Agustus 25, 2010

Kreatif Mendidik Anak

Dimuat di Pontianak Pos, Sabtu/15 Januari 2011

Judul Buku: The Leader in Me, Kisah Sukses Sekolah dan Pendidik Menggali Potensi Terbesar Setiap Anak

Penulis: Stephen R. Covey
Alih Bahasa: Fairano Ilyas
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, 2009
Tebal: xxxi +294 halaman

Dimuat di Pontianak Post, Sabtu/15 Januari 2011

"Makhluk liar yang saya kenal dua minggu lalu telah berubah menjadi anak lembut. Ia duduk di samping saya saat saya menulis jurnal ini, wajahnya tenang dan bahagia…Kini menjadi tugas menyenangkan sayalah untuk mengarahkan dan membentuk kecerdasannya yang indah yang mulai menggugah jiwanya.” (Anne Sullivan Macy, Gurunya Hellen Keller, hlm 241)

Stephen R. Covey terkenal karena buku bestseller “The 7 Habits of Highly Effective People.” Bahkan majalah Times mengukuhkan Covey sebagai salah satu tokoh terbesar Amerika. Dalam buku “The Leader in Me” Covey mengisahkan ihwal proses pembelajaran di sekolah dasar A.B. Combs. SD tersebut terletak di North Carolina USA.

Dibandingkan SD lain di kota tersebut A.B Combs tergolong sekolah yang relatif sederhana. Kendati demikian A.B. Combs tetap menjadi SD favorit. Para orang tua berlomba untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sana. Situasi ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di Indonesia. Sebab di sini biasanya orang tua lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang memiliki fasilitas belajar relatif mewah.

Covey memaparkan bahwa keunggulan A.B. Combs tidak terletak pada kelengkapan fasilitas, tapi pada proses pembelajarannya. Para guru di A.B. Combs memfokuskan pada pengembangan karakter anak didik (character building). Selain itu, mereka juga mengajarkan ketrampilan (skill) seputar membuat pilihan yang tepat, bergaul secara empatik, dan pengelolaan waktu (time management).

A.B. Combs merancang pembelajaran semacam itu karena melihat kondisi global abad 21 yang identik dengan perubahan cepat. Sehingga niscaya dibutuhkan manusia yang memiliki karakter unggul dan kemampuan pemecahan masalah (problem solving). Misalnya pada bagian ke-10 berjudul, “Membawanya Pulang,” Hardin Engelhardt, orang tua salah satu murid menulis e-mail, “…hari ini ialah hari kedua putri saya bersekolah di Combs. Ia duduk di kelas tiga. Ketika kami tiba di rumah, ia dan saudaranya mulai bertengkar. Setelah kurang dari sepuluh detik putri saya berkata, “Saya tak mau bertengkar denganmu. Saya ingin proaktif, tidak reaktif. Kita dapat mencari solusi sama-sama menang. “ Kami sangat bahagia berada di Combs dan menjadi bagian dari sebuah program yang menakjubkan yang telah Anda dirikan di sana. Terima kasih!.”

Keistimewaan lain dari buku ini ialah pemuatan foto-foto kegiatan para murid di A.B Combs. Misalnya foto Walter Vozzo yang tengah berpidato di depan 140 pengunjung dewasa (halaman 101). Memang menurut para pengunjung di sana, yang mencolok dari karakter siswa ialah kepercayaan diri, khususnya tatkala mereka berdiri dan berpidato di hadapan hadirin dewasa.

Buku ini bisa menjadi sarana refleksi bagi para orang tua murid dan segenap civitas akademika dari level play groups, PAUD, SD bahkan sampai tingkat Perguruan Tinggi. Menyitir Covey, “…orang muda masa kini mungkin tidak siap memimpin korporat multinasional saat mereka baru tamat kuliah, tapi mereka sedikitnya mampu membuat keputusan kehidupan dasar secara efektif, merasa diri bernilai, berjalan dengan rasa percaya diri, dan bermimpi.” Selamat membaca!

Agustus 12, 2010

Meneladan Karakter Mulia


Judul buku: Character is Destiny, Karakter-karakter yang Menggugah Dunia
Penulis: John McCain dan Mark Salter
Penerjemah: T. Harmaya
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, Februari 2009
Tebal: xix + 435 halaman

Salah seorang penulis buku ini, John McCain ialah Senator Amerika Serikat yang menjadi pesaing tangguh Barack Obama dalam Pilpres USA tahun lalu. Selain berkecimpung pada ranah politik, ternyata Purnawirawan Angkatan Laut (AL) tersebut juga piawai menulis. Tandemnya dalam merampungkan buku setebal 435 halaman ialah Mark Salter, pengarang buku-buku laris: Why Courage Matter (Pentingnya Keberanian), Faith of My Father (Keyakinan Ayah Saya), dan Worth the Fighting For (Nilai sebuah Perjuangan).

Buku ini memuat 34 kisah tokoh besar kaliber dunia. Secara struktural terbagi atas 7 bab. Masing-masing bagian mengupas sebuah nilai keutamaan. Misalnya pada bab 3: Kekuatan (hlm. 121-185), kualitas tersebut tercermin dalam diri seorang tokoh, antara lain keberanian (Edith Cavell), pengendalian diri (George Washington), kepercayaan diri (Elizabeth 1), fleksibilitas/kelenturan (Abraham Lincoln), kerja keras (Eric Hoffer) dan keyakinan/penuh harapan (John Winthrop).

Silakan membuka buku ini secara acak, niscaya Anda tetap menemukan pelajaran hidup yang berharga. Bukan berupa serangkaian kotbah langitan, tapi pengalaman hidup yang begitu membumi. Tiap lembarnya mengungkap secara jujur dan luwes lika-liku perjalanan para tokoh jempolan. Lengkap dengan suka-duka yang mengiringi sepanjang perlintasan sejarah hidupnya.

Misal kisah dramatis Mark Twain (hlm. 307-324). Seorang penulis yang bernama asli Samuel Langhorne Clemens. Saat itu belum ada komputer ataupun laptop yang terhubung dengan akses internet nirkabel. Tapi pemuda berbakat tersebut tak sudi menyerah pada nasib, ia begitu tekun bekerja di lantai bawah tanah, gelap dan tanpa perabot mewah untuk menciptakan sebuah masterpiece alias karya sastra terbesar pada abad ke-19. Novel pertamanya berjudul The Adventure of Huckeberry Finn (1984).

Yang tak kalah menarik ialah kisah perjuangan tanpa kekerasan (non-violence) seorang wanita "reinkarnasi" Mahatma Gandhi asal Burma bernama Aung San Suu Kyi. Dahulu ia merupakan istri Michael Aris, seorang pengajar terkemuka di Oxford University. Tapi Ibu 2 anak tersebut memilih kembali ke tanah airnya untuk membebaskan rakyat Myanmar dari cengkraman Junta Militer pimpinan Jenderal Ne Win. Pada tahun 1999 Sang suami meninggal dunia akibat kanker, Suu Kyi berduka seorang diri di tahanan rumahnya, karena tak diijinkan melangkahkan kaki ke luar rumah, apalagi ke luar negri.

John McCain pernah mengunjungi “sangkar emas” yang dibuat oleh rezim penindas untuk membatasi ruang gerak Sang Srikandi. Berikut ini petikan wawancarannya, “Bagaimana Anda menghadapi mereka?” tanya McCain. Sebagai gambaran kontekstual Myanmar, kebrutalan dan kekerasan merajarela, sekelompok Jendral menyandera seluruh hajat hidup rakyat demi kepentingan egoistik mereka. Peraih Nobel Perdamaian (1991) itu menjawab sembari menuangkan secangkir teh, “Ya, sama seperti saya bicara dengan Anda, dengan beradab. Saya menyebut mereka dengan panggilan “Paman”.” (hlm. 327, Kesantunan)

Ada juga kisah keberhasilan seorang atlet bernama Wilma Rudolph. Ia ialah juara lari estafet 400 m pada Olimpiade tahun 1960. Padahal saat kecil ia mengidap polio. Tungkai kaki kirinya memuntir ke satu sisi. Bahkan para dokter mengatakan bahwa ia tidak akan bisa berjalan lagi. Tapi semangatnya tak pernah pudar, apalagi ia didukung oleh keluarga, terutama Sang Ibu. Setiap Sabtu, mereka pergi 2 jam bolak-balik ke Sekolah Kedokteran di Nashville untuk terapi panas dan pijat. Perlahan tapi pasti kondisinya kian membaik.

Wilma memberikan 4 tips agar menjadi unggul dalam sebuah cabang olahraga ataupun bidang kehidupan lainnya, yakni ketrampilan, fokus, tekad pantang menyerah, dan cinta (hlm. 405). Ada satu kebiasaan unik darinya, ketika para pelari melakukan peregangan otot di lapangan pada menit-menit akhir menjelang pertandingan, Wilma justru tiduran di ruang ganti. Sebab, ia telah mempersiapkan segalanya sebelumnya jauh-hauh hari. Sehingga ia relatif lebih tenang dan percaya diri; sesaat setelah rekan setimnya membangunkannnya, ia siap bertanding dan menjadi juara.

Ibarat menemukan oase di padang gersang, membaca buku ini niscaya menjadi sebuah pengalaman menyegarkan. Kita bisa belajar dari pengalaman orang lain. Terutama dari karakter-karakter mulia yang telah mengubah alur sejarah. Kelemahan buku ini kiranya ialah mayoritas tokoh berasal dari luar negeri, sehingga kita merasa sedikit kurang akrab. Alangkah indahnya bila suatu saat, ada seorang penulis lokal yang mengggali kehidupan para tokoh nasional kita yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan meramunya dalam sebuah buku seperti ini. Selamat membaca!

Sumber: http://www.gramedia.com/wacana.asp?id=100104100000

Agustus 10, 2010

Membaca Kisah Oeroeg

Dimuat di Pontianak Post, Sabtu/22 Januari 2011

Judul: Oeroeg
Penulis: Hella S. Haasse
Alih Bahasa: Indira Ismail
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, Oktober 2009
Tebal: 144 halaman

”....lebih tinggi atau lebih rendah karena warna kulit wajahmu atau karena siapa ayahmu – itu omong kosong. Oeoroeg kawanmu, kan? Kalau memang ia kawanmu – bagaimana bisa ia lebih rendah dibanding kau atau yang lain?” (Halaman 64)

Begitulah cara Hella S. Haasse menyampaikan ide besar egalitarian lewat roman ini. Hella dilahirkan di Batavia (Jakarta) pada 2 Februari 1918. Ia seorang penulis kondang, para penggemar memberinya gelar Grand Old Lady of Dutch Literature (Sastrawati Senior Hebat Belanda). Bahkan pada tahun 2007 Penerbit Querido mendedikasikan museum khusus. Di dalamnya tersimpan arsip buku, riwayat hidup, dan sederet penghargaan sastra (http://nl.wikipedia.org/wiki/Hella_S._Haasse).

Buah karyanya berupa novel sejarah, esai, otobiografi, dan cerita pendek. "Oeroeg" berlatar belakang Hindia-Belanda (Indonesia). Tepatnya di perkebunan teh di daerah Sukabumi. Roman yang ditulis pada tahun 1948 ini melukiskan lika-liku persahabatan seorang sinyo Belanda dengan anak pribumi asli.

Usia mereka hanya terpaut beberapa minggu. Ibunda tokoh ”Aku” dan Sidris (Ibunya Oeroeg) begitu kompak, "...mereka duduk di serambi belakang sambil menjahit dan berbincang akrab tentang pengalaman, ketakutan, dan keinginan... Meskipun mereka memandang dunia ini dengan cara masing-masing, serta tak lancar berbincang dalam bahasa satu sama lain, keajaiban yang sama menggelembung di balik rok ibuku dan sarung Sidris, di rahim keduanya." (Halaman 7). Rok dan sarung menjadi simbol perbedaan 2 budaya (Eropa dan Nusantara). Kendati demikian, itu tak menjadi penghalang bagi interaksi para calon Ibu tersebut.

Tokoh ”Aku” acap kali mengkritisi perlakuan diskrminatif terhadap Oereog. Misal, saat mereka menginjak usia sekolah, si ”Aku” belajar secara private dari Mijnheer Bollineger, seorang guru bahasa Belanda. Sedangkan Oeroeg bernasib malang, ia hanya boleh menyimak dari kejauhan.

Untungnya, Oeroeg bisa bersekolah sampai tingkat MULO (setara dengan SMP). Ia dibiayai oleh Administrateur. Sebagai balas budi terhadap jasa almarhum ayahnya. Deppoh menyelamatkan tokoh ”Aku” saat hampir tenggelam di Telaga Hideung.

Setamat dari MULO Oeroeg melanjutkan studi ke Nederlands Indische Artsenschool di Surabaya. Lida (walinya yang berkebangsaan Belanda) mendampingi hingga (kelak) ia menjadi seorang dokter.

Ibarat kacang lupa kulitnya, lenyap pula segala sifat Oeroeg yang mencerminkan jati dirinya sebagai anak desa. Ia lebih suka berbahasa Belanda, selera berpakainnya pun menjadi ”kebarat-baratan.” Peci tak lagi menghiasi kepala, rambutnya dibiarkan menebal dan klimis berminyak. Bahkan ia tak mau lagi mengunjungi keluarganya di Sukabumi. Oeroeg melakukan segala cara untuk menjadi Indo Eropa. Begitu besar obsesinya menjadi wong liyan (the others).

Persahabatan ”Aku” dan Oeroeg mulai retak tatkala Abdulah hadir di tengah mereka. Pria keturunan Arab tersebut menyadarkan Oereog akan kesewenang-wenangan sikap Belanda terhadap rakyat pribumi. Misal, saat menonton film layar tancap, kenapa kaum inlander musti duduk di balik layar? Sehingga semua tulisan terjemahan terpaksa dibaca secara terbalik.

Perjalanan hidup ”Oeroeg” ibarat pendulum/bandul. Ia bergerak dari satu ekstrim ke kutub lain. Hingga akhirnya mencapai titik keseimbangan. Roman ini memakai sudut pandang orang pertama tokoh ”Aku”. Alur ceritanya mengalir lembut, pilihan bahasanya juga pas, dan bagian penutup (ending)nya mengejutkan. Selamat membaca!

Sumber: http://hiburan.kompasiana.com/group/buku/2010/08/12/bandul-kehidupan-oeroeg/

Mengapresiasi Bung Karno

Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 29 Agustus 2010

Judul: Bung Karno di antara Saksi dan Peristiwa
Penulis: Kumpulan Tulisan
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: 1, Maret 2009
Tebal: vi + 178 halaman
ISBN: 978-979-709-409-6

“Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan...” (Bung Karno)

Tahukah Anda bahwa suara Bung Karno tatkala membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia bukanlah rekaman langsung (live)? Melainkan direkam kemudian oleh Jusup Ronodipuro di kantor beliau pada tahun 1950. Rekaman itulah yang kita dengar jelang peringatan detik-detik proklamasi. St Sularto menyelipkan secuil fakta sejarah tersebut dalam artikel "Hari Konstitusi" (hal 100-107).

Persatuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan perdamaian dunia menjadi cita-cita Putra Sang Fajar. Pasca merebut kemerdekaan RI, Bung Karno bersama U Nu dari Burma, Gamal Abdul Nasser dari Mesir, dan Jawaharlal Nehru dari India membentuk gerakan nonblok. Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955 menjadi tonggak kebangkitan negara-negara dunia ketiga. Terobosan progresif tersebut membuat lawan-lawan politik Bung Karno kalang-kabut. Yakni mereka yang selama ini menarik keuntungan dari perang, perlombaan senjata, dan dikotomi 2 blok besar dunia.

Majalah Time (Edisi Asia, 16 Agustus 1999) memilih Ir. Soekarno sebagai salah satu dari 20 tokoh Asia paling berpengaruh di abad ke-20. Budiarto Shambazy menceritakannya secara lebih rinci dalam artikel "Versi "Time" Bung Karno Tokoh Paling Top" (hlm. 54-57). Setiap tahun masyarakat menghadiri perayaan haul Bung Karno. Makamnya di Blitar - walau sudah dijauhkan dari pusat kekuasaan di Ibukota - tetap saja dibanjiri para peziarah.

Fakta menarik lainnya ialah sepak terjang Joseph Burholder Smint, Deputi Ketua FE/5 dari Direktorat Perencanaan Central Intelligence Agency (CIA). Ia pernah merancang aksi spionase untuk mencemarkan nama baik Soekarno. Caranya dengan membuat film biru berjudul Happy Days. Untungnya, upaya licik tersebut mengalami kegagalam karena mereka kesulitan menemukan aktor yang benar-benar mirip Bung Karno. Trias Kuncahyono mengulasnya dalam artikel "Skandal Ames, antara CIA dan Bung Karno" (hlm. 85-90).

Di balik kesuksesan tokoh besar dunia selalu ada kontribusi rakyat kecil (wong cilik) yang mengabdi dengan penuh loyalitas. Kisah kehidupan Riwu Ga sungguh inspiratif. Pria asal Flores itu berjumpa Bung Karno di Ende pada tahun 1934. Saat itu Riwu baru berumur 18 tahun. Sesudah pertemuan tersebut ia ibarat menjadi bayangan Bung Karno. Saat penahanan Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu pada tahun 1936 ia pun turut serta. Bahkan saat masih menikah dengan Ibu Inggit, Bung Karno meminta Riwu tidur di depan pintu di dalam kamar mereka.

Uniknya, Riwu menyimpan rapat-rapat petualangannya itu. Keluarganya pun tak mengetahui bila tidak membaca buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" karya Cindy Adam karena di situ nama Riwu Ga disebut-sebut. Pepatah Kejawen mengatakan, "Ambeg utama, andhap asor." Jadilah yang pertama, tapi jangan pernah pamer. Riwu ialah orang pertama yang didaulat Bung Karno untuk menyebarluaskan berita proklamasi kepada khalayak ramai. Anwar Hudijono mengisahkannya dalam artikel "Riwu Ga, Terompet Proklamasi Bung Karno" (hlm 24-30).

Riwu melambai-lambaikan bendera merah putih di atas jip terbuka, seraya berteriak menggunakan megafon di sepanjang jalanan Ibukota. Resiko ditembak kempetai (mata-mata Jepang) tak menyurutkan nyalinya. Ironisnya, Riwu Ga - hingga akhir hayat tepat pada tanggal 17 Agustus 1996 - tak pernah sekalipun diundang untuk memperingati upacara kenegaraan HUT kemerdekaan RI oleh para pejabat di kecamatan, apalagi provinsi.

Buku ini sebuah apresiasi kecil terhadap perjuangan Bung Karno. Terlepas dari segala kelemahan manusiawi beliau. Kontribusinya begitu besar bagi Ibu Pertiwi. Para politisi, akademisi, pemuka masyarakat, tokoh agama, dan warga negara biasa perlu menimba ilmu dari bapa pendiri bangsa (the founding father) tersebut. Terngiang pesan Sang Penyambung Lidah Rakyat, “Apakah Kelemahan kita? Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong!” (Pidato HUT Proklamasi, 1966).

Sumber:http://hiburan.kompasiana.com/group/buku/2010/08/12/mengapresiasi-bung-karno/