Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu/4 Mei 2013
http://mjeducation.co/parade-pantomim-di-taman-budaya-yogyakarta-seruan-penuh-makna-dalam-bahasa-kesunyian-bagian-2/
Wajah-wajah
Seusai pentas pantomim sesi pertama yang ditutup dengan gemuruh tepuk tangan dari ribuan hadirin yang memadati Concert Hall
TBY, Agus RRI selaku pembawa acara kembali ke atas panggung. Lampu
ruangan yang semula redup dihidupkan kembali. Lantas, penyiar Radio
Republik Indonesia tersebut memanggil dua orang seniman besar pantomim
Yogyakarta, yakni Tri Moerti Purnomo dan Broto Wijayanto. Walau berasal
dari dua generasi yang berbeda, tapi toh mereka dapat bersatu dalam gawe (upaya) mempopulerkan kembali pertunjukan seni teater dalam diam ini.
Ternyata Tri Moerti
Purnomo merupakan pendiri bengkel teater “Timoer Mime”. Sejak 1960-an
ia telah berproses bersama para penggiat pantomim di Indonesia. Jika
dianalogikan dengan pentas pembacaan puisi, beliau ialah “Rendra”-nya
pantomim. Lalu, pria yang kini berusia 73 tahun tersebut sedikit
menjelaskan konsep lakon “Wajah-wajah” yang akan segera dipentaskan oleh
anak-anak didiknya. “Pertunjukan kali ini termasuk gaya modern mime, karena diwarnai gerak stakato, stirilisasi, dan metode olah tubuh dari huruf latin A-Z,” ujarnya.
Pimpinan produksi
pentas “Wajah-wajah” dipunggawai oleh Ign. Karyono. Staf pengajar di
SMKI Yogyakarta itu menggambarkan lakon ini secara puitis, ”Wajah-wajah
yang kosong menatap masa depan, berharap akan adanya perubahan.
Orang-orang yang diharapkan menjadi penolong malah mempermainkan hati,
rupa, bentuk dan karakter manusia. Wajah mereka berubah seturut yang
mempermainkannya. Wajah-wajah yang dipermainkan melihat kondisi yang
semakin mencengangkan, orang memperlakukan orang lain seenaknya sendiri.
Konflik dan pertikaian tak terelakan lagi, yang tertindas berganti
menindas. Mungkin akan adanya kesadaran atau kekosongan yang akan terus
menghantui peradaban.”
Sebagian besar
pemain lakon pantomim “Wajah-wajah” masih berusia muda. Mereka
siswa-siswi dan alumnus SMKI Yogyakarta, sebuah sekolah menengah atas
yang terletak di pinggiran kota Yogyakarta, tepatnya di Bugisan. Para
pelakon muda ini memang memilih untuk fokus menggeluti dunia seni.
bermain-main dengan aneka wajah yang berada di atas meja panjang. Semula
atmosfer yang tercipta ialah keceriaan dan dagelan. Setiap kali mereka
memainkan telapak tangannya, wajah-wajah tersebut mengikuti gerakan itu.
Tapi kemudian
datanglah dua orang penjagal berpakaian serba hitam. Mereka memaksa
kedua muda-mudi itu untuk memasung wajah-wajah tak berdosa tadi. Jika
tidak mau menuruti perintah, mereka berdua yang akan dihabisi. Akhirnya,
satu-persatu kepala-kepala tersebut dipenggal oleh kedua muda-mudi itu.
Sepasang remaja yang semula polos kini menjadi beringas karena dipaksa
keadaan. Ruh-ruh “Wajah-wajah” tadi berubah menjadi balon warna-warni.
Bisa jadi sebagai representasi jiwa manusia yang tak pernah mati.
Tak kalah dengan pertunjukan sesi pertama, pentas kedua ini juga mendapat sambutan meriah dari ribuan penonton yang memadati Concert Hall
TBY. Guna memberi kesempatan bagi para hadirin untuk menghela nafas,
Agus RRI mengumumkan bahwa pentas ketiga baru akan digelar 15 menit
lagi. “Silakan jika hendak ke kamar kecil atau beristirahat menghirup
udara segar sejenak di luar ruangan,” ujarnya.
Sang Veteran
“Bengkel Mime
Theatre (BMT) adalah kelompok seni pertunjukan yang menggeluti seni
pantomim sebagai basis bentuk pertunjukan,” begitulah penjelasan Agus
RRI sebelum pentas sesi ketiga yang bertajuk “Sang Veteran”.
Keunikan BMT
terletak pada eksplorasi nilai-nilai seni pantomim dengan pendekatan di
luar pantomim itu sendiri, antara lain lewat seni tari, teater, sastra,
rupa, film, dan bahkan ilmu pengetahuan non seni. BMT didirikan pada 2
Mei 2004 di Yogyakarta. Pelopornya Andy Sri Wahyudi, Ari Dwianto, dan
Asita.
Malam itu, BMT mempersembahkan lakon “Sang Veteran’. Kisah seorang mantan pejuang yang galau menghadapi perubahan zaman, “Ah, mengapa harus ada perang dan kenangan? Kini aku hanya duduk terpaku memandangi cerita masa lalu yang datang menghantui. Aku masih ingin bicara tentang perjuangan, cinta dan cita-cita, tapi masa jaya telah terlupa dan pekik merdeka telah berubah tawa…”
Adegan pantomim
dibuka dengan suasana perang di era revolusi fisik. Desingan peluru dan
ledakan granat menjadi “santapan” sehari-hari kaum republikan. Kendati
demikian, ancaman maut tersebut tak menyurutkan asa untuk meraih
kemerdekaan. Selain itu, tersaji pula bumbu-bumbu perjuangan, yakni
berupa kisah cinta sang jejaka dengan Rohayati. Dara jelita itu
merupakan kenangan abadi dalam pelukan masa muda Sang Veteran.
Untung tak dapat
diraih, malang tak dapat ditolak, romantika mereka harus diakhiri dengan
salam perpisahan. Rohayati tewas tertembak peluru nyasar di tengah amuk
perang. Dalam hati Sang Veteran membatin, “Tak ada yang tahu bahwa
masih ada bara dalam tubuh rapuh ini. Lalu untuk apa dan siapa
perjuangan dan bara apiku ini?” Andy Sri Wahyudi selaku penulis naskah
berhasil mengaduk-aduk emosi penonton. Ceritanya benar-benar
menghanyutkan. Ia menyuguhkan dunia dengan setumpuk ironi. Karena berupa
pentas pantomim, semua itu disampaikan lewat bahasa kesunyian.
Trotoar,
Wajah-wajah, dan Sang Veteran, tiga suguhan pantomim nan kaya gizi bagi
jiwa. Menurut pengakuan Jamaluddin Latif, sutradara lakon “Trotoar”,
“Ini pertama kali dalam karyaku melibatkan anakku sendiri. Terima kasih
ya, Risang.…” Peristiwa seni memang sejatinya bisa menyatukan kita
semua. Salam budaya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar