Oktober 12, 2011

Catatan Perjalanan Hukum Kasus Anand Krishna (bagian 1) - Suara Pembaruan Edisi Selasa, 11 Oktober 2011

Dari Terapi Holistik ke Meja Hijau

Hampir satu tahun tokoh spiritual lintas agama yang dikenal nasionalis dan humanis, Anand Krishna duduk sebagai pesakitan di Ruang Sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lelaki paruh baya ini didakwa atas dugaan pelecehan seksual yang dilaporkan oleh mantan muridnya, Tara Pradipta Laksmi

Tara mengaku telah dilecehkan oleh Anand di tempat terapi holistic, L’ayurveda milik Anand di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan tahun 2009. Proses persidangan yang panjang dan melelahkan pun dihadapi Anand hingga saat ini.

Kuasa hukum Anand, Humphrey R Djemat menilai tuduhan pelecehan seksual yang ditujukan pada kliennya tidak berdasar dan sulit dibuktikan. Ada dugaan tuduhan ini didasari motif dendam dan perebutan asset Yayasan Ashram yang didirikan Anand.

Awal proses persidangan pun dirasakan pihak Anand dan tim kuasa hukumnya diwarnai beberapa kejanggalan.

Bahkan pada tanggal 6 Juni lalu tim kuasa hukum Anand melaporkan Ketua Majelis Hakim, Hari Sasangka yang saat itu menangani kasus Anand ke Komisi Yudisial (KY)

Pengaduan tersebut terkait adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan sang hakim. Dalam pengaduannya, tim kuasa Anand menyerahkan sejumlah bukti berupa foto-foto ketika Hari Sasangka bertemu dengan saksi korban yang bernama Shinta Kencana Kheng. Selain itu lima orang saksi yang pernah melihat sang hakim bertemu saksi korban juga dihadirkan dihadapan Komisioner KY bidang Pengawasan Hakim Suparman Marzuki.

Esok harinya pasca pengaduan tim kuasa hukum Anand, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Herry Swantoro mengganti seluruh Majelis Hakim yang menangani perkara Anand. Ketua PN Jakarta Selatan menunjuk Albertina Ho sebagai Ketua Majelis, Muhammad Razzad sebagai hakim anggota majelis, dan Suko Harsono sebagai hakim anggota majelis. Ketiganya menggantikan Ketua Majelis Hakim, Hari Sasangka, dan hakim anggota majelis, Subyantoro dan Didik Setyo Handono.

“ Laporan yang kami buat ke KY adalah murni merupakan dugaan pelanggaran kode etik, karena hakim telah melakukan perbuatan tercela. Hakim tersebut telah melakukan hubungan dengan saksi korban wanita dalam perkara yang sedang diperiksanya di PN Jakarta Selatan dengan terdakwa Anand Krishna,” ungkap Humphrey.

Menjalin hubungan

Menurut Humphrey, seharusnya seorang hakim tidak diperbolehkan menjalin hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat, penuntut umum dan pihak-pihak dalam suatu perkara yang tengah diperiksa hakim bersangkutan. Hal tersebut melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Ketua Komite Advokasi Anand Krishna, Helmi, SH berharap hakim pengganti yakni, Albertina Ho dapat mengembalikan proses persidangan ke kasus semula, yaitu pembuktian terhadap dugaan pencabulan yang ditudukan kepada Anand Krishna.

“selama ini Hakim Hari Sasangka telah membelokkan perkara. Seharusnya hakim menyidangkan kasus pencabulan yang dituduhkan pada Anand, tapi nyatanya dalam setiap persidangan hakim malah menyerang dan menghakimi pemikiran-pemikiran Anand, lewat pertanyaan-pertanyaannya yang lebih banyak membahas mengenai isi buku-buku yang ditulis Anand,” jelasnya.

Kuasa hukum Anand menilai, tuduhan pelecehan seksual yang dialamatkan pada kliennya banyak yang kabur. Khususnya pasal 290 KUHP adalah adanya pelecehan yang dilakukan orang dalam keadaan tidak berdaya. Sedangkan, pasa 294 KUHP orang itu dalam pengawasan orang lain.

“ yang harus kita buktikan apakah benar atau tidak adanya pelecehan seksual yang dilakukan oleh klien saya terhadap Tara, dan bagaimana pelecehan seksual itu terjadi. Apakah karena memang dalam keadaan tidak berdaya, ataukah memang Anand statusnya guru. JPU harus mampu membuktikan surat dakwaannya,” tandasnya

Sumber:

Suara Pembaruan edisi Selasa, 11 Oktober 2011

Tidak ada komentar: