Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Rabu/22 Mei 2013
Saat pengumuman UN (Ujian Nasional)
telah menjadi hari penghakiman (judgement day). Betapa tidak, saat
itulah “nilai” diri seorang siswa diverifikasi oleh otoritas bernama
negara. Anehnya proses evaluasi bukan dilakukan oleh para guru tapi
oleh Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Bukankah
yang mengajar para pendidik di kelas, tapi kenapa yang menguji seluruh
siswa dari Sabang sampai Merauke justru kaum birokrat di pusat sana?
Jika untuk tingkat SMP dan SMA mungkin
(walau dengan berat hati) masih bisa ditolerir. Sebab para siswa
sudah menginjak usia remaja bahkan mulai beranjak dewasa. Sehingga
mereka relatif dapat mengolah beban stres dan belajar menentukan
pilihan yang tepat bagi masa depannya. Tapi kalau untuk anak-anak
setingkat SD (Sekolah Dasar)/MI (Madrasah Ibtidaiyah), menurut penulis
UN sama sekali belum perlu. Sebab mereka masih asyik menikmati
indahnya masa kanak-kanak untuk belajar sambil bermain. Mata pelajaran
yang diujikan dalam UN seperti Bahasa Indonesia, Matematika, IPA
(Ilmu Pengetahuan Alam) perlu disampaikan lewat cara-cara yang
menyenangkan, bukan lewat drilling latihan pilihan ganda.
Lewat opini ini, penulis sekadar
melontarkan sederet pertanyaan reflektif. Logikanya sederhana, jawaban
normatif merupakan hasil dari pertanyaan normatif. Ibarat puncak
gunung es, itu hanya 12 persen yang tampak di permukaan lautan.
Padahal jauh di bawah laut masih tersembunyi 88 persen gugusan badan
dan kaki gunung es tersebut. Dalam konteks ini, pertanyaan-pertanyaan
reflektif menemukan relevansinya, yakni untuk “mengguncang” sistem
keyakinan (belief system) Mendikbud, M. Nuh yang berasumsi bahwa UN
2013 baik-baik saja. Jadi keberlangsungan UN harus tetap dilestarikan.
Kalau toh ada sedikit kendala di tingkat SMA itu hanya soal teknis di
percetakan.
Apakah sungguh demikian? Menurut
petuah bijak, sebelum seseorang berbicara - terlebih bagi seorang
pejabat publik - seyogianya THINK. Apakah itu Truth (benar), Helpful
(menolong), Inspiring (menginspirasi), Necessary (bermanfaat), dan Kind
(baik). Uniknya, kalau sesuatu itu benar otomatis menolong,
menginspirasi, bermanfaat (migunani), dan baik/indah. Faktanya kenapa
UN justru begitu merepotkan? TNI (Tentara Nasional Indonesia) sampai
harus turun tangan mendistribusikan soal dan LJUN (Lembar Jawaban Ujian
Nasional).
Pertanyaan selanjutnya, apakah tepat
membuat soal beserta lembar jawab UN (LJUN) dengan begitu banyak
variasi? Kalau tujuannya sekadar mengantisipasi kebocoran dan praktik
contek-menyontek, betapa mahal ongkos produksi yang harus dibayar.
Dalam pepatah Jawa memang ada peribahasa “jer basuki mawa bea”, tapi
alangkah lebih baik jika pendidikan karakter dan budi pekerti lebih
diutamakan. Dalam konteks ini, Kemendikbud dan segenap jajarannya -
harus menyitir petuah Ki Hadjar Dewantara - “Ing Ngarso Sung Tulodho” di
depan memberi contoh untuk mengutamakan kejujuran, menyatukan kata dan
tindakan.
Bagi kalangan yang pesimis barangkali
langsung menyanggah, apakah itu mungkin di tengah mentalitas koruptif
dewasa ini? Jawabannya mungkin sekali. Arita Gloria Zulkifli (Arita
Kiefl) layak disebut sebagai pelopor transformasi dunia pendidikan di
republik tercinta. Ia siswi kelas XII SMA Charitas Jakarta yang berani
berbicara blak-blakan ihwal karut-marut pelaksanaan UN tingkat SMA.
Wawancara eksklusif dengan pemudi yang masih berusia 16 tahun ini
ditayangkan live oleh MetroTV pada Jumat malam (19/4). Rekamannya pun
kini beredar luas di Youtube.
Semula Arita menulis di sebuah portal
jurnalisme warga pada Senin siang (15/4). Ia baru pulang merampungkan
UN hari pertama dan langsung menumpahkan isi hati di http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/15/keluhan-ljun-curahan-hati-seorang-pelajar-551326.html.
Ihwal nilai kejujuran ia menulis begini, “Tak bisa dipungkiri
kecurangan UN memang ada dimana-mana, bahkan aku ditawari bocoran
secara cuma-cuma, dan bukan munafik teman tercinta pun banyak yang
mengandalkannya. Syukur, teman-teman yang aku maksud bukan teman
sekolah, kami semua bersih. Sampai mati aku gak bakal pakai ‘contekan’,
aku bukan pecundang. Lebih baik aku gagal karena prinsip, keteguhan
hati, nurani dan akhlak, daripada berhasil karena curang. Bukan
idealis, hanya realistis.”
Tapi kalau seumpama pemerintah hendak
meneruskan model soal dan LJUN beragam tersebut. Ada baiknya riset
intensif Prof. Howard Gardner dari Harvard University dijadikan
referensi. Prof. Gardner ialah penemu 8 jenis kecerdasan anak. Tipe
musikal lebih suka belajar sambil mendengarkan musik. Tipe
visual-spasial lebih suka memperhatikan media gambar warna-warni. Tipe
logis-matematis lebih suka bergelut dengan angka. Tipe linguistik kaya
perbendaharaan kata dan bahasa. Tipe kinestetik lebih suka belajar
menggunakan gerakan. Tipe intrapersonal rajin mencatat di buku harian.
Tipe interpersonal menikmati proses belajar bersama teman-teman. Tipe
naturalis biasanya suka belajar di bawah langit di tengah alam terbuka.
Artinya, orang tua dan para guru perlu
memperhatikan anak secara cermat. Sehingga dapat mengenali
kecenderungan gaya belajar mereka. Alhasil, proses pembelajaran
menjadi aktivitas yang mudah, lancar, dan menyenangkan. Prinsipnya
sederhana tapi universal. Tidak ada anak bodoh di dunia ini. Mereka
hanya perlu diberi kesempatan untuk mengeluarkan potensi diri secara
optimal. Nah dalam konteks ini teori Multiple Intelligent sungguh
menemukan relevansinya. Jika tahun depan UN 2014 masih akan tetap
diadakan, Kemendikbud perlu membuat UN seturut teori multi
inteligensia di atas. Salam pendidikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar