Dimuat di Majalah Pendidikan Onlene Indonesia, Senin 29 April 2013)
http://mjeducation.co/menjelajahi-pemikiran-umar-kayam-dan-kuntowijoyo-bagian-1/
Kamis pagi (24/4), hangat sinar
matahari menemani kedatangan para peserta diskusi kebudayaan di
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Walau acara baru dimulai
pukul 10.00 WIB, sejak jam 09.30 WIB area parkir Pusat Studi Kebudayaan
di Jl. Lingkungan Budaya I, Sekip Utara sudah penuh sesak. Puluhan
motor pengunjung berjajar di sisi selatan gedung yang terbilang sudah
cukup tua tersebut.
Dalam undangan yang berwarna
merah-putih tertulis, “Perkembangan kajian kebudayaan saat ini tidak
dapat dilepaskan dari beragam pemikiran yang mengisi ruang diskursus
kebudayaan. Kebudayaan yang dituntut untuk dapat memberikan alternatif
solusi bagi persoalan negara bangsa kini tidak pernah sepi dari
perdebatan. Di tengah ramainya dialog tentang kebudayaan yang makin
santer, menilik ulang pemikiran kebudayaan dari para pemikir ‘lokal’
menjadi penting untuk dilakukan.” Artinya, budaya memiliki peranan
penting dalam mengatasi problem-problem sosial-ekonomi dalam keseharian
masyarakat.
Oleh sebab itu, pada April 2013 Pusat
Studi Kebudayaan UGM memilih topik bahasan ihwal Umar Kayam dan
Kuntowijoyo. Dua tokoh besar yang notabene sangat akrab dengan
diskursus (perbincangan) kebudayaan di Indonesia. Tujuan diskusi publik
ini untuk menggali kembali pemikiran beliau-beliau sehingga dapat
dihadirkan secara lebih segar dalam konteks perbincangan kebudayaan
modern.
Narasumber dalam diskusi yang
dimoderatori oleh Ika Ayu tersebut ialah Drs. B. Rahmanto, M.Hum, Dosen
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma
(membahas pemikiran budaya Umar Kayam) dan Partiningsih, Mahasiswa S2
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (membahas pemikiran budaya
Kuntowijoyo). Pasca kedua pemantik diskusi menyampaikan paparannya
masing-masing, barulah para peserta bisa menanggapi dalam sesi
tanya-jawab.
B. Rahmanto membuka paparannya dengan
kutipan cerita dari Prof. Dr. Faruk HT. Isinya mengisahkan pengalaman
Faruk bersama Umar Kayam. Pada medio 1980-an, mereka sempat terlibat
dalam penelitian mengenai ludruk di Surabaya. Karena metode riset yang
dipilih adalah metode kualitatif dengan pengamatan langsung di lapangan
dan melakukan wawancara mendalam dengan para responden, mereka tak
punya pilihan lain selain mengunjungi beberapa pertunjukan ludruk yang
digelar pada saat itu.
Mereka juga mengunjungi sebuah kampung
di pinggiran kota Surabaya, Pak Kayam ingin bertemu dan melakukan
wawancara langsung dengan para pemain ludruk. Lalu, mereka singgah di
kediaman pimpinan kelompok kesenian tersebut. Wawancara berlangsung tak
terlalu lama, mungkin hanya sekitar satu jam. Sesudah itu, mereka
kembali ke pusat kota Surabaya.
Prof. Faruk sudah mencatat sederet
informasi hasil wawancara Pak Kayam dengan pimpinan dan anggota
kelompok ludruk di atas. Ada informasi tentang terpojoknya ludruk ke
pinggiran kota akibat serbuan bioskop, ada informasi mengenai asal-usul
berdirinya kelompok kesenian tersebut, dan lain sebagainya.
Keesokan harinya, ketika Pak Kayam
diminta memberikan ceramah di sebuah acara diskusi di kota Surabaya,
yang akan dikatakan tentu soal kesenian ludruk yang telah mereka teliti
bersama. Prof. Faruk membayangkan Pak Kayam akan bercerita mengenai
persoalan seperti informasi yang sudah dicatatnya. Memang benar
demikian, tapi ada informasi lain yang disampaikan beliau pada ceramah
tersebut.
Di bagian awal pidato, Pak Kayam justru
bercerita tentang suasana yang ada di dalam dan di sekitar rumah
pimpinan ludruk yang mereka kunjungi tersebut. Ia bercerita mengenai
kekumuhan tempat kediaman mereka, bercerita tentang aroma selokan yang
berada tepat di depan rumah itu, dan bercerita pula tentang jamuan yang
saat itu disuguhkan, yakni segelas air ber-es. Dalam hati mereka
meragukan kesterilannya tapi demi menghormati tuan rumah, mereka tetap
meminumnya sampai habis.
Dari kisah di atas, Prof. Faruk sekadar
ingin menyampaikan bahwa Pak Kayam memang mempunyai memori yang kuat
akan segala hal yang konkret. Ia selalu ingat bentuk apa pun yang
pernah dilihatnya, entah yang terjadi di masa kanak-kanaknya maupun
yang terjadi beberapa saat saja sebelum ia menceritakannya kembali. Ia
pun cepat sekali menangkap dan mengingat kata-kata, istilah-istilah,
nama-nama, gambar-gambar, suara-suara, dan dapat menceritakannya
kembali dengan sangat hidup sehingga siapa saja yang mendengar
ceritanya merasa seolah mengalami apa yang disampaikannya itu.
Lalu, dari segi metodologi penelitian,
ternyata Pak Kayam tidak menyukai metode kuantitatif yang justru
mengabstraksi realitas dalam bentuk yang samar dan terlalu sumir
sehingga memposisikan objek penelitian sebagai aktualisasi yang
terbelenggu dalam model-model general.
Setelah menuntaskan cerita dari Prof.
Faruk tentang sosok Pak Kayam, B. Rahmanto menyampaikan kegelisahannya
sebelum mulai merunut pemikiran budaya Umar Kayam. Apakah dengan
mempelajari buku-buku ilmiah karya Pak Kayam, cerpen-cerpennya,
novel-novelnya, atau melalui ingatan ketika kuliah di Pusat Studi
Kebudayaan di Bulaksumur, di warung-warung makan tempat ia kerap
ditraktir, atau saat diundang jamuan makan di rumah dinas beliau?
Akhirnya, dosen Jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma membatasi
pencariannya atas pemikiran budaya Prof. Umar Kayam melalui 3 rujukan,
yakni Pembebasan Budaya-budaya Kita (Pidato Kebudayaan pada 18 Agustus 1989), Transformasi Budaya Kita (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada 19 Mei 1989), dan novel Para Priyayi.
Transformasi
Sejak dulu, Pak Kayam sudah menawarkan
tinjauan sejarah kebudayaan lengkap dengan analisisnya. Mulai dari
proses Jawanisasi atau Indonesianisasi terhadap pengaruh kebudayaan
India hingga zaman pasca Mataram awal, pengaruh Islam, datangnya orang
Barat, sampai sebelum dan sesudah kemerdekaan RI.
Menurut Pak Kayam, transformasi budaya
merupakan suatu proses yang lama, bertahap-tahap dan pada saat yang sama
dapat juga dimaknai sebagai sebuah titik balik (turning point) yang cepat, bahkan abrupt (mendadak).
Lantas, beliau mengutip pendapat Weber,
ternyata transformasi masyarakat Eropa menjadi masyarakat kapitalis
terjadi karena di dalam tubuh budaya masyarakat Eropa sudah terkandung
“bumbu-bumbu” (ingredient) budaya yang niscaya melahirkan “semangat kapitalisme tersebut.”
B. Rahmanto yang menjabat sebagai
editor Majalah Basis tersebut mengaitkan tesis di atas dengan konteks
Indonesia. Kembali ia merujuk pada pemikiran kebudayaan Prof. Kayam.
Ada dua jalur yang saling berkelindan dalam proses transformasi budaya
di tanah air. Pertama, transformasi budaya yang
menarik budaya etnik ke tatanan budaya negara-kebangsaan. Ini merupakan
konsekuensi dari komitmen untuk bersedia bersatu bernaung di bawah
satu negara-kebangsaan yang berbentuk satu republik kesatuan. Kedua,
transformasi budaya yang menggeser budaya agraris ke tatanan budaya
industri modern. Ini merupakan konsekuensi dari komitmen untuk mengubah
sistem ekonomi pertanian tradisi menjadi suatu sistem ekonomi industri
dan perdagangan.
(Bersambung)
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar