Mei 08, 2013

Belajar di Sekolah Kehidupan

Dimuat di Kompas.com, Rabu/8 Mei 2013

Judul:  School of Life, 30 Pelajaran Kehidupan Inspiratif dari Tokoh dan Kisah Mendunia
Penulis: Yotam Sugihyono dan dr. Alvita Dewi
Penerbit: Visi Press
Cetakan: 1/2012
Tebal: 133 halaman
ISBN: 978-602-8073-68-4
Harga: Rp30.000

Tahukah Anda siapa penemu Kodak? Kamera yang masih menggunakan roll film sehingga fotografer dapat memotret 100 gambar. George Eastman ialah orang pertama yang memperkenalkan inovasi tersebut. Sebelum pria kelahiran 12 Juli 1854 di Waterville, New York itu mempopulerkan Kodak, para fotografer harus membawa kamera berukuran besar dan sangat berat.

Tatkala ia hendak berlibur ke Santo Dominggo, George Eastman jeli melihat peluang tersebut, yakni bagaimana membuat kamera yang lebih sederhana (simple) dan mudah dibawa kemana-mana. Hingga kini pun nama Kodak tetap tak terlupakan. Dalam konteks ini, tesis Louise Pasteur masih relevan, “Peluang hanya menyukai mereka yang pikirannya siap.” (halaman 26).

Lewat buku ini, penulis juga menyodorkan satu gagasan cemerlang. Bila ada pensil dengan penghapus di atasnya, mengapa belum ada orang membuat ballpoint dengan cairan penghapus (tipe x) di atasnya juga?  Secara teknis, ada 3 tahapan dari sebuah inovasi. Pertama, amati dengan saksama lingkungan sekitar Anda dan temukan aneka peluang di sana. Kedua, tulis di atas secarik kertas rencana kerja Anda. Ketiga, segera kerjakan, buat impian tersebut jadi kenyataan.

Ibarat sebuah lagu, karya ini dinyanyikan secara duet. Penulisnya pasangan suami-istri, yakni Yotam Sugihyono dan dr. Alvita Dewi. Saat ini, Sugihyono sedang melanjutkan studi S2 Teologi. Sedangkan, dr. Alvita sedang mengambil Program Pendidikan Dokter Spesialis Bagian Ilmu Kedokteran Nuklir di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. Sebelumnya, mereka telah menulis buku “Menggapai Bintang-bintang Harapan” dan “Warrior of Life”.

Ada juga cara mendidik yang unik dalam buku ini. Seorang ayah memperhatikan sikap anaknya yang sering marah-marah, merasa tidak puas, dan menyimpan dendam terhadap orang-orang di sekitarnya. Walau sudah dinasehati berkali-kali, tapi belum ada perubahan yang signifikan. Sang ayah tak kehabisan ide, ia lalu meminta anaknya selalu membawa kantong plastik transparan berisi tomat. Masing-masing tomat ditulisi nama orang-orang yang dibencinya. Anaknya harus membawa kantong plastik tersebut kemanapun ia pergi. Agar anaknya mau melakukan hal tersebut, ayahnya menjanjikan sebuah sepeda bila dapat mengerjakan tugas dengan baik.

Singkat cerita, setiap hari anaknya membawa kantong plastik kemana-mana. Entah itu ke toilet, bermain, ataupun tidur. Setelah beberapa hari tomat-tomat tersebut mulai membusuk, berbau tak sedap, dan berulat. Sang anak  merasa jijik  dan mengadu kepada ayahnya.

Lalu, sang ayah menjelaskan begini, “Seperti itulah kebencian yang selalu kau bawa nak, apabila engkau tak bisa memaafkan orang lain maka hatimu akan penuh berisi kebusukan seperti tomat-tomat tersebut.” Sejak saat itu sang anak berubah, segala ketidakpuasan yang dirasakan segera dibuangnya sehingga wajahnya memancarkan keceriaan senantiasa (halaman 100). Kisah tersebut membuktikan kebenaran sebuah petuah bijak, “Memaafkan  ibarat membebaskan tahanan dan kemudian engkau tahu bahwa tahanan tersebut adalah diri Anda sendiri.”

Dr. Alvita juga mengisahkan perjuangan hidupnya menaklukkan kanker sebanyak dua kali. Benang merah buku ini memang perjuangan para tokoh yang - walau dalam kondisi terjepit tapi tetap melangkah maju dan sukses meraih impian. Senada dengan petuah bijak Rabindranath Tagore, “Jangan biarkan aku memohon supaya rasa sakitku diredakan, melainkan supaya hatiku menaklukkannya.” (halaman 121). Hebatnya, tak sekadar berhenti pada fase pencapaian prestasi pribadi, mereka pun berbagi berkah dan sharing pengalaman dengan sesama.

Alkisah, siang itu matahari musim panas bersinar terik, Butler sedang bekerja di dalam garasinya di sebuah kota kecil di Arizona, Amerika Serikat. Keringatnya deras bercucuran. Tiba-tiba ia mendengar terikan seorang wanita minta tolong dari belakang rumahnya. Butler bergegas mengayuh kursi rodanya menuju ke arah suara tersebut. Tapi karena ia terhalang pagar dan kursi rodanya tak bisa melintasi, pria tua itu turun dari kursi roda dan memanjat pagar dengan kedua tangan.

Pasca berjuang sekuat tenaga hingga membuat tangan dan tubuhnya berdarah-darah penuh luka, Butler melihat seorang anak tanpa dua tangan tenggelam dan berada di dasar kolam renang. Rasa kesakitan dan perih itu tak lagi dihiraukan, ia segera terjun dan menyelam ke dasar serta membopong bocah kecil itu ke tempat aman.

Ibu sang anak berdiri di tepi kolam sembari terus berteriak histeris. Apalagi ketika melihat Stephanie anaknya tidak bergerak sama sekali. Ia begitu terguncang menyaksikan anaknya tenggelam sementara ia tak bisa menolong karena tak bisa berenang. Lalu Butler menenangkannya, “Ibu tenang saja, karena semua akan baik-baik saja, saya akan menjadi tangannya dan kita pasti dapat melewati semua ini.” Ia segera memberi nafas buatan. Setelah beberapa saat, Stephanie batuk-batuk kecil dan sadar kembali.

Karena keadaan sudah membaik, ibunda Stephanie penasaran dan bertanya bagaimana mungkin Butler yang tidak memiliki dua kaki mampu meloncati pagar serta begitu tenang  menolong anaknya? Butler kemudian mengisahkan pengalamannya, “Saya ini seorang veteran perang di Vietnam. Suatu hari saya menginjak ranjau dan kedua kaki saya terpotong. Tak ada seorangpun datang menolong kecuali seorang anak perempuan Vietnam. Bocah tersebut dengan susah payah menyeret tubuh saya sampai ke desa dan berbisik dengan Bahasa Inggris yang terbata-bata, “Semuanya akan baik-baik saja, saya akan menjadi kakimu, kita akan mampu melewati semua ini.” Kini saatnya giliran saya membalasnya (halaman 96).

Lewat kisah di atas penulis memaknai frasa “mau berterimakasih”. Sebagai tindakan yang muncul dari hati dan berasal dari kesadaran bahwa dirinya pernah ditolong orang lain. Oleh sebab itu, ia memiliki kerinduan untuk menolong orang lain juga. Secara lebih mendalam, bukankah pada hakikatnya manusia eksis sampai sekarang karena ada orang lain di luar sana telah menolong kita?

Jadi seyogyanya setiap orang mulai bergerak menolong sesama. Sebagai wujud ungkapan terimakasih sekaligus kesediaan menjadi pahlawan bagi mereka yang menerima pertolongan kelak. Jika untaian rantai “mau berterimakasih” terus dijalin oleh semakin banyak orang niscaya dunia menjadi lebih indah. Dalam konteks ini, jangan pernah takut untuk berbagi sebab menyitir pendapat Anne Frank, “Tidak seorangpun pernah jatuh miskin karena memberi.” (halaman 97).

Inspirasi Alam

School of Life juga menimba inspirasi dari alam, terutama dunia fauna. Ada sebuah pohon ditanam bersama pohon-pohon lainnya. Waktu terus berlalu, tapi pohon tersebut tak segera tumbuh, padahal pohon lain telah menjulang tinggi dan beberapa di antaranya bahkan telah berbuah lebat.

Pada tahun ketiga, pohon tersebut baru memberi tanda-tanda kehidupan. Sebuah tunas kecil menyembul dari dalam tanah. Ia begitu rapuh di banding pohon-pohon lainnya yang telah berdiri kokoh. Uniknya, setelah tunas pohon tersebut tumbuh, ia tidak berhenti tumbuh sementara pohon-pohon lainnya telah berhenti tumbuh. Pohon itu mengungguli pohon-pohon lainnya yang notabene telah mulai tumbuh terlebih dulu. Tahukah Anda nama pohon tersebut, ya betul namanya pohon Redwood. Ia dikenal sebagai pohon tertinggi di dunia.

Pertanyaaanya ialah kenapa pohon Redwood baru tumbuh ketika menginjak tahun ketiga? Ternyata pohon tersebut sama dengan pohon-pohon lainnya yang bertumbuh. Bedanya, pohon lain bertumbuh ke atas, sedangkan pohon Redwood tumbuh ke bawah. Ia berakar ke bawah dan mengokohkan akar-akarnya dengan menembus tanah keras dan bebatuan cadas. Pasca selesai mencengkramkan akar-akarnya dengan kuat, baru ia tumbuh ke atas, terus dan terus hingga mencapai ketinggian optimal.

Dalam konteks ini, penulis menandaskan bahwa karakter manusia pun seperti cerita di atas. Pertumbuhan ke dalam lebih penting ketimbang pertumbuhan keluar. Karakter ialah watak dan jati diri seseorang, sementara kepribadian ialah hasil dari pencitraan semu.

Dewasa ini, memoles kepribadian memang lebih mudah seiring menjamurnya diklat-diklat kepribadian, tapi bila seseorang  hendak memiliki karakter yang tangguh, maka ia butuh latihan bertahun-tahun bahkan sampai seumur hidup. Thomas Paine pun menyetujuinya, “Reputasi adalah apa yang dipikirkan tentang diri Anda. Sedangkan karakter ialah apa yang diketahui Tuhan tentang diri Anda.” (halaman 42).

Buku setebal 133 halaman ini berukuran mini tapi bermanfaat maksi. 30 kisah nyata di dalamnya dapat dijadikan referensi untuk meningkatkan kualitas hidup. Sebab menyitir pendapat Harjanto Halim, Budayawan, Dosen dan Pengusaha asal kota Lumpia Semarang, “School of Life meyakinkan kita bahwa kerja keras dan tahan banting ialah bagian tak terpisahkan dari proses panjang memaknai hidup.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris PKBM Angon (Sekolah Alam), Ekskul English Club SMP Kanisius Sleman dan TK Mata Air Yogyakarta)
 
Editor :
Jodhi Yudono
1368029056880622464

Tidak ada komentar: