Daerah Istimewa Yogyakarta - Simposium Hari Bhakti bagi Ibu Pertiwi pada Sabtu (1/9/2012) ini menarik. Karena memaparkan petunjuk jalan (road map). Langkah awal dengan menemukan kedamaian batin (Inner Peace), baru kemudian berbagi kasih kepada sesama (Communal Love) demi mewujudkan keselarasan lintas iman dan agama di dunia (Global Interfaith Harmony).
Penyelenggaranya Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006), Anand Krishna Centre JogLoSemar, IWAG - Peace, One Earth Integral Foundation, Koperasi Global Anand Krishna, Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ), Astra, SKH Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Radar Jogja, Minggu Pagi, dan KR Grup.
Acara digelar di Pendopo Agung Tamansiswa, Yogyakarta. Temanya Road to Global Interfaith Harmony.
Menghadirkan 6 narasumber lintas agama dan iman. Yakni perwakilan
tokoh Islam, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, dan Aliran
Kepercayaan. Selain itu, mengulas pula keselarasan global dari
perspektif ketahanan nasional, kebudayaan, dan pendidikan.
Tepat jam 9.00 WIB seluruh peserta berdiri diringi lagu Bende Mataram.
Dalam bahasa Indonesia artinya “Sembah Bhakti pada Ibu Pertiwi.” Tamu
VIP dan para pembicara memasuki Pendopo. Antara lain, Rektor
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta, Drs H.
Pardimin, M.Pd., Asisten III Gubernur Jawa Tengah, Bapak Wakapolda
DIY, dll.
Lebih dari 400 hadirin memenuhi
Pendopo bersejarah tersebut. Bahkan sampai harus menyediakan
kursi-kursi tambahan di bagian sayap kiri dan kanan. Terdiri dari para
guru/dosen, siswa sekolah, mahasiswa, aktivis LSM, dan masyarakat
sekitar.
Selain itu, hadir pula anggota keluarga
besar Anand Ashram dari Ciawi, Bogor, Jakarta, Kalimantan, Semarang,
Pati, Kendal, Boyolali, Kediri, Surabaya, Bali, dll. Keluarga besar
Tamansiswa pun turut berpastisipasi aktif. Acara diawali dengan
menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Seluruh peserta, tamu VIP,
dan pembicara berdiri menghadap ke Sang Saka Merah Putih.
Selanjutnya, pemutaran slide kegiatan
Yayasan Anand Ashram yang didirikan oleh Bapak Anand Krishna. Sebuah
pusat pelatihan meditasi dan kesehatan holistik agar manusia berkembang
baik pikiran, jiwa, dan raganya.
Menurut dr. Sayoga, acara semacam
ini rutin diadakan setiap tahun. Tepat 7 tahun silam (2005), tanggal 1
September dicanangkan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Republik
Indonesia (RI) saat itu, Prof. Juwono Sudarsono, Ph.D sebagai Hari
Bhakti bagi Ibu Pertiwi. Tepatnya di Aula Dwi Warna, Gedung Lemhanas,
Jakarta. Hadir pula Gubernur Lemhanas saat itu, Bapak Muladi; Gubernur
DKI Jakarta saat itu, Bapak Sutiyoso; dan almarhum Gus Dur.
Ketua Yayasan Anand Ashram tersebut
menjelaskan latar belakangnya. Yakni untuk membangkitkan bhakti dan
cinta segenap anak bangsa. Dokter yang berdomisili di Bali ini
menandaskan, “Kebersamaan lahir dari hati yang damai dan cintai
kemanusiaan. Mereka yang berjiwa pengecut tak bisa melakukannya.”
Menurutnya, negara kita pun dibangun di atas fondasi kebersamaan. “Mari teguhkan lagi komitmen para founding fathers. Apapun agama, suku, dan keyakinanmu, kita semua orang Indonesia,” ujarnya dari atas podium.
Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada (UGM) ini juga mengajak 400 peserta yang hadir pagi itu
untuk menguatkan terus-menerus semangat kebersamaan, “Mari kita
sebarkan ke seluruh tanah air Indonesia dan juga dunia,” imbuhnya.
Pria kelahiran Gianyar, Bali tersebut
kemudian membacakan surat dari Bapak Anand Krishna tidak bisa hadir.
Berikut ini petikannya, “Kepada Yang Mulia Sri Sultan Hamengku Buwono
X, Yang Mulia Sri Baginda Sultan…Mohon terima penghormatan saya dan
mohon maaf sebesar-besarnya, saya yakin Wayan, Sayoga sudah
menjelaskan alasannya karena terkait kasasi dalam kasus saya.
Saya menolak keputusan yang tidak
konstitusional tersebut, mereka tak akan bisa memaksa saya. Oleh Bunda
Ilahi, saya tidak boleh meninggalkan tempat ini (Ubud, Bali-penulis),
karena harus lebih menggiatkan diri dalam doa dan meditasi.
Terimakasih sebesar-besarnya kepada Sri Baginda yang telah mendukung
dan membuka simposium ini. Mohon doa bagi gerakan dan visi misi kita.
Salam hormat. Anand Krishna.”
Mendamaikan Kultur dan Struktur
Prof. Dr. Irwan Abdullah hadir
mewakili Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA. Guru Besar di Center
for Religious and Cultural Studies (CRCS) UGM tersebut mengatakan
bahwa sebenarnya Gubernur Lemhanas sangat ingin hadir. Tapi karena ada
tugas lain harus mengutusnya.
Doktor alumnus Fakultas Antropologi
Sosial, Universitas Amsterdam itu mengapresiasi Hari Bhakti bagi Ibu
Pertiwi yang dirayakan dengan simposium Road to Global Interfaith Harmony.
Prof. Irwan mengatakan, “Ini memang menjadi isu sentral bagi
Lemhanas. Sehingga lewat acara ini kita dapat memberi masukan kepada
pemerintah, dalam hal ini Presiden Republik Indonesia. Yakni demi
membangun ketahanan nasional.”
Kemudian, dipaparkan pula tentang
generalitas. Bangsa Indonesia harus bertumpu pada prinsip-prinsip
general. Salah satu yang penting ialah harmoni. Kenapa? Karena
kepulauaan Nusantara terdiri atas 17.500 pulau dan 512 bahasa lebih.
Kita pun memiliki beragam agama, keyakinan, dan kepercayaan. “Sehingga
apa yang hari ini bersifap lokal harus ditempatkan dalam konteks
global harmoni,” imbuhnya.
Selain itu, menurutnya, Indonesia sebagai satu bangsa, semboyan Bhinneka Tunggal Ika
perlu menjadi kerja aktif. Proses ini dapat diupayakan oleh
kekuatan-kekuatan yang dipunyai bangsa ini. Penulis produktif di
pelbagai jurnal Antropologi tersebut melihat bahwa persoalan untuk
membangun Global Interfaith Harmony ialah bagaimana mendamaikan kultur dengan struktur. Karena begitu beragamnya kebudayaan kita dari Sabang sampai Merauke.
Ia berpendapat, “Inilah potensi,
kekuatan kultural Indonesia. Jadi kultur itu harus didamaikan dengan
struktur negara, sosial, ekonomi, dst. Sehingga bisa hidup di satu
lingkungan yang harmoni.”
Menurutnya, masyarakat setempat sudah
menjalankan. Ada petuah Melayu untuk mendamaikan kultur dan struktur.
Terutama dalam hal kepemimpinan (leadership). Pemimpin ialah
orang yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, dan dimuliakan
sekuku. Artinya pemimpin harus dekat dengan kita. “Tapi kini gajinya
saja jauh dari rakyat yang dipimpinnya,” ujarnya.
Dalam konteks ini, alumnus UGM ini
berpendapat bahwa revitalisasi budaya lokal, kearifan leluhur menjadi
penting. Ia menambahkan, “Di Jawa sendiri, ada falsafah kepemimpinan.
Dari Tamansiswa, dulu Ki Hadjar Dewantara sudah mengingatkan pada Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mbangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.”
Prof. Irwan menawarkan solusi. Untuk membangun Indonesia yang berkeadaban ada 3 syarat. Pertama, freedom (kebebasan). Bahkan masyarakat di pulau terpencil pun harus memiliki kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, kesetaraan.
Etnisitas jangan dibedakan. Kesetaraan warga dan bangsa harus sama.
Tanpa memandang etnis, agama, dst. Ini yang menjamin kesesuian dan
keserasian. Ketiga, toleransi. Tanpa toleransi kehidupan yang harmoni tidak bisa diwujudkan.
Akhir kata, beliau menandaskan, “Butuh
perjuangan dan komitmen bersama untuk mewujudkanya. Global harmoni
memang harus dimulai dari Inner Peace. Dari hati para pribadi
demi membangun keserasian sosial. Lemhanas sangat berterimakasih atas
acara ini, kami akan mensosialisasikan hasilnya ke seluruh Indonesia.
Semoga dapat melahirkan pikiran yang matang dan berguna. Untuk
Indonesia yang berkeadaban serta berkontribusi dalam global harmoni.”
Sambutan Ngarso Dalem
Sebelum membuka simposium secara resmi. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekaligus Raja Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai pembicara utama menyampaikan gagasannya. Berikut ini isi pidato beliau:
***
Assalamualaikum, wa rahmatullahi wa barakatuh,
Salam Sejahtera bagi kita semua,
Om swastiastu, Namo budhaya…
Yang saya hormati Gubernur Lemhanas
yang diwakili oleh Prof. Dr. Irwan Abdullah, Ketua Yayasan Anand
Ashram, dr. Sayoga, Tokoh-tokoh agama, para Pembicara, dan Bapak-Ibu
hadirin sekalian,
Marilah kita bersama-sama – sesuai
keyakinan agama masing-masing - mengucapkan puji-syukur ke hadapan
Tuhan Yang Maha Kuasa, agar oleh perkenan-Nya kita dapat membangun
dialog antar-iman dalam Simposium: “Road to Global Interfaith Harmony” ini dalam suasana kebersamaan, kesetaraan, dan kedamaian penuh harmoni.
Mengutip Raimundo Pannikar dalam bukunya: The Intra Religious Dialogue,
memang kita tidak dianjurkan untuk mudah berganti haluan, melainkan
untuk berani melihat pengalaman sendiri secara lebih kritis. Sehingga
kita dapat membuka tabir-tabir gelap yang penuh mitos dan kepercayaan
kita sendiri, yang seringkali menjadi tempat hangat di mana kedamaian
semu bersarang, atau menjadi benteng pertahanan yang tinggi dan kokoh
untuk mengkritik keberagaman orang lain.
Dengan demikian kita lalu dapat
melakukan terobosan-terobosan dan titian-titian baru, dengan berupaya
bagaimana hubungan antar iman dimungkinkan, tanpa mengingkari iman yang
dipeluknya sendiri. Seharusnya iman seseorang kuat dulu untuk dapat
memulai suatu dialog antar agama yang meluas dan mendalam, karena
konteksnya adalah dialog atau perjumpaan yang mengarah pada saling
pengertian menuju rekonsiliasi atau perdamaian, agar tabir-tabir dan
benteng-benteng itu dapat diubah menjadi jembatan kultural antar
pemeluk agama.
Terlepas dari perdebatan, apakah benar
agama menjadi faktor timbulnya kerusuhan sosial di negeri ini, fakta
telah berbicara bahwa kerusuhan sosial yang terjadi salah satunya
memang berakar dan dipicu oleh isu agama. Oleh karena itu, diperlukan
upaya untuk mereduksi, atau kalau mungkin mengeliminasi faktor agama
sebagai sumber konflik melalui dialog antar agama dan antar iman.
Meminjam terminology Zuly Qodir,
peneliti pada Interfidei Yogyakarta, agama ternyata bak pedang bermata
dua. Di satu sisi menawarkan keteduhan, di mana agama menyerukan
manusia untuk hidup damai, rukun sentosa, menjunjung nilai-nilai
universal keadilan dan kebenaran. Tapi pada sisi lain bisa dibilang sangar, karena agama tak jarang menjadi semacam trigger munculnya kekerasan. Menghadapi kenyataan itu mengakibatkan para aktivis rekonsiliasi sulit melangkah.
Banyaknya kekerasan dipicu sentimen
agama seakan membenarkan, bahwa agama memang pendukung kekerasan.
Akibatnya, para pemeluk agama seakan hidup dalam ruang sempit dan
tertekan. Karena agama yang diharapkan bisa menjadi tempat berlindung
Dan pengayoman, malah berlaku kasar, bahkan bisa menjadi bengis.
Segenap hadirin sekalian yang diberkati Allah,
Harus disadari, kita memang hidup dalam
pluralitas agama. Suka atau tidak, realitas pluralistik menjadi
wahana dan wacana bagi kehidupan keberagaman kita.
Belajar dari agama Islam, realitas pluralistik ini secara relevatif dinyatakan dalam Al-Quran, ”Kami
telah menciptakan kamu semua dari satu pria dan satu wanita, dan
menjadikan kamu pelbagai bangsa dan suku, agar supaya kamu saling
mengenal.” Realitas yang sama juga ditegaskan Al-Quran, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”
Secara hermeneutik menurut Aloysius
Budi Purnomo, seorang pastor Katolik Pematang Siantar, perwahyuan ayat
suci Al-Quran itu bukan saja menunjukkan realitas pluralistik. Tetapi
juga memberi perspektif bagi pengenalan unsur-unsur pluralisme itu
sendiri.
Pada inti ajarannya – seperti juga
agam-agama lain- Islam adalah agama yang anti kekerasan. Tata
penghormatan antar sesama Muslim setiap kali bertemu selalu
mengucapkan: “Assalamu’alaikum”, yang dijawab dengan: “Wa’alaikumsalam”. Jika diucapkan secara lengkap, ditambahkan doa dengan mengucap: Warahmatullahi Wabarakatuh”, yang artinya “berkah serta rahmat Allah”. Kata-kata: “damai, berkah dan rahmat Allah” memang sesungguhnya adalah tiga intisari ajaran Islam.
Pada hakikatnya agama-agama Samawi
menolak paham kekerasan sebagai solusi perbedaan, karena tidak
menempatkan loyalitas tertinggi dan pengabdian kepada ras, suku, agama,
atau bangsa. Namun loyalitas tertinggi dan pengabdian hanya untuk
Allah semata.
Secara umum inti ajaran setiap agama
selalu mengandung nilai-nilai substansial dengan corak yang universal.
Tetapi dapat dimengerti, jika antar agama juga memiliki
perbedaan-perbedaan dogmatis.
Oleh karena itu, dialog antar agama
hendaknya diarahkan sebagai pengakuan arti pentingnya agama dan
kewajiban memeluk agama serta menjalankan ritual keagamaan bagi setiap
individu. Di samping itu, hendaknya juga diarahkan untuk mencapai
saling pengertian dan toleransi beragama dalam kehidupuan keagamaan
yang penuh harmoni.
Maka pendalaman dan pengahayatan agaran
agama-agama perlu terus dikembangkan oleh umatnya. Agar demikian
dapat mengembangkan wawawsan multikultural antar pemuka agama, lebih
arif dalam melihat perbedaan-perbedaan, serta dapat menempatkan
keberadaan umat beragama dalam konteks pluralitas masyarakat dan
pluralitas agama-agama yang hidup di Indonesia.
Segenap hadirin yang diberkati Allah,
Dalam kerangka itulah, hendaknya kita
sambut baik simposisum ini dalam percaturan keagamaan di Indonesia
sekarang ini. Dengan memilih tema dialogis, terlebih dahulu memerlukan
pemahaman yang mendalam akan agama-agama dari telaah teologis.
Dengan menyadari keragaman masyarakat,
pada tingkat pertama memerlukan dialog antar pemeluk seagama.
Kendatipun seiman, inipun memerlukan proses, karena masih adanya
perbedaan internal dalam tafsir di setiap mazhab agama. Kita
menyadari, bahwa aliran-aliran dalam satu agamapun akan tetap hidup di
masyarakat yang plural. Makanya, sangat disesalkan dengan penuh
keprihatinan atas tindak kekerasan dan pembakaran oleh kelompok
mayoritas kepada kelompok minoritas karena perbedaan mazhab dalam
Islam, seperti terjadinya kasus Sampang baru-baru ini.
Karena sifatnya yang peka, pada tingkat
kedua dialog hanya layak dilakukan di kalangan terbatas antar tokoh
agama, dan di lakukan dengan teramat hati-hati. Interaksi diantar
keduanya – dialog tingkat pertama dan kedua – mungkin di suatu saat
nanti membutuhkan dialog tingkat ketiga- antara agama-agama dan
masyarakat – yang justru lebih mengandung potensi kerawanan.
Di sini amat dibutuhkan derajat
kearifan yang tinggi, dengan menyadari bahwa syarat dialogis haruslah
bersifat dua arah dalam suasana keterbukaan. Suasana keakraban dan
iklim saling percaya adalah syarat mutlak untuk suatu dialog lintas
iman.
Konsekuensinya, dialog semacam ini harus
menunggu saat yang tepat untuk disosialisasikan, karena melibatkan
massa umat dari berbagai level, pemikiran, dan kesadaran keagamaan yang berbeda-beda. Di sini memerlukan kesiapan yang mendalam sebelum kita melangkah.
Karena jikalau tidak maksud yang baik
ini pun akan bisa berakibat yang sebaliknya. Oleh sebab itu, kita harus
menunggu dengan sabar munculnya momentum dialog tingkat ketiga ini,
tanpa harus dipaksakan dalam bentuk rekayasa apapun. Karena ini
memerlukan kesediaan hati, keterbukaan pikiran dan kepercayaan timbal
balik serta wawasan yang luas di antara pemeluknya. Kesemuanya itu,
tergantung pada umat-umat beragama sendiri.
Tradisi keagamaan yang berbeda-beda
pada umat manusia ibarat warna yang hampir tak terbatas jumlahnya,
yang kelihatan tatkala cahaya putih jatuh di atas prisma pengalaman
manusia: Cahaya putih itu menyebar ke dalam tradisi, ajaran dan agama
yang tak terhitung alirannya, yang juga membawa karakteristik kearifan
lokal sesuai akar budayanya masing-masing.
Merah memang bukanlah kuning, sama
halnya Hinduisme bukanlah Buddhisme. Namun pada perbatasannya orang
tidak tahu pasti kecuali dibuat dalil sebelumnya, di mana merah
berakhir dan kuning mulai. Demikian juga proses yang kemudian dengan
kedatangan agama Islam dan Kristen, di samping warna hijau ataupun
warna lain, masih ada nuansa warna merah maupun warna kuning tadi.
Segenap hadirin yang diberkati Allah,
Dengan visi dan harapan seperti itulah, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memberikan apresiasi yang tinggi atas prakarsa Anand Ashram Foundation beserta Anand Krishna Centre JogLoSemar yang berafiliasi dengan PBB untuk menyelenggarakan simposiusm antar iman di Yogyakarta pada hari ini.
Akhir kata, dengan memohon limpahan
berkah serta rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga dialog antar agama
dan lintas iman ini menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang dapat
diimplementasikan di antara para pemeluknya dalam upaya bersama
mewujudkan kerukunan hidup beragama yang penuh damai guna membangun mutual trust, mutual respect, dan mutual understanding dalam suasana penuh harmoni sebagai pembuka jalan menuju global interfaith harmoni antar sesama umat-Nya.
Sekian, terima kasih.
Wassalahmu’alaikum Wr.Wb
Yogyakarta, 1 September 2012
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Hamengku Buwono X
***
Kemudian secara resmi Ngarso Dalem membuka acara simposium dan mendeklarasikan Piagam Keselarasan Global (Charter for Global Harmony). Sampai saat ini, sudah ditandatangani oleh 261 suporter dan 31 co-creator. Telah pula diterjemahkan ke 6 bahasa (Inggris, Arab, Mandarin, Spanyol, Belanda, dan Prancis).
Piagam ini urgen karena kerukunan
beragama dan kebebasan berkeyakinan selama ini hanya menjadi sebuah
rhetoric alias kata-kata manis belaka. Tapi faktanya, setiap saat,
kapan saja, di mana pun kelompok-kelompok agama dan kepercayaan bisa
disulut dan dikonfrontir lewat konflik yang berujung pada pertumpahan
darah.
Dalam 2000 tahun terakhir, telah
terjadi 3000-an kali perang atas nama agama dan kepercayaan. Pada
konteks Indonesia, data Setara Institute menunjukkan serangan atas nama
agama naik dari 135 kasus pada 2007 menjadi 216 kasus pada 2010 dan
244 kasus pada 2011.
Sosial media di internet seperti Facebook, Twitter, Citizen Jurnalism, Blog, dan Website
terus dimaksimalkan untuk menyebarluaskan acara dan materi Simposisum
ini. Untuk bersama wujudkan global harmoni di bumi. Kalau pun belum
terwujud, anak-cucu dan generasi penerus kelak tahu ada pendahulu
mereka yang pernah mencita-citakan, merintis, dan memperjuangkannya.
Silakan turut berpartisipasi, berikut ini piagam versi bahasa Indonesianya:
***
Para Pencinta Perdamaian dari
berbagai bangsa di dunia secara bersama-sama membidani kelahiran Piagam
ini. Mereka berasal dari berbagai latar belakang akademis dan
profesi, dan memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, serta
memiliki ideologi, pandangan dan aspirasi politik yang beragam pula.
Namun perbedaan tersebut tidak
menjadi penghalang bagi mereka untuk menggagas piagam ini serta
bergotong-royong demi terwujudnya Keselarasan Global (Global Harmony).
Bukan sekadar sebagai Deklarasi
Cita-cita Mulia para pelopornya serta orang-orang yang kemudian
mendukung dan ikut menandatangani, tapi sesungguhnya Piagam ini
merupakan Pedoman (road map) untuk mencapai dan mewujudkan Keselarasan Global (Global Harmony).
Patut diakui bahwa semua agama,
sistem kepercayaan, keyakinan (termasuk ateisme), tradisi-tradisi
spiritual dan filsafat tanpa kecuali mengedepankan keselarasan sebagai
jiwa dari semua sistem sosial. Masyarakat mana pun atau sistem sosial
apa pun tidak dapat bertahan lama tanpa menjunjung tinggi prinsip ini.
Oleh karena itu perlu dibuat dan disepakati sebuah pedoman (road map) untuk mewujudkan tujuan bersama umat manusia.
Para penandatangan Piagam ini sungguh percaya bahwa Keselarasan Global (Global Harmony)
tidak bisa dipaksakan kelahirannya. Hukum dan peraturan apa pun tidak
akan pernah mampu membantu manusia mewujudkan hal ini, kecuali terlebih
dahulu ada kedamaian dalam hati setiap insan. Jadi, pertama dan utama
setiap individu harus berdamai, mengalami dan merasakan kedamaian
dengan dirinya sendiri.
Kedamaian Batin setiap individu (Inner Peace) niscaya otomatis mewujud sebagai Kasih yang Mengikat Masyarakat Majemuk dalam Persaudaraan (Communal Love), baik sebagai satu komunitas bangsa maupun dengan bangsa-bangsa lain di dunia
Pada gilirannya Kasih yang Mengikat Masyarakat Majemuk dalam Persaudaraan (Communal Love) ini yang mengantar kita mencapai Keselarasan Global (Global Harmony).
Dengan berpijak pada Piagam ini, kami
menyerukan kepada masyarakat dunia untuk menyisihkan waktu
sekurang-kurangya 20 menit setiap hari untuk bermeditasi. Silakan
menggunakan teknik yang cocok atau sesuai dengan tradisi/sistem
kepercayaan masing-masing. Sebab, hanya dengan menoleh ke dalam diri
dan meditasi manusia dapat mencecap Kedamaian Batin (InnerPeace).
Berbarengan dengan latihan pemberdayaan
diri lewat meditasi, kami juga mengajak semua manusia untuk melakukan
karya pelayanan sosial tanpa pamrih. Durasinya minimal 2 jam dalam
seminggu atau 8 jam setiap bulan.
Layanan sosial tersebut hendaknya tidak
ditujukan kepada sebuah kelompok tertentu saja. Namun harus
menjangkau komunitas-komunitas masyarakat yang berbeda suku, agama
dan afiliasi politiknya.
Akhirnya, kami menyerukan semua pihak
agar secara aktif mensosialiasasikan Piagam ini. Yakni dengan
menggunakan, media cetak dan elektronik serta media sosial atau
bentuk-bentuk penyebarluasan lainnya. Sehingga dapat mangajak sebanyak
mungkin orang terlibat dalam upaya kemanusiaan bagi tercapainya
Keselarasan Global (Global Harmony).
Sumber: http://www.charterforglobalharmony.org/
***
Sdr. Haryadi selaku moderator menggantikan Ronny Sugiantoro (Wapimred KR) yang sedang sakit. Lantas, project manager
perusahaan di Bandung tersebut mengundang semua pembicara maju ke depan
sembari membacakan bidata para narasumber. Masing-masing memiliki
waktu 7 menit untuk menyampaikan gagasan dan sharing pengalamannya. Jadi semacam kultum.
Inner Peace
Kajian Inner Peace
(Kedamaian Batin) diuraikan oleh Bikhu Sasana Bodhi Thera dari
perwakilan Buddhis. Alumus S2 Filsafat UGM dan Sekolah Tinggi Agama
Buddha ini meminjam metaphor dari Sidharta Gautama. Apapun nama
sungainya, dari mana pun asal sumber alirannya, ketika sampai di laut
hanya ada satu rasa. Hanya ada rasa garam, rasa asin. “Tidak ada rasa
khusus di Laut Selatan, entah itu rasa air Kali Progo, rasa air Kali
Opak tak akan ditemukan di sana,” ujarnya.
Dosen mata kuliah Pluralitas Agama ini
menambahkan bahwa dari agama yang berbeda dan keyakinan yang
bermacam-macam itu, kebenaran sejati sesungguhnya hanya ada satu rasa.
Yaitu rasa kebebasan, kemahardikaan. “Kebebasan ini terancam dan
terasa hilang karena terkelabui oleh rasa melik nggendong lali. Ketika keberatan melik. Kita menjadi banyak alpa dan lupa pada apa yang disebut eling lan waspada: kesadaran,” imbuhnya.
Bhiku kelahiran Temanggung ini berpesan, “Oleh karena itu, agama ageming aji, siapapun orangnya yang sudah mudeng petuah leluhur kita itu apapun agamanya, dimanapun, kapanpun, dengan siapapun akan memberikan ayom, ayem, tentrem. Matur nuwun.”
Selanjutnya, YP Sukiyanto
mengungkapkan bahwa ada aneka sumber keresahan manusia. Misalnya.
egosentrisme, merasa lebih dari yang lain; tergesa-gesa, tidak sabaran,
tak tahan derita; terlalu yakin, menganggap sepele; tak mengerti, tak
menguasai masalah; berontak; dan sikap lemah.
Sebaliknya, penggiat Aliran Kepercayaan
dan Ketua HAK (Hubungan Antar Agama Blora) tersebut menyatakan bahwa
sumber ketentraman hati ialah hakekat diam, bhakti, kasih, dan damai
di dalam hati.
Communal Love
Pada sesi Communal Love
(Cinta pada Sesama), Romo Aloysius Budi Purnomo, Pr dari perwakilan
Katolik berbagi pengalamannya saat masih bertugas di Pematang Siantar.
Komunitas harus dibangun dalam konteks global. Gagasannya memang
universal tapi diwujudkan secara lokal. Seperti kata tamsil bijak, “Think globally act locally.”
Romo yang satu ini terlibat dalam
komunitas-komunitas kasih tanpa pandang suku, agama, ras, dan antar
golongan (SARA). Ia bekerjasama dengan Komunitas para Bhante, kenal
dekat Gus Umar (adik almarhum Gus Dur), dan turut hadir dalam deklarasi
Gusdurian di Semarang.
Saat masih bertugas di Paroki Tanah
Mas, Semarang, Ibu Shinta Wahid pernah berkunjung ke sana. Alumnus
Magister Teologi Wedahabhakti Universitas Sanata Dharma (USD)
Yogyakarta ini suka bermain saksofon dan gitar. Ia menggunakan sarana
seni dan budaya untuk mencairkan suasana dan perbedaan yang ada.
Baginya, mengajak anak-anak muda membangun komunitas-komunitas kasih juga penting. Ia mengajak muda-mudi Katolik live in di Pondok Pesantren. Sehingga mereka bisa saling belajar satu sama lain.
Ketua komisi hubungan antar agama dan
kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (KAS) ini juga berupaya membangun
hal serupa di tingkat global. Tepatnya di sebuah perkampungan Muslim
di Bulgaria.
Pembicara selanjutnya Alissa Wahid
menekankan pada hubungan dengan sesama. Berbelarasa dengan yang lemah
dan dilemahkan. Tuhan pun mengutus Nabi Muhammad saw untuk menjadi
rahmat bagi alam semesta.
Koordinator Jaringan Gusdurian
Indonesia ini menyatakan bahwa sebenarnya banyak ayat-ayat Al-Quran
yang memberikan panduan bagi kehidupan umat Muslim. Hadis Nabi juga
menandaskan bahwa sebaik-baiknya manusia ialah orang yang memberi
manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Panduannya sudah ada. Bahkan
pesan tersebut bukan hanya untuk orang Muslim saja tapi untuk semua
orang.
Dewan Pembina The Wahid Institute
ini menggambarkan dunia saat ini ibarat sebuah desa yang besar. “Dulu
kita hanya kenal orang yang hanya sedesa, sepulau, sekarang kita bisa
bertemu orang Jawa di kutub utara. Orang kulit hitam di desa di China,
dan bahkan orang India di ruangan ini,“ ujarnya.
Menurutnya, dunia kini makin mengecil.
Dalam arti keterikataannya semakin erat. Kita tak bisa lagi hidup
sendiri, dan mengganggap diri paling benar. Psikolog keluarga ini juga
berpendapat, “Bahkan dengan free trade, semua orang bisa
bekerja di mana saja.” Misalnya di New York, sopir taksinya dari
Pakistan, suster-suster dari Filipina, dan insinyur di sana dari India.
Ke depannya, di Indonesia, guru-guru di sini bisa jadi orang Kanada,
Afrika Selatan, atau India.
Oleh sebab itu, putri alrmarhum Gus Dur ini menandaskan bahwa kita memang butuh global interfaith harmony.
Karena kalau tidak dengan sengaja menuju ke sana - dan justru
menganggap kelompoknya yang paling benar - maka kerusakan akan melanda.
Bagi umat Muslim, menurutnya, itu mengingkari kerasulan Nabi Muhammad
saw. Tujuan utamanya ahlak mulia dan budi pekerti bukan untuk
kekuasaan semata.
Nabi sendiri memberi contoh untuk hidup
dalam harmoni. Lewat piagam Madinah, beliau mengatur kehidupan demi
kemaslahatan umat dan kesejahteraan bersama. “Kita tinggal mengambil apa
yang sudah diterapkan sesuai konteks sekarang,” imbuhnya.
Ia kemudian mengutip pendapat KH.
Achmad Shiddiq, Kyai besar NU. Beliau mengingatkan bahwa bersaudara
itu dengan sesama muslim, sesama bangsa dan negara, dan seluruh umat
manusia. Tujuannya demi keadilan, kesetaraan, dan persaudaaran yang
hakiki.
Alissa menandaskan, “Mempertahankan
yang baik dari tradisi dan mengambil yang baik dari hal-hal yang baru.
Inilah bekal bagi seorang Muslim untuk menjalani road to global interfaith harmony. Gus
Dur pun pernah berpesan bahwa makin beda makin mudah kita menemukan
titik-titik pertemuan. Jadi yang sama jangan dibeda-bedakan, yang beda
jangan disama-samakan.”
Dalam jeda antar sesi, Grup Musik Yayasan Anand Ashram juga mempersembahkan lagu-lagu bernuansa Inner Peace, Communal Love, dan Global Intefaith Harmony. Lewat seni dan budaya pesan-pesan itu lebih mudah diterima siapa saja. Berikut ini salah petikan lirik lagu yang bernada Selayang Pandang:
Satu bumi dan satu langit,
Juga satu umat manusia,
janganlah lupa budaya bangsa,
Sebarkan luas pada dunia…
Global Harmony
Pada sesi Global Harmony, WS Adjie Chandra dari perwakilan Kong Hu Chu berbagi 3 ayat penting. Pertama, kita bisa harmonis walaupun tidak sama, jangan sama tapi tidak harmonis. Kedua, di empat penjuru lautan sesungguhnya kita semua bersaudara. Ketiga, kalau kita ingin maju bantulah orang lain untuk maju, kalau kita ingin tegak bantulah orang lain untuk tegak.
Menurut Ketua Yayasan Tri Pusaka ini,
Kong Hu Chu juga mendukung keharmonisan global. Caranya dirumuskan
lewat 8 agenda. Antara lain rajin belajar, menguasai pelajaran untuk
praktek dalam kehidupan, memantapkan ilmu itu agar bermanfaat bagi
sesama, dengan ilmu yang dimantapkan manusia mampu mencapai kesuksesan
diri, membina diri, membereskan rumah tangga, mengatur masyakarat dan
bernegara, serta menciptakan kedamaian di dunia.
Fondasinya ada 3 prinsip. Pertama, manusia tidak lepas dari jalan suci Tuhan. Manusia tidak bisa hidup tanpa Tuhan. Kedua, manusia harus belajar mengenal sesama orang lain. Ketiga, Manusia harus merawat alam semesta dan memperhatikan lingkungan sekitar.
Dalam keluarganya sendiri, pria
kelahiran Surakarta ini mempraktekkan hal itu. Ia 5 bersaudara, ada
yang Kristen, Katolik, dan Muslim. Walau berbeda, tapi saat
sembahyangan untuk arwah orang tua semua bisa berdoa bersama. “Ibarat
jari kita 5, bentuknya beda-beda sehingga bisa berfungsi dengan baik.
Kalau sama malah tidak bisa melakukan apapun,” ujarnya.
Kemudian, Drs. I. Nyoman Warta,
M.Hum pemuka agama Hindu mengawali dengan tembang sekaligus doa. Isinya
mohon agar semua pikiran yang baik datang dari segala penjuru.
Menurutnya, dalam Hindu ada istilah Tat Tvam Asi, Wasudewa Kutumbaka, dan Tri Hita Karana. kamu adalah aku - aku adalah kamu, kita semua bersaudara, keselarasan antara manusia, sesama, serta lingkungan alam.
Dosen S2 di UGM ini juga menggambarkan
perbedaan ibarat rambut. Rambut ada di kepala, alis, kumis, jenggot,
dst. Masing-masing berada di tempatnya, fungsinya pun bermacam-macam.
Kemudian ia mengutip prinsip ahimsa dari Mahatma Gandhi. Manusia tidak boleh melakukan kekerasan lewat kata dan perbuatan.
Pembimas Hindu Dharma ini mengajak
hadirin belajar pada pohon, sungai, dan Ibu Pertiwi, “Pohon selalu
meneduhkan, memberi buah, bunga, dan kayu untuk kepentingan manusia.
Sungai walau dikotori tapi tetap selalu memberi sumber kehidupan dan
airnya mengalir terus. Ibu Pertiwi juga, kita lahir disangga oleh bumi,
semua yang lahir suatu saat pasti mati. Kita kembali ke sana lagi,”
ujarnya.
Menurut I. Nyoman Warta, kesabaran dan
ketabahan ialah intisari semua latihan rohani. Di dalam keluarga,
istri, suami, anak semua beda. Bila ada perselisihan harus mau
memaafkan. Kalau masih ada dendam tidak akan tercipta global harmoni. “Ono kupat ono santen, ono lepat nyuwun pangapunte,” pungkasnya.
Pendidikan
Prof. Dr. Muhammad A.S. Hikam, MA.,
APU membuka dengan rendah hati, “Karena sekarang menjadi dosen, dan
pernah sekolah mungkin itulah saya diminta bicara Communal Love
dari sudut pandang pendidikan. Tapi saya tidak berani mengklaim diri
sebagai seorang pakar, apalagi di Tamansiswa, pusatnya pendidikan.”
Kemudian, ia mengutip Jalaluddin Rumi. Seorang Sufi berkebangsaan Iran, kata-kata bijaknya paling banyak didominasi oleh statement
cinta dan kasih sayang, “Tugas manusia bukan untuk mencari atau memburu
cinta, tugas manusia ialah berusaha menyingkirkan apa yang
menghalangi tumbuhnya cinta.”
Prof. Hikam juga menyitir pendapat
Pendeta Kristen, Marthin Luther King Jr. Pejuang HAM anti kekerasan dan
persamaan hak politik anti diskriminasi ras itu mengatakan,” Kegelapan
tidak bisa menghilangkan kegelapan. Kebencian tidak mungkin
menghilangkan kebencian. Yang bisa menghilangkan kegelapan hanyalah
cahaya. Dan hanya cinta yang bisa menghilangkan kebencian.” Menurut Pak
Hikam, tulisan itu terpahat di pagar Monumen Marthin Luther King Jr di
Washington DC yang diresmikan pada 2011.
Kedua tokoh, Rumi dan Luther King Jr, menurut Pak Hikam, sangat concern seperti Pak Anand Krishna terhadap Communal Love dan persaudaraan antar iman.
Selanjutnya, Menristek pada era Gus Dur ini mengatakan bahwa sesungguhnya ibarat komputer manusia sudah punya software bawaan. Tapi oleh manusia program embedded itu malah diganti-ganti. Kasih sayang ditutupinya sendiri. Kemudian sibuk mencari di mana-mana. “Virus-virus yang menutupi Love tersebut harus dihilangkan,” ujarnya.
Pak Hikam menambahkan, “Dalam Al Quran dikatakan juga kalau manusia itu diciptakan dalam bayangan Tuhan itu sendiri. Embedded
program, sifat ketuhanan ialah cinta. Kalau manusia mencari-cari cinta
maka itu sangat salah. Akibatnya terjadi kekerasan, diskriminasi
rasial, di Solo, di Sampang, semoga itu tidak terjadi di Jogja.”
Menurut peneliti ini, brotherly love
sangat penting, caranya lewat proses pendidikan. Dalam pengertiannya
yang sangat luas. Formal, sekolah, pesantren, dll. Informal dan juga
nonformal. Intinya bagaimana mendidik anak sejak dari kecil sampai
dewasa terus-menerus. Untuk menghilangkan virus-virus tersebut.
Dalam konteks Indonesia, Pak Hikam
mengingatkan, “Kita perlu mencintai antar anak bangsa. Salah satu
problem utama di negara ini, demokrasi dianggap apa-apa boleh, termasuk
membenci sesama anak bangsa. Padahal tanpa ada kasih sayang, ajaran
bisa ditafsirkan secara keliru.”
Pria kelahiran Tuban ini mengutip
pendapat Gus Dur bahwa Indonesia butuh Islam yang ramah bukan yang
marah. Karena penafsiran lain juga punya status epistemilogis yang
sama. “Selama kita masih di dunia, kita tidak akan memiliki kebenaran
dengan huruf K besar, “ujarnya.
Pak Hikam berpendapat bahwa The only solution is Love, itulah pesan utama Rumi, Luther King Jr, dan Pak Anand.
Pendidikan multikultur di Indonesia tak
boleh sekadar konsep, tapi harus dipraktekkan. Intinya 3 hal: 1.
Merayakan perbedaan. 2. Perbedaan bukan masalah. 3. Perbedaan itu
esensial dalam kehidupan kita.
“Kini kalau menuntut semua harus sama itu pandangan jadul. Menciptakan insan kebangsaan, brotherly love, communal love,
konkretisasinya ada di Indonesia Raya (NKRI). Yang tak setuju,
silakan pindah saja ke tempat lain di Saudi Arabia, London,
Washington, dst, “ pungkasnya.
Penyerahan Cinderamata
Tak terasa 3 jam hampir berlalu. Dalam waktu sesingkat itu, peserta bisa belajar begitu banyak hal. Dengan menyimak paparan dan sharing pengalaman para pembicara. Sehingga terinspirasi untuk melakoninya dalam keseharian hidup.
Sebagai ucapan terimakasih penyelenggara menyerahkan cinderamata diwakili oleh Bapak Yudhanegara dari Anand Ashram Mother Centre, Sunter, Jakarta; Ibu Erina, Anand Krishna Information Centre (AKIC) Semarang; Sdri. Ires, Generasi Muda Yayasan Anand Ashram; Ibu Santi, Kepala Sekolah One Earth School (OES); Bapak Triwidodo, Ketua Anand Krishna Centre (AKC) JogLoSemar; Ibu Harumini, Ketua Anand Krishna Education Foundation; Bapak Michael, Ketua Anand Krishna Information Centre (AKIC) Magelang; dan Ibu Yuni, Ketua Anand Krishna Information Centre (AKIC) Surabaya.
Pengalaman yang indah di penghujung pekan itu diakhiri dengan foto bersama. Monggo, silakan sebarluaskan reportase ini. Matur Sembah Nuwun
Fotografer: Prabu Dennaga
Sumber: http://www.facebook.com/media/set/?set=a.10151077640063611.441978.544843610&type=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar