Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Kamis/2 Mei 2013
Malam itu (Jumat, 26/4) purnama penuh
bersinar di atas sana. Cahayanya jatuh menerangi seisi jagat raya. Tak
terkecuali desa kecil di selatan kota Yogyakarta. Jaraknya sekitar 30
menit perjalanan dengan kendaraan bermotor dari titik 0 km Malioboro.
Di dusun tersebut masih kokoh berdiri bangunan joglo Jawa nan indah,
Tembi Rumah Budaya orang-orang biasa menyebutnya.
Jam tangan belum menunjukkan pukul
20.00 WIB, tapi sudah begitu banyak hadirin berdatangan untuk menikmati
Sastra Bulan Purnama edisi ke-20 di bulan April 2013 itu. Acara ini
memang terbuka dan gratis untuk umum. Penulis pun membaca undangannya
dari dinding Facebook seorang kolega. Sembari menunggu, kami asyik
berbincang santai sambil menikmati bakmi Jawa dan suguhan angkringan di
sisi barat bangunan utama pendopo.
Menurut Ons Untoro selaku MC (Master of Ceremony), penyelenggara, dan sekaligus tuan rumah, edisi Sastra Bulan Purnama kali ini bertajuk “Launching Antologi Puisi Penyair 3 Kota”.
Karena total ada 4 sastrawan-sastrawati dari Yogyakarta, Kendal, dan
Jakarta berkumpul bersama untuk meluncurkan buku-buku antologi puisi.
Mereka ialah Ouda Teda, Iman Budhi Santosa (Yogyakarta), Kelana dkk
(Kendal), dan Riries (Jakarta). Ouda Teda mempersembahkan buku antologi
puisi “Perempuan Dalam Almari”, Iman Budhi Santosa dengan “Ziarah Tanah
Jawa”-nya, Kelana dkk mempersembahkan “Sogokan Kepada Tuhan”, dan
Riries dengan “Mencintaimu Adalah Takdirku.”
Sebelum prosesi apresiasi puisi dimulai, para penulis memang sudah meluncurkan (me-launching) buku antologi karya mereka. Cara launching-nya
pun terbilang unik. Riries membagi-bagikan secara gratis puluhan
bukunya, Ouda Teda mendistribusikan puisi karyanya dalam bentuk digital,
yakni berupa keping CD yang memuat file format PDF. Sedangkan, Iman
Budhi Santosa dan Kelana dkk dengan berat hati tak bisa berbagi karya
mereka secara cuma-cuma karena pengunjung harus mengganti dengan
sejumlah uang untuk mengganti ongkos cetak penerbit. Kendati demikian, toh
hadirin tetap mengapresiasi dengan antusias karya-karya mereka.
Tumpukan buku yang terdapat di pojok timur pendopo hampir semuanya
ludes.
Ibarat jamuan makan malam, menu utama
Sastra Bulan Purnama tak lain untuk menikmati pembacaan dan
musikalisasi puisi. Giliran pertama jatuh pada Umi Kulsum, sastrawati
dan penulis cerita anak tersebut membacakan puisi “Legenda Batu Belah”
karya Ouda Teda. Isinya berkisah ihwal perjuangan para penambang pasir
dan pemecah batu di lereng Merapi.
Pembacaan puisi selanjutnya
oleh si penulis buku antologi puisi “Perempuan Dalam Lemari”-nya
sendiri, yakni Ouda Teda. Malam itu, ia mengajak Rio, seorang bocah
laki-laki yang baru berusia 8 tahun untuk mengiringinya dengan alunan
gesekan biola. Ada 3 puisi yang dipilih, yakni “Pendidikan Generasi
Maya”, “Sekolah Mencederai Senja dan Pagi”, dan “Sang Guru Yang Papa.”
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu sengaja memilih ketiga judul tersebut karena sekarang sedang hangat isu seputar UN (Ujian Nasional) yang karut-marut. Pendidikan seharusnya memanusiakan manusia tapi mengapa justru membuat anak didik menderita. “Apakah Rio suka sekolah?” tanya Ouda sembari memperkenalkan siswa SD Kanisius Kalasan yang menjadi partner duetnya. Berikut ini petikan puisi Ouda:
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu sengaja memilih ketiga judul tersebut karena sekarang sedang hangat isu seputar UN (Ujian Nasional) yang karut-marut. Pendidikan seharusnya memanusiakan manusia tapi mengapa justru membuat anak didik menderita. “Apakah Rio suka sekolah?” tanya Ouda sembari memperkenalkan siswa SD Kanisius Kalasan yang menjadi partner duetnya. Berikut ini petikan puisi Ouda:
Malaikat dan setan bukan lagi iman Hanya sebuah khayalan
Lalu sebuah kutipan Goo Goo Dolls di Youtube
“And you can’t fight the tears that ain’t coming
Or the moment of truth in your lies
When everything feels like the movies
Yeah you bleed just to know you’re alive
Dan kau tak bisa paksa teteskan air mata
Atau menemukan kebenaran dalam kebohongan
Hidup tak seperti di film
Kadang kau harus berdarah-darah supaya kau tahu bahwa kau masih hidup.”
Guru pun menutup buku dan mengakhiri kelasnya
Anak-anak membuka laptop dan bertanya pada Google
Sebagai intermezo, setelah Ouda dan Rio
turun dari panggung, ada tamu-tamu datang dari Perth, Australia.
Mereka hendak mengasah kemampuan berbahasa Indonesianya. Bim dan Sofi
berturut-turut membacakan puisi Ouda Teda yang berjudul “Angsa Hitam”
dan “Aku dan Anjing”.
Walau masih terbata-bata, tapi pengucapan (pronounciation)
mereka relatif jelas. Ons Untoro sampai merasa tersindir dengan
judul-judul tersebut. “Kok dari tadi saya dengar ada yang
menyebut-nyebut nama saya ya?” ujarnya. Pengunjung sontak tertawa
terbahak-bahak dan bertepuk tangan riuh-rendah. “Lho kok acara Sastra Bulan Purnama malah jadi seperti Stand Up Comedy ya?” imbuhnya lagi. Kembali penonton tergelak dalam gemuruh tawa.
Sekilas tentang profil Ouda Teda,
ia lahir dan besar di desa Kliwonan, Sidorejo, Godean, Yogyakarta. Ouda
sudah suka membaca puisi sejak masih bersekolah di SDN Kwagon.
Kemudian, ia mulai menulis puisinya sendiri ketika belajar di SMP Budi
Mulia. Puisinya dimuat pertama kali di sebuah koran nasional saat ia
masih duduk di bangku SMAN Argomulyo, Bantul.
Kegemaran membaca dan menulis puisi
tersebut terus berlanjut ketika ia mengambil studi S1 Pendidikan
Bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Bahkan saat
Ouda hijrah ke kota apel untuk melanjutkan studi S2 di Universitas
Negeri Malang, puisi menjadi teman setianya. Tak berhenti sampai di
situ, buku kumpulan puisi Ouda akhirnya bisa terbit pasca ia
merampungkan studi Doktoral di Universitas Loyola Chicago, Amerika
Serikat.
Selain menulis puisi, ada sederet karya
pria yang juga hobi fotografi ini, antara lain “Arok Berkaca Dedes,
Sebuah Novelet Intrik Politik Berdarah”, “Hampir Chairil, Kumpulan
Kisah Kilat”, “The Curse of Hemingways and Other Flash Fiction”,
“Sociolinguis-chic, Fenomena Bahasa Yang Menggelitik,” dll.
Menurut pengakuan Ouda,
puisi-puisinya banyak dipengaruhi oleh macapat, tembang puisi berbahasa
Jawa yang relatif singkat dan sederhana isinya. Selain itu, banyak
puisinya bernuansa haiku alias puisi 3 baris ala Jepang.
Alhasil, pesan dan maknanya relatif tersembunyi rapat-rapat. Kendati
demikian, ada juga puisi-puisi Ouda yang sangat gamblang menangkap
realitas. Selain itu, antologi puisi “Perempuan Dalam Lemari” (Made in
USA, Charleston, SC, 2 Feb 2013) pun mulai menggunakan pendekatan
postmodernisme. Ouda menyerahkan pemaknaan pada diri masing-masing
pembaca. Ia hanya melemparkan kata-kata, sedangkan interpretasi ialah
urusan pembaca.
Musikalisasi Puisi Riries
Salah satu bentuk metode
interpretasi ala generasi postmodernis ialah lewat musikalisasi puisi.
Sehingga sastra yang selama ini terkesan serius dapat lebih dekat
dengan jiwa anak-anak muda. Menurut Evi, kakak kandung Riries yang juga
sama-sama penyair, banyak puisi Riris yang dimusikalisasikan. Terutama
oleh kelompok musik Sarkem (Sanggar Kemanusiaan).
Lalu, setengah berseloroh (bercanda),
Ons Untoro selaku MC mengasosiasikan Sarkem dengan Pasar Kembang, pusat
lokalisasi di Yogyakarta. Sontak dagelan tersebut disambut tawa dan
tepuk tangan segenap hadirin. Malam itu, Sarkem membawakan beberapa
gubahan musikalisasi puisi Riries. Berikut ini petikan lirik
“Tersembunyi dalam ingatan”-nya:
Lembayung dalam dekapan Menimang asa penuh hasrat
Aku tidaklah sempurna
Aku juga selalu luput dari ingatan mu
Namun riuh kenangan dalam benak
Tak juga mereda
kau pernah sulut bahagia pada hatiku yang gundah
Biarkan mengalir hingga rindu bertakdir
Meski sesaat (Ries#36)
Semangat Malioboronan
Malam kian larut, jarum jam menunjuk
angka 21.30 WIB, tapi hadirin masih setia menikmati sajian-sajian puisi
yang dibacakan oleh para penyair. Kelana dkk langsung datang dari
Kendal, mereka membacakan puisi-puisi yang termaktub dalam antologi
“Sogokan Untuk Tuhan”. Salah satunya berjudul “Sajak Pagi.”
Selanjutnya, Iman Budhi Santoso, penyair senior kota Yogyakarta berbagi pengalaman proses kreatifnya. Ia merindukan semangat Malioboronan
yang bersemi di tahun 1970-an. Saat itu penulis dan budayawan seperti
Cak Nun, Linus Suryadi, Ragil Suwarno, Raden Pandji, Bambang Indra,
Kuntowijoyo, Umar Kayam, Prof. Suminto, Kirjomulyo, Romo Mangun, Pater
Dick Hartoko, dll biasa berkumpul di sana. Mereka berdiskusi, berproses,
dan menciptakan karya-karya yang tak lekang ditelan zaman. Salah satu
cara yang ditempuh untuk menghidupkan kembali dinamika sastra di kota
gudeg ialah dengan menerbitkan majalah berkala, namanya majalah Sabana.
Edisi perdana direncanakan terbit pada Juni 2013 mendatang.
Malam itu, Iman Budhi Santosa
membacakan 3 puisi karyanya. Ia mengawali dengan “Menyusuri Sungai
Puisi Negri ini”, “Ziarah Tanah Jawa”, dan memungkasinya dengan “Petaka
Hutan”. Puisi terakhir diangkat dari kisah wayang Ramayana, yakni saat
adegan Laksmana dan Shinta.
“Biasanya Sastra Bulan Purnama berakhir jam 23.00 WIB, tapi kali ini memang berakhir lebih awal, karena lebih merupakan prosesi launching buku. Apakah ada hadirin yang mau menyumbangkan puisinya lagi?” ujar Ons Untoro sebelum menutup acara.
Tiba-tiba ada seorang pria
mengangkat tangan, ternyata namanya Tampil. “Saya seorang penyair yang
kerja sambilan sebagai PNS (Pegawai Negri Sipil), petugas jaga museum,”
ujarnya memperkenalkan diri sebelum memulai baca puisi. Tampil
membawakan karyanya sendiri berjudul “Cinta”. Berikut ini petikannya,
Ada bulan yang ramah Ada bintang yang manis
Cinta memang membuat semua jadi indah
Kebahagiaan sejati pun terungkap
Cinta karunia maha dahsyat
Mengisi kisi-kisi kehidupan yang kelam
Aku kembali merasakan hidup
Terima kasih Tuhan yang telah memberiku cinta…
Akhir kata, puisi memang salah satu
proyeksi cinta, ungkapan jujur dari hati manusia. Dalam konteks ini,
Sastra Bulan Purnama Tembi Rumah Budaya sungguh menemukan relevansinya.
Di tengah zaman modern yang – meminjam istilah Giddens – berlari
tunggang-langgang, manusia perlu rehat sejenak dan menikmati sajian
puisi. Sebab menyitir petuah Dahlan Iskan, “Jagalah hati dengan puisi,
jangan jaga hati dengan posisi.” Salam Budaya!
Sumber Foto: Dok Pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar