April 03, 2013

Menguak Eksotisme Tanah Sunda


Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Rabu/3 April 2013
http://mjeducation.co/menguak-eksotisme-tanah-sunda/


Judul: The Wisdom of Sundaland
Penulis: Anand Krishna
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/2012
Tebal: ix + 200 halaman
ISBN: 978-979-22-8657-1
Harga: Rp60.000

Dalam tradisi masyarakat Maluku ada istilah pela dan gandong. Pela mengacu pada persahabatan berdasarkan kesadaran bahwa seluruh umat manusia bersaudara. Sementara, gandong merupakan pertemanan berdasarkan kekerabatan, hubungan darah, agama, dan kepercayaan semata. Ketika pela ditempatkan di atas gandong, terjalin relasi inklusif nan harmonis. Tapi tatkala gandong lebih superior ketimbang pela, konflik bernuansa SARA pun menghantui.

Dari Sabang sampai Merauke, kepulauan Nusantara memiliki 300-an suku dan etnik. Dalam konteks kemajemukan tersebut, semangat kebangsaan perlu dikedepankan ketimbang sentimen primordial. Bahkan ternyata ajaran para leluhur begitu universal. Misalnya, masyarakat di Sulawesi (Celebes), mereka memakai dedaunan dan biji-bijian dalam ritual Puang Matoa Saidi. Daun hijau merepresentasikan tubuh, sedangkan bebijian menyimbolkan jiwa. Tujuannya senantiasa mengingatkan manusia pada integrasi raga-sukma.

The Wisdom of Sundaland menguak eksotisme tanah Sunda. Salah satu referensinya ialah karya klasik Adiguru Dattatreya. Beliau menulis kitab Tripura Rahasya sekitar 12.000 tahun silam. Lantas, Swami Sri Ramananda Saraswathi menyadurnya kembali ke Tripura Rahasya; The Mistery Beyond the Trinity (halaman 28).

Menurut penulis, waktu itu relatif. Ketika manusia bahagia, jarum jam berputar begitu cepat. Sebaliknya, saat penderitaan menghampiri, waktu terasa begitu lambat. Bersyukur dan mengingat-Nya dalam suka maupun duka jadi cara ampuh lampaui dualitas. Lantas, kenapa manusia tetap menderita? Sebab, ia melupakan hukum perubahan (Law of Change).

Buku ini juga memuat statistik mengejutkan, 80% gempa dahsyat di dunia terjadi di seputaran The Pacific Ring of Fire. Dari Jawa, Sumatera, hingga pegunungan Himalaya dan laut Mediterania. Itulah sebabnya, nama raja-raja Jawa identik dengan perlindungan alam, misalnya Hamengku Buwana, Paku Buwana, Paku Alam, dll. Seorang pemimpin yang adil niscaya menurunkan berkah dari Bunda Alam Semesta. Sebaliknya, arogansi kekuasaan justru menjadi tumor berbahaya di tubuh NKRI.

Alkisah, leluhur tanah Sunda begitu kaya-raya, makmur-sejahtera, dan bijak-bestari, toh mereka tetap rendah hati. Ibarat belajar dari ilmu padi, semakin berisi kian menunduk. Bahkan, ada pepatah populer dari peradaban Sindhu, “Jo jaaye Jaava so mur na vaapas aaya, jo aaya to par-potta daaya.” Siapapun yang pergi ke Jawa tak akan pernah kembali, tapi kalau ia kembali niscaya membawa kekayaan cukup untuk tujuh turunan. Kata “Jawa” di sini mengacu pada seluruh kepulauan Nusantara kala itu (halaman 71).

Buku ini terdiri ada 17 bab, di antaranya Aksara, Kala, Gamelan, dan Sundara Kanda. Drs. Soedarmono, Dosen Sejarah Universitas Sebelas Maret Solo turut membubuhkan sekapur sirih. Ketua Komunitas Warisan Budaya Surakarta tersebut berpendapat, “Karya tulis ini campuran antara fakta, legenda, dan penelitian ilmiah. Ia mengajak pembaca kembali ke masa ribuan tahun silam, ketika kepulauan Nusantara menjadi semacam Atlantis sebagai pusat peradaban dunia.” (halaman vii).

Lantas, terkait suara kempul gamelan, pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006) tersebut mendedah inner significant (makna intrinsik) dari suara Neng, Ning, Neng, dan Nang. Misalnya Ning, merupakan akronim dari Wening/hening (Be Silent!). Manusia butuh saat teduh untuk berefleksi. Ironisnya, karena terlalu sibuk dengan aktivitas di luar diri, jati dirinya sendiri acap kali terabaikan. Ibarat memutar kaset/CD, ada saat untuk menekan tombol pause.

Selanjutnya, Nung merupakan kependekan dari kata Kesinungan. Sinonim dengan ketepatan dalam melakukan eksekusi. Senada dengan petuah Romo Driyarkara SJ, “Manusia harus bisa duga dan prayoga alias memiliki kemampuan menebak secara tepat.” Dalam konteks ini, butuh kreativitas dan keluasan cakrawala berpikir. Fanatisme dan sikap merasa paling benar sendiri (rumangsa isa) sangat merugikan. Untuk meraih Nang (Kemenangan), keceriaan, kemauan, kerelaan berkorban jadi kuncinya.

Pada tataran kebangsaan, buku ini juga menyitir pidato legendaris Bung Karno yang masih sangat relevan, “Kita butuh imajinasi. Kita butuh konsep, energi, dan keberanian untuk membangun bangsa ini. Sebuah bangsa wahai saudara-saudariku terkasih, menjadi besar karena imajinasi, fantasi, dinamisme, dan nyali baja untuk berkorban apa saja. Leluhur kita adalah orang-orang besar. Kompleks Candi Borobudur dan Prambanan menjadi saksi kejayaan masa silam. Tapi bagaimana dengan kondisi kita kini? Kita menjadi bangsa yang kurang imajinatif. Kita butuh dinamisme!” (halaman 155).

Buku setebal 200 halaman ini ibarat perkakas alat selam. Dengan menyelami paparan di dalamnya - menyitir pendapat Sylvia Sucipto -  kita dapat memahami psikis manusia Indonesia modern. Selamat membaca!


Tidak ada komentar: