Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Senin/20 Mei 2013
Menurut penelitian Hans Berger pada
tahun 1924, gelombang otak dapat dipakai untuk mendeteksi pendarahan
otak, infeksi otak, gangguan jiwa, penyakit epilepsi, stroke, bahkan
kanker otak. Ahli syaraf asal Jerman tersebut berhasil mencetak grafik
gelombang otak manusia dalam selembar kertas. Caranya dengan
menggunakan perlengkapan radio untuk memperkuat impuls listrik sebesar
sejuta kali lipat lebih di sel syaraf jaringan otak. Alat tersebut
merupakan cikal bakal EEG alias Electro Encephalo Graph (Gurunya
Manusia, Munif Chatib, 2013).
Seiring bergulirnya waktu, kini temuan
itu bermanfaat pula bagi proses pembelajaran di kelas. Dalam keadaan
Delta (0,5-3,5 Hz) sangat tidak mungkin anak didik belajar. Kenapa?
Karena ini merupakan saat tidur tanpa mimpi. Tak mungkin seorang guru
mengajar di hadapan para murid yang sedang lelap tertidur bukan?
Selanjutnya, gelombang Teta (3,5-7 Hz) merupakan kondisi tidur dan
bermimpi.
Dalam konteks ini, dongeng sebelum
tidur menemukan relevansi dan signifikasinya. Menurut Taufiq Pasiak,
dongeng yang disampaikan secara menarik dan tulus niscaya diingat
sampai anak beranjak dewasa. Bahkan petuah bijak dalam balutan cerita
itu terus diwariskan secara turun-temurun. Kenapa? Karena dongeng
menjadi kenangan pertama yang diunduh (download) oleh bawah sadar
ketika buah hati tercinta mulai terlelap.
Kendati demikian, saat tepat untuk
belajar ialah pada gelombang Alfa (7-13 Hz). Dalam kondisi ini manusia
bersikap santai tapi waspada. Neuron (sel syaraf) otak sedang dalam
keadaan harmoni. Dalam pengertian, ketika menembakkan impuls listrik
secara bersamaan (kompak), demikian pula saat beristirahat
(rileksasi).
Terakhir tapi penting, gelombang Beta
(13-25 Hz) yakni ketika sedang kondisi jalan macet, lantas ada motor
nyelonong menyalip serampangan. Lazimnya, timbul rasa marah, jengkel,
stres, ingin teriak, dan seterusnya. Kondisi ini tercermin lewat
fenomena anak yang berbicara sendiri, ribut, enggan mendengarkan,
berlari-larian, serta memasang mimik wajah yang tak bersahabat. Jika
seorang guru bersikukuh melanjutkan proses pembelajaran, niscaya
sia-sia saja.
Lantas bagaimana solusinya? Kembalikan
gelombang otak ke kondisi Alfa. Caranya dengan memberikan stimulus
tambahan. Antara lain berupa ice breaking (aktivitas permainan untuk
mencairkan suasana), fun story (cerita lucu), musik, dan brain gym
(senam otak).
Akhir kata, apa indikator kalau anak
didik sudah siap belajar lagi? Ketika wajah sumringah, sorot mata
berbinar, bibir mengulas senyum termanis, dan bahkan bisa tertawa
ceria. Ini saat tepat melanjutkan pembelajaran.
T Nugroho Angkasa SPd
Guru bahasa Inggris
di PKBM Angon (Sekolah Alam) http://www.angon.org/
Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman dan TK Mata Air Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar