Dimuat di Jateng Pos, Senin/12 Agustus 2013
Kamis (8/8/2013) pekan lalu umat
Islam di seluruh Indonesia serempak menyambut Idul Fitri pada 1 Syawal
1434 H. Pasca menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh,
saudara-saudari Muslim merayakan kemenangannya atas kemelekatan
duniawi dan hawa nafsu.
Dalam konteks masyarakat Jawa,
istilah “Lebaran” lebih sering digunakan. Kendati demikian, dari aspek
linguistik tidak banyak keterangan baku untuk menjelaskan arti kata
“Lebaran”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “lebaran”
berarti hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah
menjalankan ibadah puasa di bulan sebelumnya (Ramadan).
Selain itu, besar kemungkinan
istilah “lebaran” berasal dari ungkapan bahasa Jawa “wis bar” (sudah
selesai). Artinya, sudah selesai menjalankan ibadah puasa. Kata “bar”
sendiri merupakan singkatan dari kata “lebar” yang sinonim dengan
“selesai”. Dari aspek linguistik, akhiran “an” dalam bahasa Jawa memang
sering ditambahkan pada kata kerja. Misalnya, asal kata “bubar” yang
diberi akhiran “an” menjadi “bubaran” yang umumnya menjadi bermakna
jamak.
Secara lebih mendalam, kata “bubar”
sendiri merupakan bentuk populer dari kata “lebar”. Seperti diketahui
bahasa Jawa mengenal tingkatan bahasa (ngoko, kromo madyo, kromo inggil).
Kata “bubar” dan “lebar” maknanya sama. Kendati demikian, “bubar”
digunakan oleh masyarakat awam sedangkan kata “lebar” dipakai oleh para
bangsawan sebagai istilah yang lebih halus (baca: sopan).
Ibarat kata pepatah, lain ladang
lain belalang, lain Jawa lain pula Betawi (Jakarta). “Lebaran” oleh
masyarakat Betawi dianggap berasal dari kata “lebar”. Artinya “luas”,
yakni sebagai analogi keluasan hati atau kelegaan jiwa usai sukses
menuntaskan ibadah puasa Ramadan. Selain itu, juga sebagai luapan
kegembiraan dan rasa syukur karena bisa berkumpul dengan sanak saudara
dan para handai taulan.
Ironisnya, saat opini publik ini
ditulis, baru saja terjadi teror bom di Vihara Ekayana Jalan
Mangga I Nomor 8 RT 08/08 Kelurahan Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta
Barat, Minggu (4/8/2013) sekitar pukul 19.30 WIB. Ledakan tersebut
melontarkan banyak gotri dan mengakibatkan tiga orang korban. Padahal
tidak ada ajaran agama dan kepercayaan manapun yang membenarkan aksi
kekerasan semacam itu. Sungguh-sungguh telah menciderai nilai-nilai
kemanusiaan.
Data dari The Wahid Institute,
tahun 2011 terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Jumlah tersebut meningkat 18% dari tahun sebelumnya, 62
kasus. Bahkan, pada medio Mei 2012, PBB melansir Indonesia sebagai
negara yang kehidupan beragamanya rawan konflik.
Maya Safira Muchtar, penggagas Islamic Movement for Nonviolence
(Gerakan Umat Islam Anti Kekerasan) berpendapat, “Apakah yang ada
dibenak para teroris ketika mereka membom vihara di Jakarta tadi malam?
Apakah benar dengan cara membom permasalahan akan terselesaikan?
Apakah membom vihara akan membawa kedamaian? Tapi memang bukan
kedamaian yang mereka inginkan. Seharusnya kita harus bersikap seperti
orang-orang di Australia. Mereka dengan tegas mengusir orang radikal
yang mengganggu ketertiban umum dan berulah di negara mereka.”
Dalam konteks ini, pendidikan budi
pekerti sungguh menemukan relevansinya. Yakni untuk bisa mengapresiasi
keberagaman suku, agama, ras, antar golongan (SARA). Australia
menjadi satu dari 10 negara yang memiliki tingkat kriminalitas
terendah. Sebaliknya, Indonesia justru rawan menjadi negara gagal
dengan tingkat tindak kekerasan berkedok agama berada di no. 3 dunia.
Menurut Rhenald Kasali pendidik di
Australia lebih khawatir jika murid mereka tidak jujur, tidak mau
mengantri dengan baik, tidak memiliki rasa empati kepada orang lain
yang berbeda, dan nilai-nilai keutamaan (virtue values) lainnya ketimbang anak didik mereka tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Kalkulasi matematisnya sangat logis, untuk calistung atau menaikkan nilai akademik (grade)
hanya perlu waktu 3-6 bulan. Tapi untuk mendidik karakter (watak) dan
budi pekerti seorang anak butuh waktu minimal 15 tahun. Para pelaku
tindak kekerasan berkedok SARA tidak lahir kemarin sore, mereka
merupakan “buah” dari metode pembelajaran yang satu arah, cenderung
dogmatis dan fanatis di ruang kelas.
Multikultural
Oleh sebab itu, Lebaran bisa juga menjadi peristiwa budaya multikultur. Warga Gamelan Kampoeng of Tolerance Jogjakarta memiliki tradisi unik. Walau para warga Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut memeluk agama dan kepercayaan yang beragam tapi semangat guyub rukun agawe santosa tetap lestari.
Dalam konteks ini, semboyan Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharma Mangrwa
bukan sekadar mantra suci namun sungguh dipraktikkan. Warga nonmuslim
menjaga keamanan kampung sehingga para tetangganya yang beragama Islam
dapat menunaikan ibadah sholat Id secara khusyuk. Lalu, paska sholat
Id mereka bermaaf-maafan, bersilaturahmi dan mengadakan jamuan makan
sederhana yang disediakan secara swadaya.
Benedict Anderson menyatakan bahwa
“toleransi” sejatinya merupakan sifat asasi wong Jawa. Istilah
tersebut mulai populer sejak api nasionalisme berkobar di zaman
kolonial Belanda. Sebelumnya, para sosiolog menyebut sikap kelapangan
hati tersebut dengan istilah “sinkretisme Jawa”.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
(KBBI), kata ‘toleransi’ sendiri berarti sifat atau sikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian, kebiasaan, kelakuan
yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan pendiriannya sendiri.
Misalnya soal agama, ideologi, suku, ras, golongan, dll.
Sehingga sikap mau menang sendiri
yang kerap dilakukan ormas berkedok agama tapi dalam praktiknya
menggunakan cara-cara kekerasan jelas bertentangan dengan ajaran
universal setiap agama dan kepercayaan yang mengutamakan perdamaian
batin, kasih terhadap sesama, dan harmoni dengan semua (inner peace, communal love, and global harmony).
Secara lebih mendalam, ‘toleransi’ pun
musti dimekarkan menjadi “apresiasi”. Istilah apresiasi mulai
dipopulerkan oleh Anand Krishna, Ph.D. Tokoh humanis lintas agama
nusantara tersebut mengajak kita berani mengatakan bahwa my religion is not better than yours
(agama/kepercayaanku tak lebih baik dari agama/kepercayaanmu). Sebab
ibarat sungai-sungai yang membelah kota Jogjakarta, toh semuanya
bermuara di Laut Kidul (Segara Kidul).
Banyak jalan satu tujuan, jalan
menuju Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, perbedaan juga modal dasar
kita untuk bisa maju bersama. Konkritnya seperti apa yang telah
dirintis warga Gamelan Lor dan Kidul di Kota Gudeg. Semoga semangat
inklusif ini menular juga ke segenap anak bangsa dari Sabang sampai
Merauke.
Akhir kata, membangun keharmonisan
peri kehidupan beragama dan berkeyakinan memang perlu dilakukan secara
sadar, intensif dan terpadu. Caranya lewat gotong-royong melibatkan
segenap komponen bangsa. Baik pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh
agama, keluarga, dan lembaga pendidikan. Kepada saudara-saudariku umat
Muslim, selamat Lebaran 1 Syawal 1434 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar