Dimuat di Okezone.com, 16 Juli 2012
http://suar.okezone.com/read/2012/07/16/285/663797/referensi-apik-untuk-belajar-menulis
Judul: Jurnalisme Dasar
Penulis: Luwi Ishwara
Tebal: xii + 188 halaman
ISBN: 978-979-709-542-0
Harga: Rp40.000
http://suar.okezone.com/read/2012/07/16/285/663797/referensi-apik-untuk-belajar-menulis
Penulis: Luwi Ishwara
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: V / 2011Tebal: xii + 188 halaman
ISBN: 978-979-709-542-0
Harga: Rp40.000
Ternyata Ernest Hemingway (1899-1961)
sebelum menjadi novelis pernah menjadi wartawan. Ia sempat diundang ke
konferensi pers Benito Mussolini. Para wartawan dibawa masuk ke kantor
diktator Italia tersebut. Mereka mendapati Mussolini sedang asyik
membaca sebuah buku.
Tatkala wartawan lainnya berdiri dan
menunggu terpaku, Hemingway justru berjingkrak mendekati. Ia hendak
melihat buku apa yang sedang dibaca Sang Diktator. “Kamus
Perancis-Inggris, yang dipegang terbalik,” demikian tulis Hemingway
dalam koran keesokan harinya.
Lewat kisah tersebut, Luwi Ishwara
hendak menandaskan pentingnya rasa ingin tahu. Luwi mulai berkecimpung
di dunia jurnalistik sejak 1967. Awalnya, ia bertugas sebagai wartawan
di pengadilan. Tapi lantas merangkap meliput berita seputar pertahanan
keamanan (hankam) juga. Sebab rekan kerjanya, wartawan hankam, Theodore
Purba mendadak meninggal dunia. Dari liputan meja hijau dan hankam,
Luwi beralih ke masalah Departemen Pekerjaan Umum (DPU).
Alumnus Fakultas Hukum (FH) Universitas
Parahyangan (Unpar) Bandung ini sempat belajar jurnalisme secara khusus
pada 1973. Luwi dikirim ke Wellington, Selandia Baru oleh Colombo
Plan. Yakni sebuah organisasi sosial-ekonomi bagi negara-negara Asia
Tenggara dan Pasifik. Sepulang dari sana, pria asal Pamanukan, Jawa
Barat ini menjadi editor Desk Kota, koordinator liputan ekonomi, editor
Desk Artikel, dan penanggung jawab Desk Malam.
Lantas sejak 1987 hingga pensiun pada
1998, Luwi memimpin bagian lembaga pendidikan jurnalistik. Tugasnya
mengajar para calon wartawan. Angkatan pertama terdiri atas 6 peserta.
Mereka disebut “Angkatan Anggrek I”. Kenapa? karena pelatihan diadakan
di pondok yang sebelumnya ditinggali seorang petani anggrek.
Selama 6 bulan pertama - tatkala
mengajar angkatan pertama itu - toko buku belum sebanyak sekarang.
Pemesanan buku dari mancanegara tidak semudah saat ini via internet.
Sehingga Luwi musti rajin mengunjungi toko buku dan perpustakaan umum.
Ia juga meminta kepada rekannya yang bertugas di luar negeri agar
mengirimkan bahan-bahan pelatihan.
Buku “Jurnalisme Dasar” merupakan
kompilasi catatan Luwi Iswara. Ada 57 referensi kepustakaan di dalamnya
(daftar lengkap ada di halaman 184-187). Hebatnya, sebagian besar
rujukan berbahasa Inggris. Misal karya monumental Philip Meyer yang
berjudul, “The Vanishing Newspaper: Saving Journalism in the Information
Age” (Edisi Kedua, Universty of Missouri Press: 2009). Berbeda dengan 4
cetakan terdahulu yang bersampul biru, edisi kelima kali ini bersampul
hijau menyala.
Buku ini mengulas ihwal kepercayaan
publik kepada media. Misalnya dengan mengutip premis Hal Jurgenmeyer,
“We were not in the news business, not even in the information
business. We were “in the influence business.” Wartawan Knight Ridder
itu berpendapat bahwa kita tidak lagi berada dalam bisnis pemberitaan,
tidak juga dalam bisnis informasi. Kita semua berenang dalam pusaran
bisnis pengaruh.
Setidaknya Surat Kabar Harian (SKH)
memiliki 2 pengaruh. Pertama, pengaruh sosial yang tidak dijual. Kedua,
pengaruh komersial atas keputusan konsumen untuk membeli sebundel
koran. Pengaruh sosial berbanding lurus dengan pengaruh komersial.
Bukankah media yang berpengaruh memiliki pembaca setia. Sehingga ini
otomatis menarik para pemasang iklan.
Dalam konteks ini, sinergi antara
idealisme dan bisnis menjadi tantangan media. Claude Sitton, Direktur
Editorial Observer Publishing Company berpendapat kalau surat kabar
yang tidak sehat justru rentan terhadap pihak-pihak yang ingin
memanfaatkannya demi kepentingan pribadi/kelompok tertentu.
Di sisi lain, Ellen Hume mengingatkan
agar koran tidak sekedar menjadi buckrakers alias pengeruk uang. Media
juga musti memiliki idealisme sebagai pembongkar penyelewengan
(muckrakers). Sebagai pilar ke-4 demokrasi, surat kabar musti
menegakkan keadilan. Joseph Pulitser mengatakan bahwa ketakutan
seseorang akan dibongkar oleh sebuah media massa, telah mencegah
berbagai kejahatan koruptif dan tindakan amoral lainnya.
Buku ini juga membahas penyelidikan
independen oleh pers. Yakni dengan cara menginvestigasi kegiatan
pejabat, korporasi, dan lembaga publik lainnya. Sehingga surat kabar
dapat memberi informasi kepada masyarakat demi transformasi sosial.
Lazimnya, genre ini disebut watchdog journalism.
Di kutub lain, ada juga jurnalisme
sampah (junk journalism). Misalnya berupa pembeberan gambar seronok di
halaman muka surat kabar. Harold Evan, seorang mantan editor The Times
menawarkan solusi konkrit. Kalau saja 1/10 energi yang dikeluarkan
untuk mengintai kehidupan pribadi dimanfaatkan untuk memantau kekuasaan
yang nyata, kita akan luar biasa menjadi lebih baik (halaman 38).
“Jurnalisme Dasar” dapat menjadi
referensi bagi segenap civitas akademika dan siapa saja yang hendak
belajar menulis. Agar dapat lebih kreatif dalam menggoreskan pena di
atas kertas. Sepakat dengan pendapat Enrique Poncela, ”Bila suatu
tulisan dapat dibaca tanpa bersusah payah, itu karena kesulitan yang
besar telah hilang ke dalam penulisan. Aturan emas (the golden rule)
berlaku pula dalam ranah jurnalistik. Menulislah untuk orang lain
seperti engkau menginginkan orang lain menulis untuk Anda. Selamat
membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar