April 29, 2013

Menjelajahi Pemikiran Budaya Umar Kayam dan Kuntowijoyo (Bagian 2)

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Selasa/30 April 2013
http://mjeducation.co/menjelajahi-pemikiran-budaya-umar-kayam-dan-kuntowijoyo-bagian-2/

Dialog

Selanjutnya, B. Rahmanto menjadikan pidato pengukuhan Guru Besar Umar Kayam di Fakultas Sastra UGM pada 19 Mei 1989 yang berjudul Transformasi Budaya Kita untuk belajar dari sejarah masa lalu. Ternyata dialog budaya masyarakat etnik dengan agama-agama besar seperti Budha, Hindu, dan Islam menciptakan sintesis yang mengagumkan. Misalnya dialog budaya dengan agama Budha, Hindu, dan Islam sejak era Sriwijaya, Mataram I, Singosari, Majapahit, Aceh, Makassar, Bone, kemudian Mataram II hingga Demak dan Pajang.
13672954141004839648
Partiningsih, Ika Ayu, B. Rahmanto (dari kiri ke kanan)
Dialog budaya tersebut menghasilkan arsitektur fisik seperti Borobudur, Mendut, Panataran dan juga arsitektur “dalam” seperti state-craft, kiat dan seni memerintah, konsep-konsep baru tentang kesenian: seni tari, seni pertunjukan, kesusastraan, dll.

Tapi pertanyaannya ialah mengapa masyarakat etnik yang sanggup dan mampu mengembangkan dialog budaya yang sedemikian kreatif sehingga menghasilkan karya monumental yang sampai saat ini masih tegak berdiri, tidak mampu bahkan bisa dikatakan tak berdaya menghadapi kebudayaan Barat yang direpresentasikan oleh Portugis, Belanda, Inggris, dll?

Pak Kayam dalam pidato tersebut menjelaskan alasannya. Karena peradaban Budha, Hindu dan Islam datang lewat jalur-jalur perdagangan yang konvensional sesuai kaidah yang dikenal dan diterima di Asia Timur dan Asia Tenggara, mereka masuk secara bertahap dan relatif damai. Perembesan budaya secara perlahan tersebut merupakan faktor signifikan terciptanya sintesis budaya. Sedangkan pedagang Barat datang dengan perang, penaklukan, dan kolonialisme. Mereka haus wilayah, doyan jalur perdagangan, dan memaksakan agama baru. Oleh sebab itu, satu per satu negara-negara di kawasan Asia Tenggara ditaklukkan dan dijajah.

Dalam situasi terpuruk tersebut, generasi muda merintis kemerdekaan Indonesia. Mereka melakukan terobosan-terobosan menembus setiap kendala yang membelenggu vitalitas.  Karena penjajahan memang terbukti telah mencegah dan mengurung perkembangan budaya kita sendiri.

Artinya, bangsa ini membutuhkan kepercayaan diri terhadap masa depan, kebanggaan pada kebudayaan kita sendiri, keberanian bersikap terbuka terhadap kultur lain, kepercayaan kepada kekuatan rakyatnya sendiri, sikap jatmika dan penuh simpati kepada masyarakat pinggiran. Bukankah mayoritas rakyat kita yang harus mengambil bagian dalam transisi sosial dan budaya bangsa?

Terakhir, B. Rahmanto menguraikan gagasan yang ada dalam novel Para Priyayi. Intinya ada proses transformasi konsep pengabdian Sumantri, Kumbakarna, dan Karna dalam Tripama. Selain itu, novel tersebut juga memuat transformasi konsep ngenger/penghambaan para priyayi pinggiran dan redefinisi konsep pasrah dan sumarah.

Adaptasi

Selanjutnya, giliran Partiningsih untuk urun rembug. Mahasiswi S2 Fakultas Ilmu Budaya UGM menyebut Kuntowijoyo sebagai akademisi sekaligus sastrawan. Karya beliau di dunia ilmu dan sastra sebanding jumlahnya. Karya ilmiah Kuntowijoyo fokus di bidang sejarah dan budaya (10 buku dan 50 judul tulisan). Tapi dalam diskusi kali ini, Partiningsih hanya membahas 4 novel, yakni Pasar (1972), Kotbah di Atas Bukit (1976), Mantra Penjinak Ular (2000), dan Waspirin dan Satinah (2003).
13672953701739705222
Partiningsih
Novel Pasar menggambarkan manusia Jawa dan perubahan sosial budaya dalam hidupnya. Pak Mantri, tokoh utamanya, merupakan sosok priyayi Jawa yang terpelajar, memiliki sopan santun, dan memegang erat tata karma. Kendati demikian, nilai-nilai tersebut justru menghambat kepemimpinannya sebagai petugas pasar, karena pasar mulai beranjak menuju alam modern.

Akhirnya Pak Mantri menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Paijo. Suksesi berlangsung lancar dan damai. Paijo dipilih karena dirinya merupakan representasi dari sintesis antara manusia Jawa dan kemodernan. Selain itu, usianya masih relatif muda, sehingga dapat mengikuti derap perubahan jaman.

Menurut pengamatan Partiningsih, keempat novel Kuntowijoyo di atas melukiskan kegelisahan antara tegangan dua kubu yang berbeda: desa-kota, jasmani-rohani, material-spiritual, modern-tradisi, dll. Novel Khotbah di Atas Bukit menggambarkan pergulatan dunia kota (mesin) dengan keadaan bukit yang tenang dan sunyi yang mampu membawa manusia pada perenungan hakikat kehidupan.

Novel Mantra Penjinak Ular mengetengahkan kesenian wayang yang menggeliat di tengah situasi politik Orde Baru. Novel Waspirin dan Warsinah mengabadikan perjuangan kaum miskin yang tak berdaya menghadapi rezim yang tak manusiawi dan menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya.

Terakhir, Partiningsih menyimpulkan sikap budaya Kuntowijoyo, “Nilai-nilai Barat atau modernisasi-lah yang harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai Islam dan budaya Jawa, bukan Islam dan Jawa yang harus menyesuaikan diri dengan selera Barat,“ ujar perempuan yang berkerudung tersebut.

1367295328611028102
Peserta Diskusi

Relevansi

Pada sesi tanya jawab, Afif mahasiswa S2 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM mengatakan bahwa pemikiran Umar Kayam mirip dengan gagasannya Romo Mangun, yakni tentang Generasi Pasca Indonesia. Beliau menggali konsep ini dari nasionalisme ala Syahrir.

Seyogyanya, masyarakat pasca reformasi menjadikan ide-ide Syahrir tersebut sebagai rujukan. Tapi tampaknya secara sosiologis ada anomali di sini. Karena pemikiran Umar Kayam, Romo Mangun dan Syahrir tak laku di Indonesia. Kenapa bisa seperti itu?

B. Rahmanto menanggapi begini, “Aneka perbedaan pendapat di era pasca reformasi ini kian mengukuhkan bahwa dialog itu memang sangat penting. Sebab menyitir pendapat Umar Kayam, “…selama dialog tidak ada, yang terjadi adalah hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang menang.”

Menurut Dr. Aprinus, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, acara diskusi ini juga untuk memperingati hari kelahiran Pak Kayam, 30 April mendatang. Tapi ternyata mencari pembicara yang mempelajari tokoh-tokoh intelektual dan budaya Indonesia relatif sulit, karena akademisi kita lebih banyak mempelajari tokoh-tokoh luar negeri. Selain itu, acara ini juga untuk menggairahkan kembali budaya berdiskusi di kota pendidikan ini. Dewasa ini, orang cenderung sibuk dengan perlengkapan gadget-nya masing-masing. “Ngobrol tentang nilai-nilai dan kemudian disosialisasikan ke masyarakat, itu yang penting,” ujarnya.

Tidak ada komentar: