Dimuat di Media Indonesia, 15 Juli 2012
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur. Matur Sembah Nuwun __/\__
Penulis: Sai Das
Kata Pengantar: Ida Pedanda G.K. Sebali Tianyar
Penerbit: Koperasi Global Anand Krishna
Cetakan 2/ Maret 2012
Tebal: xxviii + 195 halaman
Harga: Rp42.000
ISBN: 978-602-95405-8-1
Judul
di atas terinspirasi kesaksian seorang Ibu. Ia sahabat karib penulis
buku ini. Teman tersebut pernah mengalami kecelakaan fatal di jalan tol.
Insiden di jalur bebas hambatan kebanyakan mengakibatkan nyawa
melayang. Sebab, kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi. Untungnya,
wanita yang saat itu masih berusia 30 tahun selamat.
Kendaraannya
terjungkal dan keluar dari ruas jalan. Sehingga hancur total. Ibu tadi
sempat mengalami koma selama beberapa hari di rumah sakit (RS). Pasca
siuman, ia mengisahkan kronologi kecelakaan yang hampir mengakhiri
hidupnya, “Saya masih sadar ketika mobil terbalik, dan saya pikir sudah
pasti mati…Tapi, tiba-tiba saya merasakan ada tangan yang menarik saya
keluar lewat jendela secara paksa…Setelah itu saya tak ingat apa-apa
lagi,” (halaman118).
Seorang yang dituakan dari
keluarganya memberi semacam penerawangan. Kerabat tersebut memang rajin
melakoni tradisi warisan leluhur, termasuk laku Kejawen. Menurutnya,
tangan itu tangan Romo Baba. Demikian ia menyebut nama Swami Sri Sathya
Sai Baba (alm).
Singkat cerita, walau sudah sembuh masih
ada bekas luka jahitan memanjang di wajah Ibu tadi. Ia bisa saja
menjalani operasi bedah plastik. Sehingga parasnya tetap terlihat
cantik. Namun ia justru memilih membiarkan apa-adanya. Sebab bekas luka
itu mengingatkan pada kebesaran Guru yang menyelamatkan dari ancaman
maut.
Baginya hidup ini semacam bonus. Setiap kali ia
bercermin terucap pula, “Alhamdulilah, Puji Tuhan! ” Ia bersyukur masih
bernafas. Sebagai ungkapan terimakasih, setiap hari Minggu atau hari
libur (holiday) ia menjadikannya hari suci (holy day). Ibu tadi mengadopsi sebuah panti asuhan. Seorang diri ia memenuhi segala kebutuhan anak-anak di panti tersebut.
Buku
“Swami Sri Sathya Sai Baba, Sebuah Tafsir” ini merupakan cetakan
kedua. Edisi pertama terbit pada 1986 silam. Semula judulnya, “Svami –
Bhagavan Sri Sathya Sai Baba: Sebuah Tafsiran”. Hampir 30 tahun lebih
buku ini hilang dari peredaran. Kemudian Ir. Ni Luh Wayan Sukmawati
mengetik ulang kopiannya. Sehingga bisa diterbitkan kembali.
Pada
bab 3, Sai Das mengisahkan pengalaman satu teman lain (halaman 51).
Orang tersebut hidup di antara buku. Rumahnya penuh ribuan buku. Oleh
sebab itu, ia disebut si kutu buku. Ironisnya, karena banyak membaca ia
lupa diri dan merasa lebih pintar dari orang lain. Para tetangga
enggan bersahabat dengannya.
Dalam hati kecil, ia merasa
kesepian. Segunung pengetahuan tak mampu mengobati kepedihan batinnya.
Pada suatu ketika, ia bangkrut. Bisnisnya terpaksa gulung tikar.
Kemudian ia mendatangi para kolega untuk mohon bantuan. Tapi ia malah
jadi bahan cemoohan/ejekan. “Lihat-lihat si pintar jadi pengemis!”
Ungkapan
ini memang tak sopan. Tapi mau bilang apa. Setiap orang menuai apa
yang ditanam. Akhirnya, si kutu buku mulai berefleksi, ‘Di mana letak
kesalahanku?” Ia berhenti menyalahkan orang lain dan keadaan sekitar.
Dalam keadaan hidup enggan mati pun segan, beruntung ia bertemu dengan
seorang Pemandu. Sang Guru menasehati, “Kau hanya kekurangan vitamin K
alias Kasih. Selama ini, pengetahuan yang kau peroleh dari buku-buku
malah menghambat perkembangan jiwamu.” (halaman 54).
Solusi
Sang
Pemandu memberi jalan keluar. Gunakanlah pengetahuan untuk menyadarkan
diri dan berbagi kesadaran. Gunakan pengetahuan untuk menemukan sumber
Kasih di dalam diri. Sehingga kau dapat mulai mengasihi sesama.
Uniknya, walau saat itu si kutu buku sedang merugi, Sang Guru justru
menasehati untuk melayani sesama, “Pergi dan layanilah mereka yang
sedang menderita, kekurangan sandang, dan pangan. Berusahalah, sebatas
kemampuanmu saat ini, melayani mereka dengan semangat manembah.
Lihatlah Tuhan di dalam diri mereka.” (halaman 57).
Dalam
beberapa bulan, orang tadi mulai membaik usahanya. Tak sampai 2 tahun,
ia meraup keuntungan kembali. Namun ada satu perubahan drastis. Pasca
pengalaman itu, senantiasa ia menyisihkan sebagian laba untuk
pelayanan. Minimal 10%, maksimalnya tak terbatas. Ia menyumbang
pembangunan rumah sakit, sekolah, dan fasilitas publik lainnya. “Ku
sudah tak tahu lagi, apa yang mesti kulakukan dengan uangku. Sungguh
ajaib berkah dari-Nya,” ujar si kutu buku.
Buku ini
terdiri atas 8 bab. Berisi tafsiran atas ajaran dan kehidupan Swami
Sathya Sai Baba. Antara lain: Swami sebagai Sang Avataar, Sang
Penuntun, Sang Pengasih, Sang Pemersatu, Sang Pelindung, Sang
Pengampun, Sang Penyelamat, Sang Pencegah, dan Sang Sutradara.
Swami
Sathya Sai Baba dilahirkan dengan nama kecil Sathya Narayana. Tepatnya
di desa Puttaparti, India Selatan. Pada usia 14 tahun, beliau
mengumumkan dirinya sebagai penjelmaan Shirdi Sai Baba, seorang Mistik
Sufi dari India Tengah (Shri Sai Satcharitha: 2010). Kemudian,
berduyun-duyun datanglah warga Eropa, Amerika, Amerika Latin, Afrika,
Auatralia, Timur Tengah, dan dari Kepulauan Nusantara untuk ngangsu kawruh (belajar).
Berikut
ini syair yang memuat intisari ajaran Baba, “Cintailah semua makhluk
di dunia, sayangilah seluruh umat manusia, jangan kau menyakiti hati
siapa saja, jangan kau menghina diri siapa saja, itulah pelajaran
Sathya Sai Baba, itulah intisari ajaran agama.” (halaman 38). Keunggulan
buku ini tak hanya memuat khasanah spiritual adiluhung, tapi
dilengkapi dengan paparan ihwal pola makan sehat.
Dewasa
ini, makanan vegetarian mulai menjadi tren. Dulu susah mencari restoran
vegan. Kini, jumlahnya kian menjamur. Karena orang mulai sadar, daging
tidak sehat untuk tubuh manusia. Binatang karnivora cocok memakan
daging karena ususnya pendek. Sehingga bisa langsung dibuang dengan
cepat. Sedangkan pada perut manusia, ususnya relatif panjang. Bisa
mencapai 12 meter lebih. Akibatnya, justru bisa meracuni tubuh sendiri.
Tatkala
masih muda memang tak terlalu terasa. Makan apa saja masih bisa. Namun
saat memasuki usia 40 tahun, benih keteledoran yang ditanam mulai
berbuah. Pola makan yang tak karuan mulai berakibat langsung pada
kesehatan tubuh. Dari diabetes, jantung, tekanan darah tinggi, gangguan
ginjal, hati keropos, dll.
Barulah si empunya badan
tersadarkan pada nilai kesehatan. Pun baru mau meluangkan waktu untuk
berolahraga. Namun semua sudah terlamabat. Kerusakan terlanjur terjadi
tak bisa diperbaiki lagi. Dalam konteks ini, tamsil lama menjadi
relevan, “Lebih baik mencegah ketimbang mengobati.”
Sai
Das memberi resep sederhana. Minimal sehari dalam seminggu berpuasalah.
Hindari nasi, daging dan makanan tinggi kolesterol. Konsumsilah
sayuran dan buah-buahan. Pun perbanyak minum air putih (minimal 2 liter
sehari). Sehingga memberi kesempatan detoksifikasi. Itulah sebabnya,
dalam tradisi Kejawen ada tradisi poso ngrowot. Ternyata mereka lebih bijak ketimbang manusia modern yang hobi menyantap fast food.
Buku
setebal 195 halaman ini sekadar mengingatkan sidang pembaca. Tuhan
bersemayam di dalam diri segenap titah ciptaan. Pun termasuk di setiap
sel badan ini. Menyitir pendapat para bijak, “Bila engkau tak merawat
tubuhmu, lantas di mana Sang Jiwa harus tinggal?” Dalam konteks ini
dikotomi lahir dan batin menjadi nisbi. Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di Sekolah Alam Angon Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar