Dimuat di HMINEWS.COM, Kamis/9 Mei 2013
Judul : Tidur Berbantal Koran, Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis : N. Mursidi
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : 1/Februari 2013
Tebal : xiv + 243 halaman
ISBN : 978-602-020-594-6
Harga : Rp44.800
Penulis : N. Mursidi
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : 1/Februari 2013
Tebal : xiv + 243 halaman
ISBN : 978-602-020-594-6
Harga : Rp44.800
“Di jalanan aku mengenal kehidupan. Dari halaman koran, aku bisa belajar menulis.” – Nur Mursidi
Tatkala masih kuliah di Kampus IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, penulis pernah mengontrak rumah di dekat rel
kereta api Sapen. Agar lebih murah, mereka urunan (membayar)
beramai-ramai. Total penghuninya ada genap 8 orang. Uniknya, hampir
setiap lima belas menit lantai rumah tersebut berguncang dan
menimbulkan gempa lokal.
Alhasil, selama tiga bulan pertama, ia tak bisa tidur nyenyak di malam hari. Tapi ibarat blessings in disguise
alias berkah terselubung, ia malah jadi lebih produktif menulis. Suara
mesin ketiknya bertalu memecah kesunyian malam. Saat kereta api
melintas, otomatis kantuknya sirna akibat guncangan kecil yang tercipta.
Tahun 2003 merupakan puncak kreativitas Nur Mursidi. Ada total lima
puluh enam tulisan dalam aneka genre seperti – resensi buku, cerpen,
esai sastra, esai film, opini, dan puisi – bertebaran di berbagai media
lokal dan nasional.
Begitulah sekilas perjuangan hidup
penulis buku ini. Kini pria kelahiran Lasem, Jawa Tengah tersebut hijrah
ke Jakarta. Ia bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah Islam
bernama Hidayah. Pada saat seleksi wawancara calon jurnalis, pimpinan
redaksi kagum dengan karya tulisnya yang dilampirkan dalam surat
lamaran. Ternyata ijazah sarjananya lebih sebagai formalitas belaka.
“Rupanya banyak tulisanmu yang sudah dimuat di lembaran koran. Bahkan
kau mampu menulis dalam banyak genre,” puji sang redaktur saat itu.
Tulisan-tulisan N. Mursidi ialah –
meminjam istilah Tukul Arwana – hasil kristalisasi keringat. Dulu ia
harus naik-turun bus antarkota untuk menjajakan koran di jalanan kota
Gudeg. Lewat buku “Tidur Berbantal Koran” ini ia berbagi pengalaman
tersebut. Setiap hari bertemu dengan tukang becak, penjual rokok, sopir
bus, anak jalanan, pengamen, bahkan pencopet. Pada suatu siang
perutnya pun nyaris ditikam preman yang mabuk. Uang Rp2.000 hasil
menjual koran ludes seketika.
Kendati demikian, sederet pelajaran
berharga dapat ia peroleh di jalanan. Dari kernet bus, ia belajar
bagaimana naik dan turun bus agar tak jatuh terjerembab. Dari penjual
rokok, ia belajar kesabaran kalau koran-korannya tak laku. Ia kerap
kali menjumpai si penjual rokok menunggui kios sampai larut malam. Dari
sopir bis, ia belajar mengendalikan emosi karena setiap sopir bus
diburu waktu ngetem yang terbatas dan harus bersaing mencari penumpang.
Dari tukang becak, ia sadar untuk rutin membaca koran di pagi hari.
Dari gerombolan pencopet, ia belajar cara mencari uang dengan halal.
Sebab ia jadi tahu kalau cara yang mereka tempuh tidak barokah itu
justru merugikan orang lain (halaman 55).
“Tidur Berbantal Koran” merupakan
potret perjuangan seorang anak manusia yang tak kenal lelah. Hingga ia
mampu meraih mimpi di tengah keterbatasan. Sepakat dengan pendapat
Effendi Bepe, “Buku ini perlu dibaca orang muda atau siapa saja yang
sedang “galau” merajut masa depan. Sukses memang harus diperjuangkan,
sebab tidak akan pernah jatuh dari langit.” Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar