Oktober 27, 2010

Mengabadikan (Almarhum) Mbah Maridjan

Dimuat di Pontianak Post, Rabu 3 November 2010
"Walaupun aku diremukkan sampai jadi abu, aku akan memelukmu dengan abuku.”- Liu Xiaobo (Pemenang Nobel Perdamaian 2010)

Begitulah janji Liu kepada istri tercinta Liu Xia. Semangat aktivis prodemokrasi China tersebut sefrekuensi dengan pengabdian Mbah Maridjan. Walau nyawa menjadi taruhan dan hanya bergaji Rp 20.000/bulan beliau memegang teguh sumpah setia sebagai abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sang Juru Kunci tak meninggalkan tanggungjawabnya menjaga Gunung Merapi hingga hembusan nafas terakhir.

Mbah Maridjan ibarat nahkoda kapal Titanic yang tenggelam ke dasar samudera bersama kapal dan para penumpangnya. Pada hari Rabu dinihari (27/10/2010) tim SAR menemukan jenasah Raden Ngabehi Surakso Hargo di salah satu kamar rumah mungilnya. Dalam posisi bersujud, mengenakan kain sarung dan kemeja batik. 15 jasad warga dan seorang wartawan juga ditemukan di sekitar lokasi tersebut. Semuanya mengalami luka bakar yang parah.

Ironisnya, ada opini yang memojokkan Mbah Maridjan. Bahkan tega menyebarkan foto kuil jiwanya yang hangus terbakar lewat internet. Sebab beliau dituduh ngeyel (keras kepala) tak mau meninggalkan kediamannya yang notabene hanya berjarak 5 km dari puncak Merapi. Padahal status Merapi sudah dinaikkan dari “siaga” menjadi “awas” oleh Badan Vulkanologi terhitung sejak hari Senin jam 06.00 WIB (25/10/2010). Seolah secara tidak langsung, beliau dianggap telah menyebabkan banyak korban berjatuhan.

Sebagai tokoh masyarakat Mbah Maridjan memang di-gugu dan di-tiru oleh warga setempat. Tapi beliau sudah memperingatkan sebelumnya, “Saya minta warga untuk menuruti perintah dari pemerintah, mau mengungsi ya monggo…” (Kedaulatan Rakyat, 26/10/2010). Saat itu, sebagian besar warga enggan mengungsi karena khawatir akan kehilangan nafkahnya. Tanaman di ladang dan hewan ternak di kandang merupakan sumber penghidupan mereka selama ini. Apakah pemerintah dan aparat setempat berani menjamin keamanan aset-aset tersebut?

Diperparah lagi dengan kondisi di penampungan yang begitu memprihatinkan. Seorang kawan relawan di Muntilan mengabarkan bahwa mereka kesulitan memperoleh masker. Kalaupun ada mereka harus membeli dengan harga @Rp 2.000. Sedangkan teman lain di Srumbung mengisahkan betapa tragisnya para bayi dan balita tidur tanpa selimut di tengah malam yang dingin. Apakah Yth. Presiden RI yang - saat tulisan ini dibuat pada tanggal 27 Oktober 2010 - sedang berada di China dan anggota DPR yang “piknik” ke Yunani mengetahui kondisi riil rakyatnya yang sedang dilanda bencana, baik di Merapi maupun di Mentawai (MM)?

Secara lebih mendalam, kita perlu memahami konteks historis dan kultural Sang Juru Kunci Merapi. Mbah Maridjan dilahirkan pada tahun 1927 (berarti beliau tutup usia pada 83 tahun) di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Amanah menjadi abdi dalem diperoleh langsung dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1982. Sebelumnya, ayahanda beliau, Mbah Hargo yang menjadi Juru Kunci sejak tahun 1970.

Gelar dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat bagi Mbah Marijan ialah Mas Penewu. Itu berarti beliau berhak memimpin prosesi Labuhan untuk memanjatkan doa dan mempersembahkan sesajen kepada Eyang Petruk. Salah satu tokoh Punakawan yang diyakini sebagai sing mbaurekso alias penunggu gunung Merapi. Sekaligus sosok magis pengayom masyarakat yang berdiam di kawasan lereng gunung berapi teraktif di dunia tersebut.

Ini sama sekali bukan klenik, melainkan kearifan lokal yang telah diyakini secara turun-temurun oleh leluhur kita. Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memang bisa ditarik satu garis imaginer. Dari Puncak Merapi, Monumen Tugu Yogyakarta, Siti Hinggil Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Panggung Krapyak, hingga ke Segoro Kidul di pantai Parang Tritis. Artinya, kesatuan antara Gusti Pangeran dan para kawulo alit. Dalam tradisi Kejawen disebut, “Manunggaling kawulo lan Gusti.”

Sejak Merapi meletus pada tahun 2006. Mbah Maridjan semakin terkenal dan terpilih sebagai bintang iklan salah satu produk minuman. Tapi bukan itu yang membuat beliau dihormati dan dicintai. Baik oleh masyarakat Yogyakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dedikasi Mbah Maridjan terhadap nilai yang ia yakini itulah sumber kekuatan beliau. Loyal setia seteguh batu karang walau berada di tengah marabahaya sekalipun.

Tubuh renta itu musti berhadapan dengan gunung Merapi yang menjulang setinggi 2.914 meter. Siap memuntahkan lahar bersuhu 1000 derajat Celcius dan wedhus gembel (awan panas) berkecepatan luncur 200 km/jam. Tapi beliau tidak bergeming sedikitpun. Kematian Mbah Maridjan juga bisa menjadi preseden buruk bagi Pemerintah Pusat. Yang tak kunjung mengesahkan UU Keistimewaan DIY. Mbah Maridjan bisa jadi mau turun gunung bila yang menginstruksikan secara de facto Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X, bukan sekedar de yure Gubernur DIY.

Tanggung jawab menjalankan amanah yang diberikan sampai titik darah penghabisan. Inilah nilai abadi yang diwariskan kepada segenap anak bangsa dari Sabang sampai Merauke oleh Almarhum tercinta. Adakah mentalitas semacam itu dalam diri para pemimpin kita, wakil rakyat, pejabat publik, para pengusaha dan last but not least diri kita sendiri?

Mari sejenak kita menundukkan kepala dan memanjatkan sebait doa, “Selamat jalan Mbah Maridjan, kami berterimakasih atas teladan nyata kisah hidupmu. Selamat beristirahat dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Tugas kami kini untuk melanjutkan perjuangan para bapa bangsa dan leluhur kita. Tetap setia pada nilai kebhinekaan NKRI dan falsafah adiluhung Pancasila. Indonesia Jaya!

Sumber Foto: http://www.google.co.id
Pertamakali dimuat di: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/28/mengabadikan-almarhum-mbah-maridjan/

Tidak ada komentar: