Juli 28, 2012

Referensi Seputar Pola Pengasuhan Anak


Dimuat di Koran Jakarta, Kamis/26 Juli 2012

Sejumlah pioner penelitian awal pola pengasuhan anak -seperti Erik Erikson, Anna Freud, Dorothy Burlingham- percaya bahwa buah hati tak sekadar butuh materi, tetapi lebih mendambakan empati. Interaksi manusiawi yang hangat dan penuh welas asih sangat mendukung anak, terutama dalam proses pengembangan sistem saraf pusatnya secara memadai.

Secara perinci, buku ini memaparkan penelitian mutakhir T Berry Brazelton (TBB). Dia mengamati bayi yang baru lahir. Ternyata bayi langsung belajar mengendalikan diri sendiri. Ia lantas merekam gerak-gerik isyarat di sekelilingnya. Selain itu, bayi juga suka mengontraksikan keempat otot refleks di otak tengahnya, antara lain dengan mengencangkan leher, memasukkan tangan ke mulut, mencari-cari, dan mengisap (hlm 2).

Selanjutnya, pada usia 8 pekan, bayi bisa membedakan suara/wajah ibu dan ayahnya. Hebatnya, ia juga dapat menanggapi secara majemuk. Dengan tenang, ia bersiaga, menunggu ibunya atau bermain dengan ayahnya. Sejatinya, proses ini menjadi pembelajaran awal untuk mengasah kemampuan pengendalian diri masa depan.

Menurut Stanley I Greenspan, sistem komunikasi bayi cenderung bersifat nonverbal seperti tertawa, menyorotkan tatapan mata, mengernyitkan dahi, menunjuk jari, menerima dan memberi. Dari situlah terlahir sistem canggih sebagai bekal penyelesaian masalah selama hayat dikandung badan. Jadi, sistem nonverbal lebih dominan ketimbang kata-kata.

Bahkan, orang dewasa pun cenderung lebih percaya kepada anggukan nonverbal atau tatapan persetujuan ketimbang kata-kata pujian yang kadang menyesatkan. Manusia juga cenderung menjauhi seseorang yang menyorotkan tatapan permusuhan walaupun bibirnya berucap, "Anda dapat memercayai saya..." (hlm 3).

Buku ini memuat kompilasi dialog antara Berry Brazeltin dan Stanley I Greenspan (SIG). Tema sentralnya seputar pernak-pernik pola pengasuhan anak sejak dalam kandungan hingga berusia 12 tahun. Sistematika buku terdiri atas 7 bab. Dari "Kebutuhan akan Perlindungan Fisik, Keamanan, dan Peraturan (hlm 77)" hingga "Melindungi Masa Depan (hlm 257)." TBB merupakan Profesor Emiritus Kesehatan Anak Harvard Medical School, sedangkan SIG masih tercatat sebagai Profesor Klinis Penyakit Jiwa dan Kesehatan Anak di Fakultas Kesehatan George Washington University.

Pada bagian pendahuluan terungkap kasus penelantaran anak di Rumania. Para bayi dan anak kecil di panti asuhan dibiarkan tanpa pengasuhan, jauh dari kehangatan insani dan minim interaksi sosial. Akibatnya, mereka berkembang dengan banyak kekurangan baik fisik, intelektual, maupun emosional. Walau sudah berusia 5 tahun, mereka hanya dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Jika marah, anak-anak tersebut akan berulang kali memukulkan tangannya atau bahkan menggigit pergelangan tangan sendiri. Mereka tak memiliki perbendaharaan kata untuk mengomunikasikan kebutuhan dasar sekalipun. Solusi penyembuhannya pun membutuhkan waktu lama. Bahkan, defisit perhatian pada masa awal pertumbuhan sulit pulih 100 persen.

Keunggulan buku ini terletak pada kejelian pengamatan dan validitas data. Ada kecenderungan baru yang melanda Amerika Serikat dan dunia. Menurut penulis, terjadi pergeseran pola asuh anak di era modern. Pada tahun 1970-an sampai 2000-an, jumlah keluarga yang menyerahkan bayi, batita, dan anak-anak usia prasekolah kepada orang lain melonjak pesat.Durasinya mencapai 35 jam atau lebih per minggu. Alhasil, 50 persen anak tidak dibesarkan oleh orang tua biologis.

Buku setebal 313 halaman ini dapat menjadi referensi bagi orang tua, guru, pekerja sosial, pengasuh bayi, dan semua orang yang peduli pada proses tumbuh-kembang buah hati tercinta. Dengan membaca ini, mereka dapat mengerti pola asuh sesuai kebutuhan psikososial anak.

Diresensi Nugroho Angkasa, Pembaca Buku, tinggal di Yogyakarta

Judul : Smart Parents, Happy Children, Kiat Praktis Membentuk Anak Sehat, Cerdas, dan Bahagia
Penulis : T Berry Brazeltin MD dan Stanley I Greenspan MD
Alih Bahasa : Peusy Sharmaya Intan Paath
Penerbit : Bhuana Ilmu Populer
Cetakan : 1/Mei 2012
Tebal : xxvi 313 halaman
ISBN : 9797984346


Juli 20, 2012

Mantra Ampuh untuk Manusia Modern

Dimuat di Kompas.com, 20 Juli 2012

http://oase.kompas.com/read/2012/07/20/18012550/Mantra.Ampuh.bagi.Manusia.Modern

1342795765478153759

Judul: Cinta yang Mencerahkan, Gayatri Sadhana Laku Spiritual bagi Orang Modern
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: Azka Mulia Media
Cetakan: 1/Mei 2012
Tebal: x + 238 halaman
ISBN: 978-979-090-357-9
Harga: Rp40.000

Sahabat penulis buku bercerita kisah miris (halaman 194). Ia sempat membeli rumah mewah seharga 500 dolar di Amerika Serikat. Tapi karena tak mampu membayar kontan maka ia berutang ke bank. Cicilannya jangka panjang, mencapai 30 tahun lebih. Dalam rencana tersebut, ia memasukkan kenaikan pangkat, kenaikan gaji, dan bonus dalam kalkulasinya.

Ironisnya, baru membayar uang muka dan cicilan selama 1 tahun lebih sedikit, negeri adidaya tersebut tumbang diterjang krisis ekonomi. Harga properti tak sekedar jatuh, tapi terjun bebas. Rumah seharga 500 ribu dolar dilelang seperti kacang goreng. Harganya jadi 200 ribu dolar saja. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, ia terkena PHK pula. Karena perusahaan tempatnya bekerja gulung tikar. Alhasil, rumah tersebut disita bank.

Lewat buku ini, Anand Krishna menganalisis secara kritis. Jika ada yang merugi sedemikian rupa, tentu ada yang meraup keuntungan. Karena hukum ekonomi mengatur mekanismenya secara gamblang. Pun pola ini berulang hampir setiap 100 tahun. Yakni tatkala great depression (1924) yang dipicu runtuhnya Wall Street dan kemudian terjadi lagi pada 2007 saat benua biru (baca: Eropa) dan dunia mengalami krisis akut hingga kini. Lantas, siapa yang memancing di air keruh tersebut? Bacalah setiap lembarnya, Anda niscaya temukan jawabnya.

“Cinta yang Mencerahkan, Gayatri Sadhana Laku Spiritual bagi Orang Modern” menawarkan pula solusi konkrit. Sehingga sidang pembaca dapat lolos dari perangkap tersebut. Caranya dengan meminjam istilah Sai Baba (1926-2011), ”Ceiling on desire (Batasi keinginan).” Kenapa? Karena siapa yang memiliki banyak keinginan sejatinya orang miskin. Sedangkan, ia yang memiliki sedikit keinginan ialah orang kaya (halaman 196).

Secara lebih rinci penulis produktif 150 buku lebih tersebut menguraikan detailnya. Ketika seseorang mengatakan, “Aku ingin ini, aku ingin itu…menjadi semacam afirmasi bahwa aku tak memiliki apa-apa. Aku miskin. Oleh sebab itu aku ingin ini, aku ingin itu, aku mau Dolar, aku mau Euro, aku mau Yen, aku mau Rupiah, aku mau Poundsterling, aku mau Yuan, aku mau Rupee, dst.” Para koruptor masuk dalam kategori ini. Bahkan kitab suci pun di mark up anggarannya.

Mereka menjadi miskin karena afirmasinya sendiri. Ia mengemis dan menjadi hamba dunia, “Berilah aku, berilah aku ini, berilah aku itu…” Ia menafikan kemampuan diri untuk meraih keberhasilan lewat jerih-payah dan kerja keras. Karena malas, lebih enak menjadi pengemis. Padahal itu sungguh merendahkan derajat kemanusiaan kita.

Alhasil, orang tersebut bergantung pada belas kasihan orang lain. Ibarat tumbuhan parasit yang menumpang pada induk semang. Uniknya, menurut aktivis spiritual lintas agama ini, ketergantungan itu bisa juga pada indoktrinasi/dogma tertentu. Sang Jiwa Ksatria melata lebih dina ketimbang cacing. Ironis bukan? Tapi sungguh ini berdasarkan kisah nyata.

Buku ini juga mengungkap fakta ilmiah. Ketika doa Gayatri dilantunkan dengan tulus dan tepat, “ia” tidak membutuhkan waktu sekian tahun cahaya untuk sampai ke matahari galaksi kita. Mengacu pada prinsip mekanisme kuantum (quantum mechanism), vibrasinya meloncat dari satu galaksi ke galaksi lainnya dalam 9 detik waktu bumi. Saintis J.B.S Haldane (1892-1964) menganjurkan agar mantra Gayatri dipahat di atas setiap pintu laboratorium dunia.

Tak hanya memaparkan teori, buku ini memberikan latihan praktis (halaman 211-227). Salah satunya Self Empowerment with Love (SELO). Sikap welas asih musti mewarnai keseharian ziarah hidup. Tentu dimulai dengan mencintai diri sendiri. Latihan ini paling bagus dilakukan pada pagi hari sebelum memulai aktivitas. Atau ketika sore hari sepulang kerja dan sebelum makan malam. Energi Kasih begitu feminin dan inklusif. Ia bersumber dari Bunda Alam Semesta (Mother of Universe) yang memeluk hangat semua anak-Nya.

Pun tak sekadar beretorika, secara personal penulis sungguh merasakan keampuhan mantra Gayatri. Pasca penahanan sepihak hakim Hari Sasangka pada April 2011 silam, ia menjalani aksi mogok makan selama 49 hari di Rutan Cipinang. Sebagai protes atas kebobrokan hukum di Indonesia. Saat itu, Anand hanya berbekal tasbih dari Lama Gangchen Rinpoche asal Tibet.

Alunan mantra Gayatri menemani Anand tatkala meregang nyawa antara hidup dan mati. Pada bagian kata pengantar Prof. Dr. I Made Titib, PhD, Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Bali mengapresiasi perjuangan tanpa kekerasan (non-violence) tersebut, “Saya sampaikan selamat kepada Anand Krishna yang demikian tabah. Beliau bagaikan Yudhisthira yang tegak di medan perang. Begitu tegar menghadapi pelbagai cobaan.”

Buku setebal 238 halaman ini merupakan referensi bagi siapa saja yang berniat melakukan olah batin. Universalitasnya dapat diterapkan dalam setiap lokus kehidupan. Sebab, menyitir pendapat Maulana Wahiduddin Khan, “Kemajuan spiritual tidak bisa diupayakan lewat pemahaman intelektual atau perdebatan teoritis, spiritualitas mesti dialami sendiri.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM (Sekolah Alam) Angon Yogyakarta)

Juli 16, 2012

Referensi Apik untuk Belajar Menulis

Dimuat di Okezone.com, 16 Juli 2012
http://suar.okezone.com/read/2012/07/16/285/663797/referensi-apik-untuk-belajar-menulis
1342502961860176130
Judul: Jurnalisme Dasar
Penulis: Luwi Ishwara
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: V / 2011
Tebal: xii + 188 halaman
ISBN: 978-979-709-542-0
Harga: Rp40.000


Ternyata Ernest Hemingway (1899-1961) sebelum menjadi novelis pernah menjadi wartawan. Ia sempat diundang ke konferensi pers Benito Mussolini. Para wartawan dibawa masuk ke kantor diktator Italia tersebut. Mereka mendapati Mussolini sedang asyik membaca sebuah buku.

Tatkala wartawan lainnya berdiri dan menunggu terpaku, Hemingway justru berjingkrak mendekati. Ia hendak melihat buku apa yang sedang dibaca Sang Diktator. “Kamus Perancis-Inggris, yang dipegang terbalik,” demikian tulis Hemingway dalam koran keesokan harinya.

Lewat kisah tersebut, Luwi Ishwara hendak menandaskan pentingnya rasa ingin tahu. Luwi mulai berkecimpung di dunia jurnalistik sejak 1967. Awalnya, ia bertugas sebagai wartawan di pengadilan. Tapi lantas merangkap meliput berita seputar pertahanan keamanan (hankam) juga. Sebab rekan kerjanya, wartawan hankam, Theodore Purba mendadak meninggal dunia. Dari liputan meja hijau dan hankam, Luwi beralih ke masalah Departemen Pekerjaan Umum (DPU).

Alumnus Fakultas Hukum (FH) Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung ini sempat belajar jurnalisme secara khusus pada 1973. Luwi dikirim ke Wellington, Selandia Baru oleh Colombo Plan. Yakni sebuah organisasi sosial-ekonomi bagi negara-negara Asia Tenggara dan Pasifik. Sepulang dari sana, pria asal Pamanukan, Jawa Barat ini menjadi editor Desk Kota, koordinator liputan ekonomi, editor Desk Artikel, dan penanggung jawab Desk Malam.

Lantas sejak 1987 hingga pensiun pada 1998, Luwi memimpin bagian lembaga pendidikan jurnalistik. Tugasnya mengajar para calon wartawan. Angkatan pertama terdiri atas 6 peserta. Mereka disebut “Angkatan Anggrek I”. Kenapa? karena pelatihan diadakan di pondok yang sebelumnya ditinggali seorang petani anggrek.

Selama 6 bulan pertama - tatkala mengajar angkatan pertama itu - toko buku belum sebanyak sekarang. Pemesanan buku dari mancanegara tidak semudah saat ini via internet. Sehingga Luwi musti rajin mengunjungi toko buku dan perpustakaan umum. Ia juga meminta kepada rekannya yang bertugas di luar negeri agar mengirimkan bahan-bahan pelatihan.

Buku “Jurnalisme Dasar” merupakan kompilasi catatan Luwi Iswara. Ada 57 referensi kepustakaan di dalamnya (daftar lengkap ada di halaman 184-187). Hebatnya, sebagian besar rujukan berbahasa Inggris. Misal karya monumental  Philip Meyer yang berjudul, “The Vanishing Newspaper: Saving Journalism in the Information Age” (Edisi Kedua, Universty of Missouri Press: 2009). Berbeda dengan 4 cetakan terdahulu yang bersampul biru, edisi kelima kali ini bersampul hijau menyala.

Buku ini mengulas ihwal kepercayaan publik kepada media. Misalnya dengan mengutip premis Hal Jurgenmeyer, “We were not in the news business, not even in the information business. We were “in the influence business.” Wartawan Knight Ridder itu berpendapat bahwa kita tidak lagi berada dalam bisnis pemberitaan, tidak juga dalam bisnis informasi. Kita semua berenang dalam pusaran bisnis pengaruh.

Setidaknya Surat Kabar Harian (SKH)  memiliki 2 pengaruh. Pertama, pengaruh sosial yang tidak dijual. Kedua, pengaruh komersial atas keputusan konsumen untuk membeli sebundel koran. Pengaruh sosial berbanding lurus dengan pengaruh komersial. Bukankah media yang berpengaruh memiliki pembaca setia. Sehingga ini otomatis menarik para pemasang iklan.

Dalam konteks ini, sinergi antara idealisme dan bisnis menjadi tantangan media. Claude Sitton, Direktur Editorial Observer Publishing Company berpendapat kalau surat kabar yang tidak sehat justru rentan terhadap pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya demi kepentingan pribadi/kelompok tertentu.

Di sisi lain, Ellen Hume mengingatkan agar koran tidak sekedar menjadi buckrakers alias pengeruk uang. Media juga musti memiliki idealisme sebagai pembongkar penyelewengan (muckrakers). Sebagai pilar ke-4 demokrasi, surat kabar musti menegakkan keadilan. Joseph Pulitser mengatakan bahwa ketakutan seseorang akan dibongkar oleh sebuah media massa, telah mencegah berbagai kejahatan koruptif dan tindakan amoral lainnya.

Buku ini juga membahas penyelidikan independen oleh pers. Yakni dengan cara menginvestigasi kegiatan pejabat, korporasi, dan lembaga publik lainnya. Sehingga surat kabar dapat memberi informasi kepada masyarakat demi transformasi sosial. Lazimnya, genre ini disebut watchdog journalism.

Di kutub lain, ada juga jurnalisme sampah (junk journalism). Misalnya berupa pembeberan gambar seronok di halaman muka surat kabar. Harold Evan, seorang mantan editor The Times menawarkan solusi konkrit. Kalau saja 1/10 energi yang dikeluarkan untuk mengintai kehidupan pribadi dimanfaatkan untuk memantau kekuasaan yang nyata, kita akan luar biasa menjadi lebih baik (halaman 38).

“Jurnalisme Dasar” dapat menjadi referensi bagi segenap civitas akademika dan siapa saja yang hendak belajar menulis. Agar dapat lebih kreatif dalam menggoreskan pena di atas kertas. Sepakat dengan pendapat Enrique Poncela, ”Bila suatu tulisan dapat dibaca tanpa bersusah payah, itu karena kesulitan yang besar telah hilang ke dalam penulisan. Aturan emas (the golden rule) berlaku pula dalam ranah jurnalistik. Menulislah untuk orang lain seperti engkau menginginkan orang lain menulis untuk Anda. Selamat membaca!

Menjadikan Hidup sebagai Berkah

Dimuat di Media Indonesia, 15 Juli 2012

Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur. Matur Sembah Nuwun __/\__

Judul: Swami Sri Sathya Sai Baba, Sebuah Tafsir
Penulis: Sai Das
Kata Pengantar: Ida Pedanda G.K. Sebali Tianyar
Penerbit: Koperasi Global Anand Krishna
Cetakan 2/ Maret 2012
Tebal: xxviii + 195 halaman
Harga: Rp42.000
ISBN:  978-602-95405-8-1

Judul di atas terinspirasi kesaksian seorang Ibu. Ia sahabat karib penulis buku ini. Teman tersebut pernah mengalami kecelakaan fatal di jalan tol. Insiden di jalur bebas hambatan kebanyakan mengakibatkan nyawa melayang. Sebab, kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi. Untungnya, wanita yang saat itu masih berusia 30 tahun selamat.

Kendaraannya terjungkal dan keluar dari ruas jalan. Sehingga hancur total. Ibu tadi sempat mengalami koma selama beberapa hari di rumah sakit (RS). Pasca siuman, ia mengisahkan kronologi kecelakaan yang hampir mengakhiri hidupnya, “Saya masih sadar ketika mobil terbalik, dan saya pikir sudah pasti mati…Tapi, tiba-tiba saya merasakan ada tangan yang menarik saya keluar lewat jendela secara paksa…Setelah itu saya tak ingat apa-apa lagi,” (halaman118).

Seorang yang dituakan dari keluarganya memberi semacam penerawangan. Kerabat tersebut memang rajin melakoni tradisi warisan leluhur, termasuk laku Kejawen. Menurutnya, tangan itu tangan Romo Baba. Demikian ia menyebut nama Swami Sri Sathya Sai Baba (alm).

Singkat cerita, walau sudah sembuh masih ada bekas luka jahitan memanjang di wajah Ibu tadi. Ia bisa saja menjalani operasi bedah plastik. Sehingga parasnya tetap terlihat cantik. Namun ia justru memilih membiarkan apa-adanya. Sebab bekas luka itu mengingatkan pada kebesaran Guru yang menyelamatkan dari ancaman maut.

Baginya hidup ini semacam bonus. Setiap kali ia bercermin terucap pula, “Alhamdulilah, Puji Tuhan! ” Ia bersyukur masih bernafas. Sebagai ungkapan terimakasih, setiap hari Minggu atau hari libur (holiday) ia menjadikannya hari suci (holy day). Ibu tadi mengadopsi sebuah panti asuhan. Seorang diri ia memenuhi segala kebutuhan anak-anak di panti tersebut.

Buku “Swami Sri Sathya Sai Baba, Sebuah Tafsir” ini merupakan cetakan kedua. Edisi pertama terbit pada 1986 silam. Semula judulnya, “Svami – Bhagavan Sri Sathya Sai Baba: Sebuah Tafsiran”. Hampir 30 tahun lebih buku ini hilang dari peredaran. Kemudian Ir. Ni Luh Wayan Sukmawati mengetik ulang kopiannya. Sehingga bisa diterbitkan kembali.

Pada bab 3, Sai Das mengisahkan pengalaman satu teman lain (halaman 51).  Orang tersebut hidup di antara buku. Rumahnya penuh ribuan buku. Oleh sebab itu, ia disebut si kutu buku. Ironisnya, karena banyak membaca ia lupa diri dan merasa lebih pintar dari orang lain. Para tetangga enggan bersahabat dengannya.

Dalam hati kecil, ia merasa kesepian. Segunung pengetahuan tak mampu mengobati kepedihan batinnya. Pada suatu ketika, ia bangkrut. Bisnisnya terpaksa gulung tikar. Kemudian ia mendatangi para kolega untuk mohon bantuan. Tapi ia malah jadi bahan cemoohan/ejekan. “Lihat-lihat si pintar jadi pengemis!”

Ungkapan ini memang tak sopan. Tapi mau bilang apa. Setiap orang menuai apa yang ditanam. Akhirnya, si kutu buku mulai berefleksi, ‘Di mana letak kesalahanku?” Ia berhenti menyalahkan orang lain dan keadaan sekitar. Dalam keadaan hidup enggan mati pun segan, beruntung ia bertemu dengan seorang Pemandu. Sang Guru menasehati, “Kau hanya kekurangan vitamin K alias Kasih. Selama ini, pengetahuan yang kau peroleh dari buku-buku malah menghambat perkembangan jiwamu.” (halaman 54).

Solusi

Sang Pemandu memberi jalan keluar. Gunakanlah pengetahuan untuk menyadarkan diri dan berbagi kesadaran. Gunakan pengetahuan untuk menemukan sumber Kasih di dalam diri. Sehingga kau dapat mulai mengasihi sesama. Uniknya, walau saat itu si kutu buku sedang merugi, Sang Guru justru menasehati untuk melayani sesama, “Pergi dan layanilah mereka yang sedang menderita, kekurangan sandang, dan pangan. Berusahalah, sebatas kemampuanmu saat ini, melayani mereka dengan semangat manembah. Lihatlah Tuhan di dalam diri mereka.” (halaman 57).

Dalam beberapa bulan, orang tadi mulai membaik usahanya. Tak sampai 2 tahun, ia meraup keuntungan kembali. Namun ada satu perubahan drastis. Pasca pengalaman itu, senantiasa ia menyisihkan sebagian laba untuk pelayanan. Minimal 10%, maksimalnya tak terbatas. Ia menyumbang pembangunan rumah sakit, sekolah, dan fasilitas publik lainnya. “Ku sudah tak tahu lagi, apa yang mesti kulakukan dengan uangku. Sungguh ajaib berkah dari-Nya,” ujar si kutu buku.

Buku ini terdiri atas 8 bab. Berisi tafsiran atas ajaran dan kehidupan Swami Sathya Sai Baba. Antara lain: Swami sebagai Sang Avataar, Sang Penuntun, Sang Pengasih, Sang Pemersatu, Sang Pelindung, Sang Pengampun, Sang Penyelamat, Sang Pencegah, dan Sang Sutradara.

Swami Sathya Sai Baba dilahirkan dengan nama kecil Sathya Narayana. Tepatnya  di desa Puttaparti, India Selatan. Pada usia 14 tahun, beliau mengumumkan dirinya sebagai penjelmaan Shirdi Sai Baba, seorang Mistik Sufi dari India Tengah (Shri Sai Satcharitha: 2010).  Kemudian, berduyun-duyun datanglah warga Eropa, Amerika, Amerika Latin, Afrika, Auatralia, Timur Tengah, dan dari Kepulauan Nusantara untuk ngangsu kawruh (belajar).

Berikut ini syair yang memuat intisari ajaran Baba, “Cintailah semua makhluk di dunia, sayangilah seluruh umat manusia, jangan kau menyakiti hati siapa saja, jangan kau menghina diri siapa saja, itulah pelajaran Sathya Sai Baba, itulah intisari ajaran agama.” (halaman 38). Keunggulan buku ini tak hanya memuat khasanah spiritual adiluhung, tapi dilengkapi dengan paparan ihwal pola makan sehat.

Dewasa ini, makanan vegetarian mulai menjadi tren. Dulu susah mencari restoran vegan. Kini, jumlahnya kian menjamur. Karena orang mulai sadar, daging tidak sehat untuk tubuh manusia. Binatang karnivora cocok memakan daging karena ususnya pendek. Sehingga bisa langsung dibuang dengan cepat. Sedangkan pada perut manusia, ususnya relatif panjang. Bisa mencapai 12 meter lebih. Akibatnya, justru bisa meracuni tubuh sendiri.

Tatkala masih muda memang tak terlalu terasa. Makan apa saja masih bisa. Namun saat memasuki usia 40 tahun, benih keteledoran yang ditanam mulai berbuah. Pola makan yang tak karuan mulai berakibat langsung pada kesehatan tubuh. Dari diabetes, jantung, tekanan darah tinggi, gangguan ginjal, hati keropos, dll.

Barulah si empunya badan tersadarkan pada nilai kesehatan. Pun baru mau meluangkan waktu untuk berolahraga. Namun semua sudah terlamabat. Kerusakan terlanjur terjadi tak bisa diperbaiki lagi. Dalam konteks ini, tamsil lama menjadi relevan, “Lebih baik mencegah ketimbang mengobati.”

Sai Das memberi resep sederhana. Minimal sehari dalam seminggu berpuasalah. Hindari nasi, daging dan makanan tinggi kolesterol. Konsumsilah sayuran dan buah-buahan. Pun perbanyak minum air putih (minimal 2 liter sehari). Sehingga memberi kesempatan detoksifikasi. Itulah sebabnya, dalam tradisi Kejawen ada tradisi poso ngrowot. Ternyata mereka lebih bijak ketimbang manusia modern yang hobi menyantap fast food.

Buku setebal 195 halaman ini sekadar mengingatkan sidang pembaca. Tuhan bersemayam di dalam diri segenap titah ciptaan. Pun termasuk di setiap sel badan ini. Menyitir pendapat para bijak, “Bila engkau tak merawat tubuhmu, lantas di mana Sang Jiwa harus tinggal?” Dalam konteks ini dikotomi lahir dan batin menjadi nisbi. Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di Sekolah Alam Angon Yogyakarta)

Juli 13, 2012

Ajaran Guru Sejati dalam Tembang Macapat

Dimuat di Sesawi.net, 12 Juli 2012
http://www.sesawi.net/2012/07/12/ajaran-guru-sejati-dalam-tembang-macapat/

“Merga bener wani rekasa lan pasrah Gusti yen diwada.” (G.P. Sindhunata, S.J, halaman 528)

“Karena benar berani menderita dan pasrah pada Tuhan saat dicaci-maki.” Begitu selarik petikan kidung Romo Sindhu. Judulnya Sabda Rahayu. Total ada 9 ayat yang notabene musti dilakoni dalam keseharian. Pemimpin Redaksi Majalah Basis ini memodifikasi tembang “Tombo Ati” agar manusia dapat mencecap nikmat anggur “Rahayune Urip” (kebahagiaan hidup).

“Injil Papat, Piwulang Sang Guru Sejati ing Tembang Macapat” terdiri atas gubahan kitab-kitab klasik. Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes disunting bersama Ag. Suwandi, S.Pd dalam bentuk macapat. Sebentuk sintesis dialektik antara budaya Jawa dan ajaran Gereja. Referensi utamanya ialah Injil Perjanjian Baru (PB) dari Romo A. Soenarjo, SJ.

Sindhunata lebih dikenal sebagai budayawan, esais sepak bola, dan penulis feature bergenre humanis. Ternyata, ia masih terdaftar sebagai seorang paderi Jesuit. Pun tekun mendalami laku Kejawen. Sebelumnya, Romo Sindhu telah menulis buku-buku berbahasa Jawa. Antara lain, nDerek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi, dan Nggayuh Gesang Tenterem: Novena Margining Kabegjan.

Sedangkan, Ag. Suwandi, S.Pd sempat bekerja sebagai guru dan dosen. Selama 8 tahun, mereka berduet menyunting ayat-ayat Kitab Suci (KS) menjadi untaian tembang macapat. Selain itu, buku ini kian komplit berkat visualisasi aneka lukisan karya Herjaka. Ia dikenal sebagai seniman yang gandrung pada seni wayang.

Injil Papat mengalami cetak ulang yang ke-3 hingga tahun lalu. Pada halaman sampul, tampak Ki Semar menembang dengan lamat-lamat (perlahan dan penuh nikmat). Sedangkan, Bagong, Gareng, dan Petruk menyimak santai sembari bersila, duduk timpuh, dan bahkan tiduran terkurap.

Bagi kaum muda yang lebih sering menonton MTv (Music Television), aktivitas melagukan tembang macapat bisa jadi membuat lidah kelu, “Ana kidung rumeksa ing wengi / Teguh ayu luput ing lelara / Luput ing bilahi kabeh / Jin setan datan purun / Paneluhantan ana wani / Miwah panggawe ala / Gunaning wong luput / Geni atemahan tirta / maling adoh tan wani perak ing mami / Tuju guna pan sirna…” (halaman 33).

Padahal, sejatinya arti petuah lelulur tersebut meremangkan bulu roma, “Ada kidung penguasa malam / Sehat dijauhkan dari penyakit / Terbebas dari semua kesialan / Jin dan setan tidak mau mendekat / Teluh tidak mempan / Termasuk hasrat mencelakai / guna-guna orang keblinger / Api ditaklukkan air / Pencuri menjauh tak berani mendekat / Segala niat jahat pun sirna.”

Lazimnya, tembang macapat dilagukan dalam wayang kulit, ketoprak, dan kenduren. Isinya berupa petuah para bijak ihwal kebenaran hidup. Nilai keutamaan yang semula dibaca atau dikotbahkan, kini dinyanyikan dengan pakem tertentu. Setidaknya, terdapat 9 ragam cengkok/irama. Antara lain dhandanggula, sinom, asmaradana, pangkur, mijil, gambuh, durma, maskumambang, dan pucung.

Menurut Triwidodo (2012), ada urutan dalam macapat tersebut. Misalnya, maskumambang ialah simbolisasi janin yang masih mengambang dalam rahim ibunda. Kemudian, asmaradana merupakan representasi masa pubertas, tatkala para muda-mudi terbakar api asmara. Selanjutnya, pangkur menjadi pengingat (reminder) untuk menarik diri dari hiruk-pikuk kehidupan duniawi. Bahasa formalnya disebut pensiun.

Bagaimana postur tubuh saat orang bermacapat? Biasanya, kita duduk bersila dengan rileks. Tidak terpacak kaku (jinggleng njepaplem). Tidak muram (njethutut) ataupun mengurut dahi (njengkerut). Sembari mendengarkan kidung, hadirin boleh menyeruput wedang jahe dan mengemil jajanan pasar. Ajaran berbobot yang didaraskan lewat tembang, niscaya lebih meresap ke dalam kalbu.

Macapat rupanya sejalan pula dengan lectio divina continua. Sebuah tradisi yang sudah dipraktikkan dalam liturgi gereja selama berabad-abad. Arti harfiahnya mengidungkan bacaan suci. Mirip seperti tembang macapat, dalam lectio divina ini teks kitab suci dinyanyikan.

Menurut buku ini, ada 4 tahapan yang harus dilalui. Yakni lectio, meditatio, oratio, dan comtemplatio (halaman 30). Senada dengan pendapat Anand Krishna, dalam setiap tradisi agama memang senantiasa menyediakan ruang untuk olah rasa. Misalnya lewat Bhajan (Hindu), Zikir (Islam) , Japha (Buddhist), dan Chanthing/mantra (Kong Hu Chu).

Lebih lanjut, Romo Sindhunata memaparkan bahwa lewat lectio divina orang melakoni rumination. Artinya, ia memamah berkali-kali. Ibarat seekor sapi di padang rumput. Sembari rebahan terkantuk-kantuk ia mengunyah kembali (nggayemi) rerumputan hijau. Sepertinya, binatang itu tertidur namun sejatinya sedang mengalami kepuasan puncak.

Dalam konteks ini, ruminatio menjadi bahan baku dari lectio divina. Berkatnya, manusia merasa teduh, rendah hati, dan tahu diri. Senada dengan ayat dalam Kitab Mazmur, ”Jiwaku tenang laksana bayi di pangkuan Ibunda. Bagai bayi sehabis menetek terasa tenteram dan damai.”

Buku setebal 528 halaman ini dapat digunakan sejak jabang bayi keluar dari rahim ibu sampai manusia kembali ke haribaan bunda alam semesta. Dari acara selapanan (peringatan 35 hari kelahiran), malam midodaren (acara jelang resepsi pernikahan), hingga pengetan memule arwah (tirakatan untuk mendoakan leluhur).

Injil Papat merupakan sintesis ajaran gereja dan budaya. Agama dan kepercayaan di Indonesia memang perlu lebih adaptif terhadap kearifan lokal. Selamat membaca!

Judul: Injil Papat, Piwulang Sang Guru Sejati Ing Tembang Macapat
Penulis: G.P. Sindhunata, S.J dan Ag. Suwandi, S.Pd
Penerbit: Boekoe Tjap Petroek Yogyakarta
Cetakan: III/2011
Tebal: 528 halaman
ISBN: 978-979-3695-990

13421838821987390410

Juli 03, 2012

Memuisikan Matematika dengan Cinta

Dimuat di Koran Jakarta, 4 Juli 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/94818

Berikut ini versi awal sebelum diedit th. Redaktur
1341362989628976014
Judul: Sekolah itu Surga
Penulis: HJ. Sriyanto
Kata Pengantar dan Epilog: St. Kartono dan A.A. Kunto A
Penerbit:  Selingkar Rumah Idea (SRI) Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: 1/April 2012
Tebal:  xvi + 162 halaman
ISBN:  978-602-98333-8-6

Cintaku padamu tak terlimitkan // Bagaikan sebuah tangen 90 // Tak tersubtitusikan di hatiku // Tak terbagi laksana bilangan prima… (halaman 116)

Begitulah petikan puisi matematika karya Aditya Yudhatama. Judulnya “Cinta Tanpa Limit”. Tatkala mengajar pada jam ke-8 (12.45 WIB), penulis - yang berprofesi sebagai guru matematika SMA Kolese De Britto, Yogyakarta tersebut - membuat terobosan baru. Tujuannya untuk menghapus sterotip pelajaran matematika itu memusingkan.

Berdasar pengalaman HJ. Sriyanto, resep ini mujarab. Pun dapat menjadi model alternatif pembelajaran. Terlebih pada jam-jam terakhir, tatkala keletihan mulai menghinggapi para murid. Alhasil, mereka dapat tertawa terbahak-bahak bersama, usai mendengar salah satu siswa membaca buah kreatifitasnya di depan kelas. Berikut ini kutipan puisi lain dari Silvio Adriano, “Terus engkau berlari lepas // layaknya faktorial tak berujung // Entah kapan piktogram hatiku ini // Mendendang cinta kita dalam union… (halaman 117, Polinomial Cinta).

Dalam buku ini, pendamping ekstrakurikuler Teater tersebut memaparkan filosofi di balik puisi matematika. Selama ini, para siswa cenderung menghafal rumus-rumus. Mereka kurang memahami arti di balik simbol. Jika seorang murid dapat mempuisikan matematika dengan cinta, niscaya ia dapat merasakan samudera keindahannya.

“Sekolah itu Surga” merupakan buku perdana penulis. Isinya antologi artikel. Sebagian besar pernah dimuat di pelbagai media massa. Baik koran lokal maupun nasional. HJ. Sriyanto berguru cara merangkai gagasan lewat untaian kata dari St. Kartono. Berikut ini kesaksiannya, “Takkan pernah terlupakan dialah yang mencorat-coret tulisan pertamaku sebelum dimuat di sebuah harian lokal di Jogja.” (halaman viii). Buku ini terdiri atas 4 bab: Dari “Siapa Bilang Jadi Guru Itu Gampang?!” sampai “Mengarungi Arus Globalisasi.”

Ada sebuah kisah menggetarkan. Jelang kelahiran anak pertama,  penulis beserta istri pindah ke rumah di Cawas, Klaten, Jawa Tengah. Jaraknya sekitar 45 km dari sekolah tempatnya bekerja di kota gudeg. Pilihan ini berdasarkan pertimbangan matang. Ia ingin anaknya menghabiskan masa kecil di desa. Sehingga relatif dekat dengan alam (baca: sawah) dan tumbuh mengakar dari lingkungan yang kental nuansa kebersamaan(gemeinscaft).

Konsekuensinya tidak mudah. Pak guru harus nglaju (ulang-alik) dari Cawas ke Jogja setiap hari. Berangkat pagi-pagi ketika orang lain masih terlelap di alam mimpi dan pulang larut malam ketika pintu rumah para tetangga telah rapat terkunci. Inilah rutinitas yang ia jalani dengan ugahari. Ban bocor malam-malam, menembus kabus pagi, basah kuyup terguyur hujan sudah biasa (halaman 7). Ibarat sebatang tongkat. Saat seseorang memegang ujung yang satu, maka ujung lainnya menjadi tak terpisahkan.

Namun berkat kompetensi dan dedikasinya, penulis beroleh kesempatan mengikuti Advanced Teacher Programm (ATP) di St. Ignatius College Riverview. Letaknya tak jauh dari Rose Garden Sydney nan asri itu. Puluhan guru dari pelbagai negara se-Asia Oseania berkumpul untuk berbagi pengalaman mengajar. Ajang ini ibarat kawah candradimuka. Tempat berefleksi, mengevaluasi dan mengembangkan skill mengajar dengan dukungan fasilitas ICT.

Berdasarkan observasi Mbah Joyo (nama panggilannya di kelas), di sana para guru mempunyai target yang jelas dalam setiap proses pembelajaran. Mereka menyiapkan media belajar yang dibutuhkan secara rinci. Pun menguasai pelbagai metode untuk memudahkan siswa menguasai materi ajar. Misalnya di kelas sains, sebelum praktik dilakukan guru meminta siswa yang memiliki alergi atau penyakit tertentu tidak boleh mengikuti praktikum tersebut. Sang guru menguasai dan mengetahui betul resiko dari kegiatan praktik tersebut. Sehingga ia melakukan langkah antisipatif (halaman 236).

Colegio De Sao Jose merupakan sekolah lain yang sempat disambangi penulis. Letaknya di pelosok Timor Leste. Meski sudah 10 tahun berpisah dari NKRI, negeri muda itu menghadapi kendala pendidikan. Akarnya karena perbedaan bahasa. Ada 3 ragam di sana: Tetun, Indonesia, dan Portugis. Bahasa Tetun merupakan dialek lokal. Sayangnya, banyak istilah iptek yang tak ada padanan katanya. Secara politis, pemerintah lebih menginginkan bahasa Portugis sebagai bahasa pengantar di sekolah.

Dalam perjalanan ke Maubara, penulis juga menyaksikan pemandangan aneh. Para guru duduk berdesak-desakan di bak belakang truk. Selama 3 jam mereka terpanggang sinar matahari yang begitu terik. HJ Sriyanto teringat teman-temannya di pulau Jawa. Mereka acapkali berkeluh-kesah meski pergi ke sekolah dengan bus ber-AC. Padahal wajah para guru di Dili itu tak sekilas pun menyiratkan keputusasaan.

Selain itu, terungkap pula kisah mencekam pascareferendum. Para guru bertaruh nyawa di bandara Timor Leste. Mereka berupaya menenangkan pengungsi dan anak didik yang ketakutan. Desingan peluru jelas terdengar di atas kepala. Kesaksian itu membuat penulis tak kuasa berkata-kata. Dalam hati ia membatin, “Semoga aku bisa menjadi perpanjangan tangan untuk menyalurkan harapan…” (halaman 143)

Buku setebal 162 halaman ini buah pemikiran seorang guru. Ia tak bicara dari menara gading, tapi dari dalam ruang kelas. Dengan menyelaminya, pembaca belajar menerima kelebihan dan kekurangan dalam diri anak didik. Menyitir pendapat Andy Ardana, “Membaca buku ini, seakan mendarat di tempat yang tak lazim dan kelaparan. Kemudian bertemu sepotong ayam goreng. Tidak asing di lidah, ringan, namun mengenyangkan. Dan yang pasti memberi semangat untuk bergerak.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Sekolah Alam Angon dan Ekstrakurikuler Bahasa Inggris SMP Kanisius Sleman, Yogyakarta)

Juli 02, 2012

Merajut Masa Depan Bocah Merapi

Dimuat di Indonesia Art News, Senin/2 Juli 2012
http://indonesiaartnews.or.id/bukudetil.php?id=11

POLOS nian ekpresi anak-anak lereng Merapi, walau sebenarnya mereka geram menyaksikan penambangan pasir yang merusak alam desa Sumber, Muntilan, Jawa Tengah. Maka, tatkala bocah-bocah tersebut berpapasan dengan truk-truk penjarah pasir di jalan, tanpa ada yang mengkomando mereka sontak terdiam. Lantas, apakah anak-anak desa itu kemudian melempari batu? Ternyata tidak, mereka hanya tak mau mengeluarkan sepatah kata pun. Tetapi begitu terbebas dari pandangan yang menyiksa itu, mereka kembali berlarian, bersenda-gurau, dan bersiul gembira.

Begitulah penuturan Romo Vincentius Kirjito Pr selaku "pamong" mereka. Putra pasangan Kromo Pawiro dan Padinem ini merupakan alumni Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Ada satu prinsip yang menarik untuk dicermati. Baginya, media massa bukan sekadar “panggung” untuk pemberitaan sebagai seorang pesohor.

Dalam konteks ini, sungguh berbeda dengan kecenderungan para elit politik yang 'hobi" menggelar konferensi pers. Paderi desa kelahiran Menoreh, 18 November 1953 tersebut memaknai interaksi dengan media massa tak cukup sekadar menjalin komunikasi antara seorang berjubah dengan pekerja pers. Kenapa? Karena ini lebih merupakan srawung (interaksi) antarmanusia yang berkehendak baik.

Pastor Praja (Pr) Keuskupan Agung Semarang (KAS) ini mengaku terinspirasi dari petuah Romo Y.B. Mangunwijaya. Pada 1987 silam, tepatnya di Salam, kabupaten Magelang, ada pelatihan terkait tugas-tugas Imam di dalam masyarakat. Mendiang Romo Mangun berpesan, “Imam Praja itu punya kesempatan bagus untuk dekat dengan masyarakat, merasakan denyut nadi, suka-duka masyarakat.

Dalam sistem politik yang semakin menekan masyarakat, seorang Imam Praja bisa menjadi saluran menyuarakan aspirasinya. Paling tidak bisa menyalurkan lewat media massa, entah dengan menulis atau sekurang-kurangnya menjadi narasumber media dalam mencari kebenaran suatu masalah dalam masyarakat. Karena media massa itu yang memerankan “wakil rakyat” yang sesungguhnya (halaman v)”.

Buku ini merupakan kompilasi buah pena para insan pers selama 10 tahun (2001-2011). Isinya menyiratkan betapa komplit dinamika kehidupan masyarakat di pedesaan. Mulai dari keindahan lingkungan alam sekitar, kearifan pustaka budaya lokal, hingga keluh-kesah akar rumput dan warta bahagia dari lereng Merapi. Penulisnya terdiri atas para wartawan media cetak dan elektronik. Baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Total ada 51 artikel. Terbagi ke dalam 3 sub-bab: Masalah Ekologi, Pagelaran Budaya, dan Spiritualitas.

“Know Thyself,” sebuah mantra ampuh dari Yunani. Artinya, “Kenalilah Dirimu.” Menyitir pendapat Anand Krishna. Ternyata, ada 3 macam diri manusia. Pertama, diri kita menurut orang lain. Kedua, diri menurut diri kita sendiri. Ketiga, diri kita yang sejati. Lantas, bagaimana anak-anak Merapi menemukan kembali jati dirinya? Yakni, sebagai bagian dari kolektivitas wong gunung nan murni itu. Lewat artikel bertajuk, “Kawruh Sakti untuk Anak-anak Merapi” (halaman 91-94) termaktub jawabnya.

Alkisah, Anjani berpesan pada Anoman dalam pertunjukan Wahyu Mangliawan, “Anakku, mulai saat ini jika kamu haus minumlah embun di pepohonan dan rerumputan, jika kamu lapar makanlah buah dan ubi di hutan. Itu sama dengan meminum air susu ibumu dan memakan masakan ibumu. Ketika kamu bersedih karena kesepian, kamu tidak boleh lagi menangis karena sendiri. Alam ini adalah saudaramu...”

Artinya, kembali ke Bunda alam semesta (back to Mother nature). Mendekatkan anak-anak dengan lingkungan sekitar dan budaya lokal. Dua acungan jempol untuk kreatifitas anak-anak lereng Merapi. Terutama tatkala mereka bermain dhakon. Kenapa? Karena tanpa papan congklak sekalipun, para "bolang" dusun Gemer, kecamatan Dukun, Muntilan tersebut masih bisa menikmati keindahan masa kanak-kanak.

Mereka menggambar lingkaran-lingkaran di tanah dan kemudian mengumpulkan aneka kerikil dari sungai. Menurut Ibu Giyanto yang biasa mendampingi tunas-tunas muda tersebut, orang tua mereka tak mampu membelikan mainan ala wong kota seperti Play Station (PS), pedang-pedangan yang bisa menyala, ataupun televisi berwarna. Kenapa? Karena 99,9 persen berprofesi sebagai petani (miskin). Keunggulan dolanan anak ini ialah memfasilitasi interaksi intra dan antar-anak. Sejak dini mereka dibudayakan bersikap lepas-bebas dan apresiatif terhadap rekan sepermainan dan lingkungan sekitar.

Marketing Guyup

Buku ini juga memuat artikel ihwal perjumpaan 2 tokoh. Yakni, mengulas interaksi Hermawan Kertajaya (HK) dan Romo Kirdjito (RK). Pada 18 November 2009, keduanya sempat merayakan pesta ulang tahun di keheningan alam Merapi. Kebetulan HUT mereka sama. Kenapa kedua pria tersebut begitu spesial? Karena mereka menyadari ketidakhebatannya. Sehingga masing-masing tetap mau belajar satu sama lain.

Selama misa Alam, HK—yang dikenal sebagai pakar pemasaran (marketing)—mengaku merasa kecil dan tiada arti. “Saya betul-betul merasa kecil dan tidak ada artinya ketika berada di alam. Saya sungguh merasakan alam tidak membedakan kita. Yang kaya, yang miskin, yang pinter, yang bodoh, dan lain-lain semua sama di hadapan Alam dan Tuhan.” (halaman 159).

Pada satu sesi sebelum misa berlangsung, ia diminta mengambil 10 tumbuhan berbeda. HK memang berhasil membawa genap 10 tanaman. Tapi tidak ada satu pun tumbuhan yang dikenalinya. Walau sekadar rumput ilalang atau putri malu sekalipun. “Saya mampu mengumpulkan 10 tanaman, tapi saya tak tahu namanya hehe. Betul-betul nol pengetahuan saya soal tumbuhan,” ungkapnya di hadapan seluruh peserta misa Alam.

Frietqi Suryaman menyumbangkan sebuah artikel apik. Yakni, ketika Hermawan Kertajaya hendak memberi kenang-kenangan, berupa piano kepada masyarakat desa Dukun. Namun RK tidak mau, ia justru menginginkan disumbang seperangkat alat gamelan untuk masyarakat setempat. Kenapa? karena kalau piano hanya dimainkan oleh satu orang, sedangkan gamelan mau tak mau harus dimainkan secara kolektif. Inilah praktik guyup rukun yang sejati.

Menurut HK, sosok Romo Kir dapat dilihat dari sudut pandang marketing. Pertama, dia punya komunitas loyal, yakni masyarakat Merapi. Kedua, ia pastor yang tak dilambangkan sebagai sebuah salib saja, tapi sebagai manusia berbudaya. Sehingga bisa merangkul semua pihak. Bahkan yang saling bersengketa sekalipun.

Kemudian, secara blak-blakan, HK juga mengungkap akar masalah krisis global dewasa ini. Yakni, pemasaran yang melulu berorientasi pada laba. Seseorang sebenarnya belum mampu membeli suatu produk. Kendati demikian, perbankan dan pengusaha menggunakan paham marketing "asal untung". Akhirnya, konsumen terbuai membeli produk tersebut.

Tapi karena tak mampu membayar cicilan kredit, barang itu terpaksa ditarik kembali. Ketika tak ada yang mampu membeli, terjadilah penumpukan aset dan kolaps seperti sekarang. Dalam konteks ini, HK melihat marketing religius, humanis, dan ramah lingkungan sebagai solusi. Produk harus dekat dengan alam dan menjunjung nilai-nilai ketuhanan. Sejatinya, Romo Kir dan komunitas budaya di lereng Merapi telah menerapkan filosofi tersebut.

Lewat buku ini, Romo Kir juga mengungkap rahasia sukses gerakan budaya di komunitasnya. Gunung Merapi selalu menggelontorkan energi dahsyat. Sehingga ia mampu bertahan di tempat "panas" tersebut. Ia mengaku bukan orang pintar dan tak punya gelar akademisi tertentu. Sumber kreatifitasnya semata dari Merapi. Air, bebatuan, tanah, pasir, tanaman, pepohonan, hutan, semuanya memancarkan kekuatan magis. Yang tak kalah hebat ialah tradisi, kesenian, dan kebudayaan masyarakat di pelosok kaki gunung Merapi.

Sedikit informasi ihwal Gubug Selo. “Gubug” tersebut berupa ruangan besar dan terbuka. Uniknya, selain dipakai untuk perayaan Ekaristi, dimanfaatkan pula untuk kegiatan yang berkaitan dengan seni dan budaya. Menurur Lik Kir, bangunan ini melambangkan keinginan untuk terus belajar. Jadi, merangkul semua, menghargai semua. Peraih Maarif Award 2010 ini melihat budaya Indonesia memang majemuk. Sehingga spiritualitas komplementer lebih relevan. Kecenderungan resisten, defensif, apalagi agresif perlu ditinggalkan. Praksis agama nan ramah terhadap pluralitas kebudayaan niscaya menciptakan iklim yang lebih sehat bagi kehidupan bersama (halaman 216).

Tak ada gading yang tak retak. Buku ini memiliki beberapa celah. Salah satunya, terdapat beberapa kesalahan ketik. Sehingga sedikit mengganggu kenyamanan membaca. Ke depannya, bila hendak dicetak ulang, peran editor menjadi signifikan.

Terlepas dari kelemahan tersebut, antologi artikel ini niscaya membuka wawasan sidang pembaca. Hingga kini kekayaan berlimpah dari alam Merapi justru dijarah oleh para cukong dan kompradornya. Berkah bumi Merapi belum dinikmati secara merata oleh masyarakat pedesaan. Sepakat dengan pendapat Romo Kir, "Masa depan Merapi ada di tangan mereka (baca: anak-anak lereng Merapi). Saya berharap mereka akan menjadi penyelamat yang melayani makhluk lain sebagaimana Alam melayani mereka." Selamat membaca! ***

Judul Buku : Tapak Romo Kir
Penulis : Kumpulan Tulisan Wartawan
Penerbit : Waktoe, Magelang
Cetakan : 1/Februari 2012, 
Tebal Buku : xx + 273 halaman

Diresensi oleh T. Nugroho Angkasa S.Pd., Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) Yogyakarta, pengelola http://www.angon.org/

Trans-Personal Working Ethic

Reviewed by: T. Nugroho Angkasa

Published at Aspensi.com, July 2, 2012

http://aspensi.com/views/2012/07/02/1351/1350000-trans-personal-working-ethic-a-book-review

Indonesian archipelago is surrounded by water. Under those oceans, there are rings of fire also. The earth slab below moves constantly. It causes some tectonic and volcanic activities at many regions. Moreover, water and fire are opposite nature’s elements. We are all; dwell on the middle of the dominance of both (page 49).

This keen observation was revealed in Anand Krishna’s writing. The author of more 150 books explained the reason why we tend to be emotional. Indeed, excessive emotions, on the other hand can bring us to become world-class artists. According to him, if we mastered English well, we can stand in line with many writers from India and Pakistan. Therefore, we can write in the newspaper at the foreign countries.

Unfortunately, the influence of the water and fire elements tend to made us irritable. When we wanted to be angry, it was defeated by the water element. However, the anger was still hidden inside. As the result, every several years, we become furious collectively. The term “amuk” was only able to be found in Indonesian dictionary.

Sometimes people were in conflict because of PKI’s (Indonesian Communist Party) rebellion (1965), then because of the different of Tribe, Religion, Race, an Inter-group’s (SARA) issue (1998), and so on. When it is examined in depth, the root is the clash between elements of water and fire within.

Our ancestors realized that geographical conditions related to the inner mood. Therefore, they encouraged mutual cooperation (gotong royong) as the way of life. In a constructive way, we can channel the energy of the friction to achieve a common goal. In line with the definition of Paul Martin Taylor, “Mutual cooperation is cooperation among many people to attain a shared goal.”

Furthermore, since the early age, our children must be educated to live together and appreciate diversity. In our nature school, we taught multiculturalism and pluralism by observing the vegetables. There are many forms of leaves and fruits on our organic garden. So does with human being.

This book was originally a doctoral thesis noted for Ph.D. degree. Anand gained that degree in Comparative Religions from University of Sedona (USA) at 2011. The original title of his dissertation was Trans-Personal Way of Action.

Its content was inspired by some teachings of Sheikh Baba, Sri Sathya Sai Baba, Maharishi Mahesh Yogi, J. Krishnamurti, Anthony de Melo, Maulana Wahiduddin Khan, Gus Dur, etc. In addition, the founder of Anand Ashram Foundation (affiliated with the United Nations) referred also to Rumi, Blavatsky, Ramakrishna, Vivekanada, Yogananda, Ranggawarsita, and Mangkunegara IV’s writings (p. 57).

On the day of International Volunteer Day December 5, 2008, Ban Ki-moon said that the spirit of volunteering, or altruism was the way which can save the world. This UN Secretary General wrote, “We need people who can serve the community without thinking about the profit for him/herself.” (Source: www.inis.unvienna.org/unis/pressrels/2008/unissgsm087.html)

In this book, the scientific term for the spirit of selfless work (Karma Yoga) is Trans-personal (p. 84). Trans-personal is a developed branch of advanced psychology. It was first popularized by a philosopher named William James in the year 1905-1906.

However after that, it was forgotten for several years. It was re-introduced by the famous psychologist, Abraham Maslow (1969). Maslow gave a new breakthrough in the realm of psychology.

Many psychologists began to shift from ego-centered toward transcendent orientation (p. 86).  A modern philosopher Ken Wilber said that humans are not only physically based, we are all have mind, emotions, soul, and spirit.

Indeed, there are so many layers of consciousness. In Indonesia, the well known practitioners of Transpersonal Psychology are Hendro Prabowo, S.Psi, M.Msi and Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med Sc., Ph.D. Both are the lecturer at the Faculty of Psychology, University of Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

The book is sharing a deep spiritual message. Whatever you do, (please) think of the interests of others. Love and serve all at the locus of family, workplace, social environment, and global society. Due working with trans-personal motive is the essence of religious teachings and beliefs in the world.

Last but not least, I cannot agree more to Michael Bernard Beckwith’s statement. This New Thought leader and the founder of Agape International Spiritual Center wrote, “The most important thing is how to create a system in which people no longer work for money or self-interest only, but to serve the planet with all its inhabitants and enter the next spiritual evolutionary stage.” Happy reading!

Title: Karma Yoga for Modern People, Trans-Personal Working Ethic for the New Era
Author: Anand Krishna, Ph.D.
Published by: Gramedia Pustaka Utama/2011
Number of pages: xxi +248
Price: IDR 52.000
ISBN:  978-979-22-7628
===
Notice: T. Nugroho Angkasa, S.Pd., as book reviewer, is an English Teacher at PKBM Angon (Nature School) in Yogyakarta, Indonesia. Website: http://www.angon.org/