April 07, 2014

Orientasi kepada Murid

Dimuat di Majalah Basis, Nomor 03-04, Tahun ke-63, edisi April 2014

Judul: Guru Gokil Murid Unyu

Penulis: J. Sumardianta

Penerbit: Bentang Pustaka

Cetakan: 1/April 2013

Tebal: xiii + 303 halaman

ISBN: 978-602-7888-13-5

“Murid akan lupa jika hanya mendengar ceramah guru. Murid akan mengingat apa yang diperlihatkan gurunya. Murid akan memahami bila melakukan. Murid akan menguasai bila menemukannya sendiri.” (hlm. 21)

Itulah yang sungguh dipraktikkan oleh J. Sumardianta, guru Sosiologi SMA Kolese De Britto Yogyakarta di ruang kelas. Misalnya dengan memutarkan film The City of Joy bagi para murid yang semuanya lelaki dan boleh berambut gondrong.

Dalam buku ini, ia berpendapat bahwa sinema hasil adaptasi dari novel Dominique Lapierre merupakan salah satu terapi mujarab untuk mengubah sikap siswa yang apatis, minimalis, dan berkepedulian sosial rendah. Film tersebut berlatar belakang kehidupan kumuh (slump) di Anand Nagar, Kalkuta, India. Isinya mengisahkan militansi seorang gadis kecil dari Bengali (a little heroic Bengali girl), namanya Patmini.

Paska nobar (nonton bareng) ia meminta para siswa untuk membuat tulisan tentang kesan mereka atas nilai keutamaan sederhana (simply amazing) yang telah diperoleh. Selain itu, para murid juga harus mengkontraskannya dengan keseharian hidup mereka. Dengan cara ini, siswa yang semula lemah kehendak jadi penuh semangat dan syukur (hlm. 255).

Sumardianta juga mengkritisi salah urus pendidikan dengan menyatakan bahwa mutu pendidikan yang difasilitasi negara telah terjun bebas dan menjadi sekadar pelatihan menjadi bodoh (stupidikasi). Agar lulus ujian nasional (UN) pun para siswa harus mati-matian menghapal tanpa pemahaman. Padahal nilai UN bagi siswa SMA cenderung mubazir karena tidak bisa dipakai untuk masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN).

Nasib siswa SMK, setali tiga uang, ketika mencari kerja yang diverifikasi bukan nilai UN tapi kecakapan keras (hardskill) dan lunak (softskill) dalam bidang permesinan (mekanik), pengolahan makanan (jasa boga), peternakan, perikanan, dan pertanian.

Selain kritikan cerdas atas dunia pendidikan, buku ini juga ditaburi dengan metafor dan banyolan segar. Misalnya guru juga laksana induk ayam, yang tidak memaksakan kehendak kepada anak-anaknya, tapi lebih memandirikan, memberdayakan, melindungi, dan menjadi rekan dialog peserta didiknya.

Pak Guru, demikian ia akrab dipanggil mengaku terinspirasi dari Butet Kertaredjasa, yang membiasakan hidup rileks dan tak mudah disulut amarah. Bercanda membuat saraf kendur dan membuat pembuluh darah longgar. Selain itu, kelakar juga merupakan – meminjam istilah antropolog James Scott – weapon of the weak, senjata bagi kaum yang terbenam dalam lumpur kesusahan dan kesulitan hidup (hlm. 44).

Buku setebal 303 halaman ini ialah manifesto dedikasi seorang guru bermentalitas kelimpahan (abundance mentality). Bukan sekadar tukang mengajar selfish yang mengurusi diri sendiri. Sebab selaras dengan tesis Deepak Chopra, “Aku di sini untuk melayani. Aku di sini untuk menginspirasi. Aku di sini untuk mencintai. Aku di sini untuk menghayati kebenaran.” Selamat membaca dan salam pendidikan!  

Tidak ada komentar: