Oktober 28, 2011

Apa Bedanya Tara Pradipta Laksmi dan Ayu Ting Ting?

Siapa tidak tahu penyanyi dangdut Ayu Ting Ting? Saat ini sedang booming lagu Alamat Palsu nya. Berikut ini biodata singkat dara kelahiran Depok, 20 Juni 1992 tersebut.

  • Nama : Ayu Ting Ting
  • Profesi : Penyanyi dangdut, presenter, model
  • Prestasi : Bintang sari ayu 2006, Putri Depok 2006, Mojang Depok, Presenter Kuis (ANTV), Album Dangdut (Geol Ajep2)
  • Album : Dangdut (Rekening Cinta), Goyang Sejati (ANTV), Dangdut Yoo (TPI), Kamera Ria (TVRI), Dangdut Pro (TVRI)
Lantas apa bedanya dengan Tara Pradipta Laksmi? Ayu Ting Ting bisa melejit seperti sekarang, setidaknya hasil perjuangan sejak 2006. Walau saya tak begitu suka musik dangdut, tapi sungguh menghargai proses dan kerja keras Ayu.

Sedangkan Tara menjadi selebriti dadakan karena mencemarkan nama orang lain. Yakni dengan tuduhan palsu. Ia mengatakan Anand Krishna melakukan pelecehan seksual terhadapnya setiap hari. Padahal menurut investigasi Theresia Felisiani (Sumber: http://www.tribunnews.com/2011/10/25/hasil-visum-tara-paradipta-masih-perawan-ting-ting).

“Hasil visum Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dari Tara Pradipta, pelapor tindak pelecehan seksual oleh Anand Krishna yang ditandatangani oleh dr Abd Nun’im Idris menyatakan tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan seksual dan persetubuhan. Visum bahkan menyebut selaput daranya pun masih utuh.”

Hal ini ditegaskan oleh Ketua Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA), Wayan Sayoga kepada wartawan sebelum bertemu dengan wakil kejati di Kejaksaan Tinggi DKI, Selasa (25/10/2011). “Ini yang perlu diketahui publik dan digaris bawahi. Hasil visum pelapor yang dikeluarkan oleh RSCM menyatakan pelapor masih perawan ting-ting,” tegas dr. Wayan Sayoga.

Oktober 27, 2011

Apa Bedanya Tara Pradipta Laksmi dan Widi “Vierra”?

13196990091404818264

WidiVierra

“Kondisinya (Widi) mulai tenang, tapi kalau BAP dia harus menceritakan tentang apa yang ingin dia lupakan, jadi ya tidak enaklah, jadi butuh waktulah pastinya,” tutur Minola saat mendampingi Widi “Vierra”.

Kondisi penatun tembang “Bersamamu” itu sudah berangsur baik. Tetapi kondisinya berubah 180 derajat ketika membahas apa yang terjadi pada dini hari itu.

“Tapi kalau secara menyeluruh di luar kejadian sudah biasa, tapi kalau masalah kasusnya masih malas saja dia karena dia sudah tak mau mengingat lagi,” papar Minola.

Seperti diketahui, Widi diculik tiga orang tak dikenal saat hendak pulang dari sebuah kafe di kawasan Kemang, Jakarta pada Rabu 6 Juli 2011 sekitar pukul 04.00 WIB. Widi sempat dibawa dan disekap selama 30 menit di dalam mobil.

13196990561968016868

Tara Pradipta Laksmi

Bedanya Widi “Vierra” dengan Tara Pradipta Laksmi ibarat asin di laut dan asam di gunung. Sebab Tara Pradipta Laksmi yang mengaku mengalami pelecehan seksual selalu cekikikan saat diwawancara. Seolah ia menikmati saat-saat menjadi selebriti dadakan. Ini yang disebut aji mumpung.

13196991702142777168

Profesor Luh Ketut Suryani

Menyikapi keanehan dalam (dugaan) kasus pelecehan seksual oleh Anand Krishna tersebut, Profesor Luh Ketut Suryani berpendapat, ” Seorang yang mengalami pelecehan seksual tidak bisa tersenyum-senyum atau ketawa-ketawa lucu saat muncul beberapa kali di beberapa media televisi nasional. “

Lebih lanjut, Luh Ketut Suryani dari Committee Against Sexual Abuse itu menambahkan, “Apalagi sampai dengan mudah menceritakan bahwa dirinya adalah seorang korban yang sudah lama mengalami pelecehan seksual. Kesan yang timbul yang saya perhatikan sang pelapor seperti ingin mencari popularitas saja. “

Akhir kata, satu fakta penting yang musti disimak dari Luh Ketut Suryani, “Dan…45 kali sesi terapi hipnoterapi dalam waktu 90 hari yang dilakukan oleh ahli hipnoterapi terhadap Tara Pradipta Laksmi bisa-bisa inilah yang disebut brainwashing atau cuci otak.”

1319699260402889574

Bebaskan Anand Krishna demi Keadilan!

Jaksa Martha Bisa Jadi Cirus Sinaga Jilid II

1319687453899579591

Martha Berliana Tobing

Foto jaksa Martha sebelum sidang pembacaan tuntutan terhadap Anand Krishna (26/10)

“Ini jelas pemaksaan untuk menghukum Anand Krishna,” seru Humprey R Djemat, penasihat hukum aktivis spiritual Indonesia ini, usai mendengar sidang tuntutan kasus kliennya di Pengadilan Negeri (PN) Jaksel pada Rabu (26/10) siang.

Sidang kasus dugaan pelecehan seksual ini terlambat 4 jam dari jadwal. Lagi-lagi karena JPU Martha Berliana Tobing SH terlambat datang ke persidangan.

Dalam tuntutan-nya, JPU Martha menuntut Anand dihukum 2 tahun 6 bulan. Karena dianggap melanggar Pasal 294 ayat 2 ke 2 KUHPidana jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Menurut Humprey, dakwaan jaksa Martha hanya mengacu pada keterangan Tara Pradipta Laksmi semata yang tertera di BAP, tanpa mempertimbangkan fakta-fakta dalam persidangan dan tak berdasar sama sekali.

“Tuntutan Jaksa Martha seperti copy paste dari BAP keterangan pelapor Tara Pradipta Laksmi saja. Tak ada saksi yang melihat dan tak ada bukti sama sekali,” ungkapnya.

Kasus Anand Krishna amat kontroversial karena jelas dipaksakan sejak dari kepolisian, kejaksaan hingga di pengadilan.

“Bayangkan saja, kasus ini tidak pernah direkonstruksi oleh penyidik di kepolisian, dipaksakan P21 di kejaksaan, dan ketika di pengadilan terjadi pergantian majelis hakim karena ketua hakim lama berhubungan dengan saksi Shinta Kencana Kheng,” papar Humprey

Sementara itu ketika ditanya pendapatnya tentang tuntutan atas dirinya, Anand Krishna menegaskan bahwa tuntutan hukum atas dirinya adalah dagelan belaka.

“Ini merupakan pelecehan terhadap institusi hukum di Indonesia,” tandas pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) tersebut.

Hal senada diungkapkan oleh juru bicara Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA), Dr Sayoga yang menyatakan bahwa KPAA akan melaporkan JPU Martha Berliana Tobing ke Jaksa Muda Bidang Pengawasan dan Komisi Kejaksaan. Karena ia telah menuntut seseorang dengan mengabaikan fakta-fakta di persidangan yang telah berlangsung lebih dari setahun dua bulan ini.

“Kami akan terus melawan tindakan sewenang-wenang ini sampai keadilan bisa ditegakkan,” katanya.

Humprey juga menambahkan bahwa kasus ini berindikasi adanya “pesanan” untuk menjatuhkan kliennya. Apalagi track record JPU Martha dalam menangani kasus-kasus lain selama ini, seperti Kasus Aan dan Kasus Daniel Sinambela sangatlah kontroversial.

“Silakan teman-teman wartawan melihat sendiri penanganan Jaksa Martha sendiri selama ini dalam menangani kasus-kasus,” tambahnya saat konferensi pers.

Dirinya optimis akan kejelian dan kebijaksanaan Hakim Albertina Ho dalam memutuskan kasus ini di persidangan nanti.

“Kami percaya Ibu Albertina Ho akan dengan mudah melihat kejanggalan-kejanggalan tuntutan Jaksa dan itu sudah terlihat ketika beliau melakukan persidangan pemeriksaan tempat perkara,” jelasnya.

Tapi sebelumnya menurut Hymprey bersama tim penasihat hukum lainnya, mereka telah siap membacakan pledoi pada 7 November 2011 mendatang . “Nanti pledoi ada dua dari Pak Anand dan pengacara,” ujarnya.

13196885471659308598

AS Hikam

Menyikapi tuntutan JPU tersebut, AS Hikam dalam blog pribadinya (http://www.mashikam.com/2011/10/tuntutan-26-th-terhadap-anand-krishna.html) menulis, “Tuntutan ini sangat tidak fair dan cerminan dari sebuah proses peradilan yang sesat. Sejak awal proses peradilan Pak Anand Krishna (AK) sudah dicemari oleh berbagai kejanggalan, manipulasi, kebohongan, dan rekayasa yang intinya adalah fitnah serta upaya mengkriminalisasi seorang pemikir dan pejuang HAM.”

Lebih lanjut, menurut Menristek pada era Gus Dur ini, “Pak AK seharusnya sudah sejak awal dibebaskan dan proses peradilan tersebut dinyatakan mistrial (batal) karena penuh dengan ketidakberesan. Salah satunya adalah keterlibatan Hakim yang memimpin persidangan dalam selingkuh dengan pihak pelapor. Setelah Hakim bejad itu diganti, semakin banyak lagi kecurangan yang ditemukan dalam persidangan.”

Peneliti LIPI ini juga menyayangkan, “Toh JPU (yang juga ternyata bermasalah) tetap menuntut 2, 6 tahun kepada Pak AK. Mungkin JPU sudah malu untuk mundur sehingga dalam rangka mempertahankan wibawa pribadi dan lembaga, dia “ngotot” menjerat Pak AK dengan semena-mena. Saya masih berharap Hakim Albertina Ho, yang selama ini aktif membongkar berbagai kesalahan dan manipulasi proses peradilan sebelumnya, akan menolak total tuntutan itu. Pak AK justru menjadi korban dari manusia-manusia yang berhati setan yang rela memfitnahnya, padahal mereka semua berhutang budi kepada beliau dan Ashram Anand Krishna!”

AS Hikam menutup dengan sebait doa, “Tuhan tidak akan membiarkan hamba-Nya yang difitnah. Ia akan memberikan pertolonganNya. Amin…”

Secara kebetulan, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) baru saja menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara kepada jaksa nonaktif Cirus Sinaga. Selain hukuman penjara, Cirus juga diwajibkan membayar denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan.

Cirus dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak pidana korupsi dalam penghilangan salah satu pasal untuk terpidana kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Perbuatan Cirus tersebut dinilai bertentangan dengan upaya pemerintah untuk memberantas korupsi dan mencoreng nama lembaga penegak hukum.

Bisa jadi Jaksa Martha akan mengalamai hal serupa karena menyalahgunakan wewenang yang diamanahkan rakyat. Ia akan menjadi cirus Sinaga jilid II. Salam keadilan!

Oktober 26, 2011

Tara Pradipta Laksmi Ditanami Ingatan Palsu

Tara Pradipta Laksmi dan Wijarningsih (belakang kanan)

Wijarningsih, Ria, dan Tara Pradipta Laksmi musti diperiksa psikiater independen. Indonesia memiliki banyak psikolog yang kompeten memeriksa kondisi psikis mereka. Aneh tapi nyata. Wijarningsih masih memandikan Tara hingga usia 19 tahun. Bahkan, ia tak segan memandikan Ria (tante Tara). Mereka semua sakit. Ironisnya, penyakit mereka diperparah oleh ulah Muhammad Djumaat Abrory Djabbar.

Pada saat yang sama, perlu juga dilakukan forensik terhadap terapi dan keterangan dari psikolog industri Dewi Yogo Pratomo. Sebab, ia belajar hipnoterapi lewat jarak jauh. Dewi baru lulus bulan Februari 2009 tapi kemudian bulan Juni sudah mulai menangani Tara Pradipta Laksmi. Lebih lanjut, pertanyaannya, “Apa kompetensi seorang psikolog industri untuk menangan kasus yang semestinya ditangani oleh psikolog klinis?”

Selain itu, mesti dilakukan juga forensik terhadap kredibilitas saksi lain bernama Wowiek Mardigu. Termasuk kredentialnya ihwal kartu keanggotaan The National Guild of Hypnotists (NGH) yang diperlihatkan dalam sidang Anand Krishna. Padahal menurut informasi dari NGH, saat itu Wowiek tidak terdaftar sebagai anggota. Wowiek juga atas pengakuannya sendiri adalah psikolog bisnis. Bahkan sebagaimana diakuinya sendiri dalam sidang, “…hanya menerima pesanan, dan melakukanya untuk duit”. Rekaman penyataan itu ada di tangan kuasa hukum Anand.

Dalam konteks ini, publik musti tahu bahwa Tara Pradipta Laksmi telah diimplant alias ditanami memori palsu. Korban psikolog semacam ini sudah difilmkan dalam Indictment: The McMartin Trial. Dalam kasus tersebut, seorang murid TK beserta gurunya sampai dihakimi massa. Hanya karena ulah seorang psikolog yang melakukan false memory implantation.

Hasilnya anak-anak yang menjadi saksi di film tersebut memberi kesaksian yang aneh bin ajaib. Dalam arti, tidak masuk akal serta berubah-ubah. Karena apa yang mereka ingat bukan kejadian sebenarnya. Belajar dari The Mc Martin Trial , di negara bagian tragedi itu terjadi, kesaksian yang berasal dari hipnoterapi akhirnya tidak bisa dipakai dalam pengadilan.

Penanaman ingatan palsu ini merupakan satu malpraktek dalam dunia psikologi. Adi W Gunawan, Leading Expert in Mind Technology juga berpendapat bahwa terapi sampai 50 kali seperti yang dialami Tara Laksmi, jelas bertujuan untuk memasukkan memori palsu, bukan untuk terapi. Dalam hal ini, menurutnya trauma pelecehan bisa ditanggulangi dalam satu hingga maksimal 4 sesi.

Kembali ke film Indictment, Mc Martin – yang difitnah telah melakukan pelecehan seksual terhadap para anak didiknya – menjalani persidangan terlama dan termahal yang pernah digelar. Kenapa? karena para saksi selalu mengubah-ubah kesaksiaannya. Fakta ini mengingatkan kita pada kasus Anand Krishna, para saksi yang dihadirkan Jaksa Martha Berliana SH pun acapkali berubah kesaksiaannya. Ibarat peribahasa Kejawen, “esuk tempe, awan dele,” sehingga hingga kini sidang molor hingga setahun lebih.

Oktober 25, 2011

Pejabat Kejati DKI Jakarta Sambut Baik Inisiatif KPAA

1319542771600970589

Jakarta - Ratusan peserta aksi damai dari Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA) mendatangi kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI di Jl. HR Rasuna Said No. 2, Jakarta Selatan (Jaksel) pada Selasa (25/10/2011). Secara sukarela mereka datang dari segala penjuru Indonesia. Seperti Tangerang, Bekasi, Bogor, Bandung, Denpasar, Singaraja, Tabanan, Yogyakarta, Solo, Semarang, Magelang, Lampung, Kalimantan, dan Riau.

Dukungan ini terkait informasi dari Tim Kuasa Hukum Anand Krishna dan pemberitaan santer di beberapa media cetak dan elektronik beberapa minggu terakhir. Isinya mengungkap sejumlah kejanggalan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Martha Berliana Tobing SH.

Sejak jam 10.00 WIB tepat KPAA mengusung beberapa poster dan membentangkan 2 spanduk. Posternya antara lain bertuliskan: “No Unlawful Evidence”, “Tindak Yang Suka Terlambat”, “No Rekayasa Hukum”, “Bersihkan Kejaksaan dari Mafia Hukum”, “Cabut Infus = Pelanggaran HAM Berat”, “Jaksa Martha Jangan Tertipu Akting”, dan “Tegakkan Keadilan”. Sedangkan 2 spanduk raksasa bertuliskan: ‘Free Anand Krishna For Justice’ dan ‘Kembalikan Kerja Aparat Kejaksaan yang Independen Berdasarkan Hati Nurani dan Perundang-undangan bukan Berdasarkan Pesanan.’

Selain itu, peserta aksi tiada henti memekikkan dukungan untuk Anand Krishna. Sembari mengibarkan Sang Saka Merah Putih dan menabuh kendang jimbe, “Kami menuntut keadilan bagi Anand Krishna karena kasus ini penuh rekayasa,” ujar seorang orator yang memegang toa. Lalu lintas perempatan HR Rasuna Said, Kuningan ke arah Mampang Prapatan terlihat lancar. Sebab aksi damai ini dilakukan secara tertib. Pun peserta aksi damai juga mengenakan pakaian adat warna-warni, sehingga kian menambah semarak.

Akhirnya putra Anand Krishna, Prashant Gangtani bersama perwakilan KPAA, dan 4 pengacara bertemu dengan Wakil Kejati DKI Jakarta dan Asisten Tindak Pidana Umum di dalam kantor. Pihak Kejati menyambut baik inisiatif masyarakat untuk memperbaiki kinerja kejaksaan.

Lantas, dr. Wayan Sayoga menyampaikan sejumlah kejanggalan yang dialami Anand Krishna. Juru bicara KPAA ini menyerahkan Compact Disk (CD) rekaman lengkap seluruh isi persidangan sejak sidang perdana 25 Agustus 2010. Sehingga pihak Kejati dapat mendalaminya lebih lanjut.

“Kami datang ke sini atas dasar kepedulian. Ada oknum yang mendalangi ini semua, yaitu Muhammad Djumaat Abrory Djabbar,” ujar dokter asal Bali tersebut. Dr. Sayoga juga beranggapan semua bukti yang diajukan dalam persidangan hanya gosip dan cerita murahan. “Semuanya palsu, 99,99% kasus ini rekayasa,” imbuh Sayoga.

Sebelum aksi damai berlangsung, dr. Sayoga juga mengatakan, “Hasil visum atas diri pelapor Tara Pradipta, tertanggal 3 Maret 2010, pukul 15.40 dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang ditandatangani oleh dr. Abd. Nun’im Idris tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan seksual dan persetubuhan, bahkan selaput dara masih utuh.”

“Ini yang perlu diketahui publik dan digaris bawahi. Hasil visum pelapor yang dikeluarkan oleh RSCM menyatakan pelapor masih perawan ting-ting,” tegas dr. Wayan Sayoga.

Sedangkan dari pihak keluarga, anak Anand Krishna, Prashant Gangtani menjelaskan kepada media yang meliput aksi damai ini, “Satu setengah tahun ayah saya dizalimi, 49 hari mogok makan!”

Prashant juga menceritakan penyalahgunaan wewenang jaksa Martha. Sebab JPU memerintahkan pencabutan infus dan mengirim Anand Krishna ke penjara Cipinang. Sehingga kadar gula darah ayahnya turun drastis menjadi 64, mengalami serangan light stroke, dan hypoglychemie pada 48 jam berikutnya.

“Itu tindakan yang bukan hanya tidak profesional dan melanggar etika korps Adhyaksa - untuk selalu menjalankan tugas berdasarkan Trikrama Adhyaksa: Satya Adhi Wicaksana - tapi juga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat,” tandas Prashant.

Akhir kata, silakan disebarluaskan reportase ini. Berikan pula dukungan Anda untuk Anand Krishna dan tegaknya Keadilan di http://freeanandkrishna.com/. Terimakasih…

Sumber Foto: http://www.facebook.com/media/set/?set=a.296584607021102.82020.203864546293109&type=1

1319536803745092889

Aksi Damai Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA) di Depan Kantor Kejati DKI Jakarta (25/10/2011)
1319537002212319481

Aksi Damai KPAA Tuntut Keadlian

13195370801429223387

Perwakilan Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA) Diterima oleh Pejabat Kejati DKI Jakarta

13195371891809858991

Pejabat Kejati DKI Yang Menerima Perwakilan Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA)

13195373991545824017

Salah Satu Anggota Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA) Beri Salam pada Polisi karena sudah Diterima dan Dilindungi Ketika Beraksi Damai.

1319542384250056909

13195424341677901916

13195424641248869878

131954249582924983

13195425712027095092

13195425991227512434

1319542627540796327

1319542654525853899

1319542718194813062

13195427441181454198

Oktober 24, 2011

Bebaskan Anand Demi Keadilan

Bidikan Utama Majalah TIRO edisi bulan Oktober 2011 bertajuk:

“Skandal Busuk untuk Menghancurkan Tokoh Pluralisme Anand Krishna”

Sejatinya terdiri dari 4 ulasan panjang, silakan baca lengkapnya di http://www.freeanandkrishna.com/in/tiro/

Terimakasih dan silakan disebarluaskan. Salam Keadilan!

1319443522339631981

Bebaskan Anand Demi Keadilan

Sidang atas nama terdakwa Anand Krishna yang sudah berlangsung setahun lebih akhirnya akan sampai pada agenda pembelaan dari Tim Penasehat Hukum Anand Krishna. Apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini? Berikut petikan wawancara Matroji Dian Swara dengan KetuaTim Kuasa Hukum Anand Krishna, Humphrey R. Djemat.

Sidang terhadap klien Anda sudah setahun lebih berlangsung, apa komentar Anda?

Iya, memang benar itu, ini semua terjadi karena adanya konspirasi antara saksi korban Shinta Kencana Kheng dengan mantan ketua majelis hakim Hari Sasangka yang akhirnya terbongkar dan digantikan dengan Ibu Albertina Ho sebagai ketua majelis hakim dalam perkara ini. Secara otomatis, beberapa saksi yang telah dihadirkan dalam sidang sebelumnya kembali dimintai keterangannya kembali oleh majelis hakim yang baru.

Sebentar lagi agenda sidang memasuki tahap pembelaan, apa yang akan Anda lakukan?

Sebagai tim penasehat hukum tentunya akan menyampaikan nota pembelaan terhadap klien kami Anand Krishna. Dalam nota pembelaan nanti, kami akan melakukan pembelaan yang maksimal terhadap pak Anand Krishna, karena persidangan ini penuh dengan kejanggalan-kejanggalan dan adanya rekayasa kasus untuk menjatuhkan nama baik pak Anand Krishna sebagai tokoh pluralism di Indonesia.

Kalau boleh tahu, pokok-pokok apa saja yang akan Anda sampaikan pada pembelaan nanti?

Adapun pokok-pokok yang akan kami bahas dalam Nota Pembelaan terhadap klien kami antara lain tidak adanya saksi-saksi yang mendengar dan melihat kejadian yang dilaporkan oleh Tara Pradipta Laksmi selaku saksi pelapor yang mengaku telah dilecehkan oleh Anand Krishna pada tahun 2009. Tak hanya itu saja, setelah pemeriksaan dilakukan terhadap saksi-saksi, kami menilai bahwa saksi-saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum tidak melihat dan mendengar langsung kejadian yang dialami oleh Tara Pradipta Laksmi, padahal dalam dakwaan penuntut umum, sangat jelas diuraikan adanya pelecehan yang dilakukan oleh pak Anand Krishna terhadap Tara Pradipta Laksmi dan berdasarkan keterangan Tara Pradipta Laksmi di depan persidangan bahwa dia telah dilecehkan. Hal inilah yang disebut sebagai unus testis nullus testis atau satu saksi bukanlah saksi.

Terhadap saksi korban lainnya bagaimana?

Dalam surat dakwaan penuntut umum dinyatakan bahwa Anand Krishna selain melakukan pelecehan terhadap Tara Pradipta Laksmi, juga melakukannya terhadap Sumidah, Shinta Kencana Kheng, Dian Mayasari, dan Farahdiba Agustin. Namun setelah dilakukannya pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang diajukan dalam persidangan, terungkap fakta bahwa tidak ada satupun saksi-saksi yang menyatakan pernah mendengar dan melihat kejadian yang dimaksud. Saksi-saksi yang mengaku mendapat pelecehan seksual oleh klien kami ternyata bohong.

Selanjutnya bagaimana?

Oleh karena itu, terhadap dakwaan ke satu, kami akan melakukan bantahan terhadap adanya perbuatan cabul yang dilakukan terhadap saksi-saksi dengan tidak adanya saksi-saksi yang melihat dan mendengar langsung perbuatan tindak pidana tersebut. Adapun keterangan para saksi hanya berdiri sendiri yang mana disebut unus testis nullus testis atau satu saksi bukanlah saksi. Selain itu, dalam pasal 290 ayat (1) KUHP juga disebutkan bahwa orang tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, namun dalam faktanya saksi-saksi yang mengaku sebagai korban dengan jelas mengakui bahwa mereka tidak dalam keadaan pingsan dan dalam keadaan berdaya.

Santer diberitakan bahwa saksi-saksi mendapat pelecehan selama berbulan-bulan apa itu benar?

Ini yang saya heran dan tidak masuk akal, bagaimana mungkin seorang korban pelecehan mau dilecehkan lagi sampai dengan berkali-kali, itu bukan merupakan pelecehan, kalau memang benar terjadi pelecehan, kenapa korban tersebut tidak langsung melaporkan saja ke pihak kepolisian.

Menurut saksi, mereka tidak berani lapor polisi karena mereka menganggap klien Anda sebagai guru yang harus dihormati?

Pertanyaan saudara persis seperti dakwaan kedua JPU dalam pasal 294 ayat (2) angka 2 KUHP terdapat unsur guru. Berdasarkan keterangan saksi-saksi di depan persidangan, saksi-saksi korban sendiri pun mengaku mereka memanggil Anand Krishna dengan sebutan Pak atau Bapak. Anand Krishna sendiri tidak pernah meminta maupun menganggap dirinya sebagai seorang guru. Adapun undang-undang dan peraturan tentang Guru itu jelas, merupakan seorang pegawai yang ditunjuk oleh Negara untuk melakukan proses belajar mengajar berdasarkan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan dalam bukunya yang berjudul “Kehidupan” dan sudah dicetak ulang beberapa kali oleh Gramedia, Anand Krishna jelas-jelas mengatakan bahwa dirinya bukan seorang Guru, dan setiap orang mesti memberdayakan dirinya, bukan tergantung pada seorang Guru.

Pada dakwaan kedua juga dijelaskan kaitkannya dengan tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, dimana dalam Surat Dakwaan dijelaskan bahwa yang menjadi objek adalah di L’ayurveda yang terletak di Ruko Golden Fatmawati. Perlu dijelaskan bahwa L’ayurveda bukanlah merupakan suatu tempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 294 ayat (2) angka 2 KUHP, melainkan merupakan tempat terapi kesehatan holistic yang berbentuk perseroan terbatas.

Surat dakwaan juga menyebut Pak Anand sebagai pemilik L’ayurveda, yang sudah terbukti tidak benar. Usaha itu dimiliki oleh beberapa orang, yang diantaranya 2 orang telah menjadi saksi dan membenarkan bahwa Pak Anand bukan pemilik, bukan pemegang saham, dan sejak awal berdirinya perusahaan itu, Pak Anand memang tidak pernah menjadi bagian dari perusahaan itu.

Jadi, sebetulnya banyak unsur dalam dakwaan itu yang jelas tidak terpenuhi.

Mengenai Pasal 64 ayat 1 KUHP yang juga dikenakan kepada klien Anda itu bagaimana?

Pasal 64 ayat 1 KUHP itu merupakan suatu bentuk tindak pidana beberapa perbuatan yang ada hubungannya sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut. Menurut keterangan saksi ahli dipersidangan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, SH, M.Hum. menyatakan bahwa Pasal 64 KUHP harus memenuhi unsur adanya suatu rangkaian perbuatan dalam kurun waktu tertentu dan adanya satu kehendak yang sama, sehingga apabila dikaitkan dengan Surat Dakwaan Penuntut Umum maka seharusnya Dakwaan Kesatu maupun Dakwaan Kedua tidak terbukti dan cukup berdasar dan beralasan untuk membebaskan Anand Krishna dari Dakwaan.

Selain itu apalagi?

Selain bantahan-bantahan terhadap surat dakwaan, dalam pembelaan kami juga menjelaskan kaitannya dengan keterangan para saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum tidak konsisten dari sejak pemeriksaan di Kepolisian, persidangan yang dipimpin oleh Hari Sasangka sampai dengan persidangan yang dipimpin oleh ketua majelis Albertina Ho, kemudian kami juga akan menjelaskan dengan adanya barang bukti yang baru dihadirkan oleh penuntut umum padahal barang bukti itu tidak pernah diperlihatkan kepada Anand Krishna juga saat pemeriksaan di Kepolisian.

Kami juga akan menjelaskan kaitannya adanya dugaan rekayasa terhadap perkara ini. Hal ini dapat dilihat dari adanya pertemuan-pertemuan antara saksi-saksi yang dimotori oleh Muhammad Djumaat Abrory Djabbar sebelum Tara Pradipta Laksmi melaporkan kasus ini ke Kepolisian, dan dugaan tersebut semakin jelas setelah adanya pengakuan beberapa saksi korban yang mengakui adanya pertemuan di rumah Muhammad Djumaat Abrory Djabbar disertai dengan inisiatif dari Muhammad Djumaat Abrory Djabbar untuk melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian setelah melakukan roadshow ke berbagai kota dan di berbagai media yang menyatakan bahwa Anand Krishna telah melakukan pelecehan seksual terhadap Tara Pradipta Laksmi dan beberapa orang lainnya.

Bahkan, dari keterangan para saksi terlihat jelas bahwa Muhammad Djumaat Abrory Djabbar juga yang merencanakan siapa yang mesti menjadi saksi pelapor, dan siapa yang menjadi saksi saja.

Muhammad Djumaat Abrory Djabbar juga, aneh sekali, menggunakan 2 kartu tanda pengenal dengan alamat dan bahkan tanggal lahir yang beda dan hal ini sudah kami tunjukkan kepada Majelis Hakim.

Apa harapan Anda?

Dengan dukungan moril dari berbagai pihak, termasuk puluhan lembaga-lembaga yang pernah menggelar aksi damai dan bahkan seminar di Jawa dan Bali, dengan melibatkan ribuan peserta, dan dengan majelis hakim yang diketuai oleh Albertina Ho, kami berharap agar pak Anand Krishna dapat mendapatkan putusan bebas dengan melihat fakta-fakta yang terungkap di persidangan karena jelas kasus ini merupakan rekayasa sejumlah pihak untuk menjatuhkan nama baik klien kami.

Oktober 23, 2011

Kasus Anand Krishna Penuh Kejanggalan, KPPA Berniat Temui Ketua Kejati DKI Jakarta

JAKARTA, RIMANEWS-Terkait dengan adanya informasi dari Tim Kuasa Hukum Anand Krishna, dan munculnya pemberitaan di beberapa media cetak dan elektronik beberapa minggu terakhir ini tentang sejumlah kejanggalan-kejanggalan dakwaan terhadap Kasus Anand Krishna, maka Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA) yang berasal dari berbagai daerah seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bogor, Bandung, Denpasar, Singaraja, Tabanan, Yogyakarta, Solo, Semarang, Magelang, Lampung, Kalimantan, Riau berkumpul di Jakarta dan bermaksud menemui Ketua Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, Bapak Donny Kadnezar Irdan, SH, MH di Kantor Kejati DKI Jakarta, Jl. HR Rasuna Said No. 2, Jakarta Selatan, Selasa – 25 Oktober 2011,pkl 10.00 WIB supaya mengawasi dan memperdalam lebih lanjut kasus ini, serta memperbaiki kinerja Jaksa Penuntut Umum (JPU) Martha Berliana Tobing SH yang menangani kasus ini. Di antara sejumlah kejanggalan yang ditemukan KPPA, sebagaimana disampaikan dalam rilis persnya kepada RIMANEWS, antara lain:

1.Perintah Pencabutan Infus dan memaksa mengirimkan Anand Krishna ke Rutan Cipinang sehingga kadar gula darahnya turun drastis menjadi 64, dan mengalami serangan light stroke dan hypoglychemie pada 48 jam berikutnya (Harian Indopos, 14 Oktober 2011) adalah tindakan yang bukan hanya tidak profesional dan melanggar etika korps adhyaksa untuk selalu menjalankan tugas berdasarkan Trikrama Adhyaksa : Satya Adhi Wicaksana, tapi juga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang sangat serius.

2. Beberapa saksi yang dihadirkan pun mengakui bahwa memang ada penggalangan dan koordinasi di antara mereka sebelum kasus ini dibawa ke polisi. Mereka menyebut nama Muhammad Djumat Abrory Djabbar dan Shinta Kencana Kheng sebagai orang yang memfasilitasi dan mengkoordinir mereka. Sementara itu, Shinta Kencana Kheng diduga terlibat dalam pelanggaran kode etik hakim karena yang dilakukan Hakim Ketua Majelis lama Hari Sasangka karena terlihat beberapa kali berduaan dalam satu mobil di malam hari, di tempat yang sepi. Kasus ini sendiri sedang dalam penanganan oleh Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA). (Majalah Tiro Edisi Oktober 2011)

3.JPU kurang cermat dalam menghadirkan saksi-saksi kredibel, dan sesuai dengan pasal yang didakwakan dimana semestinya saksi yang dihadirkan adalah terkait juncto pasal 64 (perbuatan berulang pada satu subyek), bukan pasal 65.

4.Pada copy visum pelapor tertanggal 3 Maret 2010, pukul 15.40 dari RSCM yang ditandatangani oleh dr. Abd. Nun’im Idris tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan seksual dan persetubuhan, bahkan selaput dara masih utuh pada diri pelapor. (Harian Suara Pembaharuan, 12 Oktober 2011)

5. Adanya saksi baru diluar BAP, yaitu Guntur Tompubolon, yang memberikan keterangan yang dalam kasus lain yang dilaporkan di Kepolisian Depok ternyatata tidak terbukti, dan kasus tersebut dihentikan (SP3). Namun, saat pemeriksaan Guntur Tompubolon, secara sangat subjektif Hakim Hari Sasangka seolah membenarkan keterangannya secara sepihak (rekaman dan transkrip ada sama penasehat hukum Anand Krishna)

6. Adanya barang bukti baru diluar daftar barang bukti yang disita oleh Kepolisian, berupa sebuah kalung dan beberapa foto yang tertempel diatas selembar kertas, yang mana saat persidangan ulang raib lagi tanpa bekas.

7. Penggunaan kata-kata repulsif terhadap terdakwa, dan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tidak relevan dengan dakwaan, baik yang diajukan kepada terdakwa maupun para saksi lainnya, khususnya 3 orang saksi JPU sendiri yang ternyata membantah apa yang dituduhkan kepada mereka oleh pelapor.

Untuk itu pula, KPAA meminta dengan Ketua Kejati DKI Jakarta, Donny Kadnezar Irdan, SH, MH untuk segera mempelajari dakwaan ini lebih lanjut dan lebih dalam demi keadilan bagi Spiritualis Anand Krishna, dan demi bersihnya citra Korps Adhyaksa dari tingkah laku oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Sumber: http://www.rimanews.com/read/20111023/44490/kasus-anand-krishna-penuh-kejanggalan-kppa-berniat-temui-ketua-kejati-dki

Srikandi Penegak Hukum


Bidikan Utama Majalah TIRO edisi bulan Oktober 2011 bertajuk:

“Skandal Busuk untuk Menghancurkan Tokoh Pluralisme Anand Krishna”

Sejatinya terdiri dari 4 ulasan panjang, silakan baca lengkapnya di http://www.freeanandkrishna.com/in/tiro/

Terimakasih dan silakan disebarluaskan. Salam Keadilan!



Srikandi Penegak Hukum

Ia seorang wanita dan seorang hakim yang berjiwa besar, bertindak adil dan bijak. Sorot matanya yang tajam dan tanpa “kedap-kedip” di persidangan, seolah-olah menambah kharismanya selaku pemutus keadilan. Albertina Ho, ialah sosok srikandi hukum masa kini yang tak mampu dibeli.

Betapa carut marutnya hukum dan keadilan di negeri ini, tatkala seorang Gayus Halomoan Tambunan, disebut-sebut bukan aktor utama dalam “mafia pajak” di negeri ini, tampak begitu mudah keluar masuk rumah tahanan Brimob di Kelapa Dua Jakarta. Dengan “kesaktian” yang dimilikinya, Gayus berkesempatan untuk “indehoy” ke Pulau Dewata beserta istri tercintanya. Harta kekayaan Gayus ternyata masih berserakan. Dengan uang yang dimilikinya, Gayus mampu “menina-bobokan” para petugas aparat hukum untuk mengatur apa yang diinginkannya.

Mafia pajak dan Gayus identik dengan sayur asam tanpa garam. Terasa hambar kalau tidak dicampur atau dipisahkan. Tentu tidak akan terlepas dari hadirnya sosok Ketua Majelis Hakim persidangan yang bernama Albertina Ho. Publik rupanya mulai menaruh perhatian terhadap ibu hakim, di samping terhadap masalah substantif yang jadi materi utama persidangan.

Ketertarikan publik, tentu bukan didasarkan pada faktor fisik atau lahiriah, namun lebih disebabkan karena pembawaan dan karakternya dalam memimpin jalannya sidang. Albertina Ho betul-betul mampu mengambil posisi sebagai hakim ketua yang adil dan bijak. Sorot matanya yang tajam dan tanpa “kedap-kedip” dengan tersangka, menambah kharismanya selaku pemutus keadilan. Pertanyaannya menukik pada inti masalah.

Tampilannya yang segar mengusir suasana “ewuh-pakewuh” . Kesan galak bias saja muncul, tapi dalam “kamus hukum” barangkali lebih pas disebut berwibawa.

Ya, seorang hakim memang perlu tampil sebagai lambang keadilan. Hakim sangat tidak diharapkan cengengesan atau cekikikan dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaannya, baik kepada tersangka, saksi, jaksa, ataupun pembela.

Sebagai Pimpinan Sidang, seorang Hakim Ketua tentu harus tampil prima. Hakim bukan pelawak hukum. Dirinya tidak boleh terlihat loyo atau lelah. Apalagi jika kelihatan sedang bingung dan bersusah hati karena butuh uang untuk bayar anaknya kuliah. Dirinya harus selalu yakin bahwa palu yang dipegang dan diketukannya itu harus selalu mengacu pada nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan.

Oleh sebab itu, betapa sakitnya kita selaku warga bangsa, kalau tiba-tiba ada kabar bahwa ada seorang hakim yang terima suap atau melanggar kode etik. Lebih sedih lagi jika muncul isu bahwa di negeri ini sudah sejak lama terjadi “mafia peradilan”. Hakim, Jaksa, dan Pembela dapat mengatur hasil akhir dari sebuah persidangan.

Albertina Ho, tampaknya ingin menunjukan jati dirinya bahwa tidak semua hakim sebagaimana yang ditudingkan banyak pihak. Albertina Ho sadar betul bahwa kasus Gayus, bukan sebuah kejadian yang sifatnya biasa-biasa saja.

Networking telah terbangun. Bisa saja ada kolaborasi antara aparat pemerintah dan aparat penegak hukum. Berbasis pada hal-hal yang demikian, sah-sah saja kalau Albertina Ho, memainkan perannya selaku hakim ketua yang bebas nilai. Akhirnya, bila kita cermati pertanyaan-pertanyaan yang diajukan maka tampak tegas, lurus, dan galak.

Albertina Ho kita harapkan benar-benar menjaga kredibilitasnya selaku hakim ketua yang berwibawa dan menyinarkan lambang keadilan. Apa yang sudah dilakukannya, mudah-mudahan dapat dipertahankan. Tak hanya kasus Gayus, dalam kasus Anand Krishna pun kredibilitasnya dipertaruhkan sebagai hakim. Bangsa ini, butuh Srikandi Hukum yang berkarakter dan cerdas. Dirinya tidak takut pada tekanan. Dirinya tidak tergiur oleh tahta atau pun harta. Yang ditakutkan hanyalah satu yakni Tuhan Yang Maha Esa.

Kita percayakan saja hal itu kepada Albertina Ho, walaupun ada di antara kita yang meragukannya. Maklum menuntaskan carut-marutnya hukum di negeri ini ibarat kita minum setetes air di tengah padang pasir. Tak hanya itu, Albertina Ho dipercaya untuk memimpin sidang dalam kasus Anand Krishna untuk menggantikan hakim Hari Sasangka.

Terbalik

Kalau Albertina Ho merupakan sosok hakim yang cerdas, bersih, independen dan berani maka tidak demikian dengan hakim Hari Sasangka. Hari Sasangka bila dilihat dari track recordnya ketika menangani kasus Anand Krishna yang justru langsung memvonis terdakwa bersalah. Padahal belum adanya keputusan hakim yang menyatakan Anand Krishna bersalah.

Hari Sasangka, namanya sering disebut-sebut belakangan ini karena “bermain mata” dengan saksi pelapor, karena itu hakim tersebut dilaporkan ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Terhadap laporan tersebut apalagi menurut Komisioner Komisi Yudisial yang menjabat sebagai ketua bidang pengawasan hakim dan investigasi Suparman Marjuki bahwa laporan dugaan keras pelanggaran etika yang dilakukan oleh hakim Ketua Hari Sasangka ini sudah dianggap lengkap dan memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti.

Dengan disertai petunjuk puluhan bahkan ratusan foto-foto dan adanya lima saksi mata yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut di tiga kesempatan terpisah, maka jelaslah bahwa kenapa selama ini ketua hakim majelis selalu menunjukan sikap keberpihakan dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah dalam kasus Anand Krishna ini, yang salah satunya adalah mengeluarkan surat penetapan penahanan pada bulan Maret 2011 lalu, ini adalah kedua kalinya, hakim Hari Sasangka diadukan ke KY terkait perkara yang sama.

Akhirnya Hari Sasangka yang mengadili perkara Anand Krishna pun dimutasi ke Pengadilan Tinggi Ambon dan diganti oleh Albertina Ho.

Pergantian Majelis Hakim itu ditetapkan berdasarkan nomor keputusan 1054/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel pada tanggal 7 Juni 2011 ditandatangani Ketua PN Jakarta Selatan Herry Swantoro.

Keputusan yang dibacakan Humas PN Jakarta Selatan, di halaman kantor PN Jakarta Selatan itu menetapkan dan menunjuk Albertina Ho sebagai ketua majelis, Muhammad Razzad sebagai hakim anggota, dan Susko Harsono sebagai hakim anggota.

Alasan digantinya, karena yang bersangkutan dimutasi dan untuk melanjutkan perkara yang dimaksud perlu ditunjuk majelis hakim yang baru. “Pertimbangan lainnya karena ada laporan dari Komunitas Pencinta Anand Ashram (KPAA) tertanggal 7 Juni 2011,” kata Ida Humas PN Jakarta Selatan.

Seperti diberitakan, hakim Hari Sasangka dilaporkan oleh Tim Kuasa Hukum Humphrey R. Djemat ke Komisi Yudisial (KY). Dalam laporan itu Humphrey yang datang ke KY bersama lima orang saksi yang melihat adanya pertemuan hakim Hari Sasangka dengan saksi korban Shinta Kencana Kheng. Semoga Albertina Ho tetap menjadi hakim yang objektif di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara terlebih Anand Krishna adalah korban konspirasi.

(Matroji Dian Swara, Feri Sumirat)

Keterangan Saksi Berubah-ubah

Keterangan Saksi Berubah-ubah REP | 23 October 2011 | 15:40 83 0 Nihil

Bidikan Utama Majalah TIRO edisi bulan Oktober 2011 bertajuk:

“Skandal Busuk untuk Menghancurkan Tokoh Pluralisme Anand Krishna”

Sejatinya terdiri dari 4 ulasan panjang, silakan baca lengkapnya di http://www.freeanandkrishna.com/in/tiro/

Terimakasih dan silakan disebarluaskan. Salam Keadilan!

1319359000404065334

Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim mengatakan bahwa saksi sudah pernah bersumpah di muka persidangan pada persidangani terdahulu dan sumpah tersebut masih mengikat sampai persidangan ini dan apabila ada keterangan saksi yang bertentangan dengan keterangan saksi pada persidangan yang terdahulu, maka yang dipakai adalah keterangan saksi pada saat ini.

Pasca dicopotnya Hari Sasangka dan hakim anggota lainnya dalam kasus Anand Krishna dan digantikan oleh Ketua majelis hakim yang baru yakni Albertina Ho. Albertina langsung memimpin jalannya persidangan mengingatkan kepada saksi-saksi untuk memberikan keterangan yang sebenarnya.

Keterangan Tara Pradipta Laksmi

Saksi mengaku pertama kali dilecehkan di Ciawi, Bogor (Jawa Barat) tanggal 21 Maret 2009. Padahal saat itu terdakwa berada di Sunter (Jakarta Utara). Dan banyak saksi yang melihatnya, bahkan mendengar sharing-nya dalam suatu pertemuan umum.

Dalam sidang yang sebelumnya dipimpin oleh Hari Sasangka, saksi mengaku dilecehkan hampir setiap hari selama bulan Maret-Juni. Padahal, dalam laporannya di Polisi, disebutnya April-Juni 2009.

Saksi mengaku selalu dimasturbasi oleh terdakwa dengan dimasukan jarinya ke dalam vagina saksi. Padahal, menurut keterangan visum dari kepolisian sendiri, selaput dara saksi masih utuh, dan tidak ada tanda-tanda kekerasan.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Albertina Ho, saksi merubah keterangannya dan mengaku dilecehkan hanya 4 kali saja, dua kali di wilayah Jakarta Selatan, sekali di Ciawi, dan sekali lagi di Bali. Padahal kasus ini dilaporkan hanya di Jakarta Selatan, dan tidak di wilayah-wilayah lain sebagaimana disebutnya.

Dwi Ria Latifa, seorang aktivis perempuan yang juga menjadi kuasa hukum Anand Krishna sangat menyayangkan kebohongan-kebohongan saksi. “Ini betul-betul menodai wajah perempuan. Kenapa dia mesti berbohong seperti itu?,”ujarnya.

Pernyataan serupa juga muncul dari saksi ahli Prof. Dr. Ni Luh Suryani yang mengaku sudah sering menangani kasus-kasus pelecehan. “Ketika saya melihat saksi pelapor muncul di televise, dan apalagi melihatnya lagi di ruang sidang, saya terheran-heran. Tidak pernah ada korban pelecehan yang bisa tampil gagah di televise. Juga tidak pernah ada korban yang bisa ketawa-ketiwi seperti itu,” jelasnya.

TIRO yang menyaksikan sendiri sejak adanya komentar-komentar seperti itu, tiba-tiba sekarang saksi Tara Pradipta Laksmi terliht menangis.

Namun, David Purba, seorang aktivis dan juga anggota Komunitas Pencinta Anand Ashram mengatakan kepada TIRO, “Kami memiliki puluhan foto, bahkan rekaman video, dimana bisa dilihat jelas sekali bahwa menangisnya Tara Pradipta Laksmi itu hanya pada saat-saat tertentu. Dalam sekejap, tangisannya bisa berubah menjadi tawa,” ujarnya.

Keterangan Shinta Kencana Kheng

Saksi mengaku mengalami pelecehan tahun 2003, tapi masih aktif hingga 2006. Bahkan saksi juga pernah aktif menerima dan menerbitkan naskah-naskah buku dari saksi lain, yaitu Faradiba Agustin alias Fay alias Fe, dan Dian Maya Sari untuk diterbitkannya.

Anehnya, dari fakta persidangan keterangan saksi-saksi yang lain, diduga bahwa Shinta Kencana Kheng yang mengakomodir pertemuan-pertemuan dan merencanakan pelaporan ini sebelum melaporkan ke pihak Kepolisian pada bulan Februari 2010.

Saksi diduga menjalin hubungan dengan hakim Hari Sasangka yang menjadi Ketua Majelis Hakim persidangan sebelumnya.

Saksi juga bisa membawa barang bukti yang sebelumnya tidak pernah ada dalam daftar sitaan, dan meinterupsi hakim dalam persidangan.

Keterangan Saksi Muhammad Djumaat Abrory Djabbar

Tibalah kesaksian dari Abrory Djabbar yang menjalani sidang pemeriksaan ulang atas nama terdakwa Krishna Kumar Tolaram G alias Anand Krishna 20 Juli 2011 lalu dihadapan majelis hakim pimpinan Albertina Ho, menyatakan bahwa ialah yang mencarikan penasehat hukum untuk Tara Pradipta Laksmi yaitu Agung Matauch SH, untuk membela Tara Pradipta Laksmi dan korban-korban pelecehan lainnya. Dalam pertemuan tersebut juga didiskusikan siapa yang akan melaporkan pertama kali, dan sebagai apa, sebagai saksi pelapor atau sebagai saksi korban. Tara Pradipta Laksmi yang melaporkan pertama kali, kemudian Shinta Kencana Kheng, Farah Diba Agustin, Sumidah dan Dian Mayasari.

Pada tahun 2005, Dian Mayasari sudah menjadi istri saksi. Dian Mayasari menceritakan mengenai kejadian yang menimpanya, namun saksi tidak bisa berbuat apa-apa karena pada saat itu ada ajaran yang mana terdakwa merupakan seorang guru, apapun yang dilakukan oleh guru adalah benar, apapun yang dikatakan seorang guru adalah benar.

Setelah saksi Abrory keluar dari Anand Ashram pada pertengahan tahun 2005, terdakwa tidak lagi menjadi guru saksi. Namun anehnya, saksi tidak mempermasalahkan kejadian yang menimpa istri saksi karena tidak cukup untuk membuktikan hal tersebut karena hanya satu orang.

Keterangan ini jelas berbeda dari keterangan Dian Mayasari sendiri, dimana ia mengaku sudah pernah bertemu dengan Shinta Kencana Kheng dan Farah Diba Agustin, bahkan mendiskusikan ukuran alat kelamin terdakwa.

Majelis hakim menerangkan bahwa yang berwenang untuk menyatakan suatu laporan sudah cukup bukti adalah polisi, dan pada saat itu saksi tidak melaporkan kejadian tersebut kepada kepolisian. Saksi merasa percuma untuk melaporkan hal tersebut karena hanya satu saksi dan tidak kuat. Saksi tidak melaporkan hal tersebut, kemudian dilakukan pertemuan pada tahun 2009, diatur rencananya dan baru dilakukan pelaporan.

Setelah keluarnya Abrory dari Ashram pada tahun 2005, ia baru menyadari harga dirinya sebagai suami merasa diinjak-injak. Saksi Abrory dalam melakukan sesuatu dengan cara menghitung, kalau hanya satu orang maka tidak ada yang percaya, dan hal tersebut merupakan pemahaman saksi sendiri. Pada saat ini saksi terkait dengan perkara Tara Pradipta Laksmi, karena Tara Pradipta Laksmi sudah menjadi korban pelecehan di masa mudanya, sehingga memicu aksi untuk bergerak membantu Tara Pradipta Laksmi.

Menurut saksi Abrory pernah melihat Dian Mayasari dicium oleh terdakwa di perpustakaan sekitar tahun 2001. Ketua majelis hakim membenarkan pernyataan dari saksi bahwa kejadian pada tahun 2001 di perpustakaan Dian Mayasari hanya dipeluk bukan dicium. Penasehat hukum terdakwa menerangkan bahwa penjelasan saksi di kepolisian saat di BAP No. 9, bahwa saksi tidak melihat kejadian tersebut dan hanya mengetahuinya dari cerita yang diceritakan oleh Dian Mayasari, penasehat hukum terdakwa menjelaskan kepada Ketua Majelis Hakim bahwa dirinya hanya mencoba untuk melakukan konfirmasi terhadap keterangan saksi-saksi, kemudian ketua majelis hakim menanyakan kepada saksi, “apakah saksi melihat terdakwa memeluk?”, kemudian saksi menjawab “iya saya melihat” ketua majelis hakim menyatakan yang dipakai adalah keterangan saksi yang diberikan pada saat ini.

Penasehat hukum terdakwa pun meminta ketua majelis hakim untuk mencatat bahwa pada saat disumpah dan diperiksa di penyidik, saksi menggunakan identitas palsu. Setelah itu, ketua majelis hakim meminta saksi, penuntut umum, dan penasehat hukum terdakwa untuk maju dan memperlihatkan BAP saksi dengan identitas saksi. Akhirnya permintaan penasehat hukum terdakwa dikabulkan oleh ketua majelis hakim.

Keterangan Saksi Dian Mayasari

Pada awal persidangan penuntut umum mengatakan kepada majelis hakim bahwa penuntut umum telah memanggil saksi Dian Mayasari. Namun Dian Mayasari mengirimkan hanya sepucuk surat kepada penuntut umum.

Surat Dian Mayasari pada pokoknya, menyatakan bahwa yang bersangkutan sudah pernah diperiksa sebagai saksi dan merasa bahwa kesaksian yang diberikan di bawah sumpah. Oleh karena itu tidak mau memberikan kesaksian kembali dan tetap pada kesaksian yang terdahulu.

Penasehat hukum terdakwa merasa keberatan atas surat tersebut karena kesaksian sekarang dimaksudkan oleh majelis hakim yang baru untuk mendapatkan kebenaran materil, karena kesaksian sebelumnya belum mengungkapkan hal-hal yang ingin diketahui oleh majelis hakim yang baru. Oleh karena itu penasehat hukum terdakwa pada prinsipnya menginginkan agar Dian Mayasari dihadirkan kembali.

Atas apa yang diungkapkan tim penasehat hukum, penuntut umum mengatakan bahwa panggilan kepada Dian Mayasari baru dilakukan 1 (satu) kali dan oleh karena itu, penuntut umum tetap akan melakukan pemanggilan kembali kepada Dian Mayasari.

Oleh karena itu, penasehat hukum terdakwa dan penuntut umum sama-sama menginginkan agar Dian Mayasari dihadirkan, maka tidak ada masalah dan juga majelis hakim sebenarnya menginginkan agar Dian Mayasari tetap dihadirkan kendali dipanggil 4 (empat) kali oleh penuntut umum, Dian Mayasari tidak hadir dipersidangan dan yang dipimpin oleh majelis hakim yang baru. Penuntut umum mengatakan kepada majelis bahwa penuntut umum tidak bisa menghadirkan Dian Mayasari.

Prashant Gangtani, yang ditemui TIRO di PN Jakarta Selatan mengaku kecewa terhadap ketidakhadiran Dian Mayasari. Ia mengatakan, “sungguh aneh, Dian kan mengakunya dilecehkan oleh ayah saya, dia sempat bicara dulu di media di sana sini. Namun pada saat dipanggil ke persidangan tidak mau hadir. Saya sempat melihat BAP Dian, ada satu pertanyaan penyidik yang dijawab 12 halaman penuh, seperti cerita novel pakai tanda tanya dan tanda seru segala. Mungkin lupa novelnya,” ujar Prashant.

Keterangan Farah Diba Agustin alias Fay

Ketua majelis hakim menyatakan kepada saksi Farah Diba Agustin, “mengapa baru pada tahun 2010 kejadian yang menimpa saksi baru dilaporkan, padahal kejadian tersebut sudah terjadi selama 7 (tujuh) tahun yang lalu? Untuk menjadi bayangan 7 (tujuh) tahun yang lalu sampai dengan pada saat ini dihitung terdapat berapa bulan? Kalau memang dakwaan ini benar, dalam tiap bulannya terdapat berapa korban?. Hal tersebut yang membuat adanya pertanyaan dalam pikiran ketua majelis hakim.

Penasehat hukum terdakwa mengutip ucapan terima kasih yang dituliskan oleh saksi Farah dalam bukunya “Kupersembahkan karya ini kepada engkau Guruji, yang telah membukakan mata dan telinga hati, dan bagaikan bintang-bintang di langit kasihmu begitu tinggi, menerangi setiap jalan untuk membaktikan diri bagi Ibu Pertiwi, My Beloved Guruji Anand Krishna, dharma dan budimu adalah cermin bagiku”.

Saksi membenarkan kalimat itu diungkapkan oleh saksi dengan sepenuh hati pada saat itu, saksi mengatakan bahwa dirinya sangat menghormati terdakwa, tetapi apakah dengan perlakuan saksi seperti itu, terdakwa bisa seenaknya melakukan pelecehan kepada saksi.

Bahkan penasehat hukum terdakwa menegaskan kalimat yang terdapat di buku yang ditulis oleh saksi memang dibuat dan diterbitkan setelah saksi menerangkan telah mendapatkan pelecehan seksual oleh terdakwa.

Salah satu tim kuasa hukum Anand Krishna Dwi Ria Latifa, SH, mengatakan bahwa saksi Farah Diba Agustin mengaku sebagai aktivis perempuan yang dilecehkan pada tahun 2003 dan saksi tidak pernah melaporkan hal tersebut. Namun tahun 2006 saksi pernah menulis buku dan memuji pak Anand bahkan mempersembahkan buku tersebut ke pak Anand. Menurut Dwi, ini sangat kontra aktif. “Sebagai seorang aktivis perempuan saya tau persis sifat aktivis perempuan. Seandainya hal itu betul terjadi seorang aktivis mustahil duduk diam. Apalagi jika ia sendiri yang mengalaminya, ini semua aneh dan saya yakin Majelis Hakim melihat akan hal ini,” ujar Dwi Ria Latifa kepada majelis hakim.

Bahkan majelis hakim mempertanyakan mengapa saksi sering merubah keterangannya? Majelis hakim pun memperingatkan saksi agar tidak memberikan keterangan yang tidak jelas, Yang dapat mengakibatkan keterangan saksi tidak dipakai.

Penasehat hukum terdakwa meminta ijin kepada majelis hakim agar diadakan konfrontir antara Maya Safira Muchar, Farah Diba Agustin, dan Dewi Juniarti. Penasehat hukum terdakwa mempertanyakan mengapa saksi yang merasa merupakan korban pelecehan seksual tetapi menulis puji-pujian untuk terdakwa di novel yang dibuat saksi. Sejumlah kejanggalan ini seakan menjadi petunjuk pemidanaan terhadap Anand Krishna merupakan konspirasi yang terencana (Matroji Dian Swara).

Oktober 22, 2011

Skandal Busuk Seorang Aparat Menodai Wajah Hukum (Lanjutan)

Bidikan Utama Majalah TIRO edisi bulan Oktober 2011 bertajuk:

Skandal Busuk untuk Menghancurkan Tokoh Pluralisme Anand Krishna

Sejatinya terdiri dari 4 ulasan panjang, silakan baca lengkapnya di http://www.freeanandkrishna.com/in/tiro/

Terimakasih dan silakan disebarluaskan. Salam Keadilan

13192713662044743310

Kejanggalan-kejanggalan Hari Sasangka yang Diambil Langsung dari Transkrip Persidangan.

Aneh bin ajaib, salah satu saksi yang telah diperbolehkan untuk mengikuti jalannya persidangan yang tertutup ialah Shinta Kencana Kheng mengacungkan jari dan meminta ijin untuk mengungkapkan bahwa dirinya pernah diganti namanya oleh terdakwa Anand Krishna dan diberikan baju oleh terdakwa dan Shinta Kencana Kheng membawanya.

Atas hal tersebut, salah satu penasihat hukum terdakwa interupsi kepada ketua majelis hakim dan menanyakan dalam kapasitas apa Shinta Kencana Kheng berbicara di muka persidangan dan meminta agar dipahami bahwa persidangan juga mempunyai tata aturan.

Ketua majelis hakim langsung menanggapi ucapan dari penasihat hukum terdakwa tersebut dengan mengatakan bahwa kelemahan dalam KUHAP adalah 1 (satu), KUHAP mengatur lengkap tentang pemeriksaan saksi secara lengkap, tetapi tentang pemeriksaan terdakwa, KUHAP tidak mengatur.

Lebih parah lagi, ketua majelis hakim mengatakan bahwa sulit untuk menjadi guru spiritual. Karena harus diperhitungkan hal-hal sekecil apapun. Bahwa atas perkataan ketua majelis hakim tersebut. terdakwa mengatakan bahwa dirinya tidak pernah menempatkan dirinya sebagai Guru dan bahkan membantah untuk disebut Guru.

Ketua majelis hakim mengatakan bahwa terdakwa adalah orang yang mempunyai kualitas internasional. Atas pernyataan ketua majelis hakim tersebut, terdakwa “maaf, tapi tidak sebagai guru.” Penasihat hukum melalui majelis hakim meminta JPU Martha Berliana Tobing, SH, menunjukkan kalung berwarna coklat yang dijadikan barang bukti, kemudian terdakwa mengatakan bahwa “kalung itu tidak benar dan tidak pernah muncul di Polisi.” Penasihat hukum menanyakan bagaimana kalung tersebut bisa terdapat di persidangan namun penuntut umum tidak mau menanggapinya, majelis hakim menyatakan kepada penasihat hukum bahwa nanti dalam nota pembelaan dan meminta untuk mengesampingkan barang bukti yang diajukan penuntut umum.

Secara tegas penasihat hukum menyampaikan bahwa dalam suatu peradilan hal-hal seperti itu menjadi serius, karena hukum acara ini dibuat untuk menegakan sehingga dapat mendapatkan kebenaran materil apabila hukum acara tidak dilakukan sebagaimana mestinya maka tidak mungkin kita mencapai kebenaran materil.

Menurut penasihat hukum perlu di-sampaikan dalam persidangan ini sehingga ada dasar hukum nantinya dalam nota pembelaan. Permasalahan ini merupakan masalah yang serius, bagaimana JPU dapat menghadirkan bukti yang tidak ada kemudian majelis hakim menyatakan akan mempertimbangkan permasalahan ini.

Di dalam penetapan yang dikeluarkan oleh Hari Sasangka, disebutkan bahwa telah diperiksa keterangan 9 orang saksi, yaitu Tara Pradipta Laksmi, Dra Wijarningsih, Farah Diba Agustin, Maya Safira Muchtar, Dr. E. Kristi Poerwandari, M. Hum (psikolog), dan ahli Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, SH, MH.

Bahkan menurut penasihat hukum, hal itu tidak benar karena saksi yang telah diperiksa sudah 25 orang dan bukan 9 orang. saksi-saksi tersebut antara lain; Phung Soe Swe alias Chandra, Liny Tjeris, Muhammad Djumaat Abrory Djabbar, Wandy Nikodemus, Lion Filman, Dewi Juniarti, Demetrius Baruno, Dian Martin, Made Yuda, Rico Perlambang, Wowiek Prasantyo, Dewi Yogo Pratomo, Ratih Puspita, Norma Harsono, Deby Sutopo, dan Ires Hasibuan. Dengan demikian hakim telah tidak jujur karena telah menyembunyikan fakta yang sebenarnya, sehingga melanggar kode etik hakim pasal 2.1 yang berbunyi sebagai berikut ,”hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela”.

Hal itu melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana tersebut dalam keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 047/KMA/SKB/IV/2009 selanjutnya disebut “kode etik”.

Pasal 1.1 umum bagian C pengaturan keputusan kode etik menyatakan, “hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharap imbalan”. Dalam persidangan hakim juga sering memihak kepada Pelapor dan Jaksa antara lain hakim mengijinkan Jaksa untuk mengajukan bukti-bukti yang tidak termasuk dalam berkas perkara untuk ditanyakan kepada saksi-saksi. “Padahal kami sudah berkali-kali keberatan, karena menurut kami kalau bukti yang diajukan Jaksa tidak ada dalam berkas tidak boleh diajukan sebagai bukti untuk ditanyakan kepada saksi-saksi karena kita tidak tahu keaslian, asal usul dari bukti tersebut. Namun meskipun kami sudah keberatan, hakim tidak memperdulikan keberatan kami tersebut,” ungkap kuasa hukum Anand Krishna, Humphrey R. Djemat kepada TIRO.

Humphrey mencontohkan, pada persidangan tanggal 16 Februari 2011 saat pemeriksaan saksi Ir. Made Yudanegara, Rico Perlambang, dan Dian Martin jaksa menyerahkan dua buah foto ke pada hakim ketua untuk diperlihatkan kepada saksi dan oleh hakim ketua terima serta ditanyakan kepada saksi, padahal foto tersebut tidak termasuk dalam salah satu barang bukti yang diajukan di persidangan, sehingga tidak diketahui foto tersebut berasal dari mana. Pada saat pemeriksaan saksi dalam persidangan ketua majelis hakim juga sering menggunakan kalimat “sampeyan” kepada saksi-saksi.

Tidak hanya itu, pada saat saksi ahli dimintakan kesaksiannya di persidangan dan telah dipanggil beberapa kali antara tanggal 9 Februari, 23 Februari, 2 Maret dan JPU beralasan tidak bisa menghadirkan saksi ahli, hakim ketua mengatakan bahwa saksi ahli harus disiapkan “peluru” dan transport, karena kalau tidak mana mau datang begitu saja menjadi saksi di pengadilan.

Anehnya, saksi-saksi yang memberatkan terdakwa padahal sudah selesai diperiksa, diizinkan secara terus-menerus masuk ke dalam ruang sidang, dan mengikuti jalannya persidangan yang tertutup untuk umum dengan alasan adanya surat dari suatu institusi tertentu yang ditujukan kepada majelis hakim, sehingga terkesan ketua majelis hakim telah ditekan oleh pihak tertentu dan menjadi tidak independen.

Sesungguhnya sikap ketua majelis hakim tersebut telah menciderai independensi pengadilan sebagai benteng terakhir penegakan hukum, mencari/menemukan kebenaran materil menjadi sirna, dan terutama telah bertentangan dengan pedoman perilaku hakim di dalam persidangan.

“Laporan yang dibuat adalah murni merupakan dugaan pelanggaran kode etik karena hakim telah melakukan perbuatan tercela. Hakim tersebut telah melakukan hubungan dengan saksi wanita yang mengaku sebagai korban dalam perkara yang sedang diperiksanya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas terdakwa Anand Krishna,” jelas Humphrey.

Humphrey melanjutkan, seorang hakim tidak diperbolehkan untuk menjalin hubungan dengan, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat, penuntut umum dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh hakim yang bersangkutan. Hal tersebut melanggar ketentuan Angka 5.1.3 keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial .R.U Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang menyatakan : “Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat, penuntut umum dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh hakim yang bersangkutan.”

“Menjalin hubungan dengan pihak dalam perkara saja sudah tidak boleh, apalagi bertemu Shinta Kencana Kheng yang merupakan saksi korban, di mobil pada malam hari di beberapa tempat yang berbeda,” tegas Humphrey.

Hal lain yang menjadi dasar laporan adalah Hakim tersebut dalam memeriksa perkara dengan terdakwa Anand Krishna telah menunjukkan sikap keberpihakan. “Kami memiliki rekaman sidang yang nanti akan bicara banyak mengenai keberpihakan dari hakim tersebut,” ujar Humphrey.

Tindakan ini juga melanggar Angka 3.1 (2) keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial .R.U Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang menyatakan : “Hakim dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi hukum lain yang secara teratur di beracara di pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan.

Oleh sebab itu, TIRO pun sempat mewawancarai saksi ahli Prof. Eddy Hiariej dari Universitas Gajah Mada demi mencari keabsahan sebuah fakta persidangan. “Saya yakin bahwa dakwaan ini tidak cermat, apa yang dituduhkan itu sendiri baik secara materi maupun substansi dan dari segi hukumnya pun sangat lemah. Bagaimana seorang bisa mengaku dilecehkan berulang kali, dan kemudian datang sendiri seolah minta dilecehkan,” ujar Prof. Eddy Hiariej.

Prof. Eddy Hiariej menambahkan, bahwasanya saksi pelapor dalam keadaan tidak berdaya. “Nah, tidak berdaya ini secara fisik diikat, diancam atau bagaimana? Dari apa yang sekarang saya ketahui hal itu tidak terjadi”.

Bahkan saksi-saksi yang mengaku saksi korban itu tidak mengukuhkan tuduhan saksi pelapor, akan tetapi terasa bercurhat. Saya tidak habis pikir kenapa curhatan murahan seperti itu dijadikan dasar untuk mengangkat kasus ini ke sidang?

“Dalam hukum di manapun, satu saksi berarti tidak ada saksi. Saksi pelapor dalam kasus ini tidak bisa menghadirkan seorang saksi pun yang mengaku melihat kejadian yang dituduhkannya. Nama yang disebutnya malah bertambah,” tutur Prof. Eddy.

Tak hanya itu, terdakwa juga mau ditampilkan sebagai guru hanya untuk memenuhi syarat pasal 294, padahal untuk guru itu ada undang-undang yang jelas, apalagi terdakwa sendiri mengaku dalam tulisan-tulisannya bahwa dirinya tidak mau disebut guru.

“Saya melihat kasus ini penuh dengan keanehan-keanehan dan saya yakin hakim Albertina Ho pun dapat melihatnya bahwa ada sesuatu, kalau menurut saya sih konspirasi, untuk menjatuhkan terdakwa,” ujar Prof. Eddy mengakhiri.


Oktober 20, 2011

Masih Melajang, Pergi ke Kantor Naik Angkot

Sumber: Pontianak Post,

Edisi Minggu, 16 Oktober 2011

( Agung Putu Iskandar – Jakarta )

Hanya dua tahun Albertina Ho berkarir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Bulan depan, perempuan yang namanya meroket saat menyidangkan kasus Gayus Halomoan Tambunan dan Jaksa Cirus Sinaga itu harus pindah ke Bangka Belitung. Banyak yang menyayangkan kepindahan tersebut.

Banyak pihak yang menyayangkan mutasi yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) tersebut. sebab, Albertina dianggap sebagai hakim yang moncer. Ketekunannya menguliti satu persatu kejahatan Gayus Tambunan menunjukkan bahwa dirinya bukan dirinya bukan tipe hakim yang menunggu Jaksa Penuntut Umum (JPU) membeberkan alat bukti.

Albertina dikenal sebagai hakim yang paling susah dimintai bocoran. Sebab, dia benar-benar merahasiakan putusan. Bahkan, dia rela sampai harus mengetik sendiri setiap putusan. Itu dilakukan agar pertimbangan majelis hakim tidak bocor karena panitera bersekongkol dengan mafia perkara.

Lantas, mengapa dia dimutasi? “Saya tak pernah mempermasalahkan mutasi. Kita ini kan hanya prajurit, harus nurut,” katanya saat ditemui disela-sela agenda sidang di PN Jakarta Selatan pekan lalu.

Albertina memang enggan berpolemik terkait dengan mutasi yang harus ia jalani. Dia percaya bahwa keputusan MA adalah yang terbaik bagi organisasi. Yang dia pikirkan hanya sejumlah tanggungan kasus yang mesti diselesaikan sebelum bertugas sebagai wakil ketua Pengadilan Negeri Sungailiat, Bangka Belitung.

Kasus-kasus itu, antara lain, pelecehan seksual dengan terdakwa Anand Khrisna, kasus penggelapan dengan terdakwa Daniel Sinambella, dan kasus korupsi di pengadilan Tipikor Jakarta dengan terdakwa Jaksa Cirus Sinaga. Albertina sangat berharap bisa menangani kasus tersebut sampai putusan. “Tapi, kalau diganti di tengah sidang, itu terserah ketua pengadilan,” katanya.

Sehari-hari, perempuan yang masih melajang tersebut tinggal di rumah dinas di Perumahan Hakim, Gang Sri Sulastri, jalan Ampera. Tak sampai 5 kilometer ke arah selatan dari pengadilan tempat dirinya bertugas. Karena jarak yang sangat dekat itu, hakim kelahiran Maluku Tenggara tersebut sangat jarang naik mobil pribadi saat berangkat tugas. Dia lebih suka naik angkot. Kadang-kadang, beberapa orang melihatnya berjalan kaki. Tapi, tak berarti Albertina tak punya mobil pribadi. Para pencari keadilan di PN Jakarta Selatan sudah mafhum bahwa mobil Nissan Livina yang diparkir di halaman pengadilan adalah milik perempuan 51 tahun tersebut. Mobil silver itu biasanya diparkir di halaman depan kantor pengadilan dan diapit dua traffic cone.

Rutinitas pengadil itu juga sangat simpel. Tiap akhir pekan, dia lebih suka pulang kampung ke Jogjakarta. Jum’at sore, biasanya dia sudah dijemput agar bisa terbang atau naik kereta ke Jogjakarta. Tujuannya, Sabtu pagi, dia sudah beraktifitas di rumah.

Karena itu, begitu dipindah ke Sungailiat, Albertina sejatinya kurang sreg. Bukan apa-apa, rute perjalanannya ke kota Gudeg itu menjadi tidak simpel. Malahan cenderung ruwet. Sebab, dia harus ke Jakarta dulu untuk bisa naik kereta atau pesawat terbang ke Jogjakarta.

“Kalau pulang ke Jogja saya harus ke Jakarta dulu, baru melanjutkan ke Jogja. Biaya pulang akan relatif lebih mahal. Kalau hanya dari Jakarta kan beda, langsung saja naik kereta atau pesawat,” ujarnya enteng.

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 1985 tersebut berusaha berbesar hati atas mutasi yang harus dijalani. Dia justru beranggapan bahwa kepindahan ke Sungailiat itu merupakan blessing in disguise alias berkah yang tersembunyi. Sebab, dia justru dijauhkan dari jangkauan mafia perkara. Hal itu membuat integritasnya sebagai hakim tetap terpelihara.

Berarti, di PN Jakarta Selatan banyak godaan duit? “Anda ini, sudah tahu tanya. Saya pikir teman-teman wartawan itu lebih tahu daripada saya,” katanya lantas terkekeh.

Berapa biasanya tawaran duit untuk setiap kasus? “Pasti besarlah. Namanya juga Jakarta, pusat bisnis. Hidup di Jakarta itu biaya hidup tinggi,”imbuhnya.

Tapi, tidak berarti di Sungailiat tidak ada mafia perkara. Namun, Albertina bersyukur karena interaksi dirinya dengan kasus-kasus korupsi yang rentan dengan mafia perkara akan semakin jarang. Sebab, di Provinsi Bangka Belitung tidak ada pengadilan khusus korupsi.

Bolak-balik dipindah tugas, Albertina menganggap biasa. Sebelum di PN Jakarta Selatan, dia pernah bertugas di PN Temanggung, Jawa Tengah (1996-2002) dan PN Cilacap, Jawa Tengah (2002-2005). Pada 2005-2009, dia bertugas ke Jakarta sebagai asisten koordinator MA merangkap sekretaris wakil ketua MA bidang yudisial.

“Jadi hakim dimana saja itu sama. Nggak ada bedanya. Ya, yang beda paling cuma apakah ruang sidangnya ada AC (Air Conditioning, Red) atau tidak. Panas atau dinging suasananya,” ungkapnya lantas tersenyum.

Bukan tanpa sebab Albertina menjadi pribadi yang bersahaja. Sejak kecil, ia harus hidup mandiri, jauh dari orang tua, dengan pindah dari Dobo, Maluku Tenggara ke kota Ambon. Tujuannya, dirinya tetap bisa bersekolah.

Di Ambon, Albertina tinggal di rumah saudaranya. Setiap selesai sekolah, dia menjaga warung kelontong milik saudaranya di pasar Ambon. Dia bahkan sempat menjadi pelayan warung kopi untuk membiayai hidup dan sekolah.

Kendati lahir di Ambon, Albertina belum pernah bertugas di tanah kelahirannya. Dia justru lebih banyak ditugaskan di Jawa Tengah. Lulusan Magister Hukum dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, itu sudah kenyang pengalaman bersidang di tengah konflik reformasi. Yakni, saat menyidangkan kasus-kasus pembunuhan orang-orang yang dianggap dukun santet.

Albertina mengakui, saat itu situasi memburuk. Apalagi sebagai hakim, banyak ancaman dan terror. Namun, dia tetap berfokus menyidangkan orang-orang yang secara sah dan meyakinkan menghilangkan nyawa orang lain. Albertina sama sekali tak gentar meski diancam disantet. “Saya percaya kepada Tuhan karena saya tidak punya kekuatan apa-apa. Satu-satunya cara saya pasrah. Saya harus percaya pada pertolongan Tuhan,” ujarnya.

Dia memahami, mutasi dirinya memantik reaksi di masyarakat. Bahkan, sejumlah orang membuat dukungan di jejaring social Twitter dan Facebook untuk menolak kebijakan tersebut. Albertina mengaku terharu. Tapi, bagaimanapun itu adalah tugas yang harus dia jalani.

“Masyarakat punya hak untuk menilai dan berkomentar. Bagi saya, semua komentar dan kritik tersebut saya terima dengan senang hati karena itu masukan. Kalau ada yang menyayangkan itu, saya terima kasih. Berarti masih ada yang simpati kepada saya,” katanya. “Tapi, tidak berarti saya tidak senang atau kecewa lho ya,” imbuhnya mewanti-wanti.

Skandal Busuk Seorang Aparat Menodai Wajah Hukum

Bidikan Utama Majalah TIRO edisi Bulan ini bertajuk:

Skandal Busuk untuk Menghancurkan Tokoh Pluralisme Anand Krishna

Sejatinya terdiri dari 4 ulasan panjang, silakan baca lengkapnya di http://www.freeanandkrishna.com/in/tiro/

Terimakasih dan silakan disebarluaskan. Salam Keadilan

Skandal Busuk Seorang Aparat Menodai Wajah Hukum

Hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum dikarenakan ulah aparat hukum itu sendiri. Hakim Hari Sasangka adalah contoh buruk bagi penegakan supremasi hukum. Hari Sasangka tertangkap “main mata” dengan saksi pelapor.

Belum tuntas kasus Hakim Syarifudin Umar, beberapa waktu lalu gempar pemberitaan di media tentang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Hari Sasangka tertangkap kamera “bermain” dengan saksi pelapor kasus Anand Krishna dimana Hari merupakan ketua majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut.

Sejak pertama kali kasus ini disidangkan oleh hakim. Hari dalam memimpin jalannya persidangan pun terlihat tidak objektif dan cenderung memvonis bahwa terdakwa Anand Krishna telah bersalah. Ini jelas terlihat saat persidangan tanggal 9 Maret dimana ketua majelis hakim Hari Sasangka mengeluarkan penetapan penahanan Anand Krishna. Padahal, proses persidangan masih berlangsung pemeriksaan saksi-saksi dan masih jauh dari agenda putusan hakim. Semestinya, sebagai penegak hukum Hari menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sikap Hari yang memihak saksi pelapor dan langsung menyalahkan terdakwa inilah yang menimbulkan kecurigaan.

Sikap Hari inilah yang kemudian memicu timbulnya demo di depan PN Jakarta Selatan yang menuntut agar hakim Hari Sasangka harus diganti. Setelah Anand Krishna ditahan, simpatisan terdakwa pelecehan seksual itu melakukan perlawanan. Sedikitnya, 150 simpatisan tokoh spiritual itu menggelar demonstrasi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Mereka membentangkan spanduk meminta agar Anand Krishna dibebaskan.

Selain itu, mereka menuntut agar ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus itu diganti. Prashant Gangtani, anak Anand Krishna saat ditemui di PN Jakarta Selatan mengatakan kalau puluhan pendukung ayahnya itu datang dari berbagai kota di tanah air. Dia juga mengatakan, protes itu dilakukan lantaran majelis hakim telah sewenang-wenang menahan ayahnya. Padahal, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan belum mengajukan tuntutan atas kasus pelecehan seksual tersebut.

“Majelis hakim beralasan, khawatir ayah saya melakukan perbuatan yang sama. Padahal tuduhan itu belum terbukti, jaksa saja belum tuntut, bagaimana kalau jaksa tuntut bebas karena fakta dalam persidangan tidak menunjukkan kejadian tersebut” tegasnya.

Selain itu, Prashant juga mengaku telah melayangkan surat ke Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar hakim yang menangani kasus ayahnya tersebut untuk diganti karena tidak objektif lagi dalam menangani dan memutuskan perkara.

Dalam aksi itu, para pendemo juga membagi-bagikan selebaran bantahan tuduhan pelecehan seksual kepada Anand Krishna. Aksi demo itu sempat menyita perhatian pengendara yang melintas di depan PN Jakarta Selatan Jalan Raya Ampera, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Seperti diketahui, Anand diajukan ke meja hijau karena didakwa melecehkan salah seorang yang mengaku muridnya, Tara Pradipta Laksmi. Dia dijerat pasal 290 KUHP tentang Pelecehan Seksual dan sempat ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang. Sebelumnya Anand dirawat di RS Fatmawati sejak 9 – 17 Maret 2011 lalu aksi mogok makan.

Perawatannya kemudian dipindahkan ke RS Polri. Anand yang memang menderita penyakit jantung, Diabetes, dan hipertensi, makin melemah karena mogok makan yang dilakukannya sebagai bentuk protes atas penetapan penahanannya. Akhirnya ketua majelis hakim mengabulkan penangguhan penahanan yang diajukan oleh keluarga Anand.

Namun, pada tanggal 9 Maret 2011, Anand Krishna ditahan dan sejak hari itu juga ia melakukan mogok makan sebagai protes terhadap keputusan hakim Hari yang dianggapnya semena-mena, menggunakan wewenang tanpa mengindahkan azas praduga tak bersalah, dan sudah tidak fair lagi dalam persidangan.

Sejak tanggal 9 sampai 16 Maret berada dalam tahanan di Rutan Cipinang. Kemudian, saat dibawa ke pengadilan dalam keadaan lemah, ia collapse di pengadilan. Dalam keadaan pingsan ia dibiarkan tergeletak di depan ruang sidang selama lebih dari satu jam, sebelum hakim Hari Sasangka akhirnya mengijinkan utnuk dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati.

Terdakwa diantar oleh JPU Martha, dan langsung dilarikan ke ICU karena kondisi jantung yang lemah dan menjadi aritmis lagi. Malam itu kedua tangannya diberi infus 4 macam untuk menstabilkan kondisinya.

Alhasil, pada tanggal 17 Maret, dalam kondisi masih diinfus, lalu dipindahkan ke RS Polri dimana dirawat juga di High Care Unit.

Sehingga pada tanggal 30 Maret, Anand Krishna tetap mogok makan, dalam keadaan sangat lemah, bahkan semakin lemah setiap hari, dan dengan sejarah berbagai komplikasi kesehatan - atas perintah hakim dan jaksa, infusnya dicopot dan ia dikembalikan ke rutan.

Ironisnya, kondisi ini sangat tidak masuk akal bagi keluarga Anand, dokter pribadinya, dr. Sayoga, dr. Arya dan anggota Komunitas Pencinta Anand Ashram. Sebagaimana dijelaskan oleh seorang juru bicara KPAA, Johanes Budiman, “Kami tahu sendiri bagaiman kekhawatiran tim dokter Polri, yang sudah tidak tahu bagaimana menangani Pak Anand, karena tidak memiliki preseden mogok makan selama 49 hari. Melihat daya tahan tubuh Pak Anand, mereka khawatir bila ada virus-virus yang menyerangnya dan bisa fatal. Kok bisa dalam keadaan seperti itu infusnya dicopot dan dia dikembalikan ke rutan? Terbukti tindakan hakim dan jaksa itu sangat membahayakan dan seolah bermain-main dengan nyawa seorang, karena tidak sampai 2 hari lagi, ia drop dan dalam keadaan parah dikembalikan ke rumah sakit Polri lagi,” ungkapnya.

Menurut Sacha Stone, Direktur Humanited, salah satu lembaga Internasional yang bernaung di bawah PBB, “tindakan itu sangat tidak manusiawi. Seorang yang stabil karena infuse itu tidak bisa dinyatakan sehat, dan kemudian dicopot infusnya. Ini adalah pelanggaran HAM yang sangat serius. Sayang, Anand Krishna masih tidak mau memperkarakan hal ini. Jika ia bersedia, sejumlah ahli hukum internasional akan membantunya.”

Tanggal 30 setelah sampai di Rutan, dalam beberapa jam saja tekanan darah, dan khususnya gula darahnya turun drastis dari 120 an menjadi di bawah 100.

Maka, tanggal 1 April, ia dilarikan lagi ke RS Polri, di mana gula darah dia diperiksa dan ternyata hanya 64. Menurut sumber medis yang dihubungi TIRO, gula darah di bawah 70 itu amat sangat berbahaya dan “pasien bisa lewat” alias bisa mati.

Selain itu, ketika di CT-Scan, ternyata otak sebelah kanan Anand Krishna mengalami penyumbatan, dan terbukti pula bahwa malam sebelumnya di rutan ia mengalami stroke ringan yang menyebabkan kaki kirinya sakit, semutan berat, dan sulit digerakkan.

Selama di RS Polri kondisi Anand Krishna melemah terus, yang mana disaksikan langsung oleh Komisioner HAM dan juga oleh perwakilan HAM ASEAN. Ikut prihatin pula para tokoh nasional yang berkunjung, dari para artis seperti Ayu Pasha, Dewa Budjana, Marcello, hingga agamawan seperti Romo Magnis, Gus Nuril, Pedande Sebali, dan para tokoh masyarakat lain seperti Adnan Buyung Nasution, Musdah Mulia, AS Hikam dan lain-lain.

Hingga tanggal 27 April, ketika keluarga Anand Krishna tidak tahan melihat keadaannya dan mengupayakan penangguhan, karena Anand Krishna sudah melakukan mogok makan selama 49 hari.

Oleh karena kejanggalan itu, pihak Anand Krishna tidak berhenti disana. Laporan kedua terhadap ketua majelis hakim Hari Sasangka pun dikeluarkan pada 1 Juni dari Prashant Gangtani kepada Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Kali ini laporan tersebut adalah dugaan-dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman yang tercela dan tidak objektif dengan menjalin hubungan dengan saksi korban. Laporan tersebut diperkuat oleh ratusan photo dan 5 orang saksi mata yang melihat langsung kejadian tersebut.

Menurut Komisioner Komisi Yudisial yang menjabat sebagai ketua bidang pengawasan hakim dan investigasi Suparman Marjuki, laporan dugaan keras pelanggaran etika yang dilakukan oleh ketua hakim Hari Sasangka ini sudah dianggap lengkap dan memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti.

Tak lama berselang, pada tanggal 8 Juni, Komunitas Pencinta Anand Ashram melakukan aksi demo untuk kedua kalinya di depan PN Jakarta Selatan, menuntut ketua pengadilan untuk segera mengganti hakim karena bukti cukup yang menunjukkan bahwa hakim tidak objektif. Aksi damai ini ditanggapi langsung oleh Ketua Pengadilan yang mengeluarkan penetapan mengganti seluruh majelis hakim Anand Krishna. Sebab itulah hakim Hari pun dimutasi ke Ambon.

Maka jelaslah bahwa kenapa selama ini hakim majelis selalu menunjukkan sikap keberpihakan dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah dalam kasus Anand Krishna. Keberpihakan ini terbukti dengan adanya hubungan antara hakim dengan saksi pelapor Shinta Kencana Kheng.

Hakim jemputan

Adanya penetapan penahanan terhadap Anand Krishna menimbulkan kecurigaan terhadap hakim Hari Sasangka. Menurut Prashant Gangtani hakim tidak hanya mengijinkan saksi pelapor, tapi juga beberapa saksi lainnya untuk mengijinkan saksi pelapor mengikuti persidangan, padahal sidang ini tertutup, dan juga dalam persidangan saksi Shinta Kencana sempat menginterupsi dan diterima oleh hakim Hari Sasangka. “itu seharusnya contempt of court. Mana boleh orang yang duduk di bangku penonton menginterupsi majelis hakim,” jelas Prashant.

Rasa kecurigaan inilah, yang mendorong pihak keluarga dan komunitas untuk mencari tahu ada apa dengan hakim ini. Akhirnya terbuktilah bahwa hakim telah bertemu saksi Shinta Kencana Kheng yang terekam kamera. Terjadi 3 kali pertemuan di bulan Maret sampai Mei. Dari bukti-bukti dan keterangan 5 orang saksi yang melihat langsung kejadian ini, terlihat bahwa Shinta Kencana Kheng menjemput hakim di tengah malam dan mengantarkannya kembali setelah berputar-putar selama 2 -3 jam dengan mobil Karimun B 1426 KT. Setelah dicek ternyata nomor polisi tersebut memang terdaftar atas nama Shinta Kencana Kheng. “Ada urusan apa hakim Hari dan Shinta Kencana Kheng bertemu di tengah malam jam 12 –an selama 2 – 3 jam mereka berduaan. Di satu pihak Shinta Kencana sendiri mengaku telah dilecehkan oleh bapak saya, di pihak lain kami menduga ada hubungan antara hakim dan Shinta Kencana entah hubungan apa?” ujar Prashant saat diwawancarai TIRO di PN Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Tak hanya itu, TIRO pun meminta konfirmasi kepada pihak Shinta Kencana Kheng melalui handphone selularnya dan hingga berita ini diturunkan yang bersangkutan tidak bisa dihubungi.

Keterangan Saksi Mata

Pada Rabu malam tanggal 23 Maret 2011 sekitar pukul 20:20 Wib Meini Listanti bersama dengan Nova Ariany melihat hakim Hari Sasangka keluar dari rumah kost yang ditempatinya berjalan ke tempat parkir mobil di Total Buah Segar yang berada di Jalan Ampera Raya.

Tak lama kemudian, Meini Listanti melihat Hari Sasangka memasuki sebuah mobil Suzuki Karimun berwarna Silver dengan nomor polisi B 1426 KT. Karena pada saat itu posisi Meini Listanti di belakang persis mobil, maka Meini Listanti dapat melihat bahwa yang mengendarai mobil adalah Shinta Kencana Kheng. Meini Listanti dan Nova Ariany sempat mengambil beberapa foto. Mobil kemudian berjalan menuju jalan Raya Buncit, lalu pada akhirnya pukul 21:25 Wib memasuki area parkir Gedung Sarinah Thamrin.

Ketiga saksi mata, Meina Listanti, Nova Ariany, dan Mochammad Ichsan yakin bahwa kedua orang tersebut adalah hakim Hari Sasangka dan Shinta Kencana Kheng, karena pernah melihat photo mereka dan pernah melihat langsung di sidang PN Jakarta Selatan.

Pada saat itu, mobil terparkir namun mereka tidak keluar dari dalam mobil sekitar 40 menit. Kemudian, mobil keluar dari areal parkir Gedung Sarinah Thamrin, lalu pada pukul 23:15 Wib mobil tersebut sempat berhenti di SPBU di daerah Fatmawati, dan Shinta Kencana Kheng yang mengendarai mobil keluar untuk mengisi bensin. Pada saat Shinta Kencana Kheng keluar dari mobil, Meini Listanti dan Nova Ariany dapat melihat dengan jelas sosok Shinta Kencana Kheng.

Tak lama setelah itu, Shinta Kencana Kheng mengisi bensin kemudian mobil berjalan dan menurunkan Hari Sasangka di dekat apotek K 5 Jalan Ampera Raya, pada saat itu situasi jalan sangat gelap dan sepi. Meini Listanti dan Nova Ariany melihat dengan jelas bahwa hakim Hari Sasangka keluar dari mobil memegang sebuah kertas berwarna coklat seperti bungkusan atau amplop. Tak jelas isinya apa, hanya Hari dan Shinta yang tahu.

Peristiwa serupa pun terulang pada hari Rabu tanggal 30 Maret 2011 sekitar pukul 20:55 Wib Meini Listanti bersama dengan Nova Ariany dan Mochammad Ichsan melihat Hari Sasangka keluar dari rumah kost yang ditempatinya berjalan menuju ke Jalan Ampera Raya. Sampai pada muka Jalan Ampera Raya, mobil yang dikendarai oleh Shinta Kencana Kheng berhenti tepat di muka jalan kecil. Meini Listanti dan Nova Ariany sempat mengambil beberapa foto. Kemudian Hari Sasangka masuk ke dalam mobil.

Mobil yang ditumpanginya pun berjalan menuju komplek MPR 5 nomor 9 Cipete. Hari Sasangka dan Shinta Kencana Kheng hanya berada di dalam mobil sekitar kurang lebih satu setengah jam. Mochammad Ichsan dan Nova Ariany sempat berjalan melewati mobil dan melihat keduanya di dalam mobil yang pada saat itu mesin mobil dalam keadaan mati.

Sementara itu, mobil yang ditumpangi oleh Hari Sasangka dan Shinta Kencana Kheng menuju jalan Ampera, lalu Hari Sasangka pun turun di dekat jalan kecil menuju tempat kost yang ditempatinya.

Tak hanya dua kali, Hari Sasangka dan Shinta Kencana Kheng pun kembali jalan mesra untuk ketiga kalinya tepatnya pada hari Rabu tanggal 25 Mei 2011 sekitar pukul 20:50 Wib. Meini Listanti, Nova Ariany, dan Wilianto Herlambang melihat mobil yang dikendarai oleh Shinta Kencana Kheng berhenti di muka pintu rumah kost yang ditempati oleh Hari Sasangka.

Meini Listanti dan Nova Ariany sempat mengambil beberapa foto ketika mobil berhenti tepat di pintu pagar rumah kost yang ditempati oleh Hari Sasangka pada saat itu posisi mobil yang dikendarai oleh Meini Listanti dan Nova Ariany berada tepat di belakang mobil, tetapi Meini Listanti dan Nova Ariany tidak sempat melihat Hari Sasangka masuk ke dalam mobil, tetapi Wilianto Herlambang melihat Hari Sasangka keluar dari pintu pagar rumah kost tersebut dan masuk ke dalam mobil.

Selanjutnya Meini bersama dengan Nova dan Wilianto Herlambang mengikuti mobil dan mengarah ke Pondok Indah serta melewati Pondok Indah Mall lalu berputar arah untuk mencari tempat yang sepi, lalu mobil mereka pun parkir di jalan yang sangat sepi dan gelap.

Sekitar kurang lebih 40 menit, Meini Listanti bersama Nova Ariany dan Wilianto Herlambang menunggu Hari Sasangka dan Shinta Kencana Kheng keluar dari mobil, namun mereka tidak keluar sama sekali. Pada saat itu Meini Listanti bersama Nova Ariany dan Wilianto Herlambang menghubungi Prabu Dennaga Susanto dan Putu Sri Yuliawati untuk ikut memperhatikan mobil.

Bahkan Edi Lesmana dan Agus Yunus mengetahui kedua orang tersebut adalah Hari Sasangka dan Shinta Kencana Kheng. Karena setelah kejadian sekitar pukul 24:00 Wib, Edi Lesmana dan Agus Yunus dihampiri seseorang bernama Prashant Gangtani yang kemudian memperlihatkan foto-foto. Edi Lesmana dan Agus Yunus yakin sama dengan orang yang duduk di dalam mobil sewaktu Edi Lesmana menabrak mobil di Jalan Metro Kencana 4, Pondok Indah, Jakarta Selatan dan diberitahu bahwa masing-masing bernama Hari Sasangka dan Shinta Kencana Kheng.

Kemudian mobil berjalan, lalu diikuti oleh Meini Listanti, Nova Ariany dan Wilianto Herlambang. Sesampainya mobil berhenti secara mendadak di dekat Trans TV, Hari Sasangka pun keluar dari mobil yang ditumpanginya dan langsung berpindah ke taksi berwarna putih yang bernomor polisi B 2292 MU dengan bersticker nomor telepon 021-26509000.

Atas tindakan serta keberpihakan sang majelis hakim Hari Sasangka dengan hakim anggota lainnya diganti dengan hakim yang baru yaitu Albertina Ho. Hari Sasangka pun mengakui pertemuannya dengan Shinta Kencana Kheng di hadapan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Hari Sasangka lupa atau pura-pura lupa dengan kode etik hakim bahwa hakim dilarang bertemu dengan saksi pelapor. Fenomena langka pergantian majelis hakim ini memang jarang sekali terjadi sepanjang pantauan TIRO.