Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia versi Cetak, edisi Agustus 2013
Judul : Guru Gokil Murid Unyu
Penulis : J. Sumardianta
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : 1/April 2013
Tebal : xiii + 303 halaman
ISBN : 978-602-7888-13-5
“Guru medioker kerjanya
ngomong. Guru superior kerjanya mendemonstrasikan kewibawaan. Guru
terpuji kerjanya menjelaskan perkara rumit dengan cara simpel. Guru
hebat kerjanya menginspirasi.” - William W (halaman 3).
Buku ini ditulis berdasarkan
refleksi selama 20 tahun menjadi guru. Sejak 1996 hingga kini, J.
Sumardianta melihat masalah utama dalam dunia pendidikan nasional
bukan melulu soal kesejahteraan, tapi lebih karena absennya spirit
dan keteladanan. Banyak guru sudah memiliki sertifikat pendidik dan
memiliki tunjangan tapi toh transformasi dalam diri masih sebatas dari mediocre teacher menjadi superior teacher.
Guru medioker sepanjang hari
berbicara di depan kelas. Proses pembelajaran guru tipe ini tidak
mengindahkan kecerdasan anak didik. Karena justru siswa yang harus
menyesuaikan dengan gaya mengajar sang pendidik. Selain itu, karakter
guru medioker bersifat instruksional, kerjanya hanya menyuapi murid (spoonfeeding). Alhasil, murid dididik menjadi bermental pecundang (loser).
Sedangkan guru superior ingin menunjukkan kewibawaannya di hadapan para murid. Kalau dalam dunia kampus namanya dosen killer.
Pendidik model ini cenderung mengandalkan otoritas. Selain itu, mereka
pun gila hormat, selalu minta diperhatikan murid/mahasiswa. Alhasil,
anak didik menjadi penakut dan tak berani mengekspresikan dirinya
(halaman xi).
Selanjutnya, guru terpuji. Memang ia mampu menyampaikan materi rumit dengan cara sederhana. Guru model ini membuat ngeh dan mudeng para muridnya karena piawai simplify complex things.
Administrasi pengajarannya pun relatif bagus. Tapi ternyata ia masih
berpusat pada diri sendiri. Selain itu, ia juga masih terpancang
pada materialisme kurikulum yang kaku.
Terakhir tapi penting guru hebat,
kerjanya tak lain untuk menginspirasi. Ia sadar sepenuhnya bahwa
hanya memiliki satu mulut dan dua telinga. Oleh sebab itu, ia belajar
menjadi pendengar yang baik. Pusat kegiatan belajar-mengajar adalah
murid. Kurikulum diolah dan disajikan sesuai kebutuhan murid. Guru
hebat mendidik murid bermental driver.
Artinya apa? Anak didik bermental driver (pengemudi) memiliki tujuan tidak sekadar menumpang hidup (passenger) di alam semesta ini. Ia mau keluar dari zona nyaman (comfort zone)
dan struktur yang menindas. Alhasil, murid mau mengatasi segala
ketakutan, berani mengambil risiko, dan selalu menantang diri sendiri
untuk berkontribusi lebih bagi sesama dan segenap titah ciptaan.
Sistematikanya, buku ini terdiri
atas 8 bagian. Mulai dari “Pengantar Penulis,” “Kacamata Sang
Pendidik,” “Sosok,” “Alam Adalah Guru,” “Hidup Untuk Menghidupi,”
“Jendela Ilmu,” “Sekolah Bukan Rumah Kaca,” dan “Berkah Guru
Kecanduan Buku.” Menurut Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta ini,
bahan bakunya tak lain semua yang ia lihat, rasakan, dan alami selama
menjalani profesi sebagai tenaga pendidik. Sebagian besar artikel
kependidikan Pak Guru Sumardianta telah dimuat media nasional.
Keunikan cara penyampaian pesan
fasilitator pelatihan guru di Yogyakarta, Solo, Ponorogo, Semarang,
Sukabumi, Jakarta, Malang, Surabaya, Dili, Makassar, dll ini terletak
pada gaya story telling-nya. Sidang pembaca dan pendengar (bila dalam training) seolah didongengi, sehingga tidak ada kesan menggurui, padahal sejatinya kita sedang belajar nilai-nilai kehidupan.
Misalnya ayah 3 putri ini hendak
menyampaikan pesan betapa penting sinergi antara guru dan orang tua
dalam mendidik generasi penerus bangsa. Ia bercerita dengan begitu
menarik di halaman 3-4. Nadia melihat putrinya menangis sepulang
sekolah sambil menenteng tas biola. Anak berumur 8 tahun tersebut
sedih karena gurunya meniadakan pelajaran musik di kelas. Semalaman
Nadia merasa dongkol, sewot, dan memendam amarah. Ia tidak bisa tidak
memikirkan kekecewaan putrinya. Sang ibu bertekad hendak
mencaci-maki guru putrinya tersebut.
Keesokan harinya, Nadia berusaha
menenangkan diri. Ia memutuskan untuk mencari tahu apa persisnya yang
terjadi di sekolah sebelum menyerapahi guru. Nadia menemui sang guru
sebelum pelajaran dimulai. “Putri saya mencintai biola. Saya ingin
tahu kenapa anak-anak todak boleh berlatih biola di sekolah lagi?”
tanya Nadia. Sang guru malah sesenggukan dan menangis. “Tidak ada
waktu lagi untuk musik. Kita harus menghabiskan seluruh waktu untuk
belajar membaca dan berhitung. Ini sudah menjadi ketetapan
pemerintah,” ujarnya terbata-bata.
Lantas, Nadia menawarkan solusi,
“Pasti ada cara agar anak-anak bisa belajar musik sekaligus membaca
dan matematika!” Sang guru berpikir sesaat dan menjawab, “Bukankah
musik itu matematis? Bagaimana kalau pelajaran berhitung dasar
disampaikan melalui musik?” Sontak Nadi dan guru tersebut tertawa
ceria dan bersalaman karena telah menemukan jalan keluar.
Singkat cerita, Nadia mengajukan
diri sebagai relawan di kelas putrinya. Bersama sang guru, ia
mengajarkan semua pelajaran menggunakan musik. Murid belajar bilangan
pecahan tidak hanya dengan angka tapi juga dengan not balok. Dua
perdelapan not sama dengan seperempat not. Selain itu, membaca puisi
pun lebih mudah karena dinyanyikan. Pelajaran sejarah menjadi lebih
hidup. Kenapa? Karena anak-anak tersebut mempelajari para komposer
besar dan kondisi zaman mereka hidup serta memainkan musik
gubahannya. Anak-anak bahkan belajar bahasa asing dengan menyanyikan
lagu-lagu dari pelbagai negara dari seluruh penjuru dunia.
Buku setebal 303 halaman ini ibarat oase segar di tengah padang gersang dunia pendidikan nasional yang melulu mengejar angka (grade) tanpa memperhatikan nilai (value).
Padahal esensi ziarah kehidupan anak manusia ialah untuk memuji,
meluhurkan, dan memuliakan-Nya. Sepakat dengan pendapat Andy F. Noya,
“Guru Gokil Murid Unyu buku lucu, bahasanya ringan tapi isinya
mendalam.” Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar