitasi siapa saja yang hendak belajar hidup berkesadaran. Sebuah
panduan berharga untuk meniti ke dalam diri, menemukan jati diri, dan
berbagi mutiara pencerahan dengan segenap titah ciptaan. Sebab menyitir
pendapat BR Indra Udayana, Pendiri dan Pengasuh Ashram Gandhi,
“Penegasian terhadap kehidupan duniawi bukan berarti meninggalkan dunia,
melainkan justru memberi arti yang utuh atas eksistensi dunia ini.”
Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar