Agustus 30, 2013

Jejak Langkah Orang-orang Hebat

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu/31 Agustus 2013

Judul: Orang-Orang Hebat, Dari Mata Kaki ke Mata Hati
Penulis: Emanuel Dapa Loka
Penerbit: Altheras Publishing
Cetakan: 1/ Juli 2013
Tebal: xxv + 223 halaman
ISBN: 978-602-14175-0-8
Harga: Rp50.000

Ibarat cendawan di musim hujan, belakangan banyak terbit buku berisi kisah-kisah orang hebat. Kendati demikian, sebagian besar memuat pengalaman para tokoh dari negeri seberang. Keunikan buku ini memuat aneka pengalaman inspiratif dari dalam negeri sendiri.

Jika sekadar mencermati tokoh-tokoh dari luar negeri, bisa jadi muncul apologi. Mereka kan bisa seperti itu karena kebijakan pemerintah mendukung. Nah lewat buku ini, Emanuel Dapa Loka membabarkan perjuangan 20 orang hebat yang penuh inisiatif berkontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.

Kalau toh ada beberapa pendatang dari luar negeri seperti Andre Graff, Frans Magnis Suseno, Andre Moller, dan Johan B. Kassut mereka telah berkiprah di kepulauan Nusantara sejak lama. Beberapa sudah menjadi WNI (Warga Negara Indonesia) pun berikhtiar kelak jenazahnya minta dimakamkan di bumi pertiwi tercinta.

Contohnya Andre Graff yang kini berdomisili di pelosok Kampung Waru Wora, Kecamatan Laboya, Kabupaten Sumba Barat, NTT. Ia sampai mengirim surat khusus ke Kedutaan Perancis agar kalau dia meninggal, mayatnya tidak perlu dikirim ke negara asal. “Biasanya pemerintah akan mengirim mayat orang yang meninggal. Saya bilang tidak usah. Saya mau masuk di tanah orang miskin dengan biaya yang paling murah. Mayat saya tidak punya arti, saya berharap yang saya buat selama hiduplah yang punya arti,” terang jebolan jurusan Biologi Universitas Strasbourg tersebut (halaman 65).

Kedua puluh kisah dalam buku ini diramu secara matang. Versi bahasa Inggrisnya telah dimuat di harian The Jakarta Post. Jaya Suprana dalam bagian epilog mengapresiasi Emanuel Dapa Loka yang tekun menulis dan menerjemahkan kehebatan para tokoh yang tak lekang oleh waktu tersebut. “Bayangkan betapa hebat kisah seorang putera Indonesia yang dilahirkan dan dibesarkan di Pulau Sumba, NTT yang tentu saja - sempat menjadi joki menunggangi kuda Sumba, yang kemudian mengembara ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu sambil mencari nafkah sebagai penjual buku dengan menunggangi sepeda onthel sebelum menjadi penulis freelance pada salah satu koran terkemuka berbahasa Inggris dan akhirnya berhasil menulis dan menerbitkan buku hebat yang sedang Anda baca ini.” (Halaman 223).

Belajar Jujur

Dalam bidang pendidikan, penulis mengangkat sosok St. Kartono (46 tahun), guru bahasa Indonesia di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta. Nilai integritas menjadi inti liputan tokoh bertajuk, “Guru yang Menulis dengan Jujur”. Sejak kecil, anak  mandor perkebunan di Surakarta itu sudah bercita-cita besar. Kartono remaja hobi membaca majalah dan buku-buku. Ia sangat menikmati sajian tulisan di dalamnya. Dalam hati ia merasa kagum dan berguman, “Suatu saat nama saya pasti ada di sini. Saya ingin nama saya juga dikenang orang!”

Puluhan tahun berselang, mimpi tersebut sungguh menjadi kenyataan. Dua bulan pasca resmi menjadi Guru di SMA De Britto, tulisannya dimuat di harian lokal Yogyakarta. Alhasil, kiprahnya di Sekolah Menengah Atas khusus laki-laki yang mengizinkan siswanya berambut gondrong tersebut menjadi titik kompromi pribadi sebagai jurnalis sekaligus akademisi.

Pilihan Kartono ternyata menorehkan satu warna khas. Kenapa? sebagai seorang guru, tulisan-tulisannya berangkat dari pengalaman riil di kelas. Itulah yang membedakan Kartono dengan para pengamat pendidikan dan penulis-penulis lainnya. “Ketika saya tulis tentang “relasi dengan murid yang baik dan manusiawi” misalnya, orang akan ngecek pada murid-murid, benarkah Kartono menerapkan itu? Bahkan ada orang tua yang mencermati tulisan-tulisan saya, lalu dia ngecek kepada anaknya yang sekolah di De Britto, benarkah saya melaksanakan apa yang saya tulis,” ungkap penyandang nama lengkap Stefanus Kartono tersebut (halaman 127).

Kesimpulannya, sebagai guru yang menulis ia mau terus belajar jujur. Setiap hal yang ia tulis bersumber dari pengalaman sehari-hari atau itulah yang akan segera ia perbuat. Jadi bagi Kartono menulis adalah “perjanjian” dengan pembaca dan sewaktu-waktu bisa ditagih. Ia pun menyadari dirinya bukan orang yang sempurna. Kendati demikian, ia tetap berkewajiban mengobarkan nilai adiluhung. Komposisi tulisan Kartono selalu 80:20. Artinya, 80% realitas dan 20% merupakan cita-cita ideal.

Kuat dalam Kelemahan

Masih dari dunia pencerdasan kehidupan bangsa, penulis juga mengisahkan pergulatan Agust Dapa Loka (51 tahun). Guru dari NTT tersebut tetap menulis meski infeksi tulang menyiksa. Pasca kecelakaan lalu lintas yang dialaminya pada 14 Juni 2009 silam, tiada hari tanpa rasa sakit. Kerapkali ia tak bisa tidur semalaman. Kalau sudah begitu, istrinya ikutan begadang sampai pagi sembari memijat kaki suami tercinta.

Biasanya sakit tak terperi muncul karena Agust terlalu capai. Tapi karena tuntutan ekonomi keluarga, ayah 3 anak tersebut harus bekerja ekstra keras. Bahkan ia sampai melebihi jam kerja orang normal. Sebagai Guru SMA Katolik Anda Luri, Waingapu, Sumba Timur, NTT, Agust harus berada di sekolah sejak pukul 07.00 sampai 14.30 WITA. Pada hari-hari tertentu, ia juga melakoni pekerjaan sampingan sebagai MC atau pembawa acara untuk resepsi pernikahan.

Sepulang sekolah, jika tidak ada undangan nge-MC ia membuka laptop untuk menulis. Agust baru saja menyelesaikan sequel kedua novelnya yang berjudul “Perempuan itu Bermata Saga”. Bagian pertama telah diterbitkan oleh Elex Media Komputindo pada akhir Maret 2011 silam. Menurut pengakuan penulis, Agust ialah pria bermata saga juga. Kenapa? Karena ia berani melawan sakit dan berhasil “mengalahkannya”. Dalam kelemahan Agust menjadi kuat.

Intinya dalam novel tersebut Agust melukiskan kekaguman pada kekuatan seorang perempuan. Fakta tersebut terepresentasikan dalam diri sang istri. Dalam situasi sakit akibat amputasi dan infeksi nyeri tulang kaki,  istrinya tetap merawat Agust dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Kendati demikian, sang istri tidak abai melakukan tugas-tugas ibu rumah tangga lainnya.

Berkat novel tersebut, Agust mendapat penghargaan NTT Academia Award 2011 untuk kategori humaniora. Novel Perempuan itu Bermata Saga sudah terbit tapi kaki kanannya yang dipotong persis 5 sentimeter di atas lutut belum kunjung sembuh. Terkait dengan kondisinya tersebut, Agust berkata lirih, “Saya pasrah saja. Semoga Tuhan segera mengirim kesembuhan itu. Sebab untuk operasi lagi, tak mungkin. Biayanya sangat mahal. Puluhan juta. Dari mana saya dapat uang sebanyak itu?” (halaman 141).

Masih ada 18 kisah inspiratif orang-orang hebat lainnya yang niscaya mengundang decak kagum. Mereka semua berkecimpung lintas sektoral dengan beragam profesi. Mulai dari Franciscus Welirang (Bergerilya Kampanye Ketahanan Pangan), Hanordy Boentario (CEO ini Mantan Guru TK), Zuhairi Misrawi (Tekadnya Menaklukkan Kemiskinan), Dewa Bujana (Karena Gitarku adalah Hidupku), Gerson Poyk (Ketika Sastrawan Gelisah tentang Indonesia), Vincentius Kirjito (Sang Semangat dari Lereng Merapi), Aloysius Moeller (Menebus dan Menembus Kemiskinan), dll.

Tiada gading yang tak retak, begitu pula buku ini. Banyak kesalahan ketik. Jadi kalau hendak dicetak ulang perlu disunting secara lebih teliti lagi. Terlepas dari kelemahan minor tersebut, buku setebal 223 halaman ini merupakan sumber inspirasi untuk meningkatkan kualitas hidup. Akhir kata menyitir pendapat R. Priyono, Mantan Kepala BP Migas, “Karakter Sukasrana adalah karakter pahlawan yang tidak dikenal, yang bekerja untuk orang lain tanpa pertimbangan “jual-beli”. Dia tidak peduli bahwa dengan pengabdian itu, namanya semakin kecil sementara nama orang lain menjadi kian besar. Dengan diluncurkannya buku ini semoga makin banyak “orang hebat” meski tidak dikenal tapi terus mengabdi…” Selamat membaca!

1377924596505265975

Tidak ada komentar: