Oktober 24, 2011

Bebaskan Anand Demi Keadilan

Bidikan Utama Majalah TIRO edisi bulan Oktober 2011 bertajuk:

“Skandal Busuk untuk Menghancurkan Tokoh Pluralisme Anand Krishna”

Sejatinya terdiri dari 4 ulasan panjang, silakan baca lengkapnya di http://www.freeanandkrishna.com/in/tiro/

Terimakasih dan silakan disebarluaskan. Salam Keadilan!

1319443522339631981

Bebaskan Anand Demi Keadilan

Sidang atas nama terdakwa Anand Krishna yang sudah berlangsung setahun lebih akhirnya akan sampai pada agenda pembelaan dari Tim Penasehat Hukum Anand Krishna. Apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini? Berikut petikan wawancara Matroji Dian Swara dengan KetuaTim Kuasa Hukum Anand Krishna, Humphrey R. Djemat.

Sidang terhadap klien Anda sudah setahun lebih berlangsung, apa komentar Anda?

Iya, memang benar itu, ini semua terjadi karena adanya konspirasi antara saksi korban Shinta Kencana Kheng dengan mantan ketua majelis hakim Hari Sasangka yang akhirnya terbongkar dan digantikan dengan Ibu Albertina Ho sebagai ketua majelis hakim dalam perkara ini. Secara otomatis, beberapa saksi yang telah dihadirkan dalam sidang sebelumnya kembali dimintai keterangannya kembali oleh majelis hakim yang baru.

Sebentar lagi agenda sidang memasuki tahap pembelaan, apa yang akan Anda lakukan?

Sebagai tim penasehat hukum tentunya akan menyampaikan nota pembelaan terhadap klien kami Anand Krishna. Dalam nota pembelaan nanti, kami akan melakukan pembelaan yang maksimal terhadap pak Anand Krishna, karena persidangan ini penuh dengan kejanggalan-kejanggalan dan adanya rekayasa kasus untuk menjatuhkan nama baik pak Anand Krishna sebagai tokoh pluralism di Indonesia.

Kalau boleh tahu, pokok-pokok apa saja yang akan Anda sampaikan pada pembelaan nanti?

Adapun pokok-pokok yang akan kami bahas dalam Nota Pembelaan terhadap klien kami antara lain tidak adanya saksi-saksi yang mendengar dan melihat kejadian yang dilaporkan oleh Tara Pradipta Laksmi selaku saksi pelapor yang mengaku telah dilecehkan oleh Anand Krishna pada tahun 2009. Tak hanya itu saja, setelah pemeriksaan dilakukan terhadap saksi-saksi, kami menilai bahwa saksi-saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum tidak melihat dan mendengar langsung kejadian yang dialami oleh Tara Pradipta Laksmi, padahal dalam dakwaan penuntut umum, sangat jelas diuraikan adanya pelecehan yang dilakukan oleh pak Anand Krishna terhadap Tara Pradipta Laksmi dan berdasarkan keterangan Tara Pradipta Laksmi di depan persidangan bahwa dia telah dilecehkan. Hal inilah yang disebut sebagai unus testis nullus testis atau satu saksi bukanlah saksi.

Terhadap saksi korban lainnya bagaimana?

Dalam surat dakwaan penuntut umum dinyatakan bahwa Anand Krishna selain melakukan pelecehan terhadap Tara Pradipta Laksmi, juga melakukannya terhadap Sumidah, Shinta Kencana Kheng, Dian Mayasari, dan Farahdiba Agustin. Namun setelah dilakukannya pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang diajukan dalam persidangan, terungkap fakta bahwa tidak ada satupun saksi-saksi yang menyatakan pernah mendengar dan melihat kejadian yang dimaksud. Saksi-saksi yang mengaku mendapat pelecehan seksual oleh klien kami ternyata bohong.

Selanjutnya bagaimana?

Oleh karena itu, terhadap dakwaan ke satu, kami akan melakukan bantahan terhadap adanya perbuatan cabul yang dilakukan terhadap saksi-saksi dengan tidak adanya saksi-saksi yang melihat dan mendengar langsung perbuatan tindak pidana tersebut. Adapun keterangan para saksi hanya berdiri sendiri yang mana disebut unus testis nullus testis atau satu saksi bukanlah saksi. Selain itu, dalam pasal 290 ayat (1) KUHP juga disebutkan bahwa orang tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, namun dalam faktanya saksi-saksi yang mengaku sebagai korban dengan jelas mengakui bahwa mereka tidak dalam keadaan pingsan dan dalam keadaan berdaya.

Santer diberitakan bahwa saksi-saksi mendapat pelecehan selama berbulan-bulan apa itu benar?

Ini yang saya heran dan tidak masuk akal, bagaimana mungkin seorang korban pelecehan mau dilecehkan lagi sampai dengan berkali-kali, itu bukan merupakan pelecehan, kalau memang benar terjadi pelecehan, kenapa korban tersebut tidak langsung melaporkan saja ke pihak kepolisian.

Menurut saksi, mereka tidak berani lapor polisi karena mereka menganggap klien Anda sebagai guru yang harus dihormati?

Pertanyaan saudara persis seperti dakwaan kedua JPU dalam pasal 294 ayat (2) angka 2 KUHP terdapat unsur guru. Berdasarkan keterangan saksi-saksi di depan persidangan, saksi-saksi korban sendiri pun mengaku mereka memanggil Anand Krishna dengan sebutan Pak atau Bapak. Anand Krishna sendiri tidak pernah meminta maupun menganggap dirinya sebagai seorang guru. Adapun undang-undang dan peraturan tentang Guru itu jelas, merupakan seorang pegawai yang ditunjuk oleh Negara untuk melakukan proses belajar mengajar berdasarkan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan dalam bukunya yang berjudul “Kehidupan” dan sudah dicetak ulang beberapa kali oleh Gramedia, Anand Krishna jelas-jelas mengatakan bahwa dirinya bukan seorang Guru, dan setiap orang mesti memberdayakan dirinya, bukan tergantung pada seorang Guru.

Pada dakwaan kedua juga dijelaskan kaitkannya dengan tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, dimana dalam Surat Dakwaan dijelaskan bahwa yang menjadi objek adalah di L’ayurveda yang terletak di Ruko Golden Fatmawati. Perlu dijelaskan bahwa L’ayurveda bukanlah merupakan suatu tempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 294 ayat (2) angka 2 KUHP, melainkan merupakan tempat terapi kesehatan holistic yang berbentuk perseroan terbatas.

Surat dakwaan juga menyebut Pak Anand sebagai pemilik L’ayurveda, yang sudah terbukti tidak benar. Usaha itu dimiliki oleh beberapa orang, yang diantaranya 2 orang telah menjadi saksi dan membenarkan bahwa Pak Anand bukan pemilik, bukan pemegang saham, dan sejak awal berdirinya perusahaan itu, Pak Anand memang tidak pernah menjadi bagian dari perusahaan itu.

Jadi, sebetulnya banyak unsur dalam dakwaan itu yang jelas tidak terpenuhi.

Mengenai Pasal 64 ayat 1 KUHP yang juga dikenakan kepada klien Anda itu bagaimana?

Pasal 64 ayat 1 KUHP itu merupakan suatu bentuk tindak pidana beberapa perbuatan yang ada hubungannya sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut. Menurut keterangan saksi ahli dipersidangan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, SH, M.Hum. menyatakan bahwa Pasal 64 KUHP harus memenuhi unsur adanya suatu rangkaian perbuatan dalam kurun waktu tertentu dan adanya satu kehendak yang sama, sehingga apabila dikaitkan dengan Surat Dakwaan Penuntut Umum maka seharusnya Dakwaan Kesatu maupun Dakwaan Kedua tidak terbukti dan cukup berdasar dan beralasan untuk membebaskan Anand Krishna dari Dakwaan.

Selain itu apalagi?

Selain bantahan-bantahan terhadap surat dakwaan, dalam pembelaan kami juga menjelaskan kaitannya dengan keterangan para saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum tidak konsisten dari sejak pemeriksaan di Kepolisian, persidangan yang dipimpin oleh Hari Sasangka sampai dengan persidangan yang dipimpin oleh ketua majelis Albertina Ho, kemudian kami juga akan menjelaskan dengan adanya barang bukti yang baru dihadirkan oleh penuntut umum padahal barang bukti itu tidak pernah diperlihatkan kepada Anand Krishna juga saat pemeriksaan di Kepolisian.

Kami juga akan menjelaskan kaitannya adanya dugaan rekayasa terhadap perkara ini. Hal ini dapat dilihat dari adanya pertemuan-pertemuan antara saksi-saksi yang dimotori oleh Muhammad Djumaat Abrory Djabbar sebelum Tara Pradipta Laksmi melaporkan kasus ini ke Kepolisian, dan dugaan tersebut semakin jelas setelah adanya pengakuan beberapa saksi korban yang mengakui adanya pertemuan di rumah Muhammad Djumaat Abrory Djabbar disertai dengan inisiatif dari Muhammad Djumaat Abrory Djabbar untuk melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian setelah melakukan roadshow ke berbagai kota dan di berbagai media yang menyatakan bahwa Anand Krishna telah melakukan pelecehan seksual terhadap Tara Pradipta Laksmi dan beberapa orang lainnya.

Bahkan, dari keterangan para saksi terlihat jelas bahwa Muhammad Djumaat Abrory Djabbar juga yang merencanakan siapa yang mesti menjadi saksi pelapor, dan siapa yang menjadi saksi saja.

Muhammad Djumaat Abrory Djabbar juga, aneh sekali, menggunakan 2 kartu tanda pengenal dengan alamat dan bahkan tanggal lahir yang beda dan hal ini sudah kami tunjukkan kepada Majelis Hakim.

Apa harapan Anda?

Dengan dukungan moril dari berbagai pihak, termasuk puluhan lembaga-lembaga yang pernah menggelar aksi damai dan bahkan seminar di Jawa dan Bali, dengan melibatkan ribuan peserta, dan dengan majelis hakim yang diketuai oleh Albertina Ho, kami berharap agar pak Anand Krishna dapat mendapatkan putusan bebas dengan melihat fakta-fakta yang terungkap di persidangan karena jelas kasus ini merupakan rekayasa sejumlah pihak untuk menjatuhkan nama baik klien kami.

Tidak ada komentar: