April 28, 2013

Menjelajahi Pemikiran Budaya Umar Kayam dan Kuntowijoyo (Bagian 1)

Dimuat di Majalah Pendidikan Onlene Indonesia, Senin 29 April 2013)
http://mjeducation.co/menjelajahi-pemikiran-umar-kayam-dan-kuntowijoyo-bagian-1/

1367208295709933186

Kamis pagi (24/4), hangat sinar matahari menemani kedatangan para peserta diskusi kebudayaan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Walau acara baru dimulai pukul 10.00 WIB, sejak jam 09.30 WIB area parkir Pusat Studi Kebudayaan di Jl. Lingkungan Budaya I, Sekip Utara sudah penuh sesak. Puluhan motor pengunjung berjajar di sisi selatan gedung yang terbilang sudah cukup tua tersebut.

Dalam undangan yang berwarna merah-putih tertulis, “Perkembangan kajian kebudayaan saat ini tidak dapat dilepaskan dari beragam pemikiran yang mengisi ruang diskursus kebudayaan. Kebudayaan yang dituntut untuk dapat memberikan alternatif solusi bagi persoalan negara bangsa kini tidak pernah sepi dari perdebatan. Di tengah ramainya dialog tentang kebudayaan yang makin santer, menilik ulang pemikiran kebudayaan dari para pemikir ‘lokal’ menjadi penting untuk dilakukan.” Artinya, budaya memiliki peranan penting dalam mengatasi problem-problem sosial-ekonomi dalam keseharian masyarakat.

Oleh sebab itu, pada April 2013 Pusat Studi Kebudayaan UGM memilih topik bahasan ihwal Umar Kayam dan Kuntowijoyo. Dua tokoh besar yang notabene sangat akrab dengan diskursus (perbincangan) kebudayaan di Indonesia. Tujuan diskusi publik ini untuk menggali kembali pemikiran beliau-beliau sehingga dapat dihadirkan secara lebih segar dalam konteks perbincangan kebudayaan modern.

1367122186952026548
Partiningsih, Ika Ayu, B. Rahmanto (dari kiri ke kanan)

Narasumber dalam diskusi yang dimoderatori oleh Ika Ayu tersebut ialah Drs. B. Rahmanto, M.Hum, Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma (membahas pemikiran budaya Umar Kayam) dan Partiningsih, Mahasiswa S2 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (membahas pemikiran budaya Kuntowijoyo). Pasca kedua pemantik diskusi menyampaikan paparannya masing-masing, barulah para peserta bisa menanggapi dalam sesi tanya-jawab.

B. Rahmanto membuka paparannya dengan kutipan cerita dari Prof. Dr. Faruk HT. Isinya mengisahkan pengalaman Faruk bersama Umar Kayam. Pada medio 1980-an, mereka sempat terlibat dalam penelitian mengenai ludruk di Surabaya. Karena metode riset yang dipilih adalah metode kualitatif dengan pengamatan langsung di lapangan dan melakukan wawancara mendalam dengan para responden, mereka tak punya pilihan lain selain mengunjungi beberapa pertunjukan ludruk yang digelar pada saat itu.

Mereka juga mengunjungi sebuah kampung di pinggiran kota Surabaya, Pak Kayam ingin bertemu dan melakukan wawancara langsung dengan para pemain ludruk. Lalu, mereka singgah di kediaman pimpinan kelompok kesenian tersebut. Wawancara berlangsung tak terlalu lama, mungkin hanya sekitar satu jam. Sesudah itu, mereka kembali ke pusat kota Surabaya.

Prof. Faruk sudah mencatat sederet informasi hasil wawancara Pak Kayam dengan  pimpinan dan anggota kelompok ludruk di atas. Ada informasi tentang terpojoknya ludruk ke pinggiran kota akibat serbuan bioskop, ada informasi mengenai asal-usul berdirinya kelompok kesenian tersebut, dan lain sebagainya.

Keesokan harinya, ketika Pak Kayam diminta memberikan ceramah di sebuah acara diskusi di kota Surabaya, yang akan dikatakan tentu soal kesenian ludruk yang telah mereka teliti bersama. Prof. Faruk membayangkan Pak Kayam akan bercerita mengenai persoalan seperti informasi yang sudah dicatatnya. Memang benar demikian, tapi ada informasi lain yang disampaikan beliau pada ceramah tersebut.

Di bagian awal pidato, Pak Kayam justru bercerita tentang suasana yang ada di dalam dan di sekitar rumah pimpinan ludruk yang mereka kunjungi tersebut. Ia bercerita mengenai kekumuhan tempat kediaman mereka, bercerita tentang aroma selokan yang berada tepat di depan rumah itu, dan bercerita pula tentang jamuan yang saat itu disuguhkan, yakni segelas air ber-es. Dalam hati mereka meragukan kesterilannya tapi demi menghormati tuan rumah, mereka tetap meminumnya sampai habis.

Dari kisah di atas, Prof. Faruk sekadar ingin menyampaikan bahwa Pak Kayam memang mempunyai memori yang kuat akan segala hal yang konkret. Ia selalu ingat bentuk apa pun yang pernah dilihatnya, entah yang terjadi di masa kanak-kanaknya maupun yang terjadi beberapa saat saja sebelum ia menceritakannya kembali. Ia pun cepat sekali menangkap dan mengingat kata-kata, istilah-istilah, nama-nama, gambar-gambar, suara-suara, dan dapat menceritakannya kembali dengan sangat hidup sehingga siapa saja yang mendengar ceritanya merasa seolah mengalami apa yang disampaikannya itu.

Lalu, dari segi metodologi penelitian, ternyata Pak Kayam tidak menyukai metode kuantitatif yang justru mengabstraksi realitas dalam bentuk yang samar dan terlalu sumir sehingga memposisikan objek penelitian sebagai aktualisasi yang terbelenggu dalam model-model general.

1367122272440363958
B. Rahmanto

Setelah menuntaskan cerita dari Prof. Faruk tentang sosok Pak Kayam, B. Rahmanto menyampaikan kegelisahannya sebelum mulai merunut pemikiran budaya Umar Kayam. Apakah dengan mempelajari buku-buku ilmiah karya Pak Kayam, cerpen-cerpennya, novel-novelnya, atau melalui ingatan ketika kuliah di Pusat Studi Kebudayaan di Bulaksumur, di warung-warung makan tempat ia kerap ditraktir, atau saat diundang jamuan makan di rumah dinas beliau?

Akhirnya, dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma membatasi pencariannya atas pemikiran budaya Prof. Umar Kayam melalui 3 rujukan, yakni Pembebasan Budaya-budaya Kita (Pidato Kebudayaan pada 18 Agustus 1989), Transformasi Budaya Kita (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada 19 Mei 1989), dan novel Para Priyayi.

Transformasi

Sejak dulu, Pak Kayam sudah menawarkan tinjauan sejarah kebudayaan lengkap dengan analisisnya. Mulai dari proses Jawanisasi atau Indonesianisasi terhadap pengaruh kebudayaan India hingga zaman pasca Mataram awal, pengaruh Islam, datangnya orang Barat, sampai sebelum dan sesudah kemerdekaan RI.

Menurut Pak Kayam, transformasi budaya merupakan suatu proses yang lama, bertahap-tahap dan pada saat yang sama dapat juga dimaknai sebagai sebuah titik balik (turning point) yang cepat, bahkan abrupt (mendadak).

Lantas, beliau mengutip pendapat Weber, ternyata transformasi masyarakat Eropa menjadi masyarakat kapitalis terjadi karena di dalam tubuh budaya masyarakat Eropa sudah terkandung “bumbu-bumbu” (ingredient) budaya yang niscaya melahirkan “semangat kapitalisme tersebut.”

B. Rahmanto yang menjabat sebagai editor Majalah Basis tersebut mengaitkan tesis di atas dengan konteks Indonesia. Kembali ia merujuk pada pemikiran kebudayaan Prof. Kayam. Ada dua jalur yang saling berkelindan dalam proses transformasi budaya di tanah air.  Pertama, transformasi budaya yang menarik budaya etnik ke tatanan budaya negara-kebangsaan. Ini merupakan konsekuensi dari komitmen untuk bersedia bersatu bernaung di bawah satu negara-kebangsaan yang berbentuk satu republik kesatuan. Kedua, transformasi budaya yang menggeser budaya agraris ke tatanan budaya industri modern. Ini merupakan konsekuensi dari komitmen untuk mengubah sistem ekonomi pertanian tradisi menjadi suatu sistem ekonomi industri dan perdagangan.

(Bersambung)
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi

Tidak ada komentar: