Mei 21, 2013

Membentangkan Ilmu Bersama Buku, Reportase Perayaan Hari Buku Nasional di Bentang Pustaka Yogyakarta

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Selasa/21 Mei 2013
http://mjeducation.co/membentangkan-ilmu-bersama-buku-reportase-perayaan-hari-buku-nasional-di-bentang-pustaka-yogyakarta/


Setiap orang butuh makan untuk mengenyangkan perut. Tapi bagaimana untuk “mengenyangkan” jiwa? Ternyata aneka ragam bacaan merupakan asupan bergizi untuk mengembangkan inteligensi. Menurut J. Sumardianta, kualitas kehidupan seseorang  lima tahun ke depan dapat diprediksi. Caranya dengan meneliti apa saja buku yang biasa ia baca dan dengan siapa ia bergaul dalam keseharian. Artinya, seseorang memang perlu selektif dalam memilih bacaan dan lingkungan pergaulan.

Begitulah salah satu poin penting dalam bincang santai Klub Baca Bentang di halaman belakang kantor Penerbit Bentang Pustaka, Jalan Kalimantan, Yogyakarta, Jumat (17/5) lalu. Acara sederhana tersebut untuk memperingati Hari Buku Nasional 2013. Ada tiga narasumber yang berbagi inspirasi dan pengalaman mereka, yakni Salman Faridi selaku CEO Bentang, Arif Zulkifli selaku aktivis Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) Yogyakarta, dan J. Sumardianta, seorang Guru Sosiologi SMA Kolese De Britto sekaligua penulis buku GGMU (Guru Gokil Murid Unyu).


Sebelum acara dimulai, para peserta boleh menyantap aneka minuman dan makanan di warung angkringan, misalnya seperti wedang jahe, teh hangat, es jeruk, nasi kucing, tempe goreng, krupuk, slondok, tahu bacem, dll. Semua gratis dan prasmanan, para peserta memesan langsung ke bakul yang biasanya mangkal di Jalan Timor-Timur. Khusus Jumat malam tersebut, seluruh dagangannya telah diborong oleh pihak tuan rumah. Lantas, peserta boleh lesehan di atas tikar atau duduk di bangku panjang sembari menikmati alunan musik live. Malam itu, kelompok musik Suara Minoritas membawakan tembang-tembang lawas karya Franky Sahilatua dan Iwan Fals.


“Musik memang sempurna untuk menciptakan suasana romantis,” ujar Nurjannah Intan selaku MC (Master of Ceremony). Intan juga menjelaskan bahwa bincang santai Klub Baca Bentang ini merupakan edisi kedua. Bulan April 2013 lalu yang menjadi narasumber ialah dari Persia. Kemudian, tak lupa ia menyapa para tamu undangan dari Radio Buku, Pro2 RRI, Akademi Bercerita, dan Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) Yogyakarta.

Pada sesi pertama, Salman menyampaikan orasi kebudayaan singkat, judulnya, “Buku Masa Depan Indonesia”. Menurut CEO Bentang tersebut keberadaan buku sangat penting karena usianya sama tua dengan peradaban manusia itu sendiri. Bahkan pada 5000 tahun sebelum masehi, bangsa Mesir telah mengenal huruf Hieroglyph.  Lalu, ayah dua anak tersebut juga meredefinisi makna buku. Buku ialah apa saja yang bisa dibaca, bukan sekadar apa yang tertulis di atas kertas. Nabi Musa pun telah membaca perintah Allah walau saat itu masih tertulis di atas lempengan batu.


Selanjutnya, pria yang telah bertahun-tahun berkecimpung di dunia penerbitan ini mengakui, “Saya memang bukan seorang aktivis yang suka berdemonstrasi di jalanan dan berani berhadap-hadapan dengan aparat, tapi bagi saya menerbitkan dan menyebarluaskan buku juga  sebuah perjuangan, yakni perjuangan agar wacana dibaca mahasiswa dan publik sehingga bisa menggerakkan mereka demi melakukan perubahan yang lebih baik.” Pernyataan tersebut sontak disambut tepuk tangan para hadirin sekalian.

Saat giliran Arif Zulkifli tiba, ia menggunakan cara berbeda untuk berbagi rasa cintanya pada buku. Aktivis Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) itu Yogyakarta sekadar mau mendongeng saja. “Pada suatu hari, saya bertemu dengan para ahli di bidangnya masing-masing, ada yang Profesor Ahli Matematika, Doktor Sosiologi, Pakar IT, Politisi, Peneliti Maritim, dan Praktisi Manajemen,” ujarnya mengawali cerita.

Lantas, kami berdiskusi tentang acara apa yang paling mengasyikkan untuk dilakukan? Salah satu orang mengusulkan agar bagaimana kalau kita berpetualang ke masa depan saja. Mengapa? “Sebab bernostalgia ke masa lalu dan berjalan-jalan di masa kini itu sudah biasa dan suatu keniscayaan. Sedangkan, berpetualang ke masa depan sangatlah mengasyikkan, luar biasa, dan misterius (tak pasti),” imbuhnya.

Pertanyaannya kini ialah bagaimana cara berpetualang ke masa depan? Ternyata sangat mudah, yakni dengan berimajinasi. Masing-masing segera berpetualang ke masa depan. Singkat cerita, pasca puas mengekplorasi, kami pun kembali ke masa kini. Uniknya, cara pandang kami dalam menyikapi masa kini pun berubah sepulang bepergian tadi.

Sang Doktor Sosiologi misalnya, ia mengatakan bahwa ternyata di masa depan ruang publik menjadi virtual. Sehingga tak diperlukan lagi pertemuan fisik face to face. Kemudian Profesor Ahli Matematika turut memaparkan teori himpunan. Intinya, garis adalah himpunan titik-titik. Lalu, bidang merupakan himpunan garis-garis. Nah ruang merupakan himpunan bidang. Tapi ternyata di masa depan ruang tak lagi tiga dimensi melainkan multi dimensi.


“Terkait momentum Hari Buku Nasional saat ini, bagaimana nasib buku di masa depan?” tanyanya kepada peserta secara retoris. Menurut Arif, segala kemungkinan masih bisa terjadi. “Bisa jadi buku cetak mati karena kehadiran e-book seperti banyak diprediksi publik. Tapi sesungguhnya – maaf kepada teman-teman IT – dunia buku cenderung menumpang pada produknya teman-teman IT. Padahal semestinya, aktivis perbukuan harus berani berimajinasi tentang masa depannya sendiri,” ujarnya dan kembali disambut tepuk tangan meriah segenap hadirin.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu, narasumber utama J. Sumardianta siap berbagi pengalamannya di dunia buku dan pendidikan humanis. Guru SMA Kolese De Britto itu setuju dengan hukum Pareto, ternyata 80 persen pendidik tergolong mediocre, superior, dan good (terpuji). Sedangkan hanya 20 persen pendidik yang masuk kategori guru hebat (inspiratif). “Guru Gokil merupakan istilah untuk menyebut para pendidik yang 20 persen tersebut,” ujarnya.

Dari pengalamannya untuk menjadi Guru Gokil seorang pendidik harus mengenal dirinya terlebih dulu. “Menurut teori kecerdasan jamak ala Howard Gardner, saya termasuk man of letters, yakni orang yang kecerdasan utamanya ialah berbahasa. Oleh sebab itu, saya relatif tekun kalau disuruh membaca dan menulis, karena aktivitas tersebut memang berurusan dengan semak belukar kata dan huruf-huruf,” ujar ayah tiga putri tersebut.


Kebiasaan membaca dan menulis (reading and writing habit) itu yang ditularkannya juga kepada para siswa SMA Kolese De Britto. “Di kelas saya memiliki agenda unik, namanya Silent Reading Habit alias program membaca senyap. Selama 45 menit seluruh siswa diam dan membaca dengan tekun. Kegiatan itu dalam rangka memperkenalkan kebiasaan membaca buku kepada generasi gadget,” ujarnya.

Lantas, apa saja materi bacaan mereka? Ternyata beraneka ragam, misalnya novel City of Joy, Tetralogi-nya Andrea Hirata, biografi Barack Obama, dan novel-novel petualangan back packer karya Agustinus Wibowo. Uniknya, Pak Guru bertekad agar setiap angkatan materi bacaannya selalu berbeda, agar cerita dan refleksi mereka pun beragam. “Oleh sebab itu, saya harus terus belajar dan mengikuti perkembangan dunia buku,” ujarnya.

Secara khusus terkait teknik menulis, kolumnis di aneka media nasional tersebut berbagi tips sederhana bagi para hadirin yang sebagian besar kaum muda. Pertama, pilihlah judul yang unik. “Misalnya saat saya memilih judul untuk buku “Guru Gokil Murid Unyu”, Pak Salman dari Bentang langsung searching di Google, ternyata judul tersebut belum ada,” ujar penulis yang memang dikenal piawai mereproduksi istilah-istilah baru dan segar.

Kedua, alinea pertama (untuk artikel) dan kata pengantar (untuk buku) harus nyulek mata, bahasa kerennya eye catching. Sehingga menarik minat pembaca untuk mendalaminya lebih lanjut. Ketiga, tubuh tulisan harus sintal dan berbobot. “Saya bukan tipe penulis 10 senti, yang hanya berbicara dari leher sampai 10 cm ke atas, tapi penulis yang mengeksplorasi dari ujung kaki sampai ujung rambut. Oleh sebab itu, tulisalah apa yang kita lihat, alami, dengar, dan rasakan. Tulisan yang berasal dari hati niscaya sampai ke hati pembacanya juga,” tandasnya.

Keempat, alinea terakhir harus menendang. Oleh sebab itu, ada program di salah satu stasiun televisi swasta berjudul, “Kick Andy”. Andy F. Noya memang berniat memberi kesan mendalam kepada jutaan pemirsa lewat “tendangannya”.


Dalam sesi yang dimoderatori Mbak Eva tersebut, Pak Guru juga mengatakan bahwa ia lebih suka bercerita, bahkan termasuk lewat tulisan-tulisannya. “Di sekolah tempat saya bekerja, De Britto ada program Imersi setiap tahunnya. Para murid wajib hidup bersama orang miskin selama 1 minggu penuh. Sehingga murid-murid yang sebagian besar berasal dari kelas menengah ke atas tersebut juga bisa merasakan kesulitan hidup kaum marginal,” ujarnya.

Dari Yogyakarta menuju Jakarta mereka tak berangkat dengan bis AC seperti dalam acara study tour yang marak dewasa ini, melainkan dengan bis ekonomi. Salah satu anak yang hobi main basket dan berwajah orientalis seperti artis Korea, Suju mendapat tempat di daerah Kebun Nanas Jakarta. Ia tinggal bersama keluarga tukang penggali kubur.

Pada hari Senin malam, ia dibangunkan oleh induk semangnya tersebut karena ada orang meninggal yang akan dimakamkan besok pagi. Malam ini, mereka harus menggali kubur. Ternyata dari pengalaman tersebut, si murid belajar nilai-nilai multikultural. Bukan dari mendengar ceramah di kelas tapi dari refleksi pengalaman riil di lapangan.

Dalam buku “Tapal Batas”, si murid tadi menulis, “Saya seorang Katolik, sedangkan keluarga induk semangnya yang berprofesi sebagai penggali kubur menganut agama Islam, orang yang meninggal dunia juga Muslim. Saat menggali dan menutup liang kubur, saya sempat khawatir kalau saya ikut dalam upacara pemakaman tersebut, bisa melanggar syariah. Tapi ternyata asal tidak memegang tubuh jenazah dan tidak ikut membopongnya, itu tetap afdol dan sah secara agama.“Orang Jakarta (dan bisa jadi kita semua) baru bisa rukun dalam upacara kematian,” imbuhnya.

Sumber Foto: Dok. Pri

Tidak ada komentar: