Oktober 11, 2014

Adik Tersayang

Dimuat di Majalah Utusan edisi Oktober 2014 

Tidak seperti biasanya, pagi itu Tiwi datang ke sekolah dengan wajah cemberut. Tidak ada senyum sama sekali. Santi yang duduk di sebelahnya sampai bingung. Mau menegur, ia takut Tiwi sedang tidak ingin ditegur. Mau mendiamkan, hmmm… kok sepertinya tidak enak diam-diaman terus.

“Kamu bawa bekal apa hari ini Wi?” tanya Santi ketika bel tanda istirahat berbunyi.
“Aku tidak bawa bekal, San. Adi tadi pagi rewel. Jadi, ibu tidak sempat menyiapkan bekal untukku,” jelas Tiwi dengan nada kesal.

Adi itu adik Tiwi. Tampangnya lucu dan imut-imut sekali. Usianya baru tiga tahun. Santi suka sekali menggendong Adi bila bermain ke rumah Tiwi.

"Apa Adi sakit, Wi?" tanya Santi lirih.

Tiwi mengangguk. “Iya, Adi demam.”
“Oh, pantas sejak tadi kamu murung. Yuk aku temani kamu ke kantin,” ajak Santi.

Sambil berjalan bersisian, mereka melangkah menuju ke kantin yang terletak di pojok sekolah.

“Aku sebel. Kalau sedang sakit, Adi pasti rewel. Ibu jadi tidak lagi memperhatikan aku,” keluh Tiwi.
“Kamu sih enak, San. Tidak punya adik, tidak punya kakak jadi selalu diperhatikan oleh mama dan papamu."

Santi tidak menjawab. Namun ia tetap ikut menemani Tiwi membeli arem-arem di kantin. Setelah itu, mereka bergegas kembali ke dalam kelas.

Di kelas, Santi mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tasnya.

“Ini buat kamu dan Adi,” kata Santi sambil menyodorkan bungkusan itu.
“Apa ini?” tanya Tiwi.
“Kue lapis legit,” jawab Santi.
“Kemarin papaku baru pulang dinas dari luar kota. Papa membawa oleh-oleh, tapi terlalu banyak kalau harus kuhabiskan sendiri.”

"Mm...makasih ya, San," ucap Tiwi senang. “Enak ya kalau tidak punya adik atau kakak. Tidak harus berbagi.”

“Iya memang.. tapi juga tidak ada yang diajak main, tidak ada teman bercanda, tidak ada yang suka menyambut dan mencium kalau aku pulang sekolah,” tanggap Santi.

Mendengar itu, sekarang giliran Tiwi yang terdiam. Tak ada lagi percakapan di antara mereka berdua. Masing-masing asyik menikmati makanan di jam istirahat pertama itu sampai akhirnya bel masuk berbunyi dan pelajaran pun dilanjutkan kembali.

“Hari ini kamu langsung pulang, Wi? tanya Santi sambil membereskan tas dan buku-buku setelah bel tanda berakhirnya jam sekolah berbunyi.
“Iya,”  jawab Tiwi pendek.

“Jangan sampai lupa menyampaikan titipanku buat Adi, ya,” ujar Santi sambil berjalan keluar kelas.
“Iya,” lagi-lagi Tiwi menjawab pendek

“Jangan dimakan sendiri lho,” pesan Santi lagi.
“Iyaaaa…” Tiwi menjawab dengan gemas.

Beberapa siswa yang kebetulan berdekatan dengan mereka berdua saat turun tangga menoleh ke arah mereka dengan pandangan heran.

Setiba di rumah, Tiwi langsung diberi tugas menjaga Adi karena Ibu pergi berbelanja ke warung.

Adi merengek-rengek mengajak Tiwi bermain sepeda keliling kompleks. Kebetulan demamnya sudah reda. Nah, saat bermain sepeda itu, Tiwi kurang berhati-hati sehingga terjatuh karena tersandung batu. Untung, Adi tidak terluka, karena mendarat di atas rerumputan empuk. Tapi nahas bagi Tiwi, lututnya tergores besi di ujung stang sepeda.

"Kak Tiwi, di situ saja. Nanti sakit kalau jalan," kata Adi kepada kakaknya.

Tiwi hanya mengangguk dan menahan perih. Adi kemudian pergi entah kemana dengan langkah kecilnya.

Tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara. "Kak Tiwi... ini obatnya…," seru Adi sambil memberikan betadine kepada kakaknya.

Tiwi mengambilnya dari tangan Adi, lalu mengoleskannya pada luka di kakinya yang berdarah itu. Saat itu juga ia baru sadar ternyata Adi sangat baik dan sayang kepadanya.

Kemudian, Tiwi teringat kue lapis legit titipan Santi. Semula, ia ingin memakannya sendiri. Tetapi, kini ia hendak berbagi dengan Adi, sang adik tersayang. 

Oktober 09, 2014

Mengalami Sentuhan Kasih Tuhan

Dimuat di Majalah Salam Damai edisi Oktober 2014

Judul: Teaching as The Real School, Hidup Bijaksana Hidup Bermakna
Penulis: Yulia Murdianti
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/2013
Tebal: 181 halaman
ISBN: 978-979-21-3536-7

Dalam buku ini, Yulia Murdianti memaparkan bahwa kemampuan setiap orang tidak sama. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Misalnya, ada seorang siswa yang mendapat nilai merah untuk pelajaran Matematika, tapi ia mendapat nilai sempurna pada pelajaran Olahraga. Sementara itu, seorang kawan lainnya mendapat nilai sempurna pada pelajaran Matematika, tapi harus berjuang keras untuk menembus nilai enam pada pelajaran Olahraga (halaman 140).

Pada saat yang sama, Yulia juga berpendapat bahwa bukan berarti kita boleh pasrah terhadap sesuatu yang bukan menjadi keahlian kita. Kadang-kadang justru keberadaan kita bisa lebih berkembang jika kita berani menghadapi tantangan terbesar, serta kelemahan kita sendiri. Menurut alumna Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Semarang ini, hidup tanpa perjuangan ibarat kereta bawah tanah, cepat tapi membosankan.

Tak sekadar beretorika “Teaching as The Real School” juga memuat aneka tips praktis. Salah satunya tentang cara mengatasi gejolak amarah. Yakni, dengan menghembuskan nafas perlahan-lahan dan minum air putih. Tatkala seseorang marah, nafas menjadi cenderung tidak stabil dan tekanan darah naik. Nah, dengan menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan-lahan akan membuat nafas kembali teratur. Sementara, minum air putih dapat menurunkan tekanan darah sehingga mampu membuat kita merasa lebih tenang (halaman 162).

Buku ini sebuah referensi berharga untuk hidup lebih bijaksana dan bermakna. Isinya mengajak sidang pembaca belajar dari aneka pengalaman dalam keseharian. Ternyata sentuhan tangan kasih Tuhan senantiasa mendidik kita agar lebih bersyukur dan sudi berbagi dengan sesama. (T. Nugroho Angkasa S.Pd)


September 05, 2014

Belajar Rendah Hati, Wirausaha, dan Silaturahmi

Esai ini termaktub dalam buku antologi "Kapur dan Papan" terbitan Lingkar Antarnusa, September 2014

Robertus Zidan, salah satu murid saya di kelas VII B SMP Fransiba (Fransiskus Bandar Lampung).  Dulu saya pernah mengajar di sana selama satu semester (tahun ajaran 2010-2011).

Saat itu, saya mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris. Saya meneruskan pekerjaan guru Bahasa Inggris yang mengundurkan diri di tengah tahun ajaran. Saya masuk 6 hari dalam seminggu sejak pukul 07.00-14.00 WIB. Kelas VII pararel 4 kelas dari A, B, C, D. Masing-masing kelas terdiri atas 40 murid, jadi total murid ada 160.

Kini Zidan (begitu nama panggilannya di sekolah) sudah lulus dari SMP Fransiba. Ia melanjutkan studi di SMKN 2 Bandar Lampung. Sedangkan saya sendiri sudah kembali ke Yogyakarta. Tapi, saya dan Zidan tetap saling berkomunikasi lewat media sosial Facebook.

Tatkala masih duduk di bangku kelas VII B, kemampuan bahasa Inggris Zidan termasuk rata-rata. Dalam pengertian, tak terlalu terlalu menonjol dan juga tak terlalu anjlok. Misalnya saat saya mengajar tema bagaimana mendeskripsikan benda (how to describe a thing). Zidan bisa menggambarkan dengan memadai dari segi ukuran (size), bentuk (shape), warna (color), dan bahan (material).

Belakangan saya baru tahu bahwa selain seorang Slankers (fans berat grup musik Slank) ternyata Zidan memiliki hobi unik. Ia suka mengotak-atik tampilan blog dan website. Oleh sebab itu, saya chatting dengannya lewat inbox FB beberapa waktu lalu:

+ Kalau Zidan bisa otak-atik blog, tolong dong blog saya dibagusin tampilannya, kalau saya gaptek je…
- Oh ya udah kalo ada waktu saya bagusin Blog nya deh Pak

Sekilas flashback, awal 2007 saya mulai mengenal blog. Isinya dokumentasi tulisan yang pernah dimuat di media massa. Sejak masih kuliah PBI (Pendidikan Bahasa Inggris) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, saya memang sudah hobi membaca dan menulis. Sampai saat ini, Puji Tuhan total ada hampir 800 buah pena yang pernah dimuat di media cetak maupun online.

Tapi, saya merasa kurang sreg dengan tampilan blog tersebut. Kenapa? karena masih terlalu polos. Dari segi warna dan layout juga kurang eye catching (menyolok). Oleh sebab itu, saya meminta bantuan dari Zidan secara profesional. Saya memang tak mau kalau gratisan. Saya pun mengontaknya lagi lewat pesan inbox FB:

+ Wah saya malah tidak mau kalau gratisan, harus bayar Bro, profesional kita hehe karena Zidan sudah luangkan waktu utk permak tuh blog. Intinya, modifikasi sekreatif mungkin, yg penting tampilannya jadi lebih gaul Bro.
-  Wah iyaa deh Pakk, saya akan cobaa

Semula Zidan memang merasa tidak enak kalau menerima bayaran. Tapi saya meyakinkannya bahwa kita harus profesional. Sebab, ia telah meluangkan waktu, keahlian, dan energi untuk merombak blog jadul saya tersebut. Terlebih, saat itu Zidan masih menjalani masa-masa orientasi siswa (MOS) di sekolah baru. Biasanya, Zidan menggarap proyek renovasi blog tersebut pada akhir pekan (weekend).

Tak lama berselang, abrakadabra!!! Saya takjub dengan kemampuan dan kreativitas Zidan. Kini tampilan dan layout blog saya jadi lebih segar. Silakan mampir jika hendak melihat langsung karya apik Zidan di www.local-wisdom.blogspot.com. Uniknya, saat saya hendak men-transfer pembayaran, ia mengaku tak memiliki nomor rekening di bank karena belum berusia 17 tahun. Zidan meminta dikirimi pulsa sejumlah nominal awal yang telah kami sepakati bersama.

Refleksi

Dari pengalaman tersebut setidaknya saya belajar 3 nilai keutamaan. Pertama, rendah hati. Ternyata guru tak selalu menjadi sumber ilmu satu-satunya. Bisa jadi saya lebih menguasai kemampuan berbahasa Inggris karena  memang termasuk man of letters, yakni orang yang kecenderungan gaya belajarnya – meminjam istilah Prof. Howard Gardner (Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, 1983) – linguistik/verbal.

Tapi secara visual/spasial jujur saya kurang bisa optimal. Oleh sebab itu, saya meminta bantuan Zidan yang walau secara linguistik/verbal biasa saja tapi kecerdasan visual/spasialnya lebih mumpuni. Keenam model kecerdasan majemuk lainnya ialah logical/mathematical,  bodily/kinesthetic, musical/rhythmic, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistic.

Ironisnya, menurut Handy Susanto S.Psi saat ini kecerdasan murid hanya diukur berdasarkan hasil tes IQ. Padahal tes IQ membatasi hanya  pada kecerdasan logika (matematika) dan bahasa (linguistik). Oleh sebab itu, para guru perlu membuka diri terhadap temuan mutakhir terkait konsep kecerdasan jamak (multiple intelligences).

Caranya kurangi frekuensi mengajar satu arah dengan terus berceramah di depan kelas. Sebab menyitir tesis Paulo Freire – metode gaya bank - semacam itu sudah kadaluarsa. Alangkah lebih baik, kalau aktivitas belajar diisi dengan menggambar, membuat kerajinan tangan, senam otak (brain gym), menciptakan lagu, menyanyi bersama, menari bebas, mendengarkan musik, permainan kelompok, mendongeng, menonton film, bermain sulap, pentas drama, presentasi kelompok, dll.  Aneka aktivitas tersebut niscaya memunculkan kembali semangat belajar murid.

Kedua, wirausaha atau istilah kerennya entrepreneurship. Ini bukan semata soal nominal berapa besaran honor yang saya bayarkan kepada Zidan sebagai balas jasanya memercantik tampilan blog, tapi bagaimana sejak belia ia bisa belajar berwirausaha.

Beberapa waktu lalu, saya juga membesarkan hati Zidan yang memilih masuk ke SMK bukan ke SMA seperti banyak teman-teman lainnya. “Tak apa Zidan, kalau di SMK setelah lulus bisa langsung kerja karena sudah punya bekal keahlian,” tulis saya via pesan FB saat ia mengabarkan diterima di SMKN 2 Bandar Lampung.

Dalam konteks makro, jumlah wirausahawan di Indonesia memang masih minim, Padahal syarat menjadi negara maju salah satunya  dengan memiliki jumlah wirausaha minimal 2 persen dari total jumlah penduduk. Saat ini, jumlah wirausaha Indonesia masih kurang dari 2 persen atau sebanyak 700 ribu orang, jadi masih dibutuhkan sedikitnya 4 juta lebih wirausahawan baru.

Sebagai komparasi, dibandingkan dengan negara-negara lain perkembangan kewirausahaan di Indonesia masih tergolong lambat. Kewirausahaan di Amerika Serikat tercatat mencapai 11 persen dari total penduduknya, Singapura sebanyak 7 persen, dan Malaysia sebanyak 5 persen.  Oleh sebab itu, peluang menjadi wirausahawan dan menciptakan lapangan pekerjaan baru masih terbuka lebar di Indonesia. (Sumber Data: http://www.tempo.co/read/news/2013/02/18/090462035/Minim-Jiwa-Kewirausahaan-di-Indonesia).

Ketiga, silaturahmi guru-murid. Walau kini saya dan Zidan terpisah jarak dan ruang tapi hubungan baik perlu terus dijalin. Terlebih saat ini sarana TIK (teknologi informasi dan komunikasi) begitu memadai sehingga kita bisa bertukar informasi dan sharing power (berbagi kekuatan) secara real time (pada waktu yang bersamaan). Tentu sesuai dengan kemampuan kita di lingkar pengaruh masing-masing.

Hingga kini saya juga tetap menjalin silaturahmi dengan St. Kartono, guru Bahasa Indonesia saya di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta dulu. Selain saya menimba ilmu ihwal skill dan etika menulis, setiap bulan pasti berkunjung ke rumah beliau. Kenapa? Karena  mengantar pesanan beras organik dan telur bebek.

Saya juga sempat merasa pakewuh (sungkan) seperti Zidan, karena Pak Kartono itu guru saya. Awalnya, saya tak mau mengambil untung dari penjualan beras organik dan telur bebek tersebut. Tapi beliau sendiri yang mengatakan agar mengambil untung sewajarnya karena saya telah bersedia mengambilkan beras dari petani organik di Sleman dan mengantarkannya langsung ke rumah. Sehingga uang tersebut bisa untuk mengganti biaya bensin, waktu yang dihabiskan selama perjalanan, dan jasa pengiriman (delivery service).

Secara lebih mendalam, saya pun memaknai gaya hidup mengkonsumsi produk organik bukan sekadar untuk mencukupi kebutuhan pangan semata, tapi wujud kepedulian pada kesehatan diri sendiri dan anggota keluarga tercinta. Selain itu, juga merupakan sikap ramah lingkungan dalam keseharian, serta sebuah apresiasi terhadap jerih payah para petani organik yang telah merawat tanaman dari sejak masa persiapan lahan sampai panen raya tiba. Let's go green! Tentu mulai dari diri pribadi dan keluarga sendiri serta orang-orang terkasih termasuk para guru kita.

Akhir kata, saya percaya pada pepatah berbahasa Inggris, “There is no coincidence.” Tiada yang kebetulan dalam hidup ini. Termasuk perjumpaan antara guru dan murid di ruang kelas. Sekarang barangkali belum terasa manfaatnya, bahkan kadang kita menganggapnya sebagai rutinitas belaka. Tapi niscaya tiba saatnya, kita menyadari makna yang lebih dalam dari relasi guru-murid di masa depan.  

Juli 18, 2014

Menyelami Kedalaman Cinta

Dimuat di Majalah Hidup, Tahun ke-68, Edisi 25, 22 Juni 2014

Judul: Cara Menguji Ketulusan Cinta
Penulis: A. Setyawan, S.J
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I/ Oktober 2013
Tebal: 303 halaman
ISBN: 978-979-21-3620-3

Di era modern ini ada satu kecenderungan yang membahayakan peri kehidupan bersama. Karena sadar atau tidak sadar manusia terdorong untuk memanfaatkan orang dan lebih mencintai barang. Dalam lingkup keluarga, misalnya, ada orangtua yang memiliki paham bawah sadar bahwa anak adalah aset. Menurut penulis buku ini, A. Setyawan, S.J, seorang anak juga memiliki martabat pribadi.

Lebih lanjut, penulis memaparkan konsekuensi dari cara pandang yang kurang tepat tersebut. Akibatnya, orangtua akan menghadapi anak seolah-olah sedang berhadapan dengan barang yang bisa dipakai seturut keinginan mereka. Sebaliknya, tatkala berhadapan dengan barang, orangtua tersebut berperilaku seolah barang itu adalah person yang harus dicintai.

Berikut ini nukilan dialog yang menyiratkan contoh konkretnya. Seorang ayah menunggu mobil yang sedang dipakai anaknya. Seperempat jam terlambat sudah membuat sang ayah merasa resah. Tiba-tiba si anak masuk ke rumah sambil memegangi tangannya yang berlumuran darah. Wajahnya pucat pasi dan kelihatan ketakutan sekali. Alih-alih menolong dan segera mengobati, sang ayah malah bertanya dengan ketus, “Mana mobilnya?” Si anak tadi menceritakan bahwa mobilnya menabrak tiang listrik. Mendengar hal tersebut sang ayah marah besar, “Kamu itu, kamu pikir mbetulin mobil itu murah apa?” (halaman 152).

Sebagai alternatif, penulis menawarkan perspektif lain yang lebih tepat (baca: manusiawi). Tujuannya untuk menumbuhkan cinta dalam diri si anak. Orangtua jangan sekadar mementingkan keselamatan mobil, karena anak tetap lebih bernilai daripada barang. Alangkah lebih mengena jika sang ayah berkata, “Kamu terluka? Syukurlah tidak terlalu parah. Kita masih bisa perbaiki mobil tersebut. Tapi ayah tak bisa mendapatkan kamu yang lain kan?” Dalam konteks ini, artinya anak sebagai pribadi dipandang unik. Ia tiada duanya di dunia.

Buku setebal 303 halaman ini sebuah referensi berharga untuk menyelami kedalaman cinta. Sebab cinta merupakan bagian terpenting dari kedalaman kemanusiaan kita.

1405751415696635040

Juli 15, 2014

Antologi Kisah Hidup Orang Sukses

Dimuat di Okezone.com, Senin/14 Juli 2014

Judul: Top Words 2, Kisah Inspiratif dan Sukses Orang-orang Top Indonesia
Penulis: Billy Boen
Penerbit: B-first (PT. Bentang Pustaka)
Cetakan: 1/2013
Tebal: xii + 200 hlmn
ISBN: 978-602-8864-80-0
Harga: Rp50.000

Buku bersampul kuning ini kelanjutan Top Words 1. Konsep penulisan Billy Boen tidak jauh berbeda, ia sekadar menggali inspirasi dari para orang sukses. Tujuannya untuk membakar semangat kaum muda bisa berprestasi juga. Usai membaca buku ini diharapkan muncul pertanyaan reflektif, “Kalau dia bisa, kenapa saya tidak?” atau “Wah kok dia bisa ya kepikiran begitu? Kreatif banget! Apa yang bisa saya lakukan dengan kondisi yang sedang saya alami saat ini?”

Contohnya, kiprah elok Entrepreneurship Organization asuhan Rachmat Harsono. Mereka pernah mengundang narasumber dari Afrika Selatan. Pembicara tersebut seorang tentara khusus. Tapi, ia tidak berbicara ihwal kewirausahaan kepada para peserta, melainkan berkisah tentang perjuangannya tatkala dikurung dalam penjara sempit di Zimbabwe selama 15 tahun.

Sebanyak 8.5000 pengusaha yang tersebar di 120 kota dan 42 negara di seluruh dunia menyimak dengan takzim ihwal fighting spirit (semangat juang). Yakni, bagaimana caranya untuk mengatasi rasa takut dan bertekad untuk terus hidup. Nilai keutamaan tersebut dapat pula diterapkan oleh para pebisnis dalam mengembangkan usahanya di lingkar pengaruh masing-masing (halaman 143).

Contoh lainnya, Gilang Iskandar, Direktur Ekesekutif World Peace Movement. Gilang bersedia mulai merangkak dari bawah sebagai staf biasa untuk meniti puncak karir. Menurutnya, proses ini penting agar kelak sebagai pemimpin bisa punya wawasan yang cukup. Selain itu, agar ia dapat  berempati pada apa yang dialami pegawainya.

Tokoh yang pernah malang-melintang di berbagai stasiun televisi swasta tersebut berpedoman pada 4 hal. Pertama, kerja keras sebagai poin utama. Tidak ada sesuatu yang bisa dicapai dengan mudah. Kedua, tidak semua hal kita tahu. Untuk itu diperlukan sikap open minded dan mau terus belajar, termasuk bertanya kepada anak buah yang lebih pintar. Ketiga, jangan takut untuk berbagi karena takut kalah prestasi dengan orang lain. Kalau yakin punya suatu kelebihan, harus kita share. Keempat, harus memiliki sikap positif. Kalau dimarahi atasan orang cenderung mutung dan tak mau berkomunikasi dengannya lagi. Tapi Gilang justru merenung dan melakukan introspeksi diri untuk memperbaiki kinerja (halaman 60).

Uniknya, pasca-meraih sukses di usaha broadcasting, Gilang justru memilih mengundurkan diri. Padahal, di lingkungan perusahan besar televisi swasta ia telah masuk jajaran papan atas managemen dan merasakan betapa nikmat hidup di zona nyaman. Kini, ia dipercaya menjadi pemimpin World Peace Movement, bidang yang berbeda 180 derajat dari dunia pertelevisian yang telah ia geluti selama 23 tahun terakhir. Gilang hendak bertindak sebagai semacam promotor perdamaian dunia. Aneka kegiatan dilakukan untuk mengajak masyarakat terutama kaum muda. Mereka terlibat dalam World Peace Movement lewat ajang seni, budaya, politik, hingga penghijauan dan isu lingkungan hidup.

Kisah sukses Dr. Handry Satriago juga tak kalah menarik. Walau kondisi fisiknya tak seperti dulu lagi, Presiden dan CEO General Electric Indonesia ini tetap semangat berkarya. Awalnya, ia mengaku marah saat pertama kali sakit sehingga membuatnya tak bisa berjalan. Seiring berjalannya waktu, pasca 20 tahun bergulir Dr. Handry menyimpulkan bahwa lewat kanker yang ia derita, Tuhan justru memberi lebih banyak ketimbang apa yang diambil darinya.

Sebagai manusia biasa, rasa kecewa, frustasi, putus asa memang pernah menghantui hari-harinya di masa lalu. Tapi justru kondisi terbatas tersebut memberinya pelajaran berharga. Ternyata dinamika perjalanan hidupnya memang harus seperti itu. Toh pada akhirnya, Dr. Handry meyakini bahwa program Tuhan lebih baik daripada pikiran manusia. Seperti kata petuah bijak: manusia merencanakan, Tuhan yang menentukan.

Lewat buku ini, ia juga berpesan kepada kaum muda, “Jika kita ingin Indonesia menjadi lebih baik. Kuncinya ada di pendidikan, dan itu tak selalu berupa pendidikan formal. Saya ingin melihat semua young leaders Indonesia punya mimpi untuk menjadi global players. Juga tetap rendah hati bahwa gelas itu masih setengah penuh dan harus terus diisi.” (halaman 47).

Buku setebal 200 halaman mengulas aneka kisah hidup orang sukses. Billy Boen mengemasnya secara santai dengan bahasa khas anak muda.  Layak dibaca oleh generasi penerus bangsa yang hendak menjadikan Nusantara kian bertaji di kancah dunia - See more at: http://suar.okezone.com/read/2014/07/14/285/1012544/antologi-kisah-hidup-orang-sukses#sthash.kNh5rVJe.dpuf

Juni 11, 2014

Asta Brata, Panduan Memilih Pemimpin Nusantara

Dimuat di Radar Surabaya, Rabu/11 Juni 2014 

Hajatan pesta demokrasi 2014 memasuki separuh jalan. Pasca-memilih para wakil rakyat, kita akan memiliki presiden dan wakil presiden baru. Pertanyaannya, apa kriteria dalam memilih pemimpin?

Sederet referensi luar negeri dapat dijadikan rujukan. Salah satunya buku "The Leader in Me" (Stephen R. Covey, Gramedia Pustaka Utama, 2009). Stephen R. Covey dikenal luas berkat buku bestseller “The 7 Habits of Highly Effective People.” Majalah Times mengukuhkan Covey sebagai salah satu tokoh terbesar abad ini.

Tapi sesungguhnya dari bumi Nusantara kita pun bisa menggali inspirasi terkait kepemimpinan. Dalam catatan sejarah, leluhur bangsa ini memiliki filosofi Asta Brata. Kitab pedoman hukum manusia gubahan Manu tersebut berjudul Manusmriti atau Manawardharma Shastra. Para ahli memerkirakan usianya mencapai 5.000 tahun lebih.

Ada juga rumusan Mpu Yogishwara yang relatif lebih muda. Wejangan tersebut dikemas dalam bentuk Kakawin Ramayana. Usia karya itu sekitar sepuluh abad. Yang paling mutakhir tentu Asta Brata versi Keraton Surakarta. Karya tersebut diadaptasi dari kedua kitab terdahulu. Isinya telah disesuaikan dengan perkembangan zaman. Almarhum Sri Paku Buwono III memopulerkan versi ini sekitar 125 tahun silam. Kebijaksanaan adiluhung tersebut dianalogikan laksana delapan kelopak bunga teratai. Setiap helai kelopaknya mengandung nilai-nilai filosofi kepemimpinan (Anand Krishna dkk, One Earth Media, 2004).

Kelopak pertama, matahari. Matahari memberikan cahaya kepada semua makhluk. Walau matahari merupakan sumber energi utama segenap ciptaan Tuhan di muka bumi ini, tapi matahari tidak pernah menyombongkan dirinya. Setiap hari matahari tepat waktu terbit di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. Seorang pemimpin juga perlu belajar dari matahari. Ia berkarya tanpa pamrih (rame ing gawe sepi ing pamrih). Ia bersinar dan berbagi sinar. Ia cerah dan berbagi pencerahan kepada semua tanpa pilih kasih.

Kelopak kedua, bulan. Bulan bersinar menerangi pekat gulita malam. Meski terjadi krisis dan konflik seorang pemimpin tetap selalu memandu. Ia tidak melarikan diri atau mencari kambing hitam. Ketika manusia letih dan memilih untuk tidur, bulan tetap menunggui dengan penuh kesabaran. Dengan sinarnya yang lembut, bulan mengantar kita ke alam mimpi. Dalam alam mimpi itulah Bung Karno, Bung Hatta, Romo Mangun, Gus Dur, Cak Nur, Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Luther King Jr, Nelson Mandela, dan lain-lain memimpikan kemerdekaan. Dalam alam jaga mereka pun mewujudkan mimpi itu demi bangsa dan kemanusiaan

Kelopak ketiga, bintang. Bintang kutub (pole star) menjadi pandu bagi para pelaut yang tersesat. Artinya, seorang pemimpin selalu siap hadir tanpa diminta. Ia senantiasa menuntun, mengarahkan, dan tidak mengharapkan ucapan terima kasih sekalipun.  (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Penerjemah dan Guru Privat Bahasa Inggris)

Juni 07, 2014

Jambu Air dan Ikan Guppy

Dimuat di Suara Merdeka, Minggu/8 Juni 2014 

Minggu pagi matahari bersinar cerah. Secerah wajah Doni yang sedang duduk di beranda rumah. Ia menunggu kedatangan Tuti sambil bersiul-siul. Mereka berdua sudah janjian hendak bersepeda dan berkunjung ke rumah nenek Doni di desa.

“Doni!” suara ibu memanggil namanya dari arah dapur.

“Piring yang kamu pakai untuk sarapan tadi kenapa belum dicuci?” tanya ibu yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu.

“Ah…nanti saja Bu,” jawab Doni santai.

Doni memang sering menunda-nunda.

Tak lama berselang, Tuti datang dengan menaiki sepeda mininya.

“Selamat pagi Doni, maaf ya aku baru sampai. Tadi aku membantu dulu ibu mencuci piring setelah sarapan,” kata Tuti.

Tuti memang rajin membantu orangtua.

“Ayo kita segera berangkat,” sahut Doni.

Ia menaiki sepeda BMX-nya. Doni bersemangat sekali karena akan berkeliling dan mengunjungi nenek di desa.

Setelah puas bersepeda melintasi daerah pedesaan yang masih asri, Doni dan Tuti singgah ke rumah nenek.

Nenek Doni suka sekali berkebun dan memelihara ikan hias. Di pekarangan rumah beliau, ada taman sayuran, buah, obat-obatan, dan umbi-umbian. Mulai dari kangkung, sawi, bayam, jambu air, mangga, rambutan, kelengkeng, jahe, lengkuas, sirih, dan lain-lain.

Tanaman sayur ditanam nenek di polibag atau pot kecil. Tanaman buah ditanam nenek di tabulampot atau pot besar. Sedangkan, tanaman obat-obatan dan umbi-umbian ditanam nenek langsung di tanah.

Di siang hari bolong, lingkungan di taman depan rumah nenek tetap sejuk. Mereka bisa betah duduk di bawah pohon sambil memberi makan ikan hias di kolam. Ada ikan komet, guppy, molly, dan lain-lain.

Nenek memang tekun merawat tanaman dan memelihara ikan hias.

Doni dan Tuti berbincang-bincang dengan nenek di tengah taman tersebut. Mereka beristirahat sambil menikmati sajian buah segar. Kebetulan pohon jambu air di tabulampot nenek sedang berbuah lebat.

Mereka bisa memetik langsung dari pohon yang tak terlalu tinggi tersebut. Cukup dengan sedikit berjinjit, Doni sudah bisa memetik beberapa jambu air yang bewarna merah muda. Ketika jambu air itu digigit mak kress, rasanya segar sekali.

Sebelum mereka berpamitan hendak pulang, nenek memberi Doni dan Tuti oleh-oleh. Bukan buah jambu air tersebut tapi masing-masing mendapat tunas pohon jambu air dan sepasang ikan guppy.

“Kalian berdua bisa belajar menyayangi dan merawat tanaman jambu air dan ikan guppy ini. Tunas jambu airnya bisa ditanam di tabulampot atau pot besar. Sedangkan sepasang ikan guppy-nya bisa dipelihara dalam akuarium,“ pesan nenek.

Setibanya di rumah, Tuti segera menanam tunas jambu air tersebut di tabulampot. Ia memanfaatkan bekas tong cat ukuran besar. Bagian bawahnya sudah di lubangi untuk perembesan air. Sedangkan media tanamnya tanah, pupuk kompos, dan sekam. Semua dicampur menjadi satu. Setiap pagi dan sore, Tuti selalu rajin menyirami.

Sedangkan sepasang ikan guppy dari nenek ditaruh di akuarium. Ia senang sekali memandangi ikan guppy aneka warna ini berenang lincah. Tak lupa ia memberi makan dengan jentik-jentik nyamuk atau cacing sutra. Jika sedang libur, Tuti juga mengganti air dalam akuarium dengan air baru yang segar dari sumur.

Tapi berbeda dengan Doni, ia hanya menancapkan tunas jambu air tadi di pekarangan rumah yang gersang. Ia juga sering lupa menyiraminya. Sepasang ikan guppy dari nenek juga hanya ditaruh di akuarium begitu saja. Tapi ia juga sering menunda memberi makan dan mengganti airnya.

Akibatnya, sepasang ikan guppy itu mati. Begitu juga  tanaman jambu air di pekarangan rumahnya, layu sebelum berkembang.

Ia sedih dan menyesal sekali. Tapi ibarat kata pepatah, nasi sudah menjadi bubur. Ia juga merasa malu kepada nenek yang telah memberi tunas jambu air dan sepasang ikan guppy tersebut.

Lain halnya dengan Tuti, ia merasa bahagia dan bersyukur sekali. Tunas jambu air di tabulampot-nya telah tumbuh besar dan mulai berbunga. Sebentar lagi, ia sekeluarga juga bisa memetik jambu air yang segar dan kaya vitamin.

Sepasang ikan guppy di akuariumnya juga sudah bertelur. Tinggal menunggu waktu untuk menetas. Ia akan segera melihat lebih banyak ikan guppy aneka warna yang berenang lincah di dalam akuariumnya.

Akhirnya, Doni sadar bahwa menunda-nunda pekerjaan kecil bisa berakibat fatal. Ia berjanji akan lebih tekun melakukan apa yang menjadi kewajibannya. Tak lagi menunda-nunda tugas. Misalnya dengan mencuci piring sesudah makan, menyirami tanaman di pekarangan rumah, memberi makan ikan hias, dan mengganti air di akuarium. Terima kasih jambu air dan ikan guppy, kalian telah memberi pelajaran yang sangat berharga.

Mei 23, 2014

Mengenang 15 Tahun Wafatnya Romo Mangun

Dimuat di Sesawi.net, Jumat/23 Mei 2014

Selasa malam (6/5) pelataran Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) di Jln. Suroto 2 Kotabaru dipenuhi lautan manusia. Ratusan pengunjung rela lesehan, berjongkok, duduk di kursi, berdiri, dan bahkan berjinjit dari pukul 19.00-22.00 WIB. Mereka takzim mengikuti peringatan 15 tahun wafatnya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr. Pagelaran budaya tersebut terbuka bagi khalayak ramai. Siapa pun boleh hadir tanpa dipungut biaya, mulai dari tukang becak hingga pejabat teras kota Yogyakarta.

Dalam kata sambutan sebelum membuka pameran seni rupa “Pager Piring” Imam Priyono mengapresiasi jerih payah panitia. Sebab, ternyata Wakil Walikota Yogyakarta tersebut juga dulu merupakan salah satu anak yang menerima pager piring alias dibiayai pendidikannya oleh Romo Mangun. “Cita-cita Romo Mangun yang masih saya ingat ialah keseimbangan dalam kehidupan. Misalnya yang kaya membantu yang miskin, saling peduli dan mencintai antar sesama manusia dan juga turut serta menjaga keseimbangan ekologi,” ujarnya di hadapan para hadirin dan tamu undangan.

Wayang Milehnium Wae juga turut memanaskan suasana. Puluhan muda-mudi dari Institut Sansekerta Indonesia menyuguhkan atraksi musik perkusi, gamelan, tarian, pembacaan puisi, pantomim, wayang seng, dan teater. Pentas kolaborasi malam itu bertajuk Mlarat Ning Ningrat (Miskin Tapi Ningrat). Romo Sindhunata S.J selaku tuan rumah mengatakan bahwa Romo Mangun bukan sekadar tokoh intelektual, beliau juga seorang seniman.

Lebih lanjut, menurut Romo Sindhu salah satu kontribusi Romo Mangun bagi dunia literasi ialah sastra yang berpamor. “Susastra bukan dicipta, tapi digali lewat permenungan atas filsafat, realitas historis, sosial dan politik. Demi ide intelektual dan bersama ide tersebut, Romo Mangun siap mogok makan bersama warga Kali Code yang hendak digusur, memperjuangkan keadilan bagi masyarakat Kedung Ombo, berdemonstrasi bersama mahasiswa, buruh dan petani, mengembangkan ide pendidikan dasar lewat Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan SD Kanisius Mangunan. Karena pengalaman otentik memang berasal dari grassroot,” ujar Romo Sindhu.

Selaras dengan paparan Prastowo selaku Ketua Panitia. Ia mengatakan bahwa YB Mangunwijaya ialah tokoh multidimensional. Beliau seorang arsitek, sastrawan, budayawan, pendidik dan juga filsuf. “Kita tidak cukup jika hanya menapakinya, tapi kita juga harus menjelajahi pemikiran beliau yang sangat kaya. Menjelajahi pemikiran Romo Mangun berarti memahami seluruh dimensi persoalan yang plural dimana beliau selalu berpijak pada nilai-nilai sosial, spiritual dan humanisme,” imbuhnya.

Tak ketinggalan pada Selasa malam itu, Shri Krishna Encik turut menyumbangkan suara emasnya diiringi petikan gitar dan gesekan cello. Salah satu lagu gubahannya bertajuk “Sang Pelayan”. Berikut ini petikan syairnya yang tepat melukiskan karakter Romo Mangun:

Selalu saja kau tenang
Dengan semua sikapmu
Selalu saja kau tegar dengan
Pendirianmu…

Tak sekadar kata-kata
Yang engkau utarakan
Tak sekadar perbuatan
Yang selalu kau wujudkan

Lukisan karya Menol Juminar berjudul Remis
Lukisan karya Menol Juminar berjudul Remis

Mei 20, 2014

Butet & JHF Kampanye Gerakan Jujur Barengan

Dimuat di Okezone.com, Rabu/21 Mei 2014

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI dan Pemda DIY mendeklarasikan gerakan Jujur Barengan di depan Kompleks Kepatihan, Malioboro, Yogyakarta, Selasa (20/5) malam.

Sebelumnya pada sore hari telah digelar pawai budaya. Pawai tersebut diikuti 1.500 orang lebih dari 45 komunitas. Mulai dari komunitas becak anti korupsi, pecinta satwa, bregada keraton, perwakilan pelajar, perwakilan mahasiswa, paguyuban sepeda onthel, veteran pejuang kemerdekaan hingga seniman tradisional.

Butet Kartaredjasa dan JHF (Jogja Hip-hop Foundation) turut memeriahkan puncak malam pentas seni lewat orasi budaya dan hentakan lagu-lagu hip-hop.  

Dalam orasi budayanya, aktor yang terkenal piawai memerankan aksi monolog dengan menirukan suara Soeharto itu mengatakan, “20 Mei 1908 merupakan Hari Kebangkitan Nasional. Mari kita jadikan 20 Mei 2014 sebagai Hari Kebangkitan Kejujuran Nasional!” Sontak ajakan tersebut disambut gemuruh tepuk tangan ribuan penonton.

Menurut Butet, korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah. “Karena korupsi dilakukan sesuai asas demokrasi. Keuntungannya dibagi merata, mulai dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif. Inilah yang disebut korupsi berjamaah,” imbuhnya.

Butet juga tidak setuju dengan istilah “budaya korupsi”. Sebab, koruptor akan disebut “budayawan”. “Jangan sampai kalimat dalam pembukaan UUD 1945 juga diplesetkan menjadi korupsi ialah hak segala bangsa,” tegasnya lagi.

Sebagai penutup, presiden guyonan Nusantara itu menceritakan petualangan anak kecil mencari arti kejujuran. Ia berkeliling pelosok negeri. Tatkala bertemu dengan politisi, ternyata kejujuran tergantung kawan koalisi partai.

Saat bertemu tentara, ternyata kejujuran tergantung perintah komandan. Ketika bertemu Gus Dur di surga, ternyata menurut almarhum tidak ada lagi orang jujur. “Akhirnya, anak kecil tersebut bertanya kepada kita semua di sini, mari kita jawab bersama bahwa kejujuran adalah kita. Mari tanamkan nilai kejujuran mulai dari keluarga sejak kanak-kanak dan dari diri kita sendiri,” pungkasnya.

Sederet tokoh nasional dan lokal turut hadir dalam deklarasi gerakan Jujur Barengan. Antara lain Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Yogyakarta Herry Zudianto, Gus Miftah sebagai perwakilan dari agamawan, dan masih banyak lagi. Mereka semua bertekad memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.

Muhammad Marzuki alias Juki, salah satu punggawa JHF mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung kampanye kejujuran hari itu. “Terima kasih kepada pedagang lesehan dan tukang parkir yang tempat kerjanya direlakan untuk dijadikan panggung malam ini,” ujarnya.

Sederet tembang hip-hop berbahasa Jawa sukses mengajak seluruh penonton bernyanyi dan berjingkrak bersama. Mulai dari Ngelmu Pring, Sembah Raga, hingga Jogja Istimewa. (Reporter dan Fotografer: T. Nugroho Angkasa).

Mei 19, 2014

Imam Priyono: Saya Anak yang Menerima Pager Piring dari Romo Mangun

Dimuat di Okezone.com, Selasa/20 Mei 2014

Imam Priyono  
Imam Priyono  


YOGYAKARTA - Siapa tak kenal Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr? Ia seorang budayawan, sastrawan, pendidik, penulis, novelis, arsitek, dan pejuang kemanusiaan.

Salah satu nilai keutamaan yang dihayati Romo Mangun ialah filosofi “Pager Piring”. Jangan memagari rumahmu dengan pecahan kaca (beling) namun pagarilah rumahmu dengan piring. Di era modern yang cenderung individualistis, spirit kebersamaan tersebut kian menemukan relevansinya.

Dalam rangka memperingati 15 tahun wafatnya Romo Mangun, Yayasan Galang Press, ASA Art Management, Komunitas Seni Rupa Blendang-blendhung, Teater Lilin, Djarum Foundation, Yayasan Persekolahan Bellarminus Jakarta dan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED) mengadakan rangkaian acara bertajuk “Menjelajah Pemikiran Y.B. Mangunwijaya”.

Sejak 6-11 Mei 2014 digelar pameran seni rupa di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), seminar pendidikan di Hotel Santika, sarasehan "Gerundelan Orang-orang Republik" dan workshop seni rupa untuk anak di Jalan Suroto No. 2 Kotabaru.

Sebelum membuka pameran seni rupa “Pager Piring”, Sindhunata S.J menceritakan pengalamannya mengedit 12 buku saat merayakan 100 tahun Mangunwijaya beberapa tahun silam. Salah satu buku berjudul “Menjadi Generasi Pasca-Indonesia” yang diterbitkan Kanisius. Romo Sindhu mengutip petuah Romo Mangun, “Kita boleh lahir di Timur, tapi dunia ialah rumah kita.”

Pembukaan pameran seni rupa “Pager Piring” Selasa malam itu dimeriahkan juga atraksi kolosal Wayang Milehnium dan suara emas Shri Krishna Encik. Sederet perupa kondang turut berpartisipasi, yakni A.B. Dwiantoro, A.C. Andre Tanama, Achmad Santoso, Andy Miswandi, Agus Yuliantara, Ambar Pranasmara, Budi Barnabas, Budiyana, Budi Ubrux, Choerodin, Djoko Pekik, Dunadi, Greg Susanto, Hadi Soesanto, Hedi Hariyanto, Imron Safii, Joko "Gundul" Sulistio, Justin Copertino, Kadafi, Ketut Suwidiarta, Lanny Andriani, Made Toris, Menol Juminar, Mujiharjo, Ouda Teda Ena, S. Teddy d, Stefan Buana, Tatang Maruto, Win Dwilaksono, Yun Suroso, dan Yundhi Pra.

Semua dipersatukan oleh kecintaan mereka pada Romo Mangun. Prastowo selaku ketua panitia mengatakan, “Kami mempersiapkan seluruh rangkaian acara ini selama 2 bulan.”

Imam Priyono dalam kata sambutannya mengungkap fakta mengejutkan. Ternyata ia salah satu orang yang mendapatkan “piring” dari Romo Mangun.

“Dulu di daerah Kemetiran Kidul ada seorang anak dari keluarga miskin. Tahun 1983 anak tersebut lulus SMA. Tapi anak itu tidak bisa kuliah maupun kerja karena kondisi ekonomi keluarganya yang tidak mampu. Lalu, anak itu bertemu dengan Romo Mangun dan menerima pager piring. Di tahun 1986 anak tersebut kemudian bisa berkuliah. Anak yang menerima pager piring tersebut berhasil menjadi Wakil Walikota Yogyakarta. Ya, saya adalah si anak miskin yang mendapatkan pager piring dari Romo Mangun,” ujarnya di hadapan ratusan hadirin yang memadati pelataran BBY. (T. Nugroho Angkasa)
(//ful)

Mei 09, 2014

Sajak Orang Sinting

Dimuat di SLiLiT Arena edisi April 2014 


1.
Sajak Dagang

Kamu panggil aku karena aku jualan barang
apa urusanmu?
kamu mau tahu barang yang kujual?
mau kamu beli juga?

Aku buka warung
aku jualan teh, kopi, mi instan
apa urusanmu?

Mau makan dan minum?
aku layani sepenuh hati
pokoknya kamu bayar aku terima

Kenapa pula aku tanya asal-usul uangmu?
hasil korupsikah?

Uang dari mana pun itu bukan urusanku
urusanku kamu beli yang aku jual
jangan lupa bayar

Kenapa pula aku sampai dipanggil-panggil yang berwenang?
bayaranmu padaku semua turut disita pula

Kalau terus seperti itu urusan di negeri ini
siapa yang mau dagang lagi?

Kamu yang sedang baca sajak ini
jangan senyum-senyum dan malah senang begitu
daganganku ini usaha paling tua

Anak, istri, dan keluargaku aman tidak pernah diganggu
maka harus ada warung seperti warungku ini
memangnya salah?

Kalau ada orang korupsi, ya tangkap saja dia
apa urusannya denganku?

Apa urusannya dengan uang yang sudah dia bayar kepadaku
untuk barang dagangan yang sudah kuserahkan padanya

Kenapa setelah kamu seret dia, aku juga diseret-seret segala?
Apa karena aku melayani koruptor?

Bukankah banyak juga di tempat-tempat ibadah?
sita juga sumbangan-sumbangan mereka di sana
berani?

2.
Sajak Kambing Korban

Kau memberiku makan, rumah, uang, dan kedudukan
amboi aku merasa girang
bukan main senangnya

Tapi akhirnya baru kutahu
kau telah jadikan aku kambing korban

Kau menggemukkan diriku
bukan karena kau menyayangiku

Kau menggemukkanku untuk keuntunganmu sendiri
supaya aku jadi paling gemuk

Sekarang aku baru tahu
tega-teganya kau wahai manusia!

Hukum dan segala peraturan pun kau buat
semata untuk membenarkan penyembelihanku

Sungguh kejam kau wahai manusia…
apa salahku sehingga kau sembelih?

Aku kambing di pinggir jalan
aku juga pejabat di pusat pemerintahan

Aku berada di mana-mana
Di mana saja selama masih ada manusia jahanam

3.
Sajak Cuci Uang

Koruptor dikenai pasal cuci uang?
jujur aku bingung
kenapa korupsi tidak disebut korupsi saja

Seenaknya kalian memasuki rumah mereka
menggeledah dan menyita baju mereka, barang-barang mereka

Kenapa kalian tidak berani ke tempat-tempat ibadah juga
yang jatah mereka lebih dari yang diperoleh koruptor

Aku bingung kenapa dianggap bersekongkol dan dipersalahkan?
bagaimana dengan para ahli kitab
di tempat-tempat ibadah yang notabene tidak menjual apa-apa
tapi tetap dapat jatah!

Aku masih berdagang barang
Sedangkan mereka hanya berjualan harapan

Aku sungguh bingung
kenapa mereka tak tersentuh
dan kenapa aku yang justru dicari-cari dan jadi buronan terus?

Aku sungguh bingung, bingung, bingung…

4.
Sajak S3: Sumpah Seekor Sapi

Kamu pikir dengan menyembelihku perkara selesai
tidak, tidak semudah itu

Saat penjagal-penjagalmu
memisahkan kepala dari badanku
segala kebangsatanmu pun tampak jelas di depan mata
dan terekam oleh jiwaku

Mereka yang sekarang membuatmu pusing tujuh keliling dan tak bisa tidur malam
adalah roh sapi-sapi gentayangan yang kamu sembelih
mereka datang untuk balas dendam

Silakan memerah tetek susu kami, monggo silakan
ambil semua susu kami, kami rela

Tapi kalau kami disembelih
bagaimana kalau suatu saat kami berkuasa
dan kami ganti menyembelih kalian semua?

Cukup sudah kamu perdagangkan bangsaku, rasku, keluargaku, wahai bangsa manusia!
sekarang giliran kalian mesti membayar utang
aku datang untuk menyelesaikan utang – piutangmu

Akhirat masih lama
kamu mesti bayar sekarang juga

Ayo kuantar kamu ke rumah-rumah
tempat penjagalan manusia-manusia seperti kamu!

5.
Sajak Pangeran

Bangun pagi itu kerja petani
aku pangeran putra petinggi

Untuk apa bangun pagi-pagi?
aku tidak perlu ke ladang untuk bertani

Mohon komisi itu kerja makelar
aku pangeran, bukan makelar

Money laundering? Kenapa harus dicuci?
walau kotor, haram toh uang tetap uang
kutelan mentah-mentah, enak juga kok rasanya

Kalau dicuci bisa susut, untuk apa?
anak bisa haram, istri juga bisa
tapi uang, tak ada uang haram
dengan uang akan kupertahankan kerajaan ayahku
bahkan mengembangkannya!

Dengan uang akan kubuat singgasana
yang berukuran pas untuk pantatku

Ingat aku pangeran, anak raja
aku pengganti ayahku, raja kalian

Kubuka diriku
bagi kalian yang mau memasukiku
aku selalu terbuka!

6.
Sajak Revolusi

Dulu aku gembong becak
sekarang tidak

aku jadi pengurus beberapa gembong
sudah naik pangkat

Dulu aku gembong becak
tapi kini aku tidak lagi mau jadi oncom

Pengalamanku banyak sekali
semua karena kegembonganku

Dulu paling banyak terjadi kecelakaan
itu prestasi yang luar biasa

Pasalnya bagiku orang-orang yang tak mampu adalah makhluk lemah
tidak berguna bagi bangsa
tak bermanfaat untuk negara

Terlebih rakyat semua berotak tempe
ditambah lemah lagi
apa mau jadi tempe mereka

Dulu aku gembong becak
kecelakaan-kecelakaan itu
justru untuk menyelamatkan
agar bangsa tempe tetap jadi tempe
tidak jadi oncom

Tempe masih sehat
oncom bisa buat sakit perut

Orang-orang yang mati dalam kecelakaan itu
sudah hampir jadi oncom
jadi ya biarlah semua terjadi
seleksi alam namanya
supaya tempe tidak berubah jadi oncom

Dulu aku gembong becak
jadi masih banyak kenalan
tukang-tukang becak sejati

Anakku pernah ditabrak becak
eh malah orang lemah itu melapor
kok cepat melapor ya?
Seperti kecoa saja

Bukan, bukan kecoa
karena kalau kecoa itu seperti politisi
mereka tidak pernah mati
abadi

Kelak di sajak lain
kapan-kapan akan aku ceritakan
hubungan kecoa dan politisi

Jadi untung juga ya
dulu aku gembong becak
sehingga masih banyak kenalan

Tapi tetap saja
lebih untung sekarang
aku mengurusi beberapa gembong
tinggal kutelpon mereka
salah seorang langsung membereskan

Satu orang mati untuk mengurusi
anakku, pangeranku
“no problem” itu kata toke-toke yang kuhubungi
semuanya beres dalam sekejap mata

Berkat kegembonganku dulu
pangeranku selamat

Ya bagaimana tidak selamat?
keluarga  yang tak mampu itu dapat uang
mereka malah berterimakasih
jadi mau apa lagi?

Orang lemah, tak berguna
mereka tak mampu
tak pernah memberi keuntungan
untuk apa mereka hidup?

Inilah baiknya hidup di alam demokrasi.
peraturan dan undang-undang berjaya!
berjaya  karena bisa diubah-ubah
diatur, disulap, diapa-apakan saja oleh para toke-toke!

Dulu aku gembong becak
sebelumnya hanya tukang becak

Bagiku perjalanan hidup ini layaknya rambutku
tak beruban begitu saja

Semua jalan ini pernah kulewati
sekarang aku tahu cara-cara jitu
untuk memanipulasi apa saja

Manipulasi itulah caraku
bagi politisi kegembongan
seperti diriku ini

Dulu aku gembong becak…

 

Sumber Foto dari Ki Aris Hasyim dan Taufiqurrohman
Sumber Foto dari Ki Aris Hasyim dan Taufiqurrohman

Mei 05, 2014

Calistung Tak Perlu Diajarkan di TK

Dimuat di Majalah Salam Damai edisi Mei 2014

Para pakar pendidikan menganjurkan agar membaca, menulis, dan berhitung atau disingkat 'calistung' tidak diajarkan di TK. Karena masa kanak-kanak ialah saat untuk bermain. Demikian ucapan Chris Subagya dalam pembukaan workshop 'Bermain dengan Calistung, Tips Mendampingi Anak agar Kreatif dan Mandiri' di ruang Kepodang, Penerbit PT. Kanisius, Jln. Cempaka No. 9 Deresan, Yogyakarta pada Sabtu (1/2).

Lebih lanjut ketua bidang kependidikan umum PT Kanisius ini mengatakan, "Tapi realitas di lapangan masyarakat justru menuntut begitu lulus TK anak harus bisa calistung. Kalau ada TK yang murid-muridnya tak bisa Calistung jadi tak laku.”

Pendapat ini diamini DR. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si., Psi, Psikolog Klinis Anak yang tampil sebagai narasumber. Konselor di Lembaga Pengembangan Diri dan Komunitas “Kemuning Kembar” tersebut merasa sedih kalau masyarakat menuntut para guru TK harus mengajarkan calistung kepada murid-muridnya.

“Padahal, proses pembelajaran semestinya mengacu pada tahap perkembangan anak. Kita perlu bersama mengedukasi masyarakat. Anak TK yang belum bisa calistung bukan berarti kurang pintar sebab setiap anak itu unik. Jangan pernah membanding-bandingkan anak yang satu dengan anak yang lain,” ujarnya.

Terakhir, narasumber Dra. Anastasia Endang Suhartini, M.Pd, mengisahkan pengalamannya sebagai praktisi pendidikan di TK Mutiara Persada.

Mei 02, 2014

Inspirasi Kreatif bagi Anak Negeri

Dimuat di Majalah Tebuireng edisi 32, April-Mei 2014 

Judul: Yoris Sebastian’s 101 Creative Notes

Penulis: Yoris Sebastian

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: IV/ April 2013

Tebal: 207 halaman

ISBN: 978-979-22-9114-8

“Membuat sesuatu untuk mengalahkan orang lain? Bagi saya era tersebut sudah berakhir!” – Yoris Sebastian (halaman 23).

Begitulah tesis dasar penulis buku ini. Peraih penghargaan International Young Creative Entrepreneur of the Year Awards 2006 dari British Council di London tersebut berpendapat sekarang ialah zaman kolaborasi. Artinya, tak lagi relevan kalau sebuah proyek dimonopoli oleh segelintir orang.

Penerima penghargaan dari Markplus untuk program musik mingguan I Like Monday di Hard Rock Café itu keranjingan membuat sesuatu yang baru karena ingin menghasilkan karya. Ia tak pernah membuat sesuatu yang kreatif hanya untuk naik gaji atau mendapat bonus dari bos.

Prinsip tersebut kian terpancang kokoh tatkala ia membaca buku Drive. Di sana terungkap hasil penelitian mutakhir Daniel H. Pink.  Iming-iming berupa gaji bagi seseorang atau kelompok tertentu hanya efektif untuk pekerjaan yang tak perlu berpikir kreatif. Sebaliknya, untuk pekerjaan yang berhubungan dengan kreativitas, uang justru menghambat proses kreatif itu sendiri. Intinya, visi memang lebih penting ketimbang materi.

Lazimnya, seorang yang kreatif  memiliki wawasan luas (a broad perspective). Alhasil, karya-karya yang dihasilkan tak hanya berbeda tapi juga bermanfaat (migunani) bagi orang banyak termasuk diri sendiri.

Tidak ada salahnya mengasah kreativitas dalam segala lini. Caranya dengan rajin membaca buku filsafat, antropologi, dan aneka bidang ilmu lainnya. TCDC (Thailand Creative and Design Centre)  mempunyai perpustakaan yang tak melulu berisi buku tentang desain, branding, dan marketing, tapi juga buku filsafat dan religi. Semboyan mereka unik, “Dance with your imagination and change your life (menarilah dengan imaginasimu dan ubah hidupmu)…” (halaman 51).

Lewat buku ini, pemenang Indonesian Young Marketers Awards 2003 dari Indonesian Marketing Association tersebut juga menceritakan kebiasaan lamanya. Tatkala masih tinggal di Pulo Raya, Yoris sering naik ke atap rumah dan tiduran di sana sembari memandangi bintang. Lalu, saat tinggal di apartmen Rasuna Tower 7, ia juga suka memandangi jalanan yang sunyi dari atas lantai 7 apartemen.

Ia enggan memikirkan ide tentang proyek tertentu. Apalagi mencari jalan keluar untuk suatu masalah yang ruwet. Ia sekadar menikmati the hour of silence alias saat-saat hening. Tapi, kalau kebetulan melintas ide-ide kreatif, ya langsung ia tangkap. Caranya dengan menuliskan ide-ide baru tersebut. Tapi kalau terlalu panjang, ia akan merekam suaranya di app Audio Notes.

Kendati demikian, Yoris mengaku lebih suka menulis dengan tangan. Kenapa? Karena sewaktu-waktu mudah untuk ditelusuri kembali di kemudian hari. Kalau di gadget-nya ia membuat folder khusus, judulnya “sleeping ideas”. Kelak tatkala bertemu klien yang cocok, ide-ide tersebut tinggal dibangunkan saja. Salah satunya adalah acara “Lomba Nyontek Nasional” yang telah dipaparkan panjang lebar dalam buku Creative Junkies (2010).  

Sistematika buku ini terdiri atas 101 catatan kreatif General Manager Hard Rock Cafe termuda di Asia saat masih berusia 26 tahun itu. Mulai dari pemikiran, pengamatan, tindakan, berbagi ke orang lain, refleksi pengalaman pribadi dan tentu dipungkasi dengan doa syukur kepada Tuhan, Sang Maha Kreatif.

Judulnya sebagian besar menggunakan bahasa Inggris, antara lain “Have a Good Sleep”, “A Broad Perspective”, “Watch Inspiring Movie”, “Tenacity”, “Listen”, “Initiate Conversation”, “Less Rule – Simple Rule,” dll. Pada setiap halaman genap tersaji foto, gambar, ilustrasi, dan kalimat puitis. Sehingga tatkala sidang pembaca menikmati buku ini, niscaya otak kiri dan kanan terpuaskan semua.

Pemecah rekor MURI untuk program Destination Nowhere  2003 ini juga memaparkan pengamatan jelinya. Banyak tokoh kreatif di Indonesia dan bahkan dunia, semuanya menjalani hidup dengan bahagia. Ia menyebutnya Happynomics.

Intinya, manusia harus menomorsatukan keceriaan, nilai kedua baru aspek ekonomis. Dalam kamus hidup Yoris, uang tak pernah menjadi no. 1. Selama bekerja di majalah HAI, HRC, HaagensDazs, MTV Trax, dan sederet perusahaan terkemuka lainnya, Yoris bekerja karena memang suka dengan pekerjaannya.

Lantas, ia mengutip syair lagu dari REM yang berjudul Shiny Happy People (Out of Time Album), “Shiny happy people laughing. There is no time to cry (Orang yang ceria selalu tertawa. Tak ada waktu untuk menangis.” (halaman 183).

Orang kreatif juga harus senantiasa menjaga tubuh tetap fit. Karena kreativitas akan berkurang kalau kondisi badan sedang sakit. Bagaimana orang sakit gigi bisa berpikir secara kreatif? Oleh sebab itu, Yoris rutin berenang dan pergi fitness untuk menjaga kebugaran tubuhnya. Bahkan saat masih bekerja di HRC ada ring basket, jadi ia bisa main kapan saja.

Tiada gading yang tak retak begitupula buku ini. Penulis terlalu kentara memromosikan produk IT dari sebuah pabrikan. Karena ia memang menulis dengan gadget tersebut. Dalam beberapa halaman Yoris tampak memaparkan aneka kelebihan dan aplikasi. Tak pelak timbul kesan di benak pembaca bahwa ia sedang berjualan merek dagang tertentu.

Terlepas dari kelemahan minor tersebut, buku setebal 207 halaman yang telah mengalami cetak ulang keempat ini kaya inspirasi kreatif bagi segenap anak negeri. Sebab senada dengan petuah Michael Yanover, “Kreativitas lahir dari rahim kebebasan. Bebaskan pikiranmu, ketika kita memberi kebebasan, kita niscaya jadi lebih kreatif.”  Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta. Tinggal di Kampung Nyutran)

 

April 26, 2014

Menghindari Jebakan Ranjau (Menulis) Biografi

Dimuat di Dunia Pustaka, Tribun Jogja, Minggu/27 April 2014
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi

Judul: Ranjau Biografi
Penulis: Pepih Nugraha
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: 1/Oktober 2013
Tebal : xxii + 178 halaman
ISBN: 978-602-7888-77-7
Harga: Rp 38.000,-

Saat ini hampir semua koran dan majalah memiliki rubrik sosok. Rubrik "Sosok" di harian Kompas misalnya, biasa tampil di halaman 16. Sejak Kompas berganti wajah pada 28 Juni 1985, banyak tokoh telah dimuat di sana. Tidak mesti orang terkenal, tapi yang penting biografi singkat mereka memberi inspirasi segar bagi pembaca. Mulai dari nilai kreativitas, orisinalitas, keberhasilan, hingga keunikan orang yang bersangkutan.

Di bagian pendahuluan buku ini, Pepih Nugraha menjelaskan bahwa rubrik "Sosok" menjadi eksklusif karena khusus memuat orang-orang berprestasi atau orang yang mampu menggerakkan orang lain. Bagi wartawan penulisnya, inilah lahan paling demokratis yang terbuka bagi siapa saja. Ada semangat kompetitif konstruktif yang terbangun dengan sendirinya, karena unsur berita "menarik" (interesting) jauh lebih mengemuka dibanding berebut lahan di halaman utama sebuah media yang pasti ditempati berita-berita langsung (straight) dan terkini (update) (halaman xiii).

Kalau dalam buku sebelumnya Menulis Sosok: Secara Inspiratif, Menarik, dan Unik (Penerbit Buku Kompas, 2013), alumnus Fakultas Komunikasi Universitas Padjajaran tersebut banyak berkisah tentang apa saja yang mesti dilakukan (the do) saat menulis sebuah biografi untuk koran atau majalah, maka dalam buku Ranjau Biografi ini pria kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1964 tersebut mengulas secara terperinci sebelas "ranjau" yang mesti dihindari (the do not). Sebagian besar "ranjau" tersebut pernah ia temukan sendiri berdasarkan pengalaman empiris saat menulis sosok atau biografi singkat.

Misalnya, Cantik Sumber Inspirasi, Tetapi Menyimpan Bahaya Tersembunyi (Ranjau#5). Saat pelopor blog sosial Kompasiana tersebut menulis sosok Alexandra Kosteniuk di Kompas edisi Sabtu, 16 Maret 2002, beberapa rekan jurnalis sontak mengkritisinya. Bukan terkait kualitas atau konten tulisannya melainkan soal pilihan. Kenapa harus Alexandra Kosteniuk yang hanya meraih runner-up juara dunia? Mengapa bukan pecatur asal China, Zhu Chen yang notabebe menjadi juara dunia?

Singkat cerita, muncul asumsi kalau pertimbangannya sekadar isu seksis. Pepih dianggap hanya menulis sosok perempuan yang ia anggap cantik. Alih-alih bersikap resisten, suami Tantri Sulastri tersebut justru senang mendapat pertanyaan kristis dari koleganya. Di lingkungan redaksi Kompas memang biasa terjadi dinamika semacam itu dan sudah dianggap sebagai bagian dari pekerjaan yang wajar. Salah satu pertimbangan Pepih menulis sosok Sasha karena ia seorang dara multitalenta. Dunia Sasha bukan catur semata. Ia juga foto model dan penulis puisi (halaman 81).

Sistematika buku ini terdiri atas 11 bab. Setiap bab memaparkan satu "ranjau" dalam menulis sosok (feature) atau biografi singkat. Tak sekadar beretorika, ayah dua anak tersebut juga memberikan contoh tulisannya yang pernah dimuat di harian Kompas.  Pepih juga membuka interaksi lebih lanjut dengan pembaca yang berminat mendalami dunia jurnalistik lewat "sekolah menulis virtual" di http://facebook.com/pepih.nugraha atau di laman blog sosial http://kompasiana.com/pepihnugraha. Gratis dan terbuka untuk umum. Dalam konteks ini, tesis Rene Suhardono menjadi relevan, "Menulis bukan sekadar untuk merasa tahu (knowing), tapi untuk berbagi (sharing) dan berempati (caring)."

"Ranjau" berikutnya adalah Karena Masih Dianggap Bau Kencur (Ranjau#8). Menurut Pepih, selama ini rubrik Sosok Kompas terlalu didominasi oleh sosok-sosok dewasa, bahkan cenderung tua. Padahal baginya, anak-anak adalah inspirasi. "Lebih baik berpaling kepada anak-anak yang berprestasi sejak dini di tingkat dunia daripada mereka yang mungkin kebetulan meraihnya setelah dewasa (halaman 121)."

Fahma Waluya Rosmansyah (12) dan adiknya, Hania Pracika menjadi sosok orang Indonesia termuda yang pernah muncul di rubrik Sosok Kompas. Prestasi kedua tunas bangsa tersebut sangat membanggakan karena mereka tercatat sebagai pembuat aplikasi mobile paling belia di dunia. Fahma dan Hania juga pernah memenangi lomba pembuatan software Asia Pasific Information 2010 di Kuala Lumpur, Malaysia. Lomba tersebut diikuti 16 negara.

Pepih sempat menantang mereka membuat aplikasi ponsel dalam waktu lima menit. Seorang relawan, anak kelas 1 SD, meminta Fahma membuat kupu-kupu. Fahma langsung bekerja di laptopnya. Dengan software Adobe Flash, ia menggambar sebelah sayap kupu-kupu dengan tetikus, sayap satunya lagi tinggal menduplikasi sehingga tak lebih dari satu menit rancangan grafis kupu-kupu selesai. Fahma mewarnai kupu-kupu yang kelak bisa bergerak. Kurang dari empat menit animasi sudah tercipta, tinggal memasukkan suara (halaman 126).

Buku Ranjau Biografi ini sebuah referensi berharga bagi siapa saja yang hendak menulis sosok atau biografi singkat, sehingga dapat terhindar dari jebakan "ranjau". Menyitir pendapat Pepih Nugraha, "Pendekatan jurnalistik diperlukan untuk penulisan biografi daripada metode ilmiah seperti menyusun sejarah. Gunanya agar sosok atau biografi seseorang itu menjadi "hidup" sebagaimana orang menonton film." Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, guru privat bahasa Inggris, editor, dan penerjemah lepas. Tinggal di Kampung Nyutran, Jogjakarta).

April 22, 2014

Reaktualisasi Pemikiran Romo Mangun

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Selasa/22 April 2014 
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur:

Siapa tak kenal almarhum Romo Mangun? Pria bernama lengkap Y.B Mangunwijaya Pr itu  ialah Indonesian Great Thinker (pemikir besar dari Indonesia). Beliau juga seorang budayawan, penulis buku, kolumnis di berbagai media cetak, arsitek, dan imam Katolik dari ordo Praja (Pr).

Beberapa waktu lalu, guna mereaktualisasikan pemikiran Romo Mangun dalam konteks kekinian, komunitas Mangunwijayan dan Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) menggelar dialog kebangsaan bertajuk “Romo Mangun Menggugat” pada Minggu malam (9/2/2014) di Aula Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Jl. Kaliurang Km 7, Yogyakarta.

Lokasinya hanya seperlemparan batu dari Kerkop tempat jasad almarhum dikebumikan di pangkuan Ibu Pertiwi.  15 tahun silam, pada 10 Februari 1999 pejuang kemanusiaan yang rindu keadilan serta kebebasan itu mengembuskan nafas terakhir di Jakarta. Namun, warisan beliau berupa teladan nilai-nilai hidup senantiasa abadi.

Senada dengan pendapat Romo Yosep Suyatno Hadiatmojo Pr selaku Ketua Panitia. Inilah perbedaan antara warisan berupa materi dan warisan keteladanan hidup. Kalau warisan uang lama-kelamaan bisa habis. Namun, kalau warisan kebijaksanaan hidup dari almarhum Romo Mangun dapat terus berkembang jika kita gali bersama.

Warga eks Kedung Ombo, Sragen, Jawa Tengah dan Komunitas Kali Code, Yogyakarta yang pernah didampingi langsung secara intens oleh Romo Mangun juga hadir. Mereka rela duduk lesehan di aula. Menarik apa yang disampaikan Wakimin. Perwakilan warga eks Kedung Ombo, Romo Mangun itu tidak pernah membeda-bedakan agama A, B, atau C. Beliau pun siap sedia menolong masyarakat yang diintimidasi oleh pemerintah Orde Baru pada 1985-1989. Oleh sebab itu, sampai sekarang warga masih memajang foto Romo Mangun di setiap rumah. “Karena saking cintanya kami pada sang pejuang keadilan tersebut,” ujarnya.

Selain itu, pada 1979-1981, di bantaran Kali Code masih banyak berjajar rumah kumuh yang terbuat dari kardus bekas. Kalau menjelang kedatangan tamu kenegaraan ke Kota Gudeg, rumah-rumah kardus tersebut dibakar Satpol PP. Agar tak mengganggu pemandangan di sepanjang jalan. Di tengah apatisme kaum intelektual, Romo Mangun tanpa tedeng aling-aling menunjukkan keberpihakan kepada kaum miskin. Beliau tinggal bersama di tengah-tengah warga di bantaran Kali Code.

Menurut kesaksian Pendeta Bambang, jika ada petugas yang datang hendak membakar rumah-rumah kardus tersebut, Romo Mangun berkata tegas, “Bakar dulu saya!” Artinya, Romo Mangun tak hanya berkotbah di atas mimbar, tapi terjun langsung dan berjuang demi kaum marjinal.

Dari aspek sosial, ilustrasi yang disampaikan Ki Demang dari Komunitas Sunda Wiwitan menunjukkan sisi manusiawi Romo Mangun. Menurutnya, almarhum mengajari manusia agar jangan memagari rumah dengan beling (pecahan kaca). Namun, gunakanlah piring (makanan). Agar tetangga yang hendak berkunjung ke rumah merasa nyaman. Jangan seperti kebanyakan rumah-rumah di kota besar yang berpagar tinggi, dijaga satpam, dan ada tulisan: awas anjing galak! Kiranya filosofi tersebut kian menemukan relevansinya dalam konteks zaman modern dewasa ini, bukan?

Ahmad Zaenudin yang bertindak sebagai moderator diskusi turut urun rembug. Dalam pengantarnya, arsitek asal Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut memaparkan ciri-ciri bangunan ala Romo Mangun. Kalau disingkat menjadi 3 A. Yakni ayu (cantik atau indah), ayom (aman), ayem (damai dan nyaman). Bahkan di Gg. Kuwera, Yogyakarta Romo Mangun begitu telaten memanfaatkan potongan-potongan kayu ukuran 2 x 3cm. Material yang dipandang sebelah mata tetap memiliki nilai guna dan artistik. Sekecil apapun bahan yang tersisa jangan sampai dibuang percuma.

Acara malam itu juga dimeriahkan dengan aneka sajian seni dan budaya. Antara lain kelompok karawitan Santi Laras dari Turi, Yogyakarta, bhajan dari Komunitas Muda-mudi Hindu Narayana Semitri, petikan siter dan tembang Jawa dari Aris, dan pembacaan pernak-pernik kehidupan Romo Mangun oleh Nasarius Sudaryono. Dari situ tampak jelas bahwa sosok Romo Mangun dapat diterima oleh semua golongan dan lintas generasi pula.

Ramah Lingkungan

Ada sebuah kisah unik. Menurut Romo Yatno, almarhum sangat tidak setuju kalau ada areal tanah yang di-corblok. Kenapa? Karena air hujan tak bisa meresap ke dalam tanah. Alhasil, air langsung mengalir ke selokan dan kalau meluber akan menyebabkan banjir.

Romo Mangun ternyata juga suka membuat kolam ikan. Karena itu merupakan AC/pendingin alami. Kalau orang marah melihat ikan-ikan berenang-renang di kolam sontak bisa mereda tensinya. Selain itu, air kolam juga bisa untuk menyirami tanaman dan memberi kesegaran bagi lingkungan di sekitarnya.

Dari aspek teologis, tesis Kiai Muhaimin ada benarnya. Agama-agama saat ini cenderung bersifat teosentris. Sehingga nilai-nilai kemanusiaan kurang mendapatkan tempat. Bahkan hanya karena perbedaan pada aspek teologis, antar sesama manusia bisa saling ejek dan bersitegang. Dalam konteks ini, teladan kehidupan Romo Mangun dan Gus Dus tetaplah relevan. Beliau-beliau menggeser kecenderungan teosentris ke antroposentris. Bahkan tak hanya menjunjung tinggi kemanusiaan tapi juga sampai memuliakan lingkungan dan segenap titah ciptaan Tuhan.

Salah satu ilmu dari Romo Mangun ialah ngelmu selang atau paralon. Intinya, karunia Allah itu tak boleh dinikmati sendiri. Karena kalau disalurkan dan dibagikan kepada sesama bisa menyegarkan semua. Mirip seperti selang atau paralon air, kalau tersumbat bisa jebol. Tapi kalau dipakai untuk menyirami tanaman atau mengisi air kolam bisa memberi kehidupan. Selain itu, selang dan paralon juga tak pernah kering karena menjadi saluran untuk berbagi berkah.

Ada juga kisah menarik dari Anton Soedjarwo. Ia ketua Yayasan Dian Desa Jogjakarta. Pria berusia 66 tahun tersebut pernah tinggal serumah bersama Romo Mangunwijaya, Gus Dur (Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama), dan dr. Sarino (Pendiri Taman Siswa) di Bali selama beberapa hari. Karena mereka menghadiri suatu pertemuan lintas iman.

Pada malam hari seusai seminar, mereka sering berbincang-bincang santai di ruang tengah. Intinya, semua setuju kalau penyebab terjadinya konflik atas nama agama dan kepercayaan di dunia ini karena manusia terlalu mementingkan bungkus luaran. Senada dengan pendapat Anand Krishna Ph.D, padahal esensinya kan sama, yakni berbagi kehidupan dengan cinta dan kasih.

Akhir kata, seiring makin memanasnya suhu politik nasional jelang  hajatan Pemilu 2014, dialog kebangsaan dan reaktualisasi pemikiran Romo Mangun kian menemukan relevansinya. Semoga gerakan-gerakan komunal menuju perdamaian multikultural dan lintas iman (interfaith) seperti yang dicita-citakan almarhum bisa segera terwujud.

April 12, 2014

Sepatu Jadul

Cerita Anak ini dimuat Rubrik Dunia Anak, Lampung Post, Minggu/13 April 2014 

Senin pagi ini Rahmad tak bersemangat pergi ke sekolah. Apalagi ketika ia harus memakai sepatu. Walau sepatu hitam tersebut masih baru dibeli, modelnya tak sesuai dengan tren anak jaman sekarang. Teman-teman sekelasnya di SD Budi Mulia sebagian besar menggunakan sepatu hitam dengan model perekat.

Di bagian atas sepatu model terbaru biasanya ada dua lapisan. Yang satu lapis lembut sedangkan yang satu lapis kasar. Cara merekatkannya pun praktis, tinggal menyatukan lapisan kasar dan lembut.  Sehingga tak perlu repot lagi mengikatkan tali sepatu.

Kemarin Minggu Rahmad sudah minta kepada ayah. Saat beliau hendak berangkat membelikan sepatu baru tersebut untuknya. Yakni agar ayah memilihkan model sepatu terbaru yang ada perekatnya. Tapi ayah malah membelikan sepatu model kuno yang masih menggunakan tali.

“Ini sepatu jelek! Aku tak suka modelnya…” keluh Rahmad saat mengeluarkan sepasang sepatu tersebut dari dalam kardus.

Ayah hanya diam saja. Beliau tak menanggapi keluhan Rahmad tersebut. Karena sebenarnya, ayah sempat mengajak Rahmad untuk pergi ke toko bersamanya. Sehingga bisa memilih sendiri sepatu model apa yang diinginkan. Tapi Rahmad tak mau, ia lebih senang bermain game online di rumah.

Sebagai solusi, ayah mengukur kaki Rahmad. Caranya dengan menggunakan sebatang lidi. Panjang lidi tersebut sama dengan panjang telapak kaki kanan Rahmad. Ukurannya memang pas, tapi modelnya tak sesuai dengan selera Rahmad.

**

Selama berada di dalam kelas, Rahmad tak bisa berkonsentrasi mengikuti pelajaran. Ia masih merasa kecewa dengan model sepatu yang ia kenakan tersebut. Ia juga berpikiran negatif, jangan-jangan kalau teman-teman sekelas memerhatikan sepatunya yang masih menggunakan tali, mereka akan mengejeknya. Karena modelnya yang jadul (jaman dulu).

Waktu terasa bergulir begitu lambat. Tepat pukul 13.00 WIB bel tanda pelajaran berakhir  berbunyi. Rahmad menarik dan menghembuskan nafas lega karena tak ada teman yang mengomentari sepatunya.

Ia lalu bergegas memasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas. Setelah doa penutup dan bersalaman dengan Bu Guru, ia melangkah pulang ke rumah. Jarak sekolah ke tempat tinggalnya tak seberapa jauh. Kalau berjalan kaki hanya membutuhkan waktu 15 menit.

Siang itu, matahari bersinar sangat terik. Sehingga menyebabkan aspal jalanan menjadi panas.  Tapi Rahmad masih terus bersungut-sungut. Ia tak menyadari bahwa sepatu model jadul yang ia pakai saat itu telah melindungi kaki kecilnya dari sengatan aspal yang bersuhu tinggi. Ibarat wajan penggorengan, jika ada telur dadar di atas aspal pasti dalam waktu tak sampai 5 menit sudah matang.

Di tikungan terakhir sebelum sampai ke rumah, Rahmad menyaksikan satu pemandangan yang menarik perhatiannya. Ada seorang lelaki tua “berjalan” menggunakan kursi roda. Beliau tidaak memiliki sepasang kaki. Mulai dari lutut hingga telapak kakinya telah hilang. Mungkin ia pernah mengalami kecelakaan sehingga harus diamputasi. Jadi agar bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, ia harus memutarkan kedua roda dengan menggunakan tangannya.

Nah saat itu Rahmad baru mulai merenung. Ia langsung duduk di bangku taman di bawah sebuah pohon rindang. Lalu, ia merapatkan kedua kakinya dan memandangi sepatu jadul-nya dengan takzim. Rahmad menyesal sekali karena kemarin sore tak berterimakasih kepada ayah yang telah membelikan sepatu hitam tersebut. Padahal ayah sudah bekerja keras dan mengumpulkan uang.

Rahmad juga merasa menyesal karena tak mensyukuri anugerah Tuhan berupa sepasang kaki yang bisa mengantarnya kemanapun ia hendak pergi. Ia bisa melompat, berlari, dan bermain sepak bola.

Dalam hati ia bertekad, nanti sore akan minta maaf kepada ayah dan berterimakasih karena telah membelikan sepatu baru tersebut. Akhirnya, Rahmad berjalan pulang dengan langkah mantap sambil bersiul-siul gembira.

April 11, 2014

Kreativitas Mampu Bengkokkan Logika

Dimuat di Rubrik Pustaka, Bernas Jogja, Jumat/11 April 2014

Judul: Kreativitas Itu “Dipraktekin”

Penulis: Tim Wesfix

Penerbit: Grasindo

Cetakan: 1/September 2013

Tebal: x + 144 halaman

ISBN: 978-602-251-216-5

Budaya instan mengkondisikan orang ingin meraih hasil serba cepat. Padahal semua membutuhkan proses. Mustahil saat menanam padi langsung bisa menikmati sepiring nasi, bukan? Artinya, manusia memang harus taat pada kuasa sang waktu.

Sama halnya dalam melatih otot-otot kreativitas, sekadar mengetahui teori belum memadai. Di bahasa Inggris ada istilah practice makes perfect. Latihanlah yang mendekatkan orang pada kesempurnaan. Buku bersampul kuning ini memuat aneka cara untuk menjadikan kreativitas sebagai gaya hidup sehari-hari.

Misalnya, dengan memanfaatkan kanal di sosial media (sosmed). Saat seorang teman meng-update statusnya - baik lewat Facebook, Twitter, atau Path - jadikan itu ajang untuk mengasah kreativitas. Jangan hanya membubuhkan “like” (jempol). Tapi, tuliskan juga komentar lucu sehingga dapat mengundang senyum dan gelak tawa pembaca (halaman 67).

Selain itu, Tim Wesfix juga memaparkan bahwa inovasi tampak keren kalau sudah jadi. Tapi, pada awalnya sering dianggap aneh (freak).  Ada kisah unik di balik model celana 3/4 ala Michael Jordan. Ia pebasket pertama yang memopulerkan tren celana pendek yang melebihi lutut. Ternyata, Jordan  mencari cara agar tetap bisa memakai celana basket kesayangannya. Jadi, ia selalu memakai celana yang melebihi lutut sehingga celana double yang dipakai sebelumnya tidak kelihatan (halaman 50).

Sistematika buku ini terdiri atas 12 subbab. Seluruhnya mengupas serba-serbi seputar kreativitas. Mulai dari mengukur level kreatif seseorang, membangkitkan motivasi dari dalam diri, mengeksplorasi keunikan pribadi, sabar menanti masa inkubasi, hingga (checklist) daftar untuk mengabadikan temuan terbaru. Yakni, dengan meminta pembaca menuliskan 10 inovasi mutakhir pada 1.000 tahun ke depan.

Selanjutnya, ada juga analisis menarik terkait mekanisme kerja otak manusia. Ternyata, saat seseorang memaksa dirinya sendiri untuk menghasilkan sesuatu, alam bawah sadarnya justru mengalami kemacetan berpikir (mental block). Alhasil, semua usahanya sia-sia. Ia tak mampu menciptakan apapun.

Artinya, ketika otak tahu bahwa tuannya terlalu over alias berlebihan (dan itu berarti melenceng dari apa yang alami dan diyakini baik bagi dirinya) otak segera memerintahkan untuk berhenti berpikir. Menyikapi kondisi macet (stuck) semacam itu, petuah Paul Alen menemukan relevansinya, “Tidak perlu terlalu pusing dengan produktivitas. Fokuslah pada pertanyaan, apakah aku sudah memiliki tujuan jelas?”

Inilah yang disebut living purposely (halaman 105). Salah satu resep mujarab untuk memiliki tujuan hidup  yang jelas ialah dengan menuliskan obituari (pidato kematian). Riwayat hidup semacam apa yang mau diwariskan pada anak-cucu dan generasi selanjutnya? Lazimnya, para tokoh besar telah menyiapkan obituari jauh hari sebelum mereka meninggal dunia. Bukan karena mereka bosan hidup,  tapi untuk merangsang antusiasme.

Obituary juga dapat mendekatkan seseorang dengan pedalaman seluk-beluk batinnya. Manusia jadi lebih mengenal dirinya sendiri. Mengetahui apa cita-citanya dan makna kehadirannya bagi sesama makhluk ciptaan Tuhan. Monggo, silakan berimajinasi sebebas mungkin saat menyusun obituari, tapi yang terpenting jangan lupa untuk mewujudkannya selama nafas masih dikandung badan.

Lalu, penulis merekomendasikan model belajar ala anak kecil.  Mereka bisa sangat terperinci melukiskan apa yang baru saja dilihat. Dari detail yang dicermati dengan penuh rasa takjub tersebut, para pekerja kreatif juga dapat menimba inspirasi segar. Alhasil, ia tidak sekadar mencipta secara mekanis tapi juga bisa menangkap spiritnya.

Keunggulan buku Kreativitas Itu “Dipraktekin” terletak pada pilihan gaya bahasa. Pembahasan di dalamnya singkat, padat, dan jelas. Tampilannya juga full color (penuh warna-warni) cerah. Daya visualisasi pembaca niscaya terstimuli setiap kali membolak-balik halamannya. Namun, kritik pedas perlu dilayangkan untuk tim editor. Sebab, acapkali dijumpai kesalahan ketik. Hal ini sedikit mengganggu kenikmatan membaca.

Terlepas dari kelemahan minor tersebut, buku setebal 144 halaman ini sebuah referensi berharga. Karena dapat menjadi sarana untuk membengkokkan logika yang kaku. Menyitir tesis Picasso, “Musuh utama kreativitas ialah terlalu berpikir rasional.” Selamat membaca dan salam kreatif!

April 10, 2014

UN, Siapa Takut?

Dimuat di Opini Publik, Radar Surabaya, Jumat/11 April 2014

Tidak lama lagi siswa-siswi SMA dan SMP akan menghadapi Ujian Nasional (UN). Dalam konteks ini, persiapan (preparation) menjadi kunci utama untuk bisa sukses UN. Salah satu yang harus disiapkan ialah faktor mental anak didik.

Dalam acara pembekalan di SMP Kanisius Sleman, Yogyakarta, Romo Mintara Sufiyanta, SJ pernah menekankan pentingya perubahan cara pandang (paradigm shift) dalam diri para siswa. Intinya, tak perlu takut pada UN. "Ujianlah yang harus takut pada kalian,” tandasnya.

Selain itu, penting dipahami bahwa UNAS hanya salah satu simpul dalam peziarahan hidup seorang anak manusia. Jadi, semua ini pasti berlalu. Yang penting tetap belajar seperti biasa. Setiap hari luangkan waktu tambahan minimal 2 jam dari pukul 19.00-21.00 WIB. Meski demikian, doa dan tafakur juga diperlukan. Sehingga semangat dan ketenangan batin tetap terjaga. Senada dengan pepatah Latin, Ora et Labora.

Valentino Rossi bisa dijadikan teladan bagi para siswa. Juara dunia motor GP (Grand Prix) tersebut mengatakan bahwa naik ke podium hanyalah tambahan (bonus). Ini konsekuensi logis dari latihan yang dilakukannya setiap hari.

Akhir kata, sikap yakin, tenang, terus belajar dengan gembira niscaya memungkinkan setiap siswa untuk lolos UN. Di atas segalanya, pendidikan bukan sekadar untuk meraih angka (score), tapi lebih sebagai internalisasi nilai-nilai keutamaan (virtue value). Oleh sebab itu, kejujuran tetap harus dijunjung tinggi.