Dimuat di Jateng Pos, Minggu/25 Agustus 2013
Judul: The Art of Educating, Cinta di Rumah, Kasih di Sekolah
Penulis: A. Mintara Sufiyanta, SJ
Editor: Indah Sri Utami
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/April 2013
Tebal: 174 halaman
ISBN: 978-979-21-3532-9
“Kunci bagi semua hal adalah kesabaran. Anda mendapatkan ayam dengan menetaskan telur bukan dengan memecahkannya.” (Arnold Glaslow, halaman 22).
Suatu
hari seorang guru muda memberi tugas kepada para muridnya di kelas.
Mereka diminta untuk menulis sebuah esai. Topiknya ialah andai aku
menjadi perabotan rumah tangga, aku ingin menjadi perabotan apa dan
mengapa aku ingin menjadi perabotan tersebut?
Salah satu
murid paling pandai di kelas itu menulis demikian: Di antara semua
perabotan itu, aku paling ingin menjadi televisi. Sebab, dengan menjadi
televisi, kedua orang tuaku akan lebih sering melihatku. Mereka jadi mau
memperhatikan aku. Mereka juga akan mendengarkan aku dengan lebih
saksama.
Bahkan mereka sampai berkata kepada yang lain
agar menutup mulut tatkala aku sedang berbicara. Mereka tidak akan
menyuruhku keluar dari kamar. Mereka tidak akan menyuruhku pergi tidur
di tengah-tengah permainan atau saat aku sedang asyik mengerjakan apa
yang aku sukai. Sebagaimana mereka tidak akan pernah pergi tidur sampai
seluruh program televisi usai.
Kisah tersebut penulis kutip dari buku Parables and Fables for Modern Man Vol. IV
karangan Peter Ribes, SJ (1991). A. Mintara Sufiyanta, SJ membacanya di
perpustakaan di Kandy, Srilanka ketika retret. Pengalaman menyentuh si
anak itu termaktub dalam subbab bertajuk, “The Boy and The TV Set”.
Lantas,
Rohaniwan Jesuit yang bekerja sebagai Direktur Yayasan
Kanisius-Pendidikan Cabang Jogjakarta tersebut membagikan materi di atas
kepada beberapa orang tua, guru dan dosen. Pudji Tursana asal Jakarta
mengungkapkan komentar pasca membacanya, “Merasa kasihan dan berbela
rasa untuk anak itu. Rasanya banyak anak kini yang ingin jadi televisi.”
Di
zaman modern ini memang banyak anak haus perhatian dari kedua orang
tuanya yang sibuk bekerja. Banyak anak ingin didengarkan omongannya.
Banyak anak ingin dipahami dunia bermainnya. Banyak anak ingin menjadi
prioritas dan mendapatkan porsi waktu yang memadai dari orang tua di
rumah. Hal senada juga diidamkan oleh para murid di sekolah. Banyak
murid ingin mendapatkan semuanya itu dari gurunya.
Grace
Triyani, seorang ibu sekaligus guru SMA di Tangerang berkomentar dari
sudut pandang orang tua dan pendidik, “Itulah sifat dasar manusia.
Seorang yang keras hatinya sekalipun kalau diberi perhatian yang tulus
dari orang lain pasti akan luluh juga. Oleh karena itu, menghadapi anak
yang sulit (dalam sikap) penyelesaiannya hanya satu, yaitu berikan dia
perhatian yang tulus terus-menerus, pasti dia akan berubah.
Saya
sudah membuktikannya. Kenapa? Karena manusia mempunyai hati nurani.
Ketulusan dan kesetiaan untuk terus-menerus meneteskan kasih dan
perhatian ialah kuncinya. Sekeras apa pun pribadi seorang anak, di
kedalaman dirinya ada sebutir mutiara jiwa manusia bernama hati nurani.”
(halaman 15).
Lewat buku ini, penulis juga memaparkan
cara membumikan semangat belarasa di era digital dalam konteks
pendidikan. Intinya perlu ada integrasi antara hati (heart), pikiran atau kepala (head), dan tangan (hands). Moderator SMA Loyola Semarang (2004-2006) tersebut menemukan inspirasi menarik dari sebuah berita elektronik (www.sjapc.net).
Isinya pidato Romo Mark Raper, SJ dalam Simposium Internasional ke-31
bertema “Education with a Social Dimension: the Challenges of
Globalization” di Sophia University, Tokyo, Jepang pada 10 Desember 2011 silam.
Romo
Mark Raper menekankan pentingnya berpikir kritis dan refleksi guna
melahirkan belarasa. Pertama berpikir kritis, misalnya untuk
mempertanyakan apa akar penyebab korupsi di republik ini? Kedua
refleksi, pendidikan seharusnya menunjukkan kepada siswa/mahasiswa di
mana letak hati mereka berada. Sehingga dapat memfasilitasi generasi
muda tumbuh sebagai pribadi dewasa yang mampu berbicara dan bertindak
secara benar dan dilambari integritas.
Selain itu,
generasi penerus bangsa tersebut siap sedia membantu sesama yang lemah,
tertindas, dan terpinggirkan. Sebab, mereka menemukan kebahagiaan sejati
lewat pemberian diri dan pelayanan sosial. Dalam konteks ini,
keteladanan ialah cara paling efektif untuk mengajarkan nilai keutamaan
hidup. Oleh sebab itu, orang tua di rumah dan para guru/dosen di
sekolah/universitas harus mempraktikkan kesadaran tersebut. Sehingga
dapat menjadi contoh nyata di depan mata anak-anak dan para
siswa/mahasiswa. Senada dengan petuah Mahatma Gandhi, “My life is an experiment with truth.” (Hidupku merupakan eksperimen dengan kebenaran).
Sistematikanya, buku ini terdiri atas 2 bagian pokok. Pertama, “To Live is To Love,
Bapakku, Guru Hidupku,” berisi pengalaman penulis merasa dicintai orang
tua di rumah. Biasanya seorang anak lebih dekat dengan ibunya. Tapi
Asisten Direktur Strada Jakarta (2007-2009) tersebut lebih banyak
berinteraksi dengan sang ayah. Misalnya diuraikan dalam “Mencarikan
Ikan,” “Berdoa dalam Keluarga,” “Wayang dan Diplomasi Bakso,” dan “Soto
Pak Joyo.” Total ada 15 kisah nyata dan refleksi pribadi.
Kedua, “To Teach is To Touch,
Guruku, Teladan Hidupku,” berisi pengalaman penulis merasa dikasihi
para guru di sekolah. Kepala SMP Kanisius Jakarta (2009-2011) itu
membatasi sejak masih duduk di bangku SD Cimpon III sampai lulus SMP
Kanisius, Ganjuran, Bantul, Yogyakarta. Antara lain dikisahkan dalam
“Pengabdian Penuh Cinta,” “Menyanyi dan Deklamasi,” “Penyemangat
Belajar,” dan “Menulis Rapi.” Total ada 15 pengalaman unik.
Tiada
gading yang tak retak, begitupula buku bersampul gambar terompet
sangkakala ini. Penulis hanya membatasi pengalaman bersekolah dari SD
sampai SMP. Alangkah lebih komplit kalau ia menceritakan juga dinamika
pembelajaran di SMA dan Perguruan Tinggi. Sehingga lukisan mozaik
kehidupannya menjadi kian utuh.
Terlepas dari kelemahan
tersebut, buku setebal 174 halaman ini sebuah oase segar di tengah
padang gersang dunia pendidikan nasional. Bahasanya mengalir lancar,
sederhana, dan mudah dipahami. Layak menjadi referensi bagi siapa saja
yang peduli pada amanah pencerdasan kehidupan bangsa. Ternyata anak-anak
dan para siswa/mahasiswa tak membutuhkan guru/dosen dan orang tua
hebat, mereka sekadar membutuhkan pribadi biasa yang memiliki hati dan
setia menemani sepanjang perjalanan hidup terutama di saat-saat sulit.
Sebab menyitir petuah Napoleon Hill, “Manusia tidak dapat mengubah
tempat di mana ia mulai melangkah, tapi ia bisa mengubah arah yang
dituju.” Selamat membaca dan salam pendidikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar