Dimuat di Sesawi.net, 12 Juli 2012
http://www.sesawi.net/2012/07/12/ajaran-guru-sejati-dalam-tembang-macapat/
http://www.sesawi.net/2012/07/12/ajaran-guru-sejati-dalam-tembang-macapat/
“Merga bener wani rekasa lan pasrah Gusti yen diwada.” (G.P. Sindhunata, S.J, halaman 528)
“Karena benar berani menderita dan
pasrah pada Tuhan saat dicaci-maki.” Begitu selarik petikan kidung
Romo Sindhu. Judulnya Sabda Rahayu. Total ada 9 ayat yang notabene
musti dilakoni dalam keseharian. Pemimpin Redaksi Majalah Basis ini
memodifikasi tembang “Tombo Ati” agar manusia dapat mencecap nikmat
anggur “Rahayune Urip” (kebahagiaan hidup).
“Injil Papat, Piwulang Sang Guru Sejati ing Tembang Macapat”
terdiri atas gubahan kitab-kitab klasik. Injil Matius, Markus, Lukas,
dan Yohanes disunting bersama Ag. Suwandi, S.Pd dalam bentuk macapat.
Sebentuk sintesis dialektik antara budaya Jawa dan ajaran Gereja.
Referensi utamanya ialah Injil Perjanjian Baru (PB) dari Romo A.
Soenarjo, SJ.
Sindhunata lebih dikenal sebagai
budayawan, esais sepak bola, dan penulis feature bergenre humanis.
Ternyata, ia masih terdaftar sebagai seorang paderi Jesuit. Pun tekun
mendalami laku Kejawen. Sebelumnya, Romo Sindhu telah menulis
buku-buku berbahasa Jawa. Antara lain, nDerek Sang Dewi ing
Ereng-erenging Redi Merapi, dan Nggayuh Gesang Tenterem: Novena
Margining Kabegjan.
Sedangkan, Ag. Suwandi, S.Pd sempat
bekerja sebagai guru dan dosen. Selama 8 tahun, mereka berduet
menyunting ayat-ayat Kitab Suci (KS) menjadi untaian tembang macapat.
Selain itu, buku ini kian komplit berkat visualisasi aneka lukisan
karya Herjaka. Ia dikenal sebagai seniman yang gandrung pada seni
wayang.
Injil Papat mengalami cetak ulang yang
ke-3 hingga tahun lalu. Pada halaman sampul, tampak Ki Semar menembang
dengan lamat-lamat (perlahan dan penuh nikmat). Sedangkan, Bagong,
Gareng, dan Petruk menyimak santai sembari bersila, duduk timpuh, dan
bahkan tiduran terkurap.
Bagi kaum muda yang lebih sering
menonton MTv (Music Television), aktivitas melagukan tembang macapat
bisa jadi membuat lidah kelu, “Ana kidung rumeksa ing wengi / Teguh
ayu luput ing lelara / Luput ing bilahi kabeh / Jin setan datan purun
/ Paneluhantan ana wani / Miwah panggawe ala / Gunaning wong luput /
Geni atemahan tirta / maling adoh tan wani perak ing mami / Tuju guna
pan sirna…” (halaman 33).
Padahal, sejatinya arti petuah lelulur
tersebut meremangkan bulu roma, “Ada kidung penguasa malam / Sehat
dijauhkan dari penyakit / Terbebas dari semua kesialan / Jin dan setan
tidak mau mendekat / Teluh tidak mempan / Termasuk hasrat mencelakai /
guna-guna orang keblinger / Api ditaklukkan air / Pencuri menjauh tak
berani mendekat / Segala niat jahat pun sirna.”
Lazimnya, tembang macapat dilagukan
dalam wayang kulit, ketoprak, dan kenduren. Isinya berupa petuah para
bijak ihwal kebenaran hidup. Nilai keutamaan yang semula dibaca atau
dikotbahkan, kini dinyanyikan dengan pakem tertentu. Setidaknya,
terdapat 9 ragam cengkok/irama. Antara lain dhandanggula, sinom,
asmaradana, pangkur, mijil, gambuh, durma, maskumambang, dan pucung.
Menurut Triwidodo (2012), ada urutan
dalam macapat tersebut. Misalnya, maskumambang ialah simbolisasi janin
yang masih mengambang dalam rahim ibunda. Kemudian, asmaradana
merupakan representasi masa pubertas, tatkala para muda-mudi terbakar
api asmara. Selanjutnya, pangkur menjadi pengingat (reminder) untuk
menarik diri dari hiruk-pikuk kehidupan duniawi. Bahasa formalnya
disebut pensiun.
Bagaimana postur tubuh saat orang
bermacapat? Biasanya, kita duduk bersila dengan rileks. Tidak terpacak
kaku (jinggleng njepaplem). Tidak muram (njethutut) ataupun mengurut
dahi (njengkerut). Sembari mendengarkan kidung, hadirin boleh
menyeruput wedang jahe dan mengemil jajanan pasar. Ajaran berbobot
yang didaraskan lewat tembang, niscaya lebih meresap ke dalam kalbu.
Macapat rupanya sejalan pula dengan
lectio divina continua. Sebuah tradisi yang sudah dipraktikkan dalam
liturgi gereja selama berabad-abad. Arti harfiahnya mengidungkan
bacaan suci. Mirip seperti tembang macapat, dalam lectio divina ini
teks kitab suci dinyanyikan.
Menurut buku ini, ada 4 tahapan yang
harus dilalui. Yakni lectio, meditatio, oratio, dan comtemplatio
(halaman 30). Senada dengan pendapat Anand Krishna, dalam setiap
tradisi agama memang senantiasa menyediakan ruang untuk olah rasa.
Misalnya lewat Bhajan (Hindu), Zikir (Islam) , Japha (Buddhist), dan
Chanthing/mantra (Kong Hu Chu).
Lebih lanjut, Romo Sindhunata
memaparkan bahwa lewat lectio divina orang melakoni rumination.
Artinya, ia memamah berkali-kali. Ibarat seekor sapi di padang rumput.
Sembari rebahan terkantuk-kantuk ia mengunyah kembali (nggayemi)
rerumputan hijau. Sepertinya, binatang itu tertidur namun sejatinya
sedang mengalami kepuasan puncak.
Dalam konteks ini, ruminatio menjadi
bahan baku dari lectio divina. Berkatnya, manusia merasa teduh, rendah
hati, dan tahu diri. Senada dengan ayat dalam Kitab Mazmur, ”Jiwaku
tenang laksana bayi di pangkuan Ibunda. Bagai bayi sehabis menetek
terasa tenteram dan damai.”
Buku setebal 528 halaman ini dapat
digunakan sejak jabang bayi keluar dari rahim ibu sampai manusia
kembali ke haribaan bunda alam semesta. Dari acara selapanan
(peringatan 35 hari kelahiran), malam midodaren (acara jelang resepsi
pernikahan), hingga pengetan memule arwah (tirakatan untuk mendoakan
leluhur).
Injil Papat merupakan sintesis ajaran
gereja dan budaya. Agama dan kepercayaan di Indonesia memang perlu
lebih adaptif terhadap kearifan lokal. Selamat membaca!
Judul: Injil Papat, Piwulang Sang Guru Sejati Ing Tembang Macapat
Penulis: G.P. Sindhunata, S.J dan Ag. Suwandi, S.Pd
Penerbit: Boekoe Tjap Petroek Yogyakarta
Cetakan: III/2011
Tebal: 528 halaman
ISBN: 978-979-3695-990
Penulis: G.P. Sindhunata, S.J dan Ag. Suwandi, S.Pd
Penerbit: Boekoe Tjap Petroek Yogyakarta
Cetakan: III/2011
Tebal: 528 halaman
ISBN: 978-979-3695-990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar