Dimuat di Kompas.com, Rabu/10 April 2013
http://oase.kompas.com/read/2013/04/10/23263493/Menguak.Lika-liku.Menjadi.Seorang.Ibu
http://oase.kompas.com/read/2013/04/10/23263493/Menguak.Lika-liku.Menjadi.Seorang.Ibu
Judul: Resep Cinta Ibu
Penulis Bersama: 11 Ibu Muda
Penerbit: Antarnusa Yogyakarta
Cetakan: 1/ November 2012
Tebal: 111 halaman
ISBN: 978-602-18405-4-2
Harga: Rp30.000
Penulis Bersama: 11 Ibu Muda
Penerbit: Antarnusa Yogyakarta
Cetakan: 1/ November 2012
Tebal: 111 halaman
ISBN: 978-602-18405-4-2
Harga: Rp30.000
Pada suatu sore, seorang Ibu duduk
termenung di kursi rodanya di tepian sebuah danau. Ia ditemani anaknya
yang telah mapan dan hidup berkeluarga. Lalu, sang Ibu bertanya, “Itu
burung apa yang berdiri di sana?” “Bangau Mama,” anaknya menjawab
dengan sopan.
Tak lama berselang, sang Ibu bertanya
lagi, “Itu yang warna putih burung apa?” Sedikit kesal anaknya
menjawab, “Ya bangau Mama…”
Belum sampai 5 menit, ibunya kembali
bertanya, “Lantas itu burung apa?” Ibunya menunjuk burung bangau tadi
yang sedang terbang. Dengan nada kesal si anak menjawab, “Ya bangau
Mama, kan sama aja! emang Mama gak liat dia terbang!”
Air menetes dari sudut mata sang Mama,
lantas ia berujar lirih, “Dulu 35 tahun yang lalu, aku memangkumu dan
menjawab pertanyaan yang sama untukmu sebanyak 10 x. Kini, aku hanya
bertanya 3 kali, kamu sudah membentakku 2 kali.”
Cerita klasik dari dataran China
tersebut memverifikasi kebenaran pepatah lama, “Kasih ibu sepanjang
jalan, kasih anak sepanjang penggalan (pengkolan).”
Padahal tak sekadar mengajari anak
berbicara, Ibu juga telah mengandung janin selama 9 bulan 10 hari,
kemudian berjuang menghadirkan bayi ke dunia dengan pertaruhan nyawa
dalam persalinan yang bersimbah darah, peluh, dan air mata.
Bahkan pengorbanannya tak berhenti
sampai di situ, ibu siap begadang menemani bayinya, memberi ASI,
mengganti dan mencuci popok, menyuapi makan, meninabobokan sebelum
tidur, merawat ketika sakit, (menitah) mengajarkan berjalan, mengenal
lingkungan sekitar, mendidik dan mengantar ke sekolah.
Buku “Resep Cinta Ibu” ini membangkitkan
kenangan manis ihwal orang tua, terutama sosok Mama. Terdiri atas 18
kisah pengalaman menjadi Bunda. Penulisnya 11 wanita yang dikaruniai
kesempatan menjadi figur feminim tersebut.
Ternyata salah satu dilema terbesar
kaum ibu ialah membagi waktu untuk buah hati tercinta dan karir.
Terutama pasca persalinan dan saat menyusui dengan ASI ekslusif. Air
susu alami pertama yang dikeluarkan berupa cairan bening. Dalam bahasa
medis disebut kolostrum. Kandungan gizinya dapat meningkatkan daya
tahan tubuh (imunitas). Jadi sedari awal, para ibu seyogianya
memberikan “hak” para bayi tersebut.
Menurut salah satu penulis, Ibu Nenny,
“Buatlah aktivitas menyusui menjadi sesuatu yang menyenangkan kita dan
membahagiakan bayi. Sungguh hal ini luar biasa. Begitu Allah memudahkan
segala urusan bila hati kita sudah berniat, tenang, dan ikhlas
(halaman 46).”
Wanita yang bekerja di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tersebut lantas berbagi tips agar ASI tetap mengalir deras. Caranya dengan rajin makan sayur-sayuran. Antara lain daun katuk, kacang hijau, susu kedelai, sayur bayam, madu asli, dan banyak minum air putih.
Di Indonesia, ada dua organisasi yang
sangat aktif memromosikan pentingnya ASI eksklusif, yaitu Sentra
Laktasi Indonesia (Selasi) dan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI).
Kedua lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut gencar melakukan
pelatihan dan konseling seputar ASI.
Menjadi ibu memang sebuah kebanggaan
bagi setiap perempuan. Karena ia merasa sempurna sebagai seorang
wanita. Bunda sebutan istimewa bagi kaum Hawa yang telah menikah dan
melahirkan seorang anak.
Dalam tradisi Islam, Ibu dimuliakan
lewat ayat-ayat Al-quran. Hadis Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu
mengisahkan, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus
berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab,
‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’
Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut
bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’
Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian baru ayahmu…” (HR. Bukhari no.
5971 dan Muslim no. 2548)
Ibunda Nabi Musa juga rela berpisah di
tepi sungai demi keselamatan anaknya. Demikian pula dengan Ibunda Isa
Sang Masiha yang tetap bertahan menghadapi cercaan tetangga karena Isa
kecil lahir tanpa sosok seorang ayah. Bunda Maria berjuang sendiri
untuk membesarkan dan mendidik Nabi Isa.
Pun perjuangan Siti Hajar, Ibunda Nabi
Ismail tak pelak mengundang decak kagum. Beliau rela hidup di padang
pasir yang tandus. Ibunda Nabi Ismail kemudian berlari seorang diri
dari bukit Safa ke bukit Marwah demi seteguk air untuk bayinya.
Menjadi Telingaku
Buku ini juga memuat kisah seorang ibu
yang memiliki anak tuna rungu. Di suatu gereja, pastor parokinya gemar
bernyanyi. Saat homili beliau suka menyisipkan sebait lagu yang sedang
hit (populer). Secara kreatif beliau mengubah beberapa bagian liriknya.
Tentu sesuai isi kotbah yang sedang disampaikan (halaman 80).
Pada bait yang lucu - pasca diubah oleh
Pastor - umat di gereja sangat menikmati lantunan suara emas beliau.
Anak penulis yang besar, Vincent bertanya, ”Bu, kenapa Pastor mengubah
lagunya? ‘kan kalimatnya bukan seperti itu.” ”Ya supaya umat tidak bosan
dan isi wejangan Romo bisa mudah diingat kita semua,” jawab sang Ibu.
Si anak kembali menyahut,” Oh…gitu ya Bu. Pastornya pintar…” Sembari
tersenyum mengingat bunyi syair tersebut.
Namun berbeda dengan Vinta, anak kedua
Estiningsih Budi Rahayu. Tampak Vinta memasang wajah bingung sambil
menoleh ke kiri dan kanan. Dia mencolek tangan ibunya dan berkata,
”Bu, apa yang lucu? Mengapa orang-orang tertawa? Kalau di gereja harus
sopan, tidak boleh bergurau!” Lalu sang Ibu menjelaskan bahwa tadi Romo
berkotbah, beliau menyanyikan sebuah lagu bagus. Dan…ada syair yang
diganti supaya umat tidak mengantuk.
”Wah, Pastor hebat ya Bu, bisa membuat
orang senang. Kalau saya bisa mendengar, saya pasti tertawa juga dan
sepulang misa saya mau bilang ke beliau bahwa saya suka homili Pastor.
Tapi saya tuli jadi tidak bisa mengerti,” sahut Vinta. Tatkala
mendengar tanggapan itu, spontan hati sang Ibu merasa “tertusuk”.
Kenapa? karena ia sering menganggap bahwa Vinta hanya perlu tahu
hal-hal yang memang ia butuhkan sebagai anak tuna rungu.
Singkat cerita, Ibunda tadi menjelaskan
pelan-pelan ihwal nyanyian Pastor. Agar bisa dibaca gerak bibirnya.
Untuk memeroleh efek jenaka, sang Ibu berujar, ”Tadi Romo waktu
menyanyi ada kata yang lupa. Dia memerhatikan dengan saksama sembari
menahan tawa dan berkata, ”Wah… Pastor tadi malu, ya Bu…Ditertawakan
banyak orang di gereja. Tapi tidak apa-apa, karena Pastor hebat dan
suaranya pasti merdu!”
Seusai Ekaristi keduanya pulang
berjalan kaki karena jarak rumah dan gereja hanya beberapa ratus meter.
Di jalan Vinta menggenggam tangan ibunya dan berkata, ”Terima kasih ya
Bu, sudah menjadi telingaku. Kalau Ibu sama-sama tuli seperti saya,
pasti kita tidak bisa tertawa bersama Pastor. Saya senang Ibu tidak
tuli, bisa membantu saya mendengarkan.” Dan di sepanjang perjalanan air
mata sang Ibu terus berlinang… (halaman 83).”
Tiada mawar tanpa duri begitu pula buku
ini. Sebagian besar kontributor penulisnya baru kali pertama menulis.
Sehingga dari segi redaksional perlu ada pembenahan. Misalnya pada
bagian kata pengantar, “…kisah-kisahnya sungguh bermakna dan dapat
dijadikan pelepas dahaga yang memberikat kekuatan (halaman 9).”
Barangkali yang dimaksud ialah “memberikan”. Dalam konteks ini, peran
editor dan proof reader menjadi sangat signifikan.
Terlepas dari kelemahan tersebut, buku
setebal 111 halaman ini menguak lika-liku menjadi seorang ibu secara
detail. Sejak dari proses mengandung sampai teknis cara mendidik anak.
Layak dijadikan bacaan bagi para pasangan yang berencana membangun
rumah tangga, ibu-ibu muda, dan siapa saja yang peduli pada pengorbanan
sosok terpenting dalam hidup manusia tersebut. Menyitir syair Byron in
Sardanapulus, “Payudara ibulah yang memancarkan kehidupanmu ke dunia.
Bibirnya yang mengajarkan tutur kata pertamamu. Ia pula yang menyeka
airmatamu ketika pertama engkau menjerit kepada dunia. Dan…keluh-kesahmu
selalu berakhir di telinga Ibu.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa
S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam), Ekskul English
Club di SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar