Dimuat di Koran Jakarta, 4 Juli 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/94818
Berikut ini versi awal sebelum diedit th. Redaktur
Judul: Sekolah itu Surga
Penulis: HJ. Sriyanto
Kata Pengantar dan Epilog: St. Kartono dan A.A. Kunto A
Penerbit: Selingkar Rumah Idea (SRI) Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: 1/April 2012
Tebal: xvi + 162 halaman
ISBN: 978-602-98333-8-6
Cintaku padamu tak terlimitkan //
Bagaikan sebuah tangen 90 // Tak tersubtitusikan di hatiku // Tak
terbagi laksana bilangan prima… (halaman 116)
Begitulah petikan puisi matematika
karya Aditya Yudhatama. Judulnya “Cinta Tanpa Limit”. Tatkala mengajar
pada jam ke-8 (12.45 WIB), penulis - yang berprofesi sebagai guru
matematika SMA Kolese De Britto, Yogyakarta tersebut - membuat
terobosan baru. Tujuannya untuk menghapus sterotip pelajaran matematika
itu memusingkan.
Berdasar pengalaman HJ. Sriyanto, resep
ini mujarab. Pun dapat menjadi model alternatif pembelajaran. Terlebih
pada jam-jam terakhir, tatkala keletihan mulai menghinggapi para
murid. Alhasil, mereka dapat tertawa terbahak-bahak bersama, usai
mendengar salah satu siswa membaca buah kreatifitasnya di depan kelas.
Berikut ini kutipan puisi lain dari Silvio Adriano, “Terus engkau
berlari lepas // layaknya faktorial tak berujung // Entah kapan
piktogram hatiku ini // Mendendang cinta kita dalam union… (halaman
117, Polinomial Cinta).
Dalam buku ini, pendamping
ekstrakurikuler Teater tersebut memaparkan filosofi di balik puisi
matematika. Selama ini, para siswa cenderung menghafal rumus-rumus.
Mereka kurang memahami arti di balik simbol. Jika seorang murid dapat
mempuisikan matematika dengan cinta, niscaya ia dapat merasakan samudera
keindahannya.
“Sekolah itu Surga” merupakan buku
perdana penulis. Isinya antologi artikel. Sebagian besar pernah dimuat
di pelbagai media massa. Baik koran lokal maupun nasional. HJ. Sriyanto
berguru cara merangkai gagasan lewat untaian kata dari St. Kartono.
Berikut ini kesaksiannya, “Takkan pernah terlupakan dialah yang
mencorat-coret tulisan pertamaku sebelum dimuat di sebuah harian lokal
di Jogja.” (halaman viii). Buku ini terdiri atas 4 bab: Dari “Siapa
Bilang Jadi Guru Itu Gampang?!” sampai “Mengarungi Arus Globalisasi.”
Ada sebuah kisah menggetarkan. Jelang
kelahiran anak pertama, penulis beserta istri pindah ke rumah di
Cawas, Klaten, Jawa Tengah. Jaraknya sekitar 45 km dari sekolah
tempatnya bekerja di kota gudeg. Pilihan ini berdasarkan pertimbangan
matang. Ia ingin anaknya menghabiskan masa kecil di desa. Sehingga
relatif dekat dengan alam (baca: sawah) dan tumbuh mengakar dari
lingkungan yang kental nuansa kebersamaan(gemeinscaft).
Konsekuensinya tidak mudah. Pak guru harus nglaju
(ulang-alik) dari Cawas ke Jogja setiap hari. Berangkat pagi-pagi
ketika orang lain masih terlelap di alam mimpi dan pulang larut malam
ketika pintu rumah para tetangga telah rapat terkunci. Inilah rutinitas
yang ia jalani dengan ugahari. Ban bocor malam-malam, menembus kabus
pagi, basah kuyup terguyur hujan sudah biasa (halaman 7). Ibarat
sebatang tongkat. Saat seseorang memegang ujung yang satu, maka ujung
lainnya menjadi tak terpisahkan.
Namun berkat kompetensi dan dedikasinya, penulis beroleh kesempatan mengikuti Advanced Teacher Programm
(ATP) di St. Ignatius College Riverview. Letaknya tak jauh dari Rose
Garden Sydney nan asri itu. Puluhan guru dari pelbagai negara se-Asia
Oseania berkumpul untuk berbagi pengalaman mengajar. Ajang ini ibarat
kawah candradimuka. Tempat berefleksi, mengevaluasi dan mengembangkan skill mengajar dengan dukungan fasilitas ICT.
Berdasarkan observasi Mbah Joyo (nama
panggilannya di kelas), di sana para guru mempunyai target yang jelas
dalam setiap proses pembelajaran. Mereka menyiapkan media belajar yang
dibutuhkan secara rinci. Pun menguasai pelbagai metode untuk memudahkan
siswa menguasai materi ajar. Misalnya di kelas sains, sebelum praktik
dilakukan guru meminta siswa yang memiliki alergi atau penyakit
tertentu tidak boleh mengikuti praktikum tersebut. Sang guru menguasai
dan mengetahui betul resiko dari kegiatan praktik tersebut. Sehingga ia
melakukan langkah antisipatif (halaman 236).
Colegio De Sao Jose merupakan sekolah
lain yang sempat disambangi penulis. Letaknya di pelosok Timor Leste.
Meski sudah 10 tahun berpisah dari NKRI, negeri muda itu menghadapi
kendala pendidikan. Akarnya karena perbedaan bahasa. Ada 3 ragam di
sana: Tetun, Indonesia, dan Portugis. Bahasa Tetun merupakan dialek
lokal. Sayangnya, banyak istilah iptek yang tak ada padanan katanya.
Secara politis, pemerintah lebih menginginkan bahasa Portugis sebagai
bahasa pengantar di sekolah.
Dalam perjalanan ke Maubara, penulis
juga menyaksikan pemandangan aneh. Para guru duduk berdesak-desakan di
bak belakang truk. Selama 3 jam mereka terpanggang sinar matahari yang
begitu terik. HJ Sriyanto teringat teman-temannya di pulau Jawa. Mereka
acapkali berkeluh-kesah meski pergi ke sekolah dengan bus ber-AC.
Padahal wajah para guru di Dili itu tak sekilas pun menyiratkan
keputusasaan.
Selain itu, terungkap pula kisah
mencekam pascareferendum. Para guru bertaruh nyawa di bandara Timor
Leste. Mereka berupaya menenangkan pengungsi dan anak didik yang
ketakutan. Desingan peluru jelas terdengar di atas kepala. Kesaksian
itu membuat penulis tak kuasa berkata-kata. Dalam hati ia membatin,
“Semoga aku bisa menjadi perpanjangan tangan untuk menyalurkan
harapan…” (halaman 143)
Buku setebal 162 halaman ini buah
pemikiran seorang guru. Ia tak bicara dari menara gading, tapi dari
dalam ruang kelas. Dengan menyelaminya, pembaca belajar menerima
kelebihan dan kekurangan dalam diri anak didik. Menyitir pendapat Andy
Ardana, “Membaca buku ini, seakan mendarat di tempat yang tak lazim dan
kelaparan. Kemudian bertemu sepotong ayam goreng. Tidak asing di
lidah, ringan, namun mengenyangkan. Dan yang pasti memberi semangat
untuk bergerak.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Sekolah Alam Angon dan Ekstrakurikuler Bahasa Inggris SMP Kanisius Sleman, Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar