Mei 28, 2013

Pendidikan Pancasila lewat Media

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Selasa/28 Mei 2013

Nilai-nilai Pancasila seakan tenggelam dalam pusaran arus zaman. Eksistensinya dianggap kurang relevan guna menjawab dialektika kehidupan. Bahkan Pancasila pun sekarang jarang dikutip dan diucapkan. Apalagi diterapkan dalam konteks ketatanegaraan, sosial, dan kemasyarakatan. Hasil survei BPS (Badan Pusat Statistik) yang dilakukan pada 27-29 Mei 2011 silam di 33 provinsi dari Sabang sampai Merauke sungguh mengejutkan. Ternyata dari 12.000 responden di 181 kota dan kabupaten, peran media dalam sosialisasi Pancasila hanya 2 persen.

Artinya, perlu ada upaya intensif merevitalisasi Pancasila lewat buku, tulisan, artikel, dan surat pembaca di koran. Isu-isu terkini dapat dibedah dengan pisau analisis kelima sila, yakni aspek Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial. Dalam konteks ini, penulis bersepakat dengan pendapat Sylvester Kanisius Laku. Menurut Dosen UNPAR tersebut, kebutuhan paling mendesak kita ialah bagaimana merespon pengalaman antikemanusiaan yang masih membelenggu. Mulai dari pemiskinan sistemik, kelaparan dan gizi buruk, nasib petani dan nelayan yang selalu terpuruk, kurikulum pendidikan dasar yang amburadul, kekerasan atas nama agama, kesewenang-wenangan para pemilik modal yang memerluas kerajaan bisnis dengan menggunakan instrumen keamanan dan politik, dll (Pancasila Kekuatan Pembebas, 2012).

Secara khusus penulis menyoroti masalah kekerasan dengan kedok agama. Sepanjang tahun 2011 The Wahid Institute mencatat ada 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Jumlah tersebut meningkat 18 persen dari tahun sebelumnya (2010) yang tercatat 62 kasus. Bahkan sampai pada medio Mei 2012, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyatakan RI (Republik Indonesia) sebagai negara yang kehidupan beragamanya rentan konflik horizontal.

Padahal, sejak awal Bung Karno telah menandaskan, "Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan Islam buat Indonesia. Bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua!" (Sejarah Pemikiran Pancasila, 1985)

Akhir kata, Pancasila tetap merupakan communis opinion (pandangan bersama) yang menyatukan - meminjam istilah Anand Krishna Ph.D - segenap putra-putri Ibu Pertiwi. Kemajemukan kultur, religi, etnis, dan adat istiadat bukan pemicu konflik melainkan kekayaan yang musti dikelola demi kemakmuran bersama. Pun nilai multikultural semacam itu perlu diperkenalkan oleh para guru sejak dini mulai dari ruang-ruang kelas. Salam Indonesia!

Sumber Foto: http://gaul.solopos.com/tuntut-tegakkan-pancasila-199413.html

Tidak ada komentar: