Dimuat di SESAWI.NET, Rabu/28 Agustus 2013
http://www.sesawi.net/2013/08/28/karya-kemanusiaan-romo-carolus-di-kampung-laut/
Judul: Mafia Irlandia di Kampung Laut, Jejak-jejak Romo Carolus OMI Memperjuangkan Kemanusiaan
Penulis: Anjar Anastasia dkk
Penyunting: Andi Tarigan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/Juni 2013
Tebal: xxvi + 180 halaman
ISBN: 978-979-22-9739-3
Harga: Rp 45.000
“Bagian dari pendidikan yang diperhatikan sekali oleh Romo adalah masalah budi pekerti, ulet menghadapi kehidupan, survive, dan kejujuran. Romo paling tidak senang dengan orang yang tak jujur. Dia senang orang yang berjuang!” (Tentang Romo Charles “Charlie” Patrick Edward Burrows OMI, halaman 31)
Tatkala Romo Carolus pertama kali datang ke Kampung Laut pada 1973 silam, Pak Markus masih dalam kondisi berkabung. Kenapa? Karena 4 dari 12 anaknya baru saja meninggal dunia. Mereka mengidap penyakit parah dan tak sempat tertolong lagi. Anak-anak Pak Markus disinyalir terserang demam tinggi.
Saat itu puskesmas, klinik, atau dokter yang semestinya hadir di setiap pelosok desa memang belum ada. Kalau warga membutuhkan pertolongan medis mereka harus ke kota. Perjalanannya membutuhkan waktu 1,5-2 jam menyebrangi lautan. Itu pun hanya mungkin bagi penduduk yang mampu membayar sewa kapal dengan dana tak sedikit.
Selain itu, ombak di Kampung Laut juga bisa tiba-tiba meninggi. Bahkan daerah tersebut dianggap “angker” karena dahulu merupakan sarang perompak. Kendati demikian, Pak Markus menjadi saksi bagaimana Romo Carolus setia membantu kaum miskin di sana. Bahkan ia yang semula masih berduka cita turut tersengat semangat Romo yang satu ini.
Pendirian Romo Carolus sederhana tapi mendalam, “Seluruh masyarakat harus dapat memberdayakan hidup masing-masing. Tidak perlu menunggu orang lain untuk membantu atau meringankan hidup kita.” Beliau juga percaya bahwa Tuhan telah memberi segala kemudahan agar manusia bisa memenuhi segala kebutuhan hidup sehari-hari asal mau bekerja.
Tak sekadar beretorika, Romo Carolus langsung memberi contoh dan terjun langsung ke lapangan. Ia menanami lahan-lahan yang ada. Sedangkan, hasil laut diolah menjadi ikan asin sehingga harganya lebih menguntungkan nelayan. Selain itu, Romo Carolus juga menggelar program bulgur. Sejenis bubur kering yang kandungan gizinya sangat tinggi.
Makanan semacam itu memang sangat diperlukan masyarakat Kampung Laut yang notabene masih mengalami kekurangan gizi (halaman 12). Mekanisme pembagian bulgur diatur oleh pihak RT. Satu keluarga rata-rata mendapat 20-25 kg bulgur. Setiap seminggu sekali bulgur tersebut dibagikan.
Alhasil, tanah yang semula masih berupa rawa-rawa bisa diurug secara bergotong-royong. Tanah yang diambil untuk reklamasi dari sekitar Pulau Nusakambangan yang luas itu. Romo Carolus memantau sendiri proses tersebut. Kini 1100 KK atau sekitar 4.800 jiwa masyarakat Kampung Laut bisa menikmati hasil tetes keringat mereka sendiri.
Siapakah Romo Carolus? Sebab ibarat kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Beliau dilahirkan di Serville Palace, kota kecil yang tak jauh dari Dublin, Irlandia. Di lingkungan tempat tinggalnya, ia biasa dipanggil Patrick. Ia anak keempat dari pasangan Edward Burrows dan Jane Burrows yang terlahir pada 8 April 1943 silam.
Setibanya di Indonesia, pelayanan Romo Carolus lewat Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) tidak hanya membangun jalan, membuat bendungan, beternak ayam, bebek, kelinci, kambing, dll tapi juga di bidang pendidikan. Uniknya, sekolah-sekolah Katolik yang dikelola YSBS juga menerima murid dari berbagai agama dan kepercayaan.
Sebagian besar sekolah yang dikelola Romo Carolus berlokasi di kawasan yang mayoritas Muslim. Untuk itu, beliau meminta kiai setempat menyediakan guru agama Islam dengan biaya dari yayasan. Tatkala banyak orang bertanya kenapa ia memiliki kebijakan inklusif seperti itu? Romo Carolus menjawab, “Saya sendiri masih merasa belum terlalu Katolik. Katolik saya masih 20%. Jadi, saya tidak berani untuk mengajak orang lain ikut beragama Katolik.” (halaman 33).
Kedekatan Romo Carolus dengan umat Muslim membuatnya disebut “Kiai Carolus”. Suatu ketika ada kelompok yang menyerbu sekolahnya. Tapi ternyata yang membela justru para santri dari pesantren di sekitar lembaga pendidikannya. Romo Carolus pun berkomentar santai, “Silakan menentang sekolah saya. Sebab, kalau terus ditentang justru membuat semakin banyak anak mau sekolah di sini.”
Hingga kini, total ada 25 sekolah dari segala tingkatan yang dikelola YSBS. Romo Carolus juga bercita-cita mendirikan perguruan tinggi di Kabupaten Cilacap. Selain itu, beliau juga hendak mendirikan sekolah bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus (halaman 34).
Buku setebal 180 halaman memuat kisah-kisah nyata yang menggetarkan. Saat Anjar Anastasia pertama kali bertemu Romo Carolus, beliau mewanti-wanti sekali untuk tidak banyak menceritakan tentang dirinya. Beliau ingin, karya dan pencapaiannya saja yang dituliskan. Ahmad Syafii Maarif pun dalam kata pengantar menyebut Romo “Padat Karyono” Carolus sebagai sosok yang memiliki kecintaan mendalam dan tulus kepada kemanusiaan. Karena penerima Maarif Award 2012 tersebut mampu merefleksikan doktrin teologis menjadi karya kemanusiaan yang melampaui banyak sekat. Selamat membaca!
http://www.sesawi.net/2013/08/28/karya-kemanusiaan-romo-carolus-di-kampung-laut/
Judul: Mafia Irlandia di Kampung Laut, Jejak-jejak Romo Carolus OMI Memperjuangkan Kemanusiaan
Penulis: Anjar Anastasia dkk
Penyunting: Andi Tarigan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/Juni 2013
Tebal: xxvi + 180 halaman
ISBN: 978-979-22-9739-3
Harga: Rp 45.000
“Bagian dari pendidikan yang diperhatikan sekali oleh Romo adalah masalah budi pekerti, ulet menghadapi kehidupan, survive, dan kejujuran. Romo paling tidak senang dengan orang yang tak jujur. Dia senang orang yang berjuang!” (Tentang Romo Charles “Charlie” Patrick Edward Burrows OMI, halaman 31)
Tatkala Romo Carolus pertama kali datang ke Kampung Laut pada 1973 silam, Pak Markus masih dalam kondisi berkabung. Kenapa? Karena 4 dari 12 anaknya baru saja meninggal dunia. Mereka mengidap penyakit parah dan tak sempat tertolong lagi. Anak-anak Pak Markus disinyalir terserang demam tinggi.
Saat itu puskesmas, klinik, atau dokter yang semestinya hadir di setiap pelosok desa memang belum ada. Kalau warga membutuhkan pertolongan medis mereka harus ke kota. Perjalanannya membutuhkan waktu 1,5-2 jam menyebrangi lautan. Itu pun hanya mungkin bagi penduduk yang mampu membayar sewa kapal dengan dana tak sedikit.
Selain itu, ombak di Kampung Laut juga bisa tiba-tiba meninggi. Bahkan daerah tersebut dianggap “angker” karena dahulu merupakan sarang perompak. Kendati demikian, Pak Markus menjadi saksi bagaimana Romo Carolus setia membantu kaum miskin di sana. Bahkan ia yang semula masih berduka cita turut tersengat semangat Romo yang satu ini.
Pendirian Romo Carolus sederhana tapi mendalam, “Seluruh masyarakat harus dapat memberdayakan hidup masing-masing. Tidak perlu menunggu orang lain untuk membantu atau meringankan hidup kita.” Beliau juga percaya bahwa Tuhan telah memberi segala kemudahan agar manusia bisa memenuhi segala kebutuhan hidup sehari-hari asal mau bekerja.
Tak sekadar beretorika, Romo Carolus langsung memberi contoh dan terjun langsung ke lapangan. Ia menanami lahan-lahan yang ada. Sedangkan, hasil laut diolah menjadi ikan asin sehingga harganya lebih menguntungkan nelayan. Selain itu, Romo Carolus juga menggelar program bulgur. Sejenis bubur kering yang kandungan gizinya sangat tinggi.
Makanan semacam itu memang sangat diperlukan masyarakat Kampung Laut yang notabene masih mengalami kekurangan gizi (halaman 12). Mekanisme pembagian bulgur diatur oleh pihak RT. Satu keluarga rata-rata mendapat 20-25 kg bulgur. Setiap seminggu sekali bulgur tersebut dibagikan.
Alhasil, tanah yang semula masih berupa rawa-rawa bisa diurug secara bergotong-royong. Tanah yang diambil untuk reklamasi dari sekitar Pulau Nusakambangan yang luas itu. Romo Carolus memantau sendiri proses tersebut. Kini 1100 KK atau sekitar 4.800 jiwa masyarakat Kampung Laut bisa menikmati hasil tetes keringat mereka sendiri.
Siapakah Romo Carolus? Sebab ibarat kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Beliau dilahirkan di Serville Palace, kota kecil yang tak jauh dari Dublin, Irlandia. Di lingkungan tempat tinggalnya, ia biasa dipanggil Patrick. Ia anak keempat dari pasangan Edward Burrows dan Jane Burrows yang terlahir pada 8 April 1943 silam.
Setibanya di Indonesia, pelayanan Romo Carolus lewat Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) tidak hanya membangun jalan, membuat bendungan, beternak ayam, bebek, kelinci, kambing, dll tapi juga di bidang pendidikan. Uniknya, sekolah-sekolah Katolik yang dikelola YSBS juga menerima murid dari berbagai agama dan kepercayaan.
Sebagian besar sekolah yang dikelola Romo Carolus berlokasi di kawasan yang mayoritas Muslim. Untuk itu, beliau meminta kiai setempat menyediakan guru agama Islam dengan biaya dari yayasan. Tatkala banyak orang bertanya kenapa ia memiliki kebijakan inklusif seperti itu? Romo Carolus menjawab, “Saya sendiri masih merasa belum terlalu Katolik. Katolik saya masih 20%. Jadi, saya tidak berani untuk mengajak orang lain ikut beragama Katolik.” (halaman 33).
Kedekatan Romo Carolus dengan umat Muslim membuatnya disebut “Kiai Carolus”. Suatu ketika ada kelompok yang menyerbu sekolahnya. Tapi ternyata yang membela justru para santri dari pesantren di sekitar lembaga pendidikannya. Romo Carolus pun berkomentar santai, “Silakan menentang sekolah saya. Sebab, kalau terus ditentang justru membuat semakin banyak anak mau sekolah di sini.”
Hingga kini, total ada 25 sekolah dari segala tingkatan yang dikelola YSBS. Romo Carolus juga bercita-cita mendirikan perguruan tinggi di Kabupaten Cilacap. Selain itu, beliau juga hendak mendirikan sekolah bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus (halaman 34).
Buku setebal 180 halaman memuat kisah-kisah nyata yang menggetarkan. Saat Anjar Anastasia pertama kali bertemu Romo Carolus, beliau mewanti-wanti sekali untuk tidak banyak menceritakan tentang dirinya. Beliau ingin, karya dan pencapaiannya saja yang dituliskan. Ahmad Syafii Maarif pun dalam kata pengantar menyebut Romo “Padat Karyono” Carolus sebagai sosok yang memiliki kecintaan mendalam dan tulus kepada kemanusiaan. Karena penerima Maarif Award 2012 tersebut mampu merefleksikan doktrin teologis menjadi karya kemanusiaan yang melampaui banyak sekat. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar