April 12, 2014

Sepatu Jadul

Cerita Anak ini dimuat Rubrik Dunia Anak, Lampung Post, Minggu/13 April 2014 

Senin pagi ini Rahmad tak bersemangat pergi ke sekolah. Apalagi ketika ia harus memakai sepatu. Walau sepatu hitam tersebut masih baru dibeli, modelnya tak sesuai dengan tren anak jaman sekarang. Teman-teman sekelasnya di SD Budi Mulia sebagian besar menggunakan sepatu hitam dengan model perekat.

Di bagian atas sepatu model terbaru biasanya ada dua lapisan. Yang satu lapis lembut sedangkan yang satu lapis kasar. Cara merekatkannya pun praktis, tinggal menyatukan lapisan kasar dan lembut.  Sehingga tak perlu repot lagi mengikatkan tali sepatu.

Kemarin Minggu Rahmad sudah minta kepada ayah. Saat beliau hendak berangkat membelikan sepatu baru tersebut untuknya. Yakni agar ayah memilihkan model sepatu terbaru yang ada perekatnya. Tapi ayah malah membelikan sepatu model kuno yang masih menggunakan tali.

“Ini sepatu jelek! Aku tak suka modelnya…” keluh Rahmad saat mengeluarkan sepasang sepatu tersebut dari dalam kardus.

Ayah hanya diam saja. Beliau tak menanggapi keluhan Rahmad tersebut. Karena sebenarnya, ayah sempat mengajak Rahmad untuk pergi ke toko bersamanya. Sehingga bisa memilih sendiri sepatu model apa yang diinginkan. Tapi Rahmad tak mau, ia lebih senang bermain game online di rumah.

Sebagai solusi, ayah mengukur kaki Rahmad. Caranya dengan menggunakan sebatang lidi. Panjang lidi tersebut sama dengan panjang telapak kaki kanan Rahmad. Ukurannya memang pas, tapi modelnya tak sesuai dengan selera Rahmad.

**

Selama berada di dalam kelas, Rahmad tak bisa berkonsentrasi mengikuti pelajaran. Ia masih merasa kecewa dengan model sepatu yang ia kenakan tersebut. Ia juga berpikiran negatif, jangan-jangan kalau teman-teman sekelas memerhatikan sepatunya yang masih menggunakan tali, mereka akan mengejeknya. Karena modelnya yang jadul (jaman dulu).

Waktu terasa bergulir begitu lambat. Tepat pukul 13.00 WIB bel tanda pelajaran berakhir  berbunyi. Rahmad menarik dan menghembuskan nafas lega karena tak ada teman yang mengomentari sepatunya.

Ia lalu bergegas memasukkan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas. Setelah doa penutup dan bersalaman dengan Bu Guru, ia melangkah pulang ke rumah. Jarak sekolah ke tempat tinggalnya tak seberapa jauh. Kalau berjalan kaki hanya membutuhkan waktu 15 menit.

Siang itu, matahari bersinar sangat terik. Sehingga menyebabkan aspal jalanan menjadi panas.  Tapi Rahmad masih terus bersungut-sungut. Ia tak menyadari bahwa sepatu model jadul yang ia pakai saat itu telah melindungi kaki kecilnya dari sengatan aspal yang bersuhu tinggi. Ibarat wajan penggorengan, jika ada telur dadar di atas aspal pasti dalam waktu tak sampai 5 menit sudah matang.

Di tikungan terakhir sebelum sampai ke rumah, Rahmad menyaksikan satu pemandangan yang menarik perhatiannya. Ada seorang lelaki tua “berjalan” menggunakan kursi roda. Beliau tidaak memiliki sepasang kaki. Mulai dari lutut hingga telapak kakinya telah hilang. Mungkin ia pernah mengalami kecelakaan sehingga harus diamputasi. Jadi agar bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, ia harus memutarkan kedua roda dengan menggunakan tangannya.

Nah saat itu Rahmad baru mulai merenung. Ia langsung duduk di bangku taman di bawah sebuah pohon rindang. Lalu, ia merapatkan kedua kakinya dan memandangi sepatu jadul-nya dengan takzim. Rahmad menyesal sekali karena kemarin sore tak berterimakasih kepada ayah yang telah membelikan sepatu hitam tersebut. Padahal ayah sudah bekerja keras dan mengumpulkan uang.

Rahmad juga merasa menyesal karena tak mensyukuri anugerah Tuhan berupa sepasang kaki yang bisa mengantarnya kemanapun ia hendak pergi. Ia bisa melompat, berlari, dan bermain sepak bola.

Dalam hati ia bertekad, nanti sore akan minta maaf kepada ayah dan berterimakasih karena telah membelikan sepatu baru tersebut. Akhirnya, Rahmad berjalan pulang dengan langkah mantap sambil bersiul-siul gembira.

Tidak ada komentar: