Oktober 27, 2010

Mengabadikan (Almarhum) Mbah Maridjan

Dimuat di Pontianak Post, Rabu 3 November 2010
"Walaupun aku diremukkan sampai jadi abu, aku akan memelukmu dengan abuku.”- Liu Xiaobo (Pemenang Nobel Perdamaian 2010)

Begitulah janji Liu kepada istri tercinta Liu Xia. Semangat aktivis prodemokrasi China tersebut sefrekuensi dengan pengabdian Mbah Maridjan. Walau nyawa menjadi taruhan dan hanya bergaji Rp 20.000/bulan beliau memegang teguh sumpah setia sebagai abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sang Juru Kunci tak meninggalkan tanggungjawabnya menjaga Gunung Merapi hingga hembusan nafas terakhir.

Mbah Maridjan ibarat nahkoda kapal Titanic yang tenggelam ke dasar samudera bersama kapal dan para penumpangnya. Pada hari Rabu dinihari (27/10/2010) tim SAR menemukan jenasah Raden Ngabehi Surakso Hargo di salah satu kamar rumah mungilnya. Dalam posisi bersujud, mengenakan kain sarung dan kemeja batik. 15 jasad warga dan seorang wartawan juga ditemukan di sekitar lokasi tersebut. Semuanya mengalami luka bakar yang parah.

Ironisnya, ada opini yang memojokkan Mbah Maridjan. Bahkan tega menyebarkan foto kuil jiwanya yang hangus terbakar lewat internet. Sebab beliau dituduh ngeyel (keras kepala) tak mau meninggalkan kediamannya yang notabene hanya berjarak 5 km dari puncak Merapi. Padahal status Merapi sudah dinaikkan dari “siaga” menjadi “awas” oleh Badan Vulkanologi terhitung sejak hari Senin jam 06.00 WIB (25/10/2010). Seolah secara tidak langsung, beliau dianggap telah menyebabkan banyak korban berjatuhan.

Sebagai tokoh masyarakat Mbah Maridjan memang di-gugu dan di-tiru oleh warga setempat. Tapi beliau sudah memperingatkan sebelumnya, “Saya minta warga untuk menuruti perintah dari pemerintah, mau mengungsi ya monggo…” (Kedaulatan Rakyat, 26/10/2010). Saat itu, sebagian besar warga enggan mengungsi karena khawatir akan kehilangan nafkahnya. Tanaman di ladang dan hewan ternak di kandang merupakan sumber penghidupan mereka selama ini. Apakah pemerintah dan aparat setempat berani menjamin keamanan aset-aset tersebut?

Diperparah lagi dengan kondisi di penampungan yang begitu memprihatinkan. Seorang kawan relawan di Muntilan mengabarkan bahwa mereka kesulitan memperoleh masker. Kalaupun ada mereka harus membeli dengan harga @Rp 2.000. Sedangkan teman lain di Srumbung mengisahkan betapa tragisnya para bayi dan balita tidur tanpa selimut di tengah malam yang dingin. Apakah Yth. Presiden RI yang - saat tulisan ini dibuat pada tanggal 27 Oktober 2010 - sedang berada di China dan anggota DPR yang “piknik” ke Yunani mengetahui kondisi riil rakyatnya yang sedang dilanda bencana, baik di Merapi maupun di Mentawai (MM)?

Secara lebih mendalam, kita perlu memahami konteks historis dan kultural Sang Juru Kunci Merapi. Mbah Maridjan dilahirkan pada tahun 1927 (berarti beliau tutup usia pada 83 tahun) di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Amanah menjadi abdi dalem diperoleh langsung dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1982. Sebelumnya, ayahanda beliau, Mbah Hargo yang menjadi Juru Kunci sejak tahun 1970.

Gelar dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat bagi Mbah Marijan ialah Mas Penewu. Itu berarti beliau berhak memimpin prosesi Labuhan untuk memanjatkan doa dan mempersembahkan sesajen kepada Eyang Petruk. Salah satu tokoh Punakawan yang diyakini sebagai sing mbaurekso alias penunggu gunung Merapi. Sekaligus sosok magis pengayom masyarakat yang berdiam di kawasan lereng gunung berapi teraktif di dunia tersebut.

Ini sama sekali bukan klenik, melainkan kearifan lokal yang telah diyakini secara turun-temurun oleh leluhur kita. Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memang bisa ditarik satu garis imaginer. Dari Puncak Merapi, Monumen Tugu Yogyakarta, Siti Hinggil Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Panggung Krapyak, hingga ke Segoro Kidul di pantai Parang Tritis. Artinya, kesatuan antara Gusti Pangeran dan para kawulo alit. Dalam tradisi Kejawen disebut, “Manunggaling kawulo lan Gusti.”

Sejak Merapi meletus pada tahun 2006. Mbah Maridjan semakin terkenal dan terpilih sebagai bintang iklan salah satu produk minuman. Tapi bukan itu yang membuat beliau dihormati dan dicintai. Baik oleh masyarakat Yogyakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dedikasi Mbah Maridjan terhadap nilai yang ia yakini itulah sumber kekuatan beliau. Loyal setia seteguh batu karang walau berada di tengah marabahaya sekalipun.

Tubuh renta itu musti berhadapan dengan gunung Merapi yang menjulang setinggi 2.914 meter. Siap memuntahkan lahar bersuhu 1000 derajat Celcius dan wedhus gembel (awan panas) berkecepatan luncur 200 km/jam. Tapi beliau tidak bergeming sedikitpun. Kematian Mbah Maridjan juga bisa menjadi preseden buruk bagi Pemerintah Pusat. Yang tak kunjung mengesahkan UU Keistimewaan DIY. Mbah Maridjan bisa jadi mau turun gunung bila yang menginstruksikan secara de facto Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X, bukan sekedar de yure Gubernur DIY.

Tanggung jawab menjalankan amanah yang diberikan sampai titik darah penghabisan. Inilah nilai abadi yang diwariskan kepada segenap anak bangsa dari Sabang sampai Merauke oleh Almarhum tercinta. Adakah mentalitas semacam itu dalam diri para pemimpin kita, wakil rakyat, pejabat publik, para pengusaha dan last but not least diri kita sendiri?

Mari sejenak kita menundukkan kepala dan memanjatkan sebait doa, “Selamat jalan Mbah Maridjan, kami berterimakasih atas teladan nyata kisah hidupmu. Selamat beristirahat dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Tugas kami kini untuk melanjutkan perjuangan para bapa bangsa dan leluhur kita. Tetap setia pada nilai kebhinekaan NKRI dan falsafah adiluhung Pancasila. Indonesia Jaya!

Sumber Foto: http://www.google.co.id
Pertamakali dimuat di: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/28/mengabadikan-almarhum-mbah-maridjan/

Oktober 25, 2010

Wakil Rakyat, Belajarlah pada Kang Harry

Dimuat di http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010102502170067

Menurut kajian ilmu sosial dan politik, setiap kebijakan publik (public policy) musti memenuhi 4 kriteria pokok. Pertama, mampu meningkatkan kesejahteraan dari kalangan masyarakat yang menjadi target kebijakan. Kedua. diperuntukkan bagi semua golongan dari kalangan masyarakat yang menjadi target kebijakan. Ketiga, dampak yang dirasakan sama oleh semua kalangan. Keempat,tentu saja dibuat oleh pejabat publik yang berwenang. Dalam arti dipilih oleh Rakyat dan dilantik oleh Negara.

Namun fakta di lapangan berbanding terbalik. Banyak pejabat publik melanggar rambu-rambu di atas. Baik itu di level Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif. Misalnya, yang paling aktual ialah hajatan studi banding anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke Yunani.

Pertanyaan kritisnya ialah: Pertama, apakah kebijakan publik yang notabene didanai oleh uang pajak tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan wong cilik yang mereka wakili? Atau justru menciderai para konstituen di akar rumput (grass root)? Penulis berani bertaruh, pada Pemilu mendatang akan semakin banyak kader Golput (Golongan Putih).

Kedua, apakah kebijakan itu diperuntukkan bagi semua golongan dari kalangan masyarakat yang menjadi target kebijakan? Atau sekedar untuk anggota keluarga mereka di rumah? Yang tentunya menanti dengan mata berbinar oleh-oleh dari luar negeri. Ketiga, apakah dampak yang dirasakan sama oleh semua kalangan? Atau malah semakin membuat rakyat muak menyaksikan insensitifitas para elit politik. Terakhir, apakah kebijakan itu dibuat oleh pejabat publik yang berwenang? Atau sebuah bentuk nyata dari penyalahgunaan jabatan?

Dalam tradisi Kejawen, inilah yang disebut dengan mentalitas aji mumpung. Selagi masih berkuasa sedapat mungkin mencari keuntungan semaksimal mungkin untuk menutup biaya kampanye yang dahulu dikeluarkan. Agar neraca keuangan dapat segera mencapai titik BEP(Break Even Point). Syukur-syukur bila bisa memperoleh surplus selama 5 tahun masa jabatan. Sehingga kelak saat mencalonkan diri kembali telah memiliki cukup tabungan untuk biaya money politics. Inilah lingkaran setan politik nasional. Semata menjadi lahan bisnis untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Tentu tetap ada pengecualian. Masih ada negarawan yang sungguh melihat kekuasaan sebagai sarana pelayanan terhadap Nusa dan Bangsa. Secara lebih luas, menurut Anand Krishna (Self Leadership, 2004) sejatinya untuk berbhakti kepada Ibu Pertiwi, kita tak perlu memiliki jabatan terlebih dahulu. Segenap anak bangsa bisa berkontribusi bagi masa depan yang lebih cerah. Sesuai dengan kapasitas di lingkar pengaruhnya masing-masing.

Penulis mengambil satu contoh kecil saja. Yakni Kang Harry Van Jogja, seorang penarik becak asal Bantul. Ia biasa mangkal di daerah Prawirotaman Yogyakarta. Uniknya, Kang Harry “bersenjatakan” Laptop untuk mencari pelanggan di dunia maya. Dalam account Facebook-nya saat ini hampir 4.000 teman (friends). Baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan para wisnu (wisatawan nusantara) dan wisman (wisatawan mancanegara) harus memesan dulu (pre-order) lewat e-mail atau inbox FB bila hendak diantar naik becak mengelilingi kota Yogyakarta.

Perjuangan hidup Kang Harry di jalanan. Ditimpa terik matahari dan diguyur hujan tatkalamenemani para tamu menikmati keindahan Bumi Mataram bisa menjadi tamparan bagi wakil rakyat dan pejabat publik kita. Ternyata dalam mencari nafkah dan berbhakti bagi tanah tumpah darah tercinta ini tak harus dengan cara menyalahgunakan kekuasaan dan menghisap sesama anak bangsa. Masih ada seribu satu jalan yang halal, cerdas, dan elegan.

Dokumentasi dalam bentuk film dokumenter dan komik bergambar ihwal kehidupan sehari-hari Kang Harry – seorang yang notabene tanpa gelar akademis dan jabatan tertentu – tapi tetap bisa memberi warna tersendiri dalam kehidupan ini layak kita tonton, baca serta renungkan bersama. Ia mengharumkan nama Yogyakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Kebijakan publik yang melulu mensejahterakan kelompok elit tertentu jelas bukan kebijakan, melainkan pengkhianatan terhadap amanah penderitaan rakyat. Kebijakan publik yang diskriminatif Gender dan SARA juga bukan kebijakan, melainkan manipulasi kekuasaan untuk agenda politik tertentu.

Akhir kata, kebijakan publik yang efeknya hanya dapat dirasakan oleh mereka yang dekat dengan kursi kekuasaan jelas bukan kebijakan, melainkan penyalahgunaan wewenang. Pejabat publik yang hanya memikirkan citra diri bukan pemimpin sejati. Lebih baik mundur dan memberi kesempatan kepada kaum muda agar kami juga dapat belajar membuat kebijakan publik yang benar. Dalam arti sungguh berpihak kepada kepentingan Rakyat dari Sabang sampai Merauke.

Sumber Foto: http://www.facebook.com/profile.php?id=848694905&v=photos#!/photo.php?fbid=424920774905&set=a.436423709905.237696.848694905

Dimuat pertama kali di: http://politik.kompasiana.com/2010/10/24/wakil-rakyat-belajar-saja-ke-kang-harry/

Oktober 18, 2010

Daya Tarik Pertanian Organik

Pada Jumat (16/10/2010) jam 10.00-11.00 WIB serombongan turis asing dari Amerika Serikat, Nepal, Italia, Afrika Selatan, Belanda, China, Korea, Taiwan, Jepang dan beberapa negara lain mengunjungi Dusun Jering VI Sidorejo Godean Sleman. Sebuah bus wisata membawa mereka dari kota Yogyakarta dikawal mobil patroli polisi. Para wisatawan manca (wisman) tersebut hendak menyaksikan secara langsung lahan pertanian organik yang ada di sana.

Kesenian tradisional Jatilan dan hamparan sawah padi organik seluas 1 hektar menyambut kedatangan para tamu. Hajatan besar ini terselenggara atas kerjasama Balai Besar Wilayah Sungai Serayu - Opak, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM), dan Kelompok Tani Bangunrejo Kleben Sidorejo.

Para petani juga memamerkan dokumentasi foto-foto proses bercocok tanam secara alami. Dari penangkaran bibit, penyemaian, penanaman (tandur), perawatan, hingga ritual wiwit menjelang masa panen.

Menurut Purwanto, ketua Kelompok Tani Bangunrejo, didampingi seorang penerjemah bahasa Inggris, Warga desa Sidorejo memang tak lagi menggunakan pupuk pabrik selama 3 tahun terakhir. Sebab, pestisida kimia membahayakan kesehatan dan merusak kesuburan tanah.

Pupuk yang mereka gunakan diolah sendiri. Terbuat dari kotoran hewan (kohe) dan kompos tanaman seperti Jerami, Ganepo, Batang Pisang, sisa gerajen kayu, dll. Mereka meletakkannya di dalam bakul-bakul besar. Sehingga para pengunjung bisa melihat dan menyentuhnya. Walau awalnya terbuat dari kotoran tapi setelah diproses baunya tak lagi menyengat.

Untuk Pestisida Nabati terbuat dari campuran buah Majapahit, tanaman Gadung, parutan Kunir Blenyeh, daun Kleresede, dan daun Sirsak. Hasilnya, berupa cairan mirip alkohol karena sudah mengalami proses fermentasi. Sedangkan, Bakteri Prebiotik merupakan kombinasi saripati Tape Singkong, Yogurt, Gula Pasir, Tempe, dan Air Matang.

Unsur hara Nitrogen (N) terbuat dari fermentasi cacahan Daging Lele. Sedangkan, asupan Kalsium (Ca) diolah dari Cangkang Telur. Keduanya dicampur dengan Gula Merah. Lantas, kandungan Phosfat (P) diperoleh dari olahan Jantung Pisang dan Midro (Ganclong).

Tak ketinggalan aneka produk padi organik dijual sebagai cendera-mata. Para wisatawan juga bisa mencicipi nasi yang tersaji di dalam bakul-bakul kecil. Keunggulan beras organik ialah lebih pulen dan tidak cepat basi. Selain itu, tentu lebih sehat karena tak mengandung pestisida pabrik. Terakhir tapi penting, ramah lingkungan dan mengurangi dampak pemanasan global (Global Warming).

Paska revolusi hijau (Green Revolution) pada tahun 1970-an, banyak bibit padi lokal yang hilang. Sebab, kala itu pemerintah menggalakkan penggunaan bibit impor. Kelompok Tani Bangunrejo berupaya melestarikan kembali benih-benih lokal. Yang notabene lebih cocok dengan kondisi geografis setempat.

Mereka menempatkan benih-benih tersebut dalam sebuah wadah tempayan tanah liat. Kemudian dikubur di dalam abu kayu agar tidak mati. Nama-nama padi lokal yang terdapat di Desa Sidorejo antara lain:

1. Cempo Wulu Abang

2. Pandan Wangi

3. Cempo Ireng

4. Cimelati

5. Mutiara

6. Merah Putih

7. Sarinah

8. Himalaya

9. Padi Hitam

10. Merah Hati

11. Selendang Biru

12. Mekongha

13. Cempo Abang

14. Maros

15. Naga merah

16. Batang Gadis

17. Ketan Kuthuk

18. Batang Hari

19. Rojolele

20. Code

21. Cempo Ireng Wulu

22. Somali

23. Menthik Putih

24. Laka

25. Ujung Hitam

26. Lingga Wangi

27. Cigelis

28. Ketan Kuthuk

29. Cere Merah

30. Rening

31. Singkil

32. Dll

Suatu ironi, bila kita musti mengimpor beras dari luar negeri. Menurut Bert, salah satu peserta dari Belanda, sistem pertanian organik merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan(Sutainable Development).

Pria yang bekerja sebagai pengelola situs konsultan pertanian (www.duo-advies.net) itu mengatakan bahwa kini di Eropa semakin banyak orang mencari produk organik. Sebab, kesadaran akan pentingnya kesehatan dan kelestarian alam kian berkembang di sana. Suatu peluang bagi negeri yang memiliki keanekaragaman hayati dan kesuburan seperti Indonesia.

Sumber:
http://kesehatan.kompasiana.com/group/makanan/2010/10/17/daya-tarik-pertanian-organik/

Oktober 15, 2010

A Magnificent Monkey From Indonesia

Published at: http://ezinearticles.com/?A-Magnificent-Monkey-From-Indonesia&id=5177069

“Nalikane Alengka diobong,” (Once upon the time, Alengka was burned). This song is very popular in Java, especially in the sub-urban area. Hanuman is a figure from Ramayana epic. He was Rama’s ambassador. He must take back Sinta who was kidnapped by Rahwana. His appearance is almost similar like Sun Go Kong.

Hanuman’s mother is Anjana, a beautiful goddess from heaven. The father is wind god, named Bayu. Therefore, in the east he was called Bayu’s son. When he was still a baby, Hanuman has ever swollen the sun. For, its shape is like his favorite candy. Adult Hanuman is very powerful. He is able to fly crossing the ocean to save his Master’s wife. Alone this mighty monkey burned Alengka.

At page 26-27 Anand mentions a unique diagram. Showing 4 ways in finding the center in ourselves. First is Kama or strong will. Second is Artha, not only related with wealth but also with human’s life value. Third is Dharma or Rightfulness. Last but not least is Moksha or ultimate freedom.

Unfortunately, people tend to combine Kama with Artha, which are in a line. Therefore, we only have a strong will to collect money. Similar with the combination of Dharma and Moksha, we do something good only to get reward and to avoid punishment. What is our different with a donkey who just want to eat carrot and avoid stick?

The ideal meeting is in diagonal line. Meaning that we have Kama or strong will to gain Moksha or ultimate freedom, not after the death but during our life right here right now. Then, we collect wealth to be shared with the oppressed people. It’s our Dharma. In tune with John Lennon’s imagination, “Imagine all the people, sharing all the world…”

Hanuman is more than a monkey. Reading the Hanuman Factor will color our life with the same spirit.

The Hanuman Factor by Anand Krishna, reviewed by Nugroho Angkasa

First Published by Gramedia Pustaka Utama Indonesia (January 2010)

Number of Pages: 206

Oktober 13, 2010

Rhythm of Love, Peace and Harmony

Published at: http://ezinearticles.com/?Rhythm-of-Love,-Peace-and-Harmony&id=5156658

Mrs Shambana said that peace is the celebration of plurality. This insightful definition of peace was stated by that member of the Indian Parliament at the global forum "The Power of Peace through Information and Communication" hosted by UNESCO in association with the Indonesian Government (Bali, January 21st - 23rd 2007).

Voice of Indonesia is Anand Krishna's fourth book in English. The book presents three main ideas: My Nation, The World and Humanity. Anand believes that the resurgence of modern Indonesia automatically contributes to the building of Neo Humanity: One Earth-One Sky-One Humankind.

Prof. Sudjarwadi, the Rector of Gadjah Mada University Yogyakarta Indonesia shared that he has a habit of taking a morning walk with his beloved wife. One day they were passing by rice field near their home. They saw an old woman digging the ground. They were curious why she was digging the ground so early in the morning. Whether it would have been better if she kept on staying at home because it was still dark and the weather was very cold.

Sudjarwadi's wife asked her, "Excuse me, but may I know what you are doing?" The old woman straightened her back and answered, "Oh, I am making a way for water. This is for my neighbor's field. I am afraid her rice would not get enough water." What a humble woman, she dug the drainage to make a way so that the water could flow to the neighbor's filed. She left home very early to share with her neighbors. She is like a candle that sparks light in the midst of human greed that often sacrifices others.

This book also documented the interview between Michele Lee (American Journalist) and Anand Krishna (No Run-of-the-Mill Spiritual Guru), which has been published in The Jakarta Post (August 29, 2006). An interesting question appears - why is Love the only solution to solve our multidimensional problems?

Anand explained that Love is the deepest emotion of human beings. It is the deepest part of human's inner self. When the solution is deep enough, the result is also quite long term. Furthermore, this famous spiritual leader gave an analogy between love and a tree. If the roots grow deep into he earth, then we will have a big tree. So this is the same thing, we should have a solution that is deep enough within our being and then we can expect a result, which is long term result.

The language style of the book very simple, friendly and funky. Kerry B. Collison, an international best-selling author commented on it, "...renowned spiritualist Anand Krishna's compilation of his perspectives in English article released as Voice of Indonesia is a must read."

Each topic is different. Yet, the core message is love and spiritual self-empowerment. Voice of Indonesia is the rhythm of love, peace and harmony that resemble in our heart.

Voice of Indonesia by Anand Krishna, reviewed by Nugroho Angkasa
First Published by Anand Krishna Global Cooperative Society Bali Indonesia (2007)
Number of Pages: xxv + 260

Oktober 07, 2010

Journey From Death to Immortality

Published at: http://ezinearticles.com/?Journey-From-Death-to-Immortality&id=5103483

"Love will color your journey with confidence. With love, you are more comfortable. Now you can enjoy, celebrate, dance, sing, and laugh your way through life!" (page iv)

This insightful definition of love was stated by Anand Krishna, an Indonesian national of an Indian descent. His critics and sympathizers acclaim this ex-Director of a Garment Factory as "phenomenal". His critics wonder, "What makes him popular? There is nothing extraordinary about him." On the contrary, his sympathizers appreciate his passion for promoting peace, love, and harmony among different sections of society.

Soul Quest is Anand Krishna's first autobiographical novel. It talks about the crucial moment of his life. Anand was a young man who eager to gain abundance life. However, he still felt empty inside. Therefore, he suffered from acute Leukemia. Anand was really afraid of facing death. He directly admitted it, "...when death stares at you, your body may or may not be in pain, but your mind surely trembles. The poor thing is afraid of losing its means of expression, the physical body with its sense organ. And the more "stuff" of memories, obsession and desires it has, the more afraid it gets. I could see myself apart from my mind. My body was in great pain, my mind was afraid, but I was neither of them. First I felt their pain and fear, later I could watch them." (154)

Anand kept on running away from that fact; he was confused not knowing what he was looking for. First, he ran away to India, to consulting with his Master. He stayed in Sai Baba's Ashram at Prashanti Nilayam for 1 month full. However, his Master kept on avoiding him. After that, he came to a Shuka Nadi/native healer). The Shuka "bible" said that no one can cure him. He himself should overcome this disease. Anand came to a Buddhist monastery; through meditation practices he could see his sickness from a different point of view.

Finally, in Leh he met a Lama who suggested he should accept death an live fully in love. The Lama said (176): "...don't fly, and don't run away - face the challenges of life with a smile on our lips. We tend to forget that we are one hundred percent responsible for whatever happens to us. We create our problems; so we have to face them...solve them ourselves." At that time, there was no more conflict with death. He totally accepted both sides of life. This positive outlook gave an opportunity for him to know his true self and began to celebrate life.

Soul Quest is like a diamond. It gives us insight to improve the quality of our life. Reading this novel, we can get some valuables information about human characters, interests, feelings, thoughts, and last but not least, mystic experiences.

Soul Quest by Anand Krishna, reviewed by Nugroho Angkasa
First published by Gramedia Pustaka Utama Jakarta Indonesia (2003) also published in India (2005)
Number of Pages: v + 232

Oktober 04, 2010

Benefits of Laughing Gymnastic

Indonesian Psychiatric Association informed that 94 percent of the population in Indonesia suffered depression and stress. This is the reason why National Integration Movement organized a weekly laughing gymnastic. “Laughter can create hormone melatonin, which overcomes stress and depression,” said Maya Safira Muchtar. She is a therapist in L’Ayurveda Center for Inner Beauty and Holistic Care Jakarta Indonesia.

Furthermore, Maya said, based on scientific research laughing 1 minute is equal to 20 minutes of exercise. Thus, we can increase Oxygen (O2) levels in the blood. Other benefits of laughing are smoothing blood flow, reducing the risk of heart disease, increasing the body endurance, producing endorphin hormone, as a natural tranquilizer, massaging the lung and contracting 80 nerve points in the body, relaxing muscles, relieving constipation, reducing blood pressure, and stimulating the left and right brain.

Only human being who are able to laugh. The animal does not have this unique capability. Indeed, most of them, especially mammals can only cry. For instance, if you want to massacre cows, you can see their tear drop from the eyes. Elephant, whale, and gorilla are other crying liked animals.

Laughing gymnastic is also very cheap. We do not need to spend extra money to be healthy. Furthermore, laughing is a universal activity. This belongs to all human being. Whatever your religions, nations, social status, economic levels, and so on we can still laugh together in unity. Our world is full of misery. Laughing gymnastic is a simple way to be happy. Therefore, let us laugh together :-)

Source: http://hiburan.kompasiana.com/group/humor/2010/10/04/benefits-of-laughing gymnastic/