Agustus 15, 2013

Habis Malas Terbit Kreativitas

Dimuat di Majalah Nuntius, edisi Agustus 2013

Judul: Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati
Penulis: Wahyu Aditya
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: II/Februari 2013
Tebal: xvii + 302 halaman
ISBN: 978-602-8811-99-6
Harga: Rp59.000

“Tujuan pendidikan ialah menghasilkan orang kreatif yang mampu menghasilkan sesuatu yang baru.” - Jean Piaget (halaman 213).

Memang idealnya seperti tesis di atas. Tapi ironisnya di Indonesia sistem persekolahan justru membonsai kreativitas siswa. Wahyu Aditya bersepakat dengan pendapat Sir Ken Robinson, seorang anggota komite pemerintahan yang fokus mengurusi bidang kreatif, kultur, dan edukasi di Inggris. Ternyata hampir semua sistem pendidikan di muka bumi memiliki struktur yang sama. Tak peduli itu di negara maju, berkembang, ataupun terbelakang sekalipun.

Hierarki mata pelajaran teratas adalah Matematika, baru kemudian menyusul ilmu-ilmu humaniora (kemanusiaan), dan yang paling bawah adalah Kesenian. “Tidak ada satu pun sistem pendidikan di planet ini yang mengajarkan menari setiap hari untuk anak-anak sebagaimana kita mengajarkan mereka Matematika bukan?” (halaman 4). Pendiri Hello Motion Academy yang sejak 2004 telah meluluskan 2.000 siswa lebih tersebut melihat bahwa Matematika memang penting, tapi menari juga sangat bermanfaat bagi perkembangan psikomotorik anak didik. Kenapa? Karena manusia memiliki tubuh, bukan sekadar otak.

Sebelumnya, juara dunia British Council Young Creative Entrepreneur 2007 ini juga menceritakan pengalamannya tatkala masih duduk di bangku SMUN 3 Malang. Saat itu, ia hanya menyukai dua mata pelajaran, yakni Kesenian dan Jam Kosong! Pelajaran Kesenian adalah kesempatan baginya untuk belajar kesenian. Jam Kosong merupakan kesempatannya untuk melatih lagi pelajaran kesenian yang telah diajarkan oleh gurunya. Tapi bukan berarti pelajaran lain tidak penting, ia sekadar mengingatkan jangan sampai diskriminasi terhadap pelajaran Kesenian terus berlangsung. Sampai saat ini, resminya untuk mata pelajaran Kesenian hanya tersedia dua jam per minggu.

Lewat buku “Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati” ini, seniman desain dan aktivis animasi tersebut menyampaikan “manifesto”-nya, “Pendidikan Kesenian bagi saya memiliki banyak manfaat, antara lain memberikan ruang seluas-luasnya untuk mengemukakan pendapat, berani mengekspresikan imajinasi, melatih berfikir kreatif, membina rasa sensitivitas, melatih ketrampilan, dan sebagainya. Pelajaran Kesenian bukan sekadar mempelajari cara menggambar yang benar, tetapi bagi saya belajar seni seperti belajar “memanusiakan” manusia.” (halaman 3)

Sistematikanya, buku ini terdiri atas 17 butir pencerahan kreativitas. Antara lain berjudul, “Lakukan Hal Spontan,” “Rangkul Keterbatasan,” “Mampu Mengurai,” “Fleksibel Saja,” “Tetap Gembol Selalu,” “Monoton, No Way!” dll. Wirausaha Muda Mandiri 2008 ini memang sengaja mendesain karyanya agar bisa dibaca tanpa perlu dirunut dari awal sampai akhir. Pembaca boleh membukanya secara acak (random). Sampul depannya pun dapat diputar dan dilipat. Penulis menyediakan ruang kosong agar sidang pembaca bisa merancang cover sendiri dengan sekreatif mungkin.

Inspirasi dari Pete

Penggagas HelloFest, salah satu festival Pop Culture terbesar di Indonesia yang setiap tahunnya menyedot lebih dari 20.000 penonton ini juga menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi London melalui program British Council Indonesia. Menurut Wahyu Aditya, ada 5 syarat agar sebuah kota dapat menyedot perhatian para pelancong dari segala penjuru dunia.

Pertama,
ikonik. London identik dengan topi pak polisi nan unik. Bentuknya hitam menyembul ke atas. Gambarnya bisa disimak di halaman 90. Banyak orang tergiur untuk membeli topi tersebut sebagai cindera mata. Andai polisi di Indonesia meniru metode tersebut, tentu bisa membuat citra institusi kepolisian menjadi lebih cair, tidak kaku, dan menarik. Selain itu, bisa saja suatu saat polisi di Jakarta merancang topi yang berbentuk Monas. Gambarnya bisa dilihat di halaman 91.

Kedua
, jadul tapi eksis. Banyak turis di London berebutan agar bisa berfoto dengan penjaga istana Buckingham. Itu merupakan warisan budaya jadul yang masih tetap dipertahankan dan dilestarikan. Bukankah di Indonesia ada begitu banyak kerajaan dari Sabang sampai Merauke? Bagaimana kalau raja-raja tersebut kini mulai berbenah diri dan mempromosikan kerajaannya dengan fokus mempercantik kemasan. Sejauh ini, baru kota Yogyakarta yang berhasil mengaplikasikan konsep tersebut sebagai paket wisata yang memorable (selalu dikenang).

Ketiga, branding gaul. Salah seorang temannya di Inggris selalu mengenakan kaus bertuliskan “Underground”. Simbolnya membentuk lingkaran bergaris tebal dengan warna merah menyala, typography-nya pun tegas. Simak gambar logo tersebut di halaman 97. Semula penulis menyangka itu simbol pergerakan musik punk rock independen. Tapi ternyata “Undergound” mengacu pada alat transportasi kereta bawah tanah di London. Kalau di Indonesia ya seperti PT. Kereta Api (PT. KAI).

Orang muda di sana begitu bangga dan merasa trendi memakai kaus berlogo “Underground”. Bahkan tidak hanya dalam bentuk t-shirt, simbol tersebut juga merambah ke jenis pakaian lainnya seperti jaket, hoodies, tas hingga celana dalam. Alhasil, itu bukan lagi sekadar logo transportasi kereta api, tapi sudah menjadi entitas budaya masyarakat London.

Keempat, es campur. London bagaikan es campur yang beragam isinya. Sehingga kalau diminum rasanya unik dan menarik, slurrrrppppppps!! Pada awalnya penulis mengaku merasa was-was saat kali pertama menginjakkan kaki di London. Terutama karena terkait citra miring terhadap umat Muslim di mata masyarakat Inggris. Sebab beberapa tahun silam pernah terjadi peledakan bom oleh teroris. Korbannya 50-an orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.

Tapi gambaran negatif itu sirna seketika tatkala ia menghadiri acara Eid in Square, sebuah acara akbar menyambut Idul Fitri bagi umat Muslim di sana. Penyelenggaranya The Muslim Council of Britain dan didukung 100 persen oleh Pemerintah Kota (Pemkot) London. Bahkan angkutan umum pun ikut berpartisipasi memeriahkan suasana dengan iklan-iklan bertema Muslim yang ramah, “Proud to be a British Muslim, Islam is peace…” (halaman 103) (Bangga menjadi Muslim Inggris, Islam ialah Kedamaian…)

Kelima, ya kuno ya canggih. Menurut pemenang Best Short Movie dalam JiFfest 2004 ini kalau kita berjalan-jalan di kota London, banyak sekali gedung-gedung zaman baheula yang masih terawat dengan baik. Para turis pun asyik merekam keeksotisan liuk tubuh konstruksi jadul tersebut. Mereka tak perlu repot mencari latar untuk berfoto ria. London berhasil memadukan kekunoan dan modernisasi. Bangunan-bangunan bercita rasa milenium bersanding mesra dengan gedung-gedung jadul.

Salah satu bangunan milenium unik di London bernama “Cucumber Building”. Bentuknya seperti torpedo yang siap meluncur ke angkasa. Gedung Timun tersebut  menjadi  tempat favorit para wisatawan untuk bernarsis ria. Di Indonesia kita juga memiliki beragam jenis sayuran dan buah-buahan. Penulis mengusulkan bagaimana kalau pemerintah membangun “Gedung Terong,” “Gedung Buah Merah,” atau “Gedung Pete.” Rancangan visualnya bisa dilihat di halaman 108.

Buku setebal 302 halaman ini niscaya merangsang pembaca untuk menemukan ide kreatif dalam keseharian ziarah hidup. Di tengah inflasi harga sembako pasca kenaikan harga BBM, hanya semangat kreatiflah yang bisa menjadikan republik ini lebih berwarna dan kaya penemuan terobosan. Sebab menyitir tesis Julia Cameron, “Kreativitas seperti layaknya kehidupan manusia itu sendiri, selalu dimulai dalam kegelapan.” Selamat membaca dan salam kreatif!


Tidak ada komentar: