Mei 19, 2013

Gelombang Otak dan Proses Pembelajaran

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Senin/20 Mei 2013

Menurut penelitian Hans Berger  pada tahun 1924, gelombang otak dapat dipakai untuk mendeteksi pendarahan otak, in­feksi otak, gangguan jiwa, penyakit epilepsi, stroke, bahkan kanker otak. Ahli syaraf asal Jerman tersebut berhasil mencetak grafik ge­lombang otak manusia dalam selembar kertas. Caranya dengan menggunakan perlengkapan radio untuk memperkuat impuls listrik sebesar sejuta kali lipat lebih di sel syaraf jaringan otak. Alat tersebut merupakan cikal bakal EEG alias Electro Encephalo Graph (Guru­nya Manusia, Munif Chatib, 2013).

Seiring bergulirnya waktu, kini temuan itu bermanfaat pula bagi proses pembelajaran di kelas. Dalam keadaan Delta (0,5-3,5 Hz) sangat tidak mungkin anak didik belajar. Kenapa? Karena ini merupakan saat tidur tanpa mimpi. Tak mungkin seorang guru mengajar di hadapan para murid yang sedang lelap tertidur bukan? Selanjutnya, gelombang Teta (3,5-7 Hz) merupakan kondisi tidur dan bermimpi.

Dalam konteks ini, dongeng sebelum tidur menemukan relevansi dan signifikasinya. Menurut Taufiq Pasiak, dongeng yang disampaikan secara menarik dan tulus niscaya diingat sampai anak beranjak dewasa. Bahkan petuah bijak dalam balutan cerita itu terus diwariskan secara turun-temurun. Kenapa? Karena dongeng menjadi kenangan pertama yang diunduh (download) oleh bawah sadar ketika buah hati tercinta mulai terlelap.

Kendati demikian, saat tepat untuk belajar ialah pada gelombang Alfa (7-13 Hz). Dalam kondisi ini manusia bersikap santai tapi waspada. Neuron (sel syaraf) otak sedang dalam keadaan harmoni. Dalam pengertian, ketika menembakkan impuls listrik secara bersamaan (kompak), demikian pula saat beristirahat (rileksasi).

Terakhir tapi penting, gelombang Beta (13-25 Hz) yakni ketika sedang kondisi jalan macet, lantas ada motor nyelonong menyalip serampangan. Lazimnya, timbul rasa marah, jengkel, stres, ingin teriak, dan seterusnya. Kondisi ini tercermin lewat fenomena anak yang berbicara sendiri, ribut, enggan mendengarkan, berlari-larian, serta memasang mimik wajah yang tak bersahabat. Jika seorang guru bersikukuh melanjutkan proses pembelajaran, niscaya sia-sia saja.

Lantas bagaimana solusinya? Kembalikan gelombang otak ke kondisi Alfa. Caranya dengan memberikan stimulus tambahan. Antara lain berupa ice breaking (aktivitas permainan untuk mencairkan suasana), fun story (cerita lucu), musik, dan brain gym (senam otak).

Akhir kata, apa indikator kalau anak didik sudah siap belajar lagi? Ketika wajah sumringah, sorot mata berbinar, bibir mengulas senyum termanis, dan bahkan bisa tertawa ceria. Ini saat tepat melanjutkan pembelajaran.

T Nugroho Angkasa SPd
Guru bahasa Inggris
di PKBM Angon (Sekolah Alam) http://www.angon.org/
Ekskul English Club di SMP Kanisius Sleman dan TK Mata Air Yogyakarta
136901428849777910
Sumber Foto: http://brmlab.cz/project/brainmachine

Tidak ada komentar: