Juli 13, 2012

Ajaran Guru Sejati dalam Tembang Macapat

Dimuat di Sesawi.net, 12 Juli 2012
http://www.sesawi.net/2012/07/12/ajaran-guru-sejati-dalam-tembang-macapat/

“Merga bener wani rekasa lan pasrah Gusti yen diwada.” (G.P. Sindhunata, S.J, halaman 528)

“Karena benar berani menderita dan pasrah pada Tuhan saat dicaci-maki.” Begitu selarik petikan kidung Romo Sindhu. Judulnya Sabda Rahayu. Total ada 9 ayat yang notabene musti dilakoni dalam keseharian. Pemimpin Redaksi Majalah Basis ini memodifikasi tembang “Tombo Ati” agar manusia dapat mencecap nikmat anggur “Rahayune Urip” (kebahagiaan hidup).

“Injil Papat, Piwulang Sang Guru Sejati ing Tembang Macapat” terdiri atas gubahan kitab-kitab klasik. Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes disunting bersama Ag. Suwandi, S.Pd dalam bentuk macapat. Sebentuk sintesis dialektik antara budaya Jawa dan ajaran Gereja. Referensi utamanya ialah Injil Perjanjian Baru (PB) dari Romo A. Soenarjo, SJ.

Sindhunata lebih dikenal sebagai budayawan, esais sepak bola, dan penulis feature bergenre humanis. Ternyata, ia masih terdaftar sebagai seorang paderi Jesuit. Pun tekun mendalami laku Kejawen. Sebelumnya, Romo Sindhu telah menulis buku-buku berbahasa Jawa. Antara lain, nDerek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi, dan Nggayuh Gesang Tenterem: Novena Margining Kabegjan.

Sedangkan, Ag. Suwandi, S.Pd sempat bekerja sebagai guru dan dosen. Selama 8 tahun, mereka berduet menyunting ayat-ayat Kitab Suci (KS) menjadi untaian tembang macapat. Selain itu, buku ini kian komplit berkat visualisasi aneka lukisan karya Herjaka. Ia dikenal sebagai seniman yang gandrung pada seni wayang.

Injil Papat mengalami cetak ulang yang ke-3 hingga tahun lalu. Pada halaman sampul, tampak Ki Semar menembang dengan lamat-lamat (perlahan dan penuh nikmat). Sedangkan, Bagong, Gareng, dan Petruk menyimak santai sembari bersila, duduk timpuh, dan bahkan tiduran terkurap.

Bagi kaum muda yang lebih sering menonton MTv (Music Television), aktivitas melagukan tembang macapat bisa jadi membuat lidah kelu, “Ana kidung rumeksa ing wengi / Teguh ayu luput ing lelara / Luput ing bilahi kabeh / Jin setan datan purun / Paneluhantan ana wani / Miwah panggawe ala / Gunaning wong luput / Geni atemahan tirta / maling adoh tan wani perak ing mami / Tuju guna pan sirna…” (halaman 33).

Padahal, sejatinya arti petuah lelulur tersebut meremangkan bulu roma, “Ada kidung penguasa malam / Sehat dijauhkan dari penyakit / Terbebas dari semua kesialan / Jin dan setan tidak mau mendekat / Teluh tidak mempan / Termasuk hasrat mencelakai / guna-guna orang keblinger / Api ditaklukkan air / Pencuri menjauh tak berani mendekat / Segala niat jahat pun sirna.”

Lazimnya, tembang macapat dilagukan dalam wayang kulit, ketoprak, dan kenduren. Isinya berupa petuah para bijak ihwal kebenaran hidup. Nilai keutamaan yang semula dibaca atau dikotbahkan, kini dinyanyikan dengan pakem tertentu. Setidaknya, terdapat 9 ragam cengkok/irama. Antara lain dhandanggula, sinom, asmaradana, pangkur, mijil, gambuh, durma, maskumambang, dan pucung.

Menurut Triwidodo (2012), ada urutan dalam macapat tersebut. Misalnya, maskumambang ialah simbolisasi janin yang masih mengambang dalam rahim ibunda. Kemudian, asmaradana merupakan representasi masa pubertas, tatkala para muda-mudi terbakar api asmara. Selanjutnya, pangkur menjadi pengingat (reminder) untuk menarik diri dari hiruk-pikuk kehidupan duniawi. Bahasa formalnya disebut pensiun.

Bagaimana postur tubuh saat orang bermacapat? Biasanya, kita duduk bersila dengan rileks. Tidak terpacak kaku (jinggleng njepaplem). Tidak muram (njethutut) ataupun mengurut dahi (njengkerut). Sembari mendengarkan kidung, hadirin boleh menyeruput wedang jahe dan mengemil jajanan pasar. Ajaran berbobot yang didaraskan lewat tembang, niscaya lebih meresap ke dalam kalbu.

Macapat rupanya sejalan pula dengan lectio divina continua. Sebuah tradisi yang sudah dipraktikkan dalam liturgi gereja selama berabad-abad. Arti harfiahnya mengidungkan bacaan suci. Mirip seperti tembang macapat, dalam lectio divina ini teks kitab suci dinyanyikan.

Menurut buku ini, ada 4 tahapan yang harus dilalui. Yakni lectio, meditatio, oratio, dan comtemplatio (halaman 30). Senada dengan pendapat Anand Krishna, dalam setiap tradisi agama memang senantiasa menyediakan ruang untuk olah rasa. Misalnya lewat Bhajan (Hindu), Zikir (Islam) , Japha (Buddhist), dan Chanthing/mantra (Kong Hu Chu).

Lebih lanjut, Romo Sindhunata memaparkan bahwa lewat lectio divina orang melakoni rumination. Artinya, ia memamah berkali-kali. Ibarat seekor sapi di padang rumput. Sembari rebahan terkantuk-kantuk ia mengunyah kembali (nggayemi) rerumputan hijau. Sepertinya, binatang itu tertidur namun sejatinya sedang mengalami kepuasan puncak.

Dalam konteks ini, ruminatio menjadi bahan baku dari lectio divina. Berkatnya, manusia merasa teduh, rendah hati, dan tahu diri. Senada dengan ayat dalam Kitab Mazmur, ”Jiwaku tenang laksana bayi di pangkuan Ibunda. Bagai bayi sehabis menetek terasa tenteram dan damai.”

Buku setebal 528 halaman ini dapat digunakan sejak jabang bayi keluar dari rahim ibu sampai manusia kembali ke haribaan bunda alam semesta. Dari acara selapanan (peringatan 35 hari kelahiran), malam midodaren (acara jelang resepsi pernikahan), hingga pengetan memule arwah (tirakatan untuk mendoakan leluhur).

Injil Papat merupakan sintesis ajaran gereja dan budaya. Agama dan kepercayaan di Indonesia memang perlu lebih adaptif terhadap kearifan lokal. Selamat membaca!

Judul: Injil Papat, Piwulang Sang Guru Sejati Ing Tembang Macapat
Penulis: G.P. Sindhunata, S.J dan Ag. Suwandi, S.Pd
Penerbit: Boekoe Tjap Petroek Yogyakarta
Cetakan: III/2011
Tebal: 528 halaman
ISBN: 978-979-3695-990

13421838821987390410

Tidak ada komentar: