Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/3 Mei 2013
http://mjeducation.co/parade-pantomim-di-taman-budaya-yogyakarta-seruan-penuh-makna-dalam-bahasa-kesunyian/
Suasana Taman Budaya Yogyakarta (TBY)
pada Selasa malam (30/4) di penghujung April 2013 tak seperti biasanya.
Area parkir penuh sesak dipadati mobil, motor dan sepeda kayuh.
Ratusan pengunjung berduyun-duyun memasuki ruang Concert Hall TBY.
Sebelumnya, mereka tampak antre mengisi buku tamu acara “Gelar
Pantomime Jogja 2013”. Sejak pukul 19.00 WIB pintu utama telah dibuka,
siapa saja boleh menonton, gratis dan terbuka untuk umum. Karena jarak
tempuh TBY dari Malioboro hanya sekitar 10-15 menit dengan berjalan
kaki, banyak juga pelancong asing dan lokal yang datang.
Parade pantomim tersebut laksana setetes
air di padang gurun. Sebab selama tiga tahun terakhir, pergelaran
pantomim berskala nasional tak pernah menyemarakkan Kota Gudeg. Padahal
dulu sederet nama besar seniman pantomim seperti Tri Moerti Purnomo,
Jemek Supardi, Deddy Ratmoyo, Reza, Broto Wijayanto, Andy, dan Jamal
pernah lahir dan berproses di kota budaya Yogyakarta.
Sekilas tentang seni teater dalam diam
ini, pantomim dalam bahasa Latin disebut pantomimes. Artinya meniru
segala hal dan/atau berdialog lewat bahasa isyarat, antara lain dengan
mengandalkan mimik wajah dan gerak ekspresi tubuh. Menurut Dany,
seorang pengamat seni pantomim, jenis pertunjukan ini telah dikenal
sejak zaman Romawi kuno. Bahkan tak jarang pantomim digunakan pula
dalam ritual-ritual keagamaan. Mereka mengangkat cerita seputar
mitologi dewa-dewi Yunani.
Pantomim kian berkembang pada abad
ke-16. Di Italia pernah begitu popular genre Commedia Dell’arte, yakni
pantomim yang mengusung lakon komedi. Masih menurut penjelasan Dany,
Aristoteles pun turut berhipotesis seputar cikal-bakal pantomim. Filsuf
kondang tersebut mengemukakan temuan-temuannya berupa relief-relief di
banyak candi dan piramida di seluruh dunia. Dalam relief-relief
tersebut terpahat lukisan seorang laki-laki dan/atau perempuan sedang
melakukan gerakan yang diduga bukan tarian. Mengingat definisi pantomim
mengacu pada ciri khas berupa bahasa isyarat, maka besar kemungkinan
seni pertunjukan pantomim memang sudah eksis sejak zaman dulu kala.
Secara lebih mendalam, ia menandaskan
bahwa pada hakikatnya, pantomim mengadakan sesuatu yang tidak ada
menjadi ada. Seniman pantomim harus bisa membuat penonton “melihat” apa
yang tidak tampak di atas panggung. Oleh sebab itu, seorang pemain
pantomim dituntut memiliki kelenturan tubuh, kepercayaan diri tinggi,
dan daya imajinasi yang kaya. Sehingga ia mampu memperagakan mimik
ekspresi sedih, marah, kecewa, gembira ataupun bingung. Sama seperti
kemampuan gerak tubuhnya, yakni dalam konteks menciptakan sesuatu yang
tidak ada menjadi ada tadi. Ia pun dapat seolah memegang gelas,
menghunus pedang, membelai mesra, berjalan pelan, berlari kencang, dan
bahkan menaiki tangga.
Malam itu (30/4) panitia menyajikan
parade tiga grup penampil pantomim andal. Pertama, Malmime-Ja
berkolaborasi dengan Komunitas “Kota untuk Manusia” mempersembahkan
lakon “Trotoar”. Kedua, Timoer Mime menyuguhkan pentas “Wajah-wajah”.
Ketiga, Bengkel Mime Theatre mengusung tema “Sang Veteran”. Sebelum
acara dimulai, Agus RRI selaku MC (Master of Ceremony) mengingatkan
para hadirin agar tidak makan, minum, dan merokok di ruang ber-AC
tersebut. Selain itu, jika hendak mengambil gambar dilarang memakai
flash karena akan mengganggu tata lampu di atas panggung. Terakhir tapi
penting, HP harus di-silent agar tak merusak nuansa keheningan yang
tercipta selama gelaran pantomim berlangsung.
Selanjutnya, Agus RRI membacakan profil
dan sinopsis cerita dari masing-masing grup penampil sebelum pentas
dimulai. Misalnya Malmime-Ja, ternyata grup ini merupakan komunitas
pantomim yang beranggotakan kelompok non-seni “Kota untuk Manusia”.
Mereka disatukan oleh semangat berbagi dan belajar bersama. Selain itu,
mereka juga bertekad menyuarakan ketimpangan sosial lewat seni.
Dalam sinopsis digambarkan bahwa di atas
trotoar, kehidupan beriak, tumbuh, dan tenggelam. Orang-orang bertemu
di atas kota, menyapa, dan saling berebut makanan. Kota menjadi seperti
rimba raya, bahkan manusia bertarung layaknya hewan. Sedangkan para
pengurus rimba raya seperti singa yang tertidur lelap, mereka
kekenyangan dan tak bisa berbuat apa-apa. Alhasil, konflik antarmanusia
tak terelakkan laksana pertarungan antarhewan yang berebut makan. Kota
tak mampu berbuat apa-apa dan hanya diam. Kota menjadi kanvas kosong
yang diwarnai kebusukan. Pun manusia yang tinggal di dalamnya
kehilangan kemanusiaannya.
“Kota untuk Manusia” memang terbentuk
oleh kegelisahan bersama warga Yogyakarta. Kota yang pernah dibanggakan
sebagai wadah seni dan budaya tersebut, kini tak terpisahkan dari
kemacetan, kebisingan, sampah visual, serta ketiadaan fasilitas publik
yang memadai. Contoh paling kasat mata ialah beralihfungsinya trotoar
yang tidak bisa diakses oleh penyandang disabilitas. Padahal menurut
Bunje Kristianto, ruang publik yang baik adalah indikasi sebuah kota
yang manusiawi. Senada dengan tesis Yoan Vallone, pembangunan wilayah
semestinya meletakkan manusia dengan segala sisi kemanusiaannya sebagai
prioritas utama.
Sementara Agus RRI membacakan profil dan
sinopsis cerita, beberapa kru Malmime-Ja mempersiapkan aneka properti
di atas panggung. Mereka “menyulap” panggung Concert Hall TBY menjadi
trotoar di sisi sebuah jalan raya, lengkap dengan rambu-rambu lalu
lintas, paving konblok, tembok, grafiti, dll. “Set properti, segenap
material desain, dan visual yang dipakai dalam pertunjukan ini
merupakan hasil diskusi bersama. Konseptualisasi dan produksinya
dikelola teman-teman mahasiswa arsitektur UGM bersama Studio Mahati
dengan menggunakan material recycle,” terang Jamaluddin Latif selaku
sutradara lakon pantomim “Trotoar”.
Salah satu sumber inspirasi lakon
pantomim “Trotoar” diperoleh dari tesis Enrique Penalosa. Menurut
aktivis pejalan kaki internasional tersebut, “Yang menjadikan perbedaan
antara kota yang maju dan kota yang terbelakang adalah trotoar yang
berkualitas. Mereka mempertunjukkan penghormatan pada harkat
kemanusiaan. Di mana orang miskin dan orang kaya adalah sama. Mereka
berjalan dan bertemu di trotoar yang satu adanya.” Artinya, arah
perkembangan kota harus berpihak kepada manusia yang tinggal di
dalamnya. Walau sepele dan kerap dipandang sebelah mata, kondisi
trotoar sungguh menjadi cermin kepada siapa para pengampu kebijakan
berpihak. Apakah pejabat merupakan pelayan publik atau sekadar hamba
kapital?
Puluhan pemain pantomim terlibat dalam
lakon kolosal bertajuk “Trotoar” tersebut. Mereka berasal dari
Komunitas Difabel Sapda Yogyakarta, Jogja Last Friday Rite, Indonesia
Documentary Lab, Dagadu Djokja, Studio Mahati, Wex Architecture UGM,
Urbancult, Card to Post, Komunitas Homeschooling, Komunitas Street Art,
Komunitas Sepeda (JLFR), dll.
Salah satu adegan yang paling menyentuh
ialah saat anak-anak sedang belajar di kelas. Lalu, lewatlah
segerombolan suporter sepak bola yang berkonvoi mengendarai sepeda
motor melintasi jalanan di depan sekolah mereka. Kemudian anak-anak
tersebut berlari ke arah jendela dan menontonnya. Selepas bel sekolah
tanda pulang berdentang tiga kali, mereka sontak meniru adegan konvoi
tersebut. Tapi bukan dengan mengendarai sepeda motor melainkan dengan
menggunakan sepeda kayuh. Anak sungguh seorang peniru yang ulung. Kini
tergantung kita kaum dewasa mau memberi contoh yang baik atau
sebaliknya.
Bolon, salah satu anak anggota komunitas
Homeschooling juga menyampaikan aspirasinya lewat lukisan-lukisan
berwarna. Di bawah setiap gambar ia menuliskan, “In the morning, Bolon
go to school. In the street, Bolon walk in the highway. Because of
sidewalk taken for parking. So, people can not walking in the sidewalk.
If we are not parking in the sidewalk, all people will happy.” Walau
ada beberapa grammar yang kurang pas, tapi pesannya jelas, “Trotoar
bukan untuk tempat parkir, trotoar adalah hak para pejalan kaki.”
Selain setting dan kostum pemain yang
dipersiapkan secara matang, efek suara (sound effect) dan tata lampu
sungguh mendukung keseluruhan pentas pantomim “Trotoar”. Alhasil,
penonton seperti tersihir dan seolah larut dalam situasi yang
diinginkan oleh Sang Sutradara. Entah itu berupa situasi
seram-mencekam, situasi bahagia, kocak, dan penuh canda maupun situasi
sedih dan gundah-gulana.
Pada penghujung pentas, Malmime-Ja dan
komunitas “Kota untuk Manusia” mengajak ribuan hadirin berdiri,
bernyanyi, dan menari bersama. Ini sebagai wujud komitmen segenap warga
masyarakat Yogyakarta untuk membenahi kota ini. “…apa yang berbeda
dari kota tercinta, dan akan ke mana kita sepuluh tahun lagi. Apakah
becak-becak akan berevolusi menjadi bermesin diesel ataukah kembali
dikayuh lagi, seperti jaman di mana mesin-mesin belum merajai, dan
keasrian kota masih terjaga. Betapa indahnya jika setiap orang bisa
bertemu dan bertegur sapa, dalam ruang publik yang berfungsi
sebagaimana mestinya. Kota untuk manusia, manusia untuk sesamanya,
lingkungannya terjaga, hidup jadi sejahtera…” Begitulah lirik rap karya
@bramasta Gagakrimang yang dinyanyikan sebagai gong penutup.
Dua acungan jempol juga untuk semua
pemain pantomim yang piawai menguasai tempo seturut irama. Sehingga
mereka dapat menyesuaikan gerak tubuh dan ekspresi mimik wajahnya
dengan musik yang mengalun. Keselarasan ini memang sangat signifikan
supaya penonton tidak merasakan kejanggalan terkait adegan yang dilihat
dan suara yang didengar. Contohnya, musik dalam keadaan sedih dipilih
yang temponya pelan, dalam keadaan tergesa-gesa temponya harus cepat,
dan dalam suasana ceria dipilih musik rap yang beat-nya penuh semangat.
(bersambung)
Sumber Foto: Dok Pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar