Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Kamis/23 Mei 2013
Mother Teresa (26 Agustus 1910 – 5
September 1997) merupakan simbol kasih dan pelayanan tanpa pamrih.
Biarawati dari ordo Missionaries of Charity tersebut berkeliling
menyusuri gang-gang sempit perkampungan kumuh di Kalkuta, India untuk
menemani kaum miskin papa pada saat-saat terakhir kehidupan mereka
(sakratulmaut). Tujuannya tak lain agar para orang miskin tersebut
menyadari bahwa masih ada orang-orang yang peduli. Semboyan hidup
peraih nobel perdamaian tahun 1979 tersebut sungguh menggetarkan,
“Lakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar”.
Begitulah salah satu paparan yang
disampaikan Bu Rosa dalam acara diskusi publik dan kuliah umum “Konsep
dan Implementasi Pendidikan Berbasis Kasih di Indonesia” di lantai 3,
gedung Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Senin
(20/5/2013) silam. “Semangat one to one service Bunda Teresa tersebut
perlu diterapkan dalam sektor pendidikan di Indonesia juga,“ imbuhnya.
Sebelum sesi sharing, diskusi dan tanya-jawab, Mgr. Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta, Uskup Keuskupan Agung Semarang turut menyampaikan pendapat beliau terkait gerakan awam, dinamika pastoral, dokumen Gereja sebagai acuan pendidikan humanis, dan harapan-harapan ke depan seturut butir-butir Surat Gembala tertanggal 21 April 2013.
Misalnya dari aspek iman, Tuhan telah
membentuk hati manusia agar memiliki kehendak kuat untuk mewujudkan
cita-cita kehidupan. Tuhan juga telah menganugerahkan sumber kekuatan
yang memberdayakan untuk menjadi manusia dewasa. Oleh sebab itu, guru,
pengajar, pendidik serta pamong harus menjadi teladan bagi para
muridnya. Sehingga kita dapat sungguh saling mengasihi. “Dalam konteks
ini, sinergi antara keluarga, komunitas, dan sekolah menjadi penting
untuk mewujudkan pendidikan berlandaskan kasih di lingkungan
masing-masing,” ujarnya.
Satu hal lain yang menjadi
keprihatinan Romo Uskup ialah praktik ketidakjujuran dalam dunia
pendidikan kita. Menurutnya itu bisa terjadi karena saat bersekolah
anak hanya mengejar nilai akademis. Alhasil, segala cara digunakan
termasuk dengan menyontek. “Padahal ketidakjujuran merupakan benih
korupsi dan kebohongan publik dalam kehidupan bermasyarakat,” imbuh
pria kelahiran Surakarta, 27 Desember 1949 tersebut.
Acara kuliah umum dan diskusi publik
ini memang cenderung cair dan informal. Dalam pengertian terjadi
dialog antara narasumber dan para peserta. Pak Sigit, Dosen Ekonomi
yang telah bekerja selama dua puluh tahun lebih di UAJY (Universitas
Atma Jaya Yogyakarta) pun menyampaikan tawaran solusi atas maraknya
praktik contek-menyontek dan ketidakjujuran tersebut. Selama ini ada
kebijakan di kelasnya, siapa saja yang ketahuan menyontek dalam ujian
otomatis tiga mata kuliah yang lainnya gugur. Oleh sebab itu, si
mahasiswa harus mengulang kembali semester depan alias see you next
semester.
Selain itu, ia bersama rekan-rekan
praktisi pendidikan lainnya di seluruh Indonesia mendirikan GANN
(Gerakan Anti Nyontek Nasional). Pada tahun 2011 silam, mereka sempat
menggelar aksi besar-besaran di Bundaran Hotel Indonesia (HI) di
Jakarta. “Kami juga membagikan stiker secara cuma-cuma, harapannya
agar stiker-stiker anti nyontek tersebut ditempel di kelas-kelas
sehingga para murid dan mahasiswa yang hendak menyontek akan berpikir
dua kali sebelum melakukan perbuatan tak terpuji tersebut,” ujarnya.
Ternyata Romo Uskup mengapresiasi
inisiatif tersebut. Menurut alumnus Universitas St. Thomas Aquinas,
Roma, Italia ini, gerakan komunitas basis semacam itu niscaya membawa
perubahan, seperti telah terbukti keampuahannya di Amerika Latin,
Filipina, dan berbagai belahan dunia lain. “Memang harus ada creative
minority (minoritas kreatif) yang berjuang di tengah arus besar yang
inhuman (tidak manusiawi),” imbuhnya.
Selanjutnya, minoritas kreatif yang
kecil-kecil tersebut akan bergabung menjadi satu kekuatan besar yang
dinamai critical mass (massa yang kritis). Bila kerja sama, dialog,
sinergi tersebut terus dilakukan secara konsisten maka akan tercipta
sebuah kultur sekaligus struktur yang saling mendukung. Alhasil,
terciptalah masyarakat yang memiliki habitus baik.
Dari aspek para pendidiknya sendiri,
Pak Hariadi turut memberikan sumbang saran. Menurutnya perlu ada
semacam pemurnian motivasi internal dalam diri para guru (di sekolah)
dan dosen (di universitas). “Sebab selama ini, masih sedikit sekali
jumlah pendidik yang sungguh berniat mengabdi. Sebagian besar
mentalnya masih berlindung pada institusi pendidikan tempat ia
bekerja, bisa jadi itu pun termasuk saya,” akunya yang disambut tepuk
tangan peserta lain.
Tak ketinggalan salah satu orang tua
murid menceritakan pengalamannya yang cukup mengusik kenyamanan.
Anaknya yang masih duduk di bangku SD kelas 2 harus membayar SPP
Rp280.000 per bulan, bahkan setiap tahun nominal tersebut terus naik.
“Saya terus terang keberatan kalau terus naik seperti itu, karena saat
kelas 6 SD bisa jadi jumlah SPP-nya semakin besar,” ujar ibu
tersebut.
Ironisnya, tatkala ibu tadi bertanya
kepada Kepala Yayasan sekolah tempat anaknya menuntut ilmu. Sang
Kepala Yayasan tersebut malah menjawab dengan ketus, intinya kalau
memang tak kuat membayar SPP tak usah bersekolah di sini. “Di mana
implementasi konsep pendidikan berlandaskan kasih tersebut Romo
Uskup?” tanya ibu tersebut.
Menurut Romo Uskup, pendidikan berbasis
kasih memang tak cukup diucapkan tapi harus dilaksanakan. Bahkan
ungkapan-ungkapan tak semestinya dari Kepala Yayasan semacam itu juga
termasuk kategori kekerasan secara verbal. Sebagai solusinya, beliau
mengusulkan adanya code of conduct, etika atau aturan dasar yang
disepakati bersama antara pihak yayasan, sekolah, para pendidik, dan
orang tua murid. Alhasil, lembaga pendidikan berlandaskan kasih sungguh
dapat menjadi kenyataan.
Secara lebih mendalam, Mgr. Johannes
Pujasumarta juga mengatakan bahwa esensi pendidikan ialah melatih
kemampuan discernment (memilah) siswa. Sehingga anak didik dapat
membedakan apa yang menjadi sarana dan apa yang menjadi tujuan.
Konkritnya terkait gadget atau alat komunikasi. “Kalau menggunakan satu
model HP selama setahun penuh, itu berarti menempatkannya sebagai
sarana komunikasi. Tapi kalau terus bergonta-ganti HP sesuai mode
keluaran terbaru, maka itu sudah menjadikan sarana sebagai tujuan,”
ujarnya.
Masih terkait sarana komunikasi modern
seperti HP, iPad, internet, dll, salah seorang peserta dari floor
menyampaikan tesisnya. “Semua peralatan modern tersebut memang bisa
mendekatkan orang yang jauh tapi justru menjauhkan orang-orang yang
dekat.” Misalnya kini jarang kita menjumpai anggota keluarga bisa
berkumpul bersama menyantap telo (singkong) goreng di sore hari sembari
menikmati teh hangat. Mengapa? Karena semua sibuk dengan gadget-nya
sendiri-sendiri.
Ternyata fenomena keterasingan tersebut
juga terjadi di sekolah. Hubungan antara guru dan murid lebih
bersifat transaksional karena jeratan materialisme yang sedemikian
kuat. Padahal dulu bila seorang siswa sakit, seorang guru sampai
menyempatkan diri untuk datang ke rumah siswa tersebut. Ternyata si
anak tak masuk sekolah karena malu tak bisa membayar SPP. “Kamu harus
tetap masuk sekolah, urusan SPP tak usah dipikirkan yang penting kamu
bisa terus sekolah,” tutur salah satu peserta dari floor menirukan
ungkapan tulus gurunya semasa di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
Tak terasa diskusi selama kurang lebih
satu setengah jam tersebut telah usai. Sebagai kata penutup, Romo
Uskup mengakui bahwa ia banyak terinspirasi dari Romo Utomo, rekan
biarawan yang fokus pada pemberdayaan masyarakat pedesaan dan
pertanian organik di Bantul, Yogyakarta. Analoginya mirip seperti
bercocok tanam, “Jika kita menabur benih-benih kebencian di kelas maka
di masa depan kita akan menuai kehancuran, sebab seperti kata pepatah
barang siapa menabur angin maka ia akan menuai badai. Tapi
sebaliknya, kalau kita menabur benih-benih kasih maka kelak akan
bertunas, tumbuh dan berbuah lebat. Habitus baik itulah yang akan
mengubah struktur dosa menjadi struktur rahmat untuk kita semua.”
Salam pendidikan!
Sumber Foto: Dok. Pri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar