Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/10 Mei 2013
Semula istilah “kelirumologi”
dipopulerkan oleh Jaya Suprana. Menurut budayawan yang identik dengan
kepala plontos dan gaya bicara ceplas-ceplos tersebut, “kelirumologi”
bukanlah sebuah cabang ilmu pasti, “kelirumologi” sekadar paham untuk
menemukan kekeliruan guna mencari kebenaran.
Ketika diwawancarai secara eksklusif oleh Andy F. Noya, Jaya Suprana mengakui secara blak-blakan
bahwa definisi “kelirumologi” sendiri telah mengalami otokritik
berkali-kali. “Kelirumologi” identik dengan niatan penemuan kekeliruan
sekaligus kebenaran namun belakangan ini pencetus Museum Rekor
Indonesia (MURI) tersebut menyadari kalau proses menemukan kebenaran tak
semudah membalikkan telapak tangan. Jadi konsekuensi yang paling
realistis ialah sedapat mungkin berupaya mendekati kebenaran. Dalam
konteks makro, metode ini pun sebuah cara efektif untuk menciptakan
peradaban yang lebih baik.
Terkait “kelirumologi” sektor
pendidikan, ada satu poin yang menarik sekali. Menurut Jaya Suprana,
istilah “Departemen Pendidikan” itu sudah salah kaprah. Mengapa? Sebab
saat Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) masih hidup, beliau senantiasa
menyebutnya “Departemen Pengajaran” saja.
Artinya, istilah “pendidikan” memang
relatif terlalu luas. Alhasil, mustahil jika seluruh tanggung jawab
tersebut dibebankan kepada para pengampu sekolah formal. Pada
hakikatnya, pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga, pemuka agama,
dan komunitas sosial (termasuk media massa). Jadi kalau kita hendak
mengacu pada tanggung jawab sekolah formal, istilah yang lebih tepat
ialah “pengajaran”.
Sedikit kilas balik (flashback),
lantas apakah tujuan sesungguhnya dari pendidikan? Menurut Anand
Krishna Ph.D ialah menjadikan apa yang terpikir, itu pula yang terasa.
Jadi ucapan dan tindakan sama alias satunya kata dan tindakan. Istilah
“individual” dalam bahasa Inggris pun berasal dari kata indivisible – tidak dapat dibagi-bagi.
Bisa jadi inilah biang keladi
karut-marut dunia pendidikan nasional, yakni karena pemerintah
(terlalu) berharap pada sekolah formal guna menjawab tujuan mulia di
atas. Padahal kembali menyitir tesis awal Jaya Suprana, sejatinya
proses pendidikan berlangsung sejak anak bangun tidur di pagi hari
sampai ia menutup mata kembali pada malam hari. Jadi proses ini menjadi
tanggung jawab kita bersama. Senada dengan pendapat John Dewey
(1859-1952), ”Pendidikan bukan persiapan untuk hidup tapi kehidupan itu
sendiri.”
Hak asasi
Pengajaran sejatinya bukan komoditi melainkan hak asasi. Dalam konteks
ini, pemerintah wajib menjamin ketersediaan akses vital tersebut bagi
setiap anak bangsa. Tapi faktanya, masih banyak anak berkeliaran di
jalanan karena ketiadaan biaya sekolah. Saat ini tercatat 1 juta anak
usia sekolah yang meninggalkan bangku sekolah karena kendala biaya.
Data Menakertrans menyebut 85 persen anak putus sekolah tersebut
menjadi pekerja anak.
Entah itu mereka bekerja di sektor
informal sebagai nelayan, pembantu rumah tangga, kuli perkebunan, anak
jalanan bahkan sampai pada sektor pariwisata dan bisnis hiburan.
Ironisnya lagi, sebagian besar pekerjaan itu merupakan aktivitas
terburuk bagi psikis dan – meminjam istilah Romo Mangun – pemekaran
tumbuh kembang jiwa anak.
Kendati demikian, Anies Baswedan
mengajak setiap warga negara untuk berhenti mengecam kegelapan dan
mulailah menyalakan lilin. Tak sekadar beretorika, Rektor Universitas
Paramadina Jakarta tersebut menggagas Gerakan Indonesia Mengajar https://indonesiamengajar.org/. Hingga tahun 2013 ini Indonesia Mengajar sudah memasuki proses pendaftaran angkatan VI.
Aksi nyata lainnya digagas oleh Yayasan Sekolah Kehidupan (The School Of Life).
TSOL didirikan oleh Priskilla Smith Jully pada 12 Desember 2005 silam.
Uniknya, beliau ini seorang tuna netra sejak lahir yang pernah
mengalami trauma sakitnya penolakan oleh keluarga dan masyarakat.
Untungnya, ia bertemu dengan Sang Cahaya Hati yang mau menerima dirinya
apa-adanya. Lantas, Priska membuka TSOL yang menerima semua orang,
tanpa membedakan SARA dan latar belakang sosial-ekonomi.
Dari kedua contoh di atas, terbukti
bahwa pengajaran sungguh dapat menjadi hak asasi jika (dan hanya jika)
setiap kaum terpelajar mau mengambil tanggung jawab dan berkontribusi
nyata dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa seturut janji
Proklamasi Kemerdekaan dan Pembukaan UUD 1945 alinea 1, “Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Budaya melungsur
Menurut catatan statistik Adi Guritno, selama satu dasawarsa terakhir,
Indonesia sudah berganti kurikulum sebanyak empat kali. Tak pelak jika
ada sentilan miring bahwa setiap ganti menteri, ganti kurikulum juga.
Dalam konteks ini, penulis bersepakat dengan analogi dari Nien Yudanto.
Bukankah kalau sayuran kurang asin, kita hanya perlu membubuhkan
tambahan garam, kenapa harus sayurnya yang dibuang?*
Salah satu imbas perubahan
kurikulum ialah pergantian buku pelajaran. Artinya, para orang tua –
terutama yang berasal dari keluarga miskin – harus berpikir keras dan
membanting tulang agar bisa membeli setumpuk buku baru untuk anaknya.
Padahal jika masih menggunakan kurikulum terdahulu, siswa dapat
melungsur (memakai ulang) buku pelajaran dari kakak-kakak kelasnya.
Hal-hal sepele tapi signifikan
(penting) semacam ini acap kali diabaikan oleh para penentu kebijakan
publik. Sebagai perbandingan, pejabat di India sana tetap konsisten
melestarikan budaya saling melungsurkan buku kakak kelas bagi
adik-adiknya. Bukankah ini juga merupakan turunan nyata terkait semangat
solidaritas dan gotong-royong?
Terakhir tapi penting, kenapa
“ritual” pergantian kurikulum selalu datang jelang perhelatan akbar
pemilu? Bisa jadi dengan menggelontorkan dana APBN untuk mengganti
kurikulum kian terbuka kesempatan untuk dikorupsi. Data ICW (Indonesian Corruption Watch)
pun mencatat bahwa 40% dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) menguap
di tengah jalan sebelum sampai ke sekolah. Sungguh sebuah ironi jika
amanah almarhum bapak bangsa (founding fathers) untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa justru dijadikan proyek demi mencari
tambahan dana kampanye, bukan? Dalam konteks tersebut, petuah Ki Hadjar
Dewantara ini masih tetap relevan, “Pengajaran bertujuan untuk
menjadikan siswa berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental,
cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggung jawab
atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain.”
*(Mjeducation.co, edisi cetak Februari 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar