Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu/20 April 2013
Tingkah pongah Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) M. Nuh sungguh membuat jengah. Betapa tidak,
tatkala diwawancarai para wartawan ihwal desakan mundur terkait
pelaksanaan UN (Ujian Nasional) tahun ajaran 2012-2013 yang amburadul,
ia malah berakting layaknya seorang aktor, melangkah mundur lantas maju
lagi sembari tersenyum-senyum.
Menurut hemat penulis, kurang elegan
jika seorang menteri bersikap seperti itu. Terlebih saat 5.000-an lebih
siswa-siswi SMA/SMA/MA/SMALB di 11 provinsi di Indonesia terpaksa
menelan kekecewaan karena UN-nya ditunda. Kalau kejadian serupa terjadi
di Jepang, besar kemungkinan pejabat bersangkutan telah melakukan harakiri.
Sebab mereka masih memiliki budaya malu. Dalam konteks ini, pendidikan
karakter kian menemukan relevansinya. Terutama bagi para pengampu
kebijakan publik. Paribasan kejawen juga terbukti kebenarannya, melik nggendong lali (kekuasaan memang membuat lupa).
Secara kontras, sikap Dahlan Iskan bisa
jadi suri tauladan bagi M. Nuh. Kendati berbeda kasus, namun terlihat
jelas kepedulian dan sisi humaniora pendiri JAWA POS grup tersebut.
Pada Selasa (16/4/2013) Menteri BUMN itu menemui Fransiskus secara
langsung, seorang demonstran yang sudah 2 hari nekat bertahan di pucuk
menara SUTET di depan Pasar Senen, Jakarta. Lalu, mantan Dirut PLN
tersebut meneriakinya (semula tanpa TOA) dan merayu pria asal Flores
itu segera turun demi keselamatan bersama.
Artinya, alangkah lebih baik kalau
Mendikbud juga menunjukkan empati serupa kepada para “korban”, dengan
datang ke daerah terpencil di salah satu provinsi yang jadwal UN-nya
mundur. Lantas, temui dan sapa siswa-siswi yang dirundung kekecewaan
tersebut. Selain itu, berikan garansi (jaminan) agar insiden serupa tak
akan terulang di masa depan. Indonesia sudah 68 tahun merdeka, tapi
baru kali ini penundaan UN sampai 3 hari (Senin, Selasa, Rabu). Dari
total 33 provinsi dari Sabang sampai Merauke, sepertiganya atau 11
daerah terpaksa baru akan melaksanakan UN pada Kamis (18/4/2013).
Ironisnya, yang dijadikan kambing hitam
ialah pihak percetakan. PT. Ghalia merupakan 1 dari 6 perusahaan
printing pemenang tender yang dituding tak memenuhi tenggat waktu
(deadline). Kendati demikian, fakta ini masih simpang siur. Kedua belah
pihak seperti saling lempar bola panas. Sebab, pihak PT. Ghalia
menyatakan seharusnya mereka diberi waktu 60 hari, tapi pihak
Kemendikbud ngotot mengatakan deadline-nya sama dengan yang lain, yakni 25 hari.
Sebagai langkah pragmatis, kini
personil ditambah untuk mengepak dan mendistribusikan lembar soal dan
jawaban UN. Bahkan pihak TNI, Kepolisian, Pemda, Dinas Pendidikan
setempat dikerahkan. Tak ayal kondisi ini mengingatkan pada kondisi
darurat perang dan bencana nasional. Insiden semacam ini harusnya bisa
diantisipasi jika Kemendikbud tidak terlalu “Barat Sentris.” Mengapa
soal dan lembar jawaban harus dicetak di Jakarta dan Bogor saja? Mari
belajar dari banyak penerbitan surat kabar nasional yang memiliki
percetakan di daerah. Alhasil, proses distribusi bisa lebih mudah dan
lancar.
Lantas secara paradigmatis, penulis
sepakat dengan tesis J. Sumardianta. Menurut Guru SMA Kolese John De
Britto Yogyakarta itu karut-marut sepanjang masa UN dalam sistem
pendidikan nasional merupakan fenomena kodok rebus (Guru Gokil Murid Unyu, Bentang, 2013). Sebab departemen pendidikan seolah telah mengkondisikan masyarakat, guru, dan siswa menderita lewat status quo bernama UN.
Sentralistis
Padahal dari segi
teknis saja, UN jelas berseberangan dengan KTSP (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan). KTSP memberikan kewenangan pada guru untuk
mengkreasi kurikulum, yakni agar selaras dengan konteks sosial, ekonomi
dan lingkungan di mana sekolah berada. Spirit KTSP multikultural,
demokratis, dan desentralisasi. Sebaliknya semangat UN sentralistis dan
monokultural.
Bahkan sejak 2011 proporsi nilai UN
dibanding nilai sekolah 60:40. Perbandingan ini jelas timpang dan tak
adil. Sebab UN yang notabene hanya sekali menguji sebagian mata
pelajaran diberi porsi besar. Sedangkan nilai sekolah yang komprehensif
mulai dari nilai rapor, ujian praktik, dan ujian sekolah justru
jatahnya kecil. Selain itu, soal UN seluruhnya berupa pilihan ganda.
Ini merupakan produk mental primitif. Pun sebuah proses mengingat
dengan gradasi kualitas mental paling rendah. Apalagi jika siswa sudah
mendapat bocoran kunci jawaban.
Agar lulus UN para siswa cukup
menghafal jawaban tanpa pernah paham tentang ontologi dan
epistimologinya. Padahal nilai UN bagi siswa SMA cenderung mubazir
karena tidak memiliki fungsi sertifikasi. Sama sekali tak bisa dipakai
untuk masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN). Bukankah lulusan SMA yang
hendak melanjutkan studi ke PTN harus lolos tes SNMPTN? Sedangkan, bagi
yang masuk lewat jalur undangan khusus, harus menunjukkan nilai rapor
semester I sampai V yang notabene dilaksanakan jauh hari sebelum UN
digelar.
Setali tiga uang dengan nasib pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), hasil UN mereka percuma. Toh saat mereka mencari kerja yang diverifikasi bukan nilai UN tapi kecakapan keras (hardskill) dan lunak (softskill)
dalam bidang permesinan (mekanik), pengolahan makanan (jasa boga),
peternakan, perikanan, dan pertanian. Alhasil, UN justru merecoki
konsentrasi siswa SMK kelas XII karena terpecah untuk persiapan UN yang
teoritis konseptual, sedangkan praktik vokasional justru dinafikan.
Lebih miris jika berbicara tentang SMALB (Sekolah Menengah Atas Luar
Biasa). Siswa-siswi yang memiliki kondisi psikis dan fisiologis berbeda
harus mengerjakan soal yang sama dengan peserta didik lainnya.
Akhir kata, bisa jadi insiden penundaan UN ini sebuah peringatan (warning)
bagi kita semua, yakni agar evaluasi pendidikan seyogyanya tak
diseragamkan. Ibarat petani yang bercocok tanam, tanaman mesti
diperlakukan sesuai konteks alam setempat. Artinya proses pembelajaran
pun harus seturut penjiwaan pendidik, yakni guna menjawab kebutuhan riil
para siswa. Pertanyaan besarnya ialah, “Apakah UN (masih) dibutuhkan
anak bangsa?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar