RIMANEWS - Sebagai orang awam yang tak begitu paham hukum, saya
mengernyitkan dahi sembari geleng-geleng kepala tatkala menyaksikan
proses (percobaan) eksekusi lewat layar kaca (live) terhadap Susno
Duadji di kediamannya di Jalan Dago Pakar Nomor 6, Kelurahan Ciburial,
Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Rabu (24/4/2013) silam.
Pertanyaannya, apa yang membuat bingung? Yakni karena pihak kejaksaan
tebang pilih. Senada dengan pendapat Anggota Komisi III DPR, Eva
Sundari, “Anand Krishna (AK) dengan kasus yang sama, yaitu tidak
terpenuhi KUHP pasal 197 yang harusnya batal menurut hukum ada pemaksaan
eksekusi. Aparat kajari Jakarta Selatan dikerahkan, dibantu polisi
setempat menangkap paksa AK. Tapi ternyata untuk Susno Duadji (SD) dan
salah satu bupati didiamkan saja hingga saat ini.”
Selain itu, politisi PDIP tersebut juga menyoroti perlindungan yang
diberikan Polda Jabar kepada Susno Duadji. Seharusnya polisi netral dan
tak memihak (Sumber: http://news.detik.com/read/2013/04/24/210917/2229706/10/susno-gagal-dieksekusi-komisi-iii-pengacara-bisa-perintah-polri-ya?991101mainnews).
Di sisi lain, pihak pengacara mantan Kabareskrim Mabes Polri tersebut
memaparkan alasan penolakan mereka. Salah satunya karena dalam putusan
di tingkat pengadilan tinggi (PT) terjadi kesalahan fatal. Kasus orang
lain dipakai untuk menjerat Susno. Nah ternyata setali tiga uang dengan
modus operandi yang dilakukan untuk mengkriminalisasikan Anand Krishna.
Parahnya lagi, itu justru terjadi di tingkat MA (Mahkamah Agung).
Putusan MA terhadap Krisna Kumar Tolaram Gang Tani alias Anand Krishna
terdapat kejanggalan juga. Dalam putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum
(JPU) mencantumkan kasus pidana merek sebagai salah satu alasan kasasi.
Seperti dalam salinan putusan Anand Krishna yang di-download dari
website MA, Rabu (14/11/2012), dalam halaman 38 muncul pertimbangan JPU
Martha Berliana Tobing mengajukan kasasi:
“Bahwa sebagai bukti bagi Judex Juris tentang tidak pedulinya Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap fakta hukum yang tertuang
dalam tuntutan pidana kami dapat dilihat dari putusan yang dibuat oleh
Judex Facti Nomor 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 yang tidak
secuil pun menyinggung tuntutan pidana kami sehingga dengan demikian
sungguh cukup beralasan demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum untuk
menganulir putusan Nomor 20/Pid/2006/PT/Bdg tanggal 21 April 2006 yang
dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat.”
Setelah ditelusuri, nomor perkara 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April
2006 adalah sengketa pidana merek. Dalam berkas perkara MA tersebut,
duduk sebagai terdakwa Erik Mulya Wijaya.
Erik didakwa atas perbuatan yang melanggar pasal 24 ayat 1 UU No
5/1984 tentang Perindustrian. Di tingkat kasasi, Erik dihukum 2 tahun
penjara karena menggunakan merek yang sama dengan merek yang terdaftar
milik pihak lain (Sumber: http://news.detik.com/read/2012/11/14/100955/2091191/10/astaga-jaksa-pakai-kasus-pidana-merek-untuk-kasasi-anand-krishna).
Yusril Ihza Mahendra menganalogikannya secara gamblang, “Saya maling
ayam, lalu Anda yang dihukum, mau?” tanyanya kepada reporter salah satu
televisi swasta. Kemalasan staf pengadilan membuat mereka suka copy
paste. Secara lebih makro, pakar hukum tata negara itu menandaskan
betapa kacaunya persidangan kita. Alhasil, tidak ada kepastian hukum di
negeri ini. Bagaimana bangsa Indonesia bisa maju?
Dalam blog pribadinya, AS Hikam juga turut mengomentari anomali hukum
ini. Menristek pada era Gus Dur itu menulis, “Eksekusi paksa terhadap
Susno Duaji (SD) oleh pihak Kejaksaan, ada miripnya dengan yang terjadi
dengan kasus Pak Anand Krishna (AK). Pihak Kejaksaan mengklaim
menjalankan putusan MA sementara SD dan AK menganggap putusan tersebut
tidak sesuai dengan aturan hukum.
Tindakan Kejaksaan adalah eksekusi secara paksa pada kedua terdakwa.
Namun kemiripan itu stop sampai di sini. Dalam eksekusi paksa terhadap
Pak AK, pihak kepolisian (Bali) justru membantu Kejaksaan, yang tak
segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap pendukung Pak AK di
Ashram Ubud, sehingga beberapa perempuan mengalami luka. Sementara,
dalam kasus SD, sampai status ini diposting, tampaknya Polda Jabar
justru melindungi SD dari tim Kejaksaan dengan membawa sang mantan
Jenderal Polisi tersebut ke Mapolda.
Memang, ketika Pak AK dulu dieksekusi paksa pun, beliau pergi ke
Mapolda untuk menghindari kekerasan lebih jauh. Namun, alih-alih ada
negosiasi, beliau malah langsung di bawa ke Jakarta dan masuk ke penjara
Cipinang. Kita belum tahu apakah dari sana SD juga akan menuju ke balik
jeruji, karena konon pihak Kejaksaan dan pengacara SD sedang negosiasi
di Mapolda. Apakah mungkin karena Pak AK bukan mantan Jenderal Polisi,
sehingga tidak perlu repot-repot negosasi? Wallahua’lam…” (Sumber: http://www.mashikam.com/2013/04/kisah-dua-eksekusi-paksa-kejaksaan.html)
Secara kritis AS Hikam juga mempertanyakan standar ganda yang
diterapkan aparat kepolisian, “Terlepas dari persoalan hukum (yang
mbulet menurut orang yang bukan pakar hukum seperti saya), tetapi sikap
Polri dalam soal SD ini sungguh memalukan dan terang–terangan
manipulatif. Polisi melakukan “penyelamatan” dengan alasan yang sangat
hebat: karena diminta oleh warganegara (SD) yang merasa terancam
keselamatan dan keamanannya (sambil menyitir pasal-pasal dari UU Hanneg
No 3/2002).
Argumen ini terdengar hipokrit jika kita bertanya: apakah Polri juga
melakukan hal yang sama kepada Pak Anand Krishna? Apalagi kepada rakyat
kecil yang tiap hari terancam preman, jemaah Ahmadiyah yang terancam
nyawa dan terusir, jemaah Syi’ah yang diusir dar kampungnya, dll?
Jawabannya cuma satu kata: Mbelgedhes!!
Mengerikan! Hukum bisa hancur di tangan para penegak hukum! Itulah
yang disebut “rule BY law” sebagai lawan dari “role OF law.” (Sumber: http://www.facebook.com/mashikam?fref=ts) (tna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar