Desember 20, 2013

Mengenang Romo Kun

Dimuat di Majalah Basis, Nomor 11-12, Tahun ke-62, Desember 2013

Selasa kliwon malam (3/9/2013) Landung Simatupang dan kawan-kawan memukau ratusan hadirin yang memadati Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta. Saking membludaknya para penonton sampai harus duduk lesehan di sisi barat dan timur pendopo. 

Landung membacakan petikan gubahan pupuh Arjunawiwaha berdasarkan terjemahan mendiang Dr. Ignatius Kuntara Wiryamartana, S.J. untuk mengenang 40 hari meninggalnya pakar sastra Jawa kuna itu.

Tak kenal maka tak sayang, begitu kata pepatah. Siapakah Romo Kun? Lahir di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah pada 19 Oktober 1946 silam. Romo Kuntara menghembuskan nafas terakhir dalam usia 67 tahun di Rumah Sakit Elizabet, Semarang pada Jumat 26 Juli 2013 dinihari pukul 01.45 WIB. 

Ia pernah menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Namanya kian termasyhur berkat disertasi yang merupakan suntingan teks Kakawin Arjunawiwaha pada 1987. Buku Arjunawiwaha sendiri pernah diterbitkan oleh Duta Wacana University Press (1990). Disertasi tersebut terinspirasi dari kitab Kakawin Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042).

Menurut Hariadi Saptono, wartawan dan Direktur Eksekutif Bentara Budaya Jakarta (BBJ), pembacaan kutipan gubahan Arjunawiwaha untuk mengenang 40 hari Kuntara Wiryamartana SJ penting dilakukan. Karena Romo Kuntara merupakan seorang penghayat budaya Jawa yang mumpuni. Disertasi Arjunawaiwa tulisan beliau merupakan karya yang monumental, tapi tidak terlalu diperhatikan oleh khalayak ramai.

Saat ini generasi muda memang cenderung berkiblat pada budaya asing. Entah itu kebarat-baratan, kekorea-koreaan, keindia-indiaan, kecina-cinaan, dan lain-lain, padahal budaya lokal warisan leluhur menyimpan kebijaksanaan adiluhung. Misalnya dari segi bahasa, berapa banyak penerus bangsa yang masih bangga menggunakan bahasa Indonesia dan daerahnya? Sebagian besar justru lebih sering menggunakan bahasa alay dalam komunikasi sehari-hari.

Kendati demikian, Guruh Sukarno Putra pernah berpendapat bahwa itu bukan 100 persen kesalahan kaum muda. Kenapa? Karena generasi di atasnya tidak pernah mengajari dan memberi informasi memadai ihwal keberagaman budaya Nusantara. Salah satunya terkait kearifan lokal bahasa Jawa. Ada tingkatan dalam berbahasa yang mencerminkan unggah-ungguh, mulai dari ngoko, kromo madya, hingga kromo inggil.

Nyawiji

“Romo Kuntoro, bagi saya adalah seorang dosen yang mempunyai kemampuan akademik kuat. Ia banyak memberi pelajaran pada banyak orang, dan dia meminta untuk konsentrasi penuh pada bidang yang dipelajari,” begitulah testimoni Dr. Christanto Wismanugraha, selaku pengajar jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Dalam bahasa Jawa, Romo Kun menyebut proses tersebut dengan istilah sebagai nyawiji. Contoh konkretnya adalah Arjuna. Tatkala ia digoda oleh para bidadari agar terjaga dari tapa brata, Arjuna tetap bertafakur dalam semedi. Berikut ini petikan kisah yang digubah dan dibacakan oleh Landung Simatupang dkk dengan diiringi irama gamelan:

“Banyak tingkah para bidadari utusan dewa hendak membongkar tapa brata Panduputra. Matahari sudah pergi, rembulan mengganti. Kesengsem ia memandangi bidadari. Terbuai asmara ia, tak putus menyinari, akhirnya menyelinap sembunyi, awan menutupi.

Tergila-gila agaknya para aspari memandang rupawan Sang Arya Parta. Maunya menggoda, malahan tergoda. Terhenyak, termangu, dihanyut birahi mereka berlagu. Ada satu yang bergabung dalam senandung, sembari menjentik-jentik jari kaki.

Ada yang mencumbu pudak wangi, menggubah syair tentang Sang Parta. Bunga wangi itu didekap, disusuinya, sesekali dipandang dan disapanya, “Raden, anakku, ketakutanmu tak mendapat pengakuan sungguh terlalu! Sudahlah, berhenti menangis sayang! Bapamu itu memang tak pernah mau peduli!

Ada juga yang lincah, pantang mundur, mahir memancing gairah. Mencumbu merayu, menjepit tangan Sang Arya. O, ia mabuk kepayang mendekatkan tangan Arjuna pada susunya. Bagai mendesah rintih buluh bergesekan dengan hatinya.”

Aslinya naskah tersebut berbahasa Jawa kuna. Namun untuk kepentingan pementasan telah diadaptasi oleh Landung Simatupang ke dalam bahasa Indonesia dengan seizin almarhum. Tujuannya agar bisa dipahami oleh penonton. Bukan tidak mungkin, kelak pupuh Arjunawiwaha tersebut juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa internasional lainnya. Sehingga dapat mengharumkan nama bangsa dan dinikmati oleh masyarakat dunia.

Puisi

Selain menulis disertasi, Romo Kuntara juga gemar menulis puisi juga. Sebagian besar ditulis saat beliau studi lanjut di Delf, Belanda. Menurut Prof. P.M Laksana, “Separuh hidup saya di dalam hidup beliau. Ketika dingin menerjang dan kesepian menghantui di negeri orang, kami dua putra bangsa sering bertemu dan saling menguatkan satu sama lain.” Berikut ini petikan puisi Romo Kun yang dibacakan Kris Budiman, judulnya “Ketika Angin Mati.”

“Bunyi-bunyi terpendam berdenting-denting
Melantingkan suara-suara kehidupan
Aku pun terbungkuk menunduki gusuran jari-jemari
Merayapi lembaran kertas buram
Mengisi kekosongan yang menggamangkan…” (Delf, November 1982)

Pak Bambang dari Solo juga menjelaskan klangenan Romo Kuntara berupa wayang Petruk. Almarhum suka sekali dengan tokoh Punakawan tersebut karena sikapnya yang merdeka, prigel, dan wasis. Dulu saat masih mengajar sebagai dosen, Romo Kun juga tak melulu belajar di kelas. Para mahasiswanya diajak ke kraton, ke pantai, ke pasar tradisional, dll untuk merasakan dinamika kehidupan masyarakat dan menyatu dengan lingkungan sekitar.

Menurut Ons Untoro, dari Tembi Rumah Budaya menganggap bahwa kontribusi Romo Kun terasa sangat penting bagi Tembi, karena sejak Tembi didirikan pada 2000 beliau ikut membincangkan bersama dengan beberapa pemikir lainnya seperti Prof. Dr. P.M Laksono, Prof. Dr. Sumito A. Sayuti, dan P. Swantoro. “Kami berbincang-bincang mengenai embrio sebuah lembaga, yang sekarang dikenal publik dengan nama Tembi Rumah Budaya ini," ujarnya.

Bahkan nama "Tembi"  Romo Kun sendiri yang mengusulkan. Asal katanya dari Katemben, karena konon dusun Tembi merupakan tempat tinggal para abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tugasnya menyusui para putra dan putri keluarga Mataram. Daerah Tembi sejak dulu hingga kini memang relatif subur dan asri alamnya.

Akhir kata, Romo Kuntara telah meninggalkan kita semua. Kendati demikian, karya-karya beliau selalu mendapat tempat di hati para pembacanya. Selamat jalan Romo, semoga mendapat tempat terbaik di sisi-Nya…Sugeng tindak Romo...Rahayu....Rahayu...Rahayu...(T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris di Yogyakarta dan Pecinta Budaya Jawa)



Tidak ada komentar: