Mei 19, 2013

Memperjuangkan Nilai Kejujuran di Dunia Pendidikan Nasional yang Lebay

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Minggu/19 Mei 2013

Jika dunia pendidikan nasional dianalogikan sebagai hutan rimba, aneka ragam satwa hidup di sana. Mulai dari semut, kelinci, kancil, trenggiling, monyet, harimau, sampai gajah. Anehnya, ujian kelulusan mereka diseragamkan, semua harus bisa memanjat pohon selincah monyet. Sama seperti Ujian Nasional (UN), walau kemampuan inteligensia anak didik majemuk dan kondisi geografis daerah dari Sabang sampai Merauke berbeda-beda, metode evaluasinya seragam, yakni dengan cara mengisi kolom pilihan ganda.

Selain itu, masih banyak ditemukan fakta kecurangan dalam praktik UN. Para guru, kepala sekolah, dan kepala dinas berlomba mengejar kelulusan 100 persen. Mereka menghalalkan segala macam cara, termasuk membocorkan jawaban UN kepada anak didik. Ada yang membagikan kertas-kertas kecil, ada yang mengirimkannya lewat sms dan blackberry messenger, bahkan ada juga yang membacakan kunci jawaban di depan kelas tepat 30 menit sebelum ujian berakhir.

Mau menjadi apa generasi masa depan bangsa ini? Dampaknya baru akan terasa 10-20 tahun mendatang. Bisa jadi para koruptor yang kini mengumbar senyum di depan kamera ialah produk model pendidikan tanpa hati nurani semacam itu di masa lalu. Ironisnya, status quo lingkaran setan pembodohan kehidupan bangsa secara sistemik tersebut terus dilanggengkan oleh pengampu kebijakan publik, terutama institusi yang bernama Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) Republik Indonesia (RI).

Kendati demikian, mendiang Cak Nur pernah berpesan agar kita selalu bersikap optimis. Walau berada dalam lingkaran setan masalah yang seolah tak kunjung usai sekalipun. Mengapa? Karena kalau kita berada dalam lingkaran setan maka dari titik mana pun - tepat di mana kita berdiri – setiap anak negeri dapat berbuat sesuatu dan berkontribusi bagi transformasi sosial dan proses pencerdasan kehidupan bangsa.

Sacred mission alias misi mulia tersebutlah yang menggerakkan ratusan orang untuk menghadiri acara nonton bareng (nobar) film, “Temani Aku Bunda” di Ruang Driyarkara, Gedung Pusat lantai 4, Universitas Sanata Dharma (USD), Mrican, Yogyakarta pada Kamis siang (16/5) pukul 14.00-16.00 WIB lalu. Walau biasanya saat-saat tersebut merupakan jam istirahat (leisure time) dan makan siang (lunch), toh tak menyurutkan tekad mereka untuk menjadi saksi perjuangan seorang anak bernama Abrar.

Alkisah, pada hari pertama UN 2011 di SDN 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatan 2 tahun silam, Muhammad Abrary Pulungan (14) dipaksa berbuat curang oleh gurunya. Dua hari sebelum UN, tepatnya hari Jumat, ia harus menandatangani perjanjian tertulis di atas kertas. Intinya para murid harus memberi tahu teman sekelas yang tak bisa menjawab soal. Tapi mereka dilarang mengatakan itu kepada orang tua, keluarga, dan orang lain sampai dewasa. Jika melanggar kesepakatan tersebut, hukumannya sangat berat, yakni tidak lulus UN.

Saat proses ujian berlangsung, Abrar merasa gelisah menyaksikan teman-temannya bebas berkeliaran bertukar kunci jawaban padahal ada guru pengawas di kelas. Ternyata kesepakatan untuk memberikan jawaban UN kepada teman alias praktik contek massal sungguh terjadi. Bagi Abrar, itu merupakan kesepakatan tolol yang digagas oleh sebuah lembaga yang semestinya menjunjung tinggi kejujuran.

Karena tidak tahan dan merasa kecewa akhirnya Abrar menceritakan pengalaman UN hari pertama tersebut kepada sang bunda, Irma Winda Lubis. Air mata tiada henti mengalir dari kedua matanya saat berbagi rasa dengan  sang bunda. Padahal selama ini Abrar dikenal sebagai anak yang tabah. Tentu saja ibunya geram dan kesal mendengar kesaksian tersebut. Keesokan harinya, Winda mendatangi sekolah Abrar. Ia membawa kamera dan merekam aktivitas di kelas selama ujian berlangsung.

Film dokumenter berdurasi 77 menit ini menyuguhkan rekaman suara dan gambar percakapan seorang orang tua murid dengan kepala sekolah dan seorang guru yang telah membuat kesepakatan contek massal tersebut. Sebenarnya, Winda sekadar ingin menyampaikan protesnya kepada pihak sekolah. Ia meminta guru dan kepala sekolah yang bersangkutan meminta maaf secara terbuka agar tidak menjadi preseden bagi para murid bahwa berlaku tidak jujur itu baik.

Kendati demikian, pihak sekolah mengabaikannya. “Arusnya memang begini Bu, ya kita juga harus ikut arus,” ujar guru tersebut. Alhasil, kejujuran Abrar justru membuatnya dikucilkan oleh para guru dan teman-temannya di sekolah. Berikut ini puisi karya Elvira Yanti Mahyor, guru privat Abrar. Abrar selalu membacanya untuk mengobati luka batin dan membangkitkan semangat:

Temani Aku Bunda

Bunda,
aku ingin menangis di pelukanmu,
aku ingin bercerita kepadamu.
Karena saat ini aku sendiri, bunda.

Semua kawan menatapku penuh benci,
mengejekku sebagai anak yang sok jujur.
Aku tidak melakukan apa-apa.
Aku hanya melakukan apa yang seharusnya.
Aku hanya melakukan apa yang selalu dinasihatkan oleh orang tua,
yaitu JUJUR.

Bunda,
aku tidak pernah menyangka jujur butuh keberanian baja,
butuh kekuatan hati yang luar biasa,
butuh kerja keras dan air mata
Aku hampir tidak kuat, bunda.

Bunda,
kini aku sedih melihat engkau,
orang yang melahirkan aku ke dunia,
orang yang membesarkan aku dengan penuh cinta,
orang yang selalu hadir di saat aku terluka,
harus menerima ejekan dari mereka,
hanya karena aku ingin JUJUR saja,
padahal JUJUR membuatku lega, bunda.

Maafkan aku, bunda
Salahkah sikapku?
Apakah aku tidak usah jujur saja?
Agar engkau tak lagi terluka.
Aku bingung, aku gelisah, aku cemas, aku takut.
Tolong temani aku, bunda.
Tolong lindungi aku, bunda.
Aku hanya ingin jujur, karena jujur membuatku lega.

Merasa tidak puas dengan sikap lepas tangan sekolah, Winda memilih jalur hukum dan melaporkan kasus contek massal tersebut. Selain itu, ia juga mendatangi satu persatu instansi yang diharapkan bisa menolong, mulai dari Kemendiknas, Pemprov DKI Jakarta, hingga LBH. Pemerintah kemudian membentuk tim investigasi untuk mengungkap kebenaran dari kasus tersebut, tapi sampai sekarang belum ada hasilnya, bahkan seolah diabaikan demi “kebaikan bersama”.

Dalam konteks ini pendapat psikolog anak, Silmi Kamilah Risman menjadi relevan. Apa pun risikonya, orang tua harus selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak sejak dini karena begitu keluar rumah, anak  mulai mengikuti contoh-contoh yang ada di sekolah dan masyarakat. Orang tua perlu tetap kritis meski harus menentang arus. "Suara-suara yang kritis itu seperti suara sumbang dalam tim koor yang kompak," tandasnya.

Film yang diproduseri oleh Yayasan Kampung Halaman tersebut disutradarai oleh Tedika Puri Amanda, Irma Winda Lubis dan Komunitas Roda. Proses produksinya sendiri memakan waktu 1 tahun.  “Temani Aku Bunda” telah ditayangkan di Malang Film Festival pada 6 April 2013, 7 April 2013 di ITB (Institut Teknologi Bogor), IPB (Institut Pertanian Bogor), dan di Cinema 21 di beberapa wilayah Indonesia. Acara pemutaran di Universitas Sanata Dharma (USD) kali ini hasil kerja sama dengan ICW (Indonesian Corruption Watch) dan IRB (Ilmu Religi Budaya) Program Pascasarjana USD Yogyakarta.

Tak terasa sejam lebih ruangan sunyi senyap, para hadirin khusyuk menyaksikan adegan demi adegan serta meresapi setiap percakapan dalam film tersebut. Tampak pula beberapa guru membawa murid-muridnya untuk ikut nobar. Menurut Sisilia Maharani selaku Direktur Yayasan Kampung Halaman (YKH), “Temani Aku Bunda” memang diperuntukkan bagi segala umur.

Kepedulian

Acara selanjutnya adalah diskusi, tapi peserta boleh rehat sejenak untuk ke kamar kecil ataupun menyantap donat yang telah disediakan oleh panitia. Sembari menunggu, Sisilia Maharani memanggil dan memperkenalkan dua narasumber yang telah hadir sore itu.

Pertama, J. Sumardianta, Guru Sosiologi di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta. Selama 20 tahun aktif mengajar di kelas, J. Sumardianta juga sering menulis di media massa nasional. Sebagian besar temanya tentu saja tentang dinamika pendidikan di Indonesia. Beberapa minggu lalu, ayah 3 putri tersebut baru saja meluncurkan sebuah buku baru, judulnya, “Guru Gokil Murid Unyu” (Bentang, 2013).  Kedua, Ibu Anna, Ketua Laboratorium DED (Dinamika Edukasi Dasar), Yogyakarta. Lembaga yang fokus pada pelatihan dan penelitian seputar dunia pendidikan tersebut didirikan oleh almarhum Romo Mangunwijaya.

Merespon film yang baru saja diputar, J. Sumardianta berpendapat itu bisa terjadi karena kita telah melupakan ajaran Ki Hadjar Dewantara. Pendiri Taman Siswa tersebut mendasarkan proses pembelajaran dalam 3 prinsip. Pertama, “Ing Ngarsa Sung Tuladha” (di depan memberi contoh) tapi yang kini  terjadi “Ing Ngarsa Golek Banda” (di depan mengumpulkan harta). Kedua, “Ing Madya  Mbangun Karsa” (di tengah memberi motivasi dan semangat) tapi yang kini terjadi “Ing Madya Waton Sulaya” (di tengah keras kepala dan mau menang sendiri). Ketiga, “Tut Wuri Handayani” (di belakang memberi dukungan) tapi yang kini terjadi “Tut Wuri Hanjegali” (di belakang menjegali langkah).

Lantas, pria kelahiran 23 November 1966 tersebut menawarkan solusi untuk menghindari praktik contek massal. Selama dua dasawarsa menjadi Guru Sosiologi di tingkat SMA, ia lebih suka memberi ulangan lisan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menyontek seperti halnya dalam tes tertulis. Bahan yang diujikan ialah kemampuan membaca dan daya nalar murid, sebelumnya para siswa diminta membaca buku-buku inspiratif setebal 750 halaman. Setelah itu, baru ditanyakan ihwal kondisi sosiologi masyarakat dalam novel tersebut. Misalnya dalam City of Joy karya Dominique Lapierre terungkap kondisi India pada era 1970-an,  yakni 3S: Sickness (orang sakit-sakitan), Stolen (banyak pencuri), dan Sex (marak terjadi seks bebas).

Alternatif model evaluasi lainnya ialah dengan presentasi kelompok. Tujuannya agar siswa tidak individualis dan mau bekerjasama. Sebelumnya mereka mencari bahan (browsing) di internet. “Saya mengizinkan para siswa membawa gadget di kelas, tapi bukan untuk chatting, update status Facebook dan twitter-an,“ ujarnya. Hasilnya sungguh menakjubkan, para siswa bila diberi kepercayaan dan kesempatan bisa menunjukkan bakat terpendamnya. Bahkan mereka sampai menggunakan slide film, program PowerPoint dan aneka tampilan visual yang memikat.

Selanjutnya, Bu Anna turut berbagi pengalamannya berkecimpung di dunia pendidikan. Ibu dua anak tersebut mengutip tesis Romo Mangun, sejatinya pendidikan harus bisa membebaskan anak dari rasa takut. “Selain itu, kita orang dewasa cenderung tak sabar dengan proses tumbuh kembang anak. Ibarat kepompong yang harus keluar dan menjadi kupu-kupu. Tapi dengan dalih “kasih sayang” orang tua dan guru justru menggunting kepompong tersebut. Misalnya dengan memberi bocoran kunci jawaban seperti di film tadi,” ujarnya.

Alhasil proporsi antara bobot tubuh dan rentangan sayapnya tak seimbang. Oleh sebab itu, biarkan anak-anak berjuang untuk mengatasi masalah-masalahnya sendiri, sebab itu sangat berguna bagi pendewasaan. “Intinya pendidikan adalah proses, bukan sekadar hasil,” pungkasnya.

Dari floor ada satu orang penanya, namanya Pak Jati. Beliau seorang orang tua murid. Menurutnya selama ini anak diteror dengan UN. Padahal kondisi daerah pusat dan wilayah pinggiran berbeda. Semestinya, anak yang kurang mampu didampingi secara khusus oleh guru-guru bidang studi. Tapi yang terjadi, banyak sekolah di daerah pedalaman yang gurunya harus mengampu banyak mata pelajaran di lebih dari satu kelas. “Bagaimana mungkin mereka bisa mendampingi masing-masing siswa secara intensif?” tanyanya.

Bu Anna menanggapi dengan nada lebih optimis, “Upaya membenahi dunia pendidikan di Indonesia memang sebuah perjuangan panjang. Saya pernah berkunjung ke daerah Wamena, Papua, untuk mencapai lokasi harus masuk hutan selama 3 jam dengan mobil Jeep. Bahkan kalau mau menyeberangi sungai hanya menggunakan 2 bilah balok yang dijajarkan sebagai tumpuan roda-roda. “Oleh sebab itu, seluruh komponen masyarakat harus peduli pada perbaikan mutu pendidikan di tanah air,” ujarnya.

Sumber Foto: Dok. Pri

Tidak ada komentar: