September 02, 2012

Dari Inner Peace ke Communal Love untuk Global Interfaith Harmony


1346569779539227942
Daerah Istimewa Yogyakarta - Simposium Hari Bhakti bagi Ibu Pertiwi pada Sabtu (1/9/2012) ini menarik. Karena memaparkan petunjuk jalan (road map). Langkah awal dengan menemukan kedamaian batin (Inner Peace), baru kemudian berbagi kasih kepada sesama (Communal Love) demi mewujudkan keselarasan lintas iman dan agama di dunia (Global Interfaith Harmony).

Penyelenggaranya Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006), Anand Krishna Centre JogLoSemar, IWAG - Peace, One Earth Integral Foundation, Koperasi Global Anand Krishna, Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ), Astra, SKH Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Radar Jogja, Minggu Pagi, dan KR Grup.

Acara digelar di Pendopo Agung Tamansiswa, Yogyakarta. Temanya Road to Global Interfaith Harmony. Menghadirkan 6 narasumber lintas agama dan iman. Yakni perwakilan tokoh Islam, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, dan Aliran Kepercayaan. Selain itu, mengulas pula keselarasan global dari perspektif ketahanan nasional, kebudayaan, dan pendidikan.

Tepat jam 9.00 WIB seluruh peserta berdiri diringi lagu Bende Mataram. Dalam bahasa Indonesia artinya “Sembah Bhakti pada Ibu Pertiwi.” Tamu VIP dan para pembicara memasuki Pendopo. Antara lain, Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta, Drs H. Pardimin, M.Pd., Asisten III Gubernur Jawa Tengah, Bapak Wakapolda DIY, dll.

13465698361935957878

Lebih dari 400 hadirin memenuhi Pendopo bersejarah tersebut. Bahkan sampai harus menyediakan kursi-kursi tambahan di bagian sayap kiri dan kanan. Terdiri dari para guru/dosen, siswa sekolah, mahasiswa, aktivis LSM, dan masyarakat sekitar.

Selain itu, hadir pula anggota keluarga besar Anand Ashram dari Ciawi, Bogor, Jakarta, Kalimantan, Semarang, Pati, Kendal, Boyolali, Kediri, Surabaya, Bali, dll. Keluarga besar Tamansiswa pun turut berpastisipasi aktif. Acara diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Seluruh peserta, tamu VIP, dan pembicara berdiri menghadap ke Sang Saka Merah Putih.

Selanjutnya, pemutaran slide kegiatan Yayasan Anand Ashram yang didirikan oleh Bapak Anand Krishna. Sebuah pusat pelatihan meditasi dan kesehatan holistik agar manusia berkembang baik pikiran, jiwa, dan raganya.

134656988281589515

Menurut dr. Sayoga, acara semacam ini rutin diadakan setiap tahun. Tepat 7 tahun silam (2005), tanggal 1 September dicanangkan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Republik Indonesia (RI) saat itu, Prof. Juwono Sudarsono, Ph.D sebagai Hari Bhakti bagi Ibu Pertiwi. Tepatnya di Aula Dwi Warna, Gedung Lemhanas, Jakarta. Hadir pula Gubernur Lemhanas saat itu, Bapak Muladi; Gubernur DKI Jakarta saat itu, Bapak Sutiyoso; dan almarhum Gus Dur.

Ketua Yayasan Anand Ashram tersebut menjelaskan latar belakangnya. Yakni untuk membangkitkan bhakti dan cinta segenap anak bangsa. Dokter yang berdomisili di Bali ini menandaskan, “Kebersamaan lahir dari hati yang damai dan cintai kemanusiaan. Mereka yang berjiwa pengecut tak bisa melakukannya.”

Menurutnya, negara kita pun dibangun di atas fondasi kebersamaan. “Mari teguhkan lagi komitmen para founding fathers. Apapun agama, suku, dan keyakinanmu, kita semua orang Indonesia,” ujarnya dari atas podium.

Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) ini juga mengajak 400 peserta yang hadir pagi itu untuk menguatkan terus-menerus semangat kebersamaan, “Mari kita sebarkan ke seluruh tanah air Indonesia dan juga dunia,” imbuhnya.

Pria kelahiran Gianyar, Bali tersebut kemudian membacakan surat dari Bapak Anand Krishna tidak bisa hadir. Berikut ini petikannya, “Kepada Yang Mulia Sri Sultan Hamengku Buwono X, Yang Mulia Sri Baginda Sultan…Mohon terima penghormatan saya dan mohon maaf sebesar-besarnya, saya yakin Wayan, Sayoga sudah menjelaskan alasannya karena terkait kasasi dalam kasus saya.

Saya menolak keputusan yang tidak konstitusional tersebut, mereka tak akan bisa memaksa saya. Oleh Bunda Ilahi, saya tidak boleh meninggalkan tempat ini (Ubud, Bali-penulis), karena harus lebih menggiatkan diri dalam doa dan meditasi. Terimakasih sebesar-besarnya kepada Sri Baginda yang telah mendukung dan membuka simposium ini. Mohon doa bagi gerakan dan visi misi kita. Salam hormat. Anand Krishna.”

Mendamaikan Kultur dan Struktur

1346569945714897421

Prof. Dr. Irwan Abdullah hadir mewakili Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA. Guru Besar di Center for Religious and Cultural Studies (CRCS) UGM tersebut mengatakan bahwa sebenarnya Gubernur Lemhanas sangat ingin hadir. Tapi karena ada tugas lain harus mengutusnya.

Doktor alumnus Fakultas Antropologi Sosial, Universitas Amsterdam itu mengapresiasi Hari Bhakti bagi Ibu Pertiwi yang dirayakan dengan simposium Road to Global Interfaith Harmony. Prof. Irwan mengatakan, “Ini memang menjadi isu sentral bagi Lemhanas. Sehingga lewat acara ini kita dapat memberi masukan kepada pemerintah, dalam hal ini Presiden Republik Indonesia. Yakni demi membangun ketahanan nasional.”

Kemudian, dipaparkan pula tentang generalitas. Bangsa Indonesia harus bertumpu pada prinsip-prinsip general. Salah satu yang penting ialah harmoni. Kenapa? Karena kepulauaan Nusantara terdiri atas 17.500 pulau dan 512 bahasa lebih. Kita pun memiliki beragam agama, keyakinan, dan kepercayaan. “Sehingga apa yang hari ini bersifap lokal harus ditempatkan dalam konteks global harmoni,” imbuhnya.

Selain itu, menurutnya, Indonesia sebagai satu bangsa, semboyan Bhinneka Tunggal Ika perlu menjadi kerja aktif. Proses ini dapat diupayakan oleh kekuatan-kekuatan yang dipunyai bangsa ini. Penulis produktif di pelbagai jurnal Antropologi tersebut melihat bahwa persoalan untuk membangun Global Interfaith Harmony ialah bagaimana mendamaikan kultur dengan struktur. Karena begitu beragamnya kebudayaan kita dari Sabang sampai Merauke.

Ia berpendapat, “Inilah potensi, kekuatan kultural Indonesia. Jadi kultur itu harus didamaikan dengan struktur negara, sosial, ekonomi, dst. Sehingga bisa hidup di satu lingkungan yang harmoni.”
Menurutnya, masyarakat setempat sudah menjalankan. Ada petuah Melayu untuk mendamaikan kultur dan struktur. Terutama dalam hal kepemimpinan (leadership). Pemimpin ialah orang yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, dan dimuliakan sekuku. Artinya pemimpin harus dekat dengan kita. “Tapi kini gajinya saja jauh dari rakyat yang dipimpinnya,” ujarnya.

Dalam konteks ini, alumnus UGM ini berpendapat bahwa revitalisasi budaya lokal, kearifan leluhur menjadi penting. Ia menambahkan, “Di Jawa sendiri, ada falsafah kepemimpinan. Dari Tamansiswa, dulu Ki Hadjar Dewantara sudah mengingatkan pada Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mbangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.”

Prof. Irwan menawarkan solusi. Untuk membangun Indonesia yang berkeadaban ada 3 syarat. Pertama, freedom (kebebasan). Bahkan masyarakat di pulau terpencil pun harus memiliki kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, kesetaraan. Etnisitas jangan dibedakan. Kesetaraan warga dan bangsa harus sama. Tanpa memandang etnis, agama, dst. Ini yang menjamin kesesuian dan keserasian. Ketiga, toleransi. Tanpa toleransi kehidupan yang harmoni tidak bisa diwujudkan.

Akhir kata, beliau menandaskan, “Butuh perjuangan dan komitmen bersama untuk mewujudkanya. Global harmoni memang harus dimulai dari Inner Peace. Dari hati para pribadi demi membangun keserasian sosial. Lemhanas sangat berterimakasih atas acara ini, kami akan mensosialisasikan hasilnya ke seluruh Indonesia. Semoga dapat melahirkan pikiran yang matang dan berguna. Untuk Indonesia yang berkeadaban serta berkontribusi dalam global harmoni.”

Sambutan Ngarso Dalem

1346570009719900595

Sebelum membuka simposium secara resmi. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekaligus Raja Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai pembicara utama menyampaikan gagasannya. Berikut ini isi pidato beliau:

***
Assalamualaikum, wa rahmatullahi wa barakatuh,
Salam Sejahtera bagi kita semua,
Om swastiastu, Namo budhaya…

Yang saya hormati Gubernur Lemhanas yang diwakili oleh Prof. Dr. Irwan Abdullah, Ketua Yayasan Anand Ashram, dr. Sayoga, Tokoh-tokoh agama, para Pembicara, dan Bapak-Ibu hadirin sekalian,

Marilah kita bersama-sama – sesuai keyakinan agama masing-masing - mengucapkan puji-syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, agar oleh perkenan-Nya kita dapat membangun dialog antar-iman dalam Simposium: “Road to Global Interfaith Harmony” ini dalam suasana kebersamaan, kesetaraan, dan kedamaian penuh harmoni.

Mengutip Raimundo Pannikar dalam bukunya: The Intra Religious Dialogue, memang kita tidak dianjurkan untuk mudah berganti haluan, melainkan untuk berani melihat pengalaman sendiri secara lebih kritis. Sehingga kita dapat membuka tabir-tabir gelap yang penuh mitos dan kepercayaan kita sendiri, yang seringkali menjadi tempat hangat di mana kedamaian semu bersarang, atau menjadi benteng pertahanan yang tinggi dan kokoh untuk mengkritik keberagaman orang lain.

Dengan demikian kita lalu dapat melakukan terobosan-terobosan dan titian-titian baru, dengan berupaya bagaimana hubungan antar iman dimungkinkan, tanpa mengingkari iman yang dipeluknya sendiri. Seharusnya iman seseorang kuat dulu untuk dapat memulai suatu dialog antar agama yang meluas dan mendalam, karena konteksnya adalah dialog atau perjumpaan yang mengarah pada saling pengertian menuju rekonsiliasi atau perdamaian, agar tabir-tabir dan benteng-benteng itu dapat diubah menjadi jembatan kultural antar pemeluk agama.

Terlepas dari perdebatan, apakah benar agama menjadi faktor timbulnya kerusuhan sosial di negeri ini, fakta telah berbicara bahwa kerusuhan sosial yang terjadi salah satunya memang berakar dan dipicu oleh isu agama. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mereduksi, atau kalau mungkin mengeliminasi faktor agama sebagai sumber konflik melalui dialog antar agama dan antar iman.

Meminjam terminology Zuly Qodir, peneliti pada Interfidei Yogyakarta, agama ternyata bak pedang bermata dua. Di satu sisi menawarkan keteduhan, di mana agama menyerukan manusia untuk hidup damai, rukun sentosa, menjunjung nilai-nilai universal keadilan dan kebenaran. Tapi pada sisi lain bisa dibilang sangar, karena agama tak jarang menjadi semacam trigger munculnya kekerasan. Menghadapi kenyataan itu mengakibatkan para aktivis rekonsiliasi sulit melangkah.

Banyaknya kekerasan dipicu sentimen agama seakan membenarkan, bahwa agama memang pendukung kekerasan. Akibatnya, para pemeluk agama seakan hidup dalam ruang sempit dan tertekan. Karena agama yang diharapkan bisa menjadi tempat berlindung Dan pengayoman, malah berlaku kasar, bahkan bisa menjadi bengis.

Segenap hadirin sekalian yang diberkati Allah,

Harus disadari, kita memang hidup dalam pluralitas agama. Suka atau tidak, realitas pluralistik menjadi wahana dan wacana bagi kehidupan keberagaman kita.

Belajar dari agama Islam, realitas pluralistik ini secara relevatif dinyatakan dalam Al-Quran, ”Kami telah menciptakan kamu semua dari satu pria dan satu wanita, dan menjadikan kamu pelbagai bangsa dan suku, agar supaya kamu saling mengenal.” Realitas yang sama juga ditegaskan Al-Quran, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”

Secara hermeneutik menurut Aloysius Budi Purnomo, seorang pastor Katolik Pematang Siantar, perwahyuan ayat suci Al-Quran itu bukan saja menunjukkan realitas pluralistik. Tetapi juga memberi perspektif bagi pengenalan unsur-unsur pluralisme itu sendiri.

Pada inti ajarannya – seperti juga agam-agama lain- Islam adalah agama yang anti kekerasan. Tata penghormatan antar sesama Muslim setiap kali bertemu selalu mengucapkan: “Assalamu’alaikum”, yang dijawab dengan: “Wa’alaikumsalam”. Jika diucapkan secara lengkap, ditambahkan doa dengan mengucap: Warahmatullahi Wabarakatuh”, yang artinya “berkah serta rahmat Allah”. Kata-kata: “damai, berkah dan rahmat Allah” memang sesungguhnya adalah tiga intisari ajaran Islam.

Pada hakikatnya agama-agama Samawi menolak paham kekerasan sebagai solusi perbedaan, karena tidak menempatkan loyalitas tertinggi dan pengabdian kepada ras, suku, agama, atau bangsa. Namun loyalitas tertinggi dan pengabdian hanya untuk Allah semata.

Secara umum inti ajaran setiap agama selalu mengandung nilai-nilai substansial dengan corak yang universal. Tetapi dapat dimengerti, jika antar agama juga memiliki perbedaan-perbedaan dogmatis.
Oleh karena itu, dialog antar agama hendaknya diarahkan sebagai pengakuan arti pentingnya agama dan kewajiban memeluk agama serta menjalankan ritual keagamaan bagi setiap individu. Di samping itu, hendaknya juga diarahkan untuk mencapai saling pengertian dan toleransi beragama dalam kehidupuan keagamaan yang penuh harmoni.

Maka pendalaman dan pengahayatan agaran agama-agama perlu terus dikembangkan oleh umatnya. Agar demikian dapat mengembangkan wawawsan multikultural antar pemuka agama, lebih arif dalam melihat perbedaan-perbedaan, serta dapat menempatkan keberadaan umat beragama dalam konteks pluralitas masyarakat dan pluralitas agama-agama yang hidup di Indonesia.

Segenap hadirin yang diberkati Allah,

Dalam kerangka itulah, hendaknya kita sambut baik simposisum ini dalam percaturan keagamaan di Indonesia sekarang ini. Dengan memilih tema dialogis, terlebih dahulu memerlukan pemahaman yang mendalam akan agama-agama dari telaah teologis.

Dengan menyadari keragaman masyarakat, pada tingkat pertama memerlukan dialog antar pemeluk seagama. Kendatipun seiman, inipun memerlukan proses, karena masih adanya perbedaan internal dalam tafsir di setiap mazhab agama. Kita menyadari, bahwa aliran-aliran dalam satu agamapun akan tetap hidup di masyarakat yang plural. Makanya, sangat disesalkan dengan penuh keprihatinan atas tindak kekerasan dan pembakaran oleh kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas karena perbedaan mazhab dalam Islam, seperti terjadinya kasus Sampang baru-baru ini.

Karena sifatnya yang peka, pada tingkat kedua dialog hanya layak dilakukan di kalangan terbatas antar tokoh agama, dan di lakukan dengan teramat hati-hati. Interaksi diantar keduanya – dialog tingkat pertama dan kedua – mungkin di suatu saat nanti membutuhkan dialog tingkat ketiga- antara agama-agama dan masyarakat – yang justru lebih mengandung potensi kerawanan.

Di sini amat dibutuhkan derajat kearifan yang tinggi, dengan menyadari bahwa syarat dialogis haruslah bersifat dua arah dalam suasana keterbukaan. Suasana keakraban dan iklim saling percaya adalah syarat mutlak untuk suatu dialog lintas iman.

Konsekuensinya, dialog semacam ini harus menunggu saat yang tepat untuk disosialisasikan, karena melibatkan massa umat dari berbagai level, pemikiran, dan kesadaran keagamaan yang berbeda-beda. Di sini memerlukan kesiapan yang mendalam sebelum kita melangkah.

Karena jikalau tidak maksud yang baik ini pun akan bisa berakibat yang sebaliknya. Oleh sebab itu, kita harus menunggu dengan sabar munculnya momentum dialog tingkat ketiga ini, tanpa harus dipaksakan dalam bentuk rekayasa apapun. Karena ini memerlukan kesediaan hati, keterbukaan pikiran dan kepercayaan timbal balik serta wawasan yang luas di antara pemeluknya. Kesemuanya itu, tergantung pada umat-umat beragama sendiri.

Tradisi keagamaan yang berbeda-beda pada umat manusia ibarat warna yang hampir tak terbatas jumlahnya, yang kelihatan tatkala cahaya putih jatuh di atas prisma pengalaman manusia: Cahaya putih itu menyebar ke dalam tradisi, ajaran dan agama yang tak terhitung alirannya, yang juga membawa karakteristik kearifan lokal sesuai akar budayanya masing-masing.

Merah memang bukanlah kuning, sama halnya Hinduisme bukanlah Buddhisme. Namun pada perbatasannya orang tidak tahu pasti kecuali dibuat dalil sebelumnya, di mana merah berakhir dan kuning mulai. Demikian juga proses yang kemudian dengan kedatangan agama Islam dan Kristen, di samping warna hijau ataupun warna lain, masih ada nuansa warna merah maupun warna kuning tadi.

Segenap hadirin yang diberkati Allah,

Dengan visi dan harapan seperti itulah, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memberikan apresiasi yang tinggi atas prakarsa Anand Ashram Foundation beserta Anand Krishna Centre JogLoSemar yang berafiliasi dengan PBB untuk menyelenggarakan simposiusm antar iman di Yogyakarta pada hari ini.

Akhir kata, dengan memohon limpahan berkah serta rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga dialog antar agama dan lintas iman ini menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang dapat diimplementasikan di antara para pemeluknya dalam upaya bersama mewujudkan kerukunan hidup beragama yang penuh damai guna membangun mutual trust, mutual respect, dan mutual understanding dalam suasana penuh harmoni sebagai pembuka jalan menuju global interfaith harmoni antar sesama umat-Nya.

Sekian, terima kasih.
Wassalahmu’alaikum Wr.Wb

Yogyakarta, 1 September 2012

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Hamengku Buwono X

***
13465701271918141152

Kemudian secara resmi Ngarso Dalem membuka acara simposium dan mendeklarasikan Piagam Keselarasan Global (Charter for Global Harmony). Sampai saat ini, sudah ditandatangani oleh 261 suporter dan 31 co-creator. Telah pula diterjemahkan ke 6 bahasa (Inggris, Arab, Mandarin, Spanyol, Belanda, dan Prancis).

Piagam ini urgen karena kerukunan beragama dan kebebasan berkeyakinan selama ini hanya menjadi sebuah rhetoric alias kata-kata manis belaka. Tapi faktanya, setiap saat, kapan saja, di mana pun kelompok-kelompok agama dan kepercayaan bisa disulut dan dikonfrontir lewat konflik yang berujung pada pertumpahan darah.

Dalam 2000 tahun terakhir, telah terjadi 3000-an kali perang atas nama agama dan kepercayaan. Pada konteks Indonesia, data Setara Institute menunjukkan serangan atas nama agama naik dari 135 kasus pada 2007 menjadi 216 kasus pada 2010 dan 244 kasus pada 2011.

Sosial media di internet seperti Facebook, Twitter, Citizen Jurnalism, Blog, dan Website terus dimaksimalkan untuk menyebarluaskan acara dan materi Simposisum ini. Untuk bersama wujudkan global harmoni di bumi. Kalau pun belum terwujud, anak-cucu dan generasi penerus kelak tahu ada pendahulu mereka yang pernah mencita-citakan, merintis, dan memperjuangkannya.

Silakan turut berpartisipasi, berikut ini piagam versi bahasa Indonesianya:

***
Para Pencinta Perdamaian dari berbagai bangsa di dunia secara bersama-sama membidani kelahiran Piagam ini. Mereka berasal dari berbagai latar belakang akademis dan profesi, dan memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, serta memiliki ideologi, pandangan dan aspirasi politik yang beragam pula.

Namun perbedaan tersebut tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk menggagas piagam ini serta bergotong-royong demi terwujudnya Keselarasan Global (Global Harmony).

Bukan sekadar sebagai Deklarasi Cita-cita Mulia para pelopornya serta orang-orang yang kemudian mendukung dan ikut menandatangani, tapi sesungguhnya Piagam ini merupakan Pedoman (road map) untuk mencapai dan mewujudkan Keselarasan Global (Global Harmony).

134657021656638755

Patut diakui bahwa semua agama, sistem kepercayaan, keyakinan (termasuk ateisme), tradisi-tradisi spiritual dan filsafat tanpa kecuali mengedepankan keselarasan sebagai jiwa dari semua sistem sosial. Masyarakat mana pun atau sistem sosial apa pun tidak dapat bertahan lama tanpa menjunjung tinggi prinsip ini.

Oleh karena itu perlu dibuat dan disepakati sebuah pedoman (road map) untuk mewujudkan tujuan bersama umat manusia.

Para penandatangan Piagam ini sungguh percaya bahwa Keselarasan Global (Global Harmony) tidak bisa dipaksakan kelahirannya. Hukum dan peraturan apa pun tidak akan pernah mampu membantu manusia mewujudkan hal ini, kecuali terlebih dahulu ada kedamaian dalam hati setiap insan. Jadi, pertama dan utama setiap individu harus berdamai, mengalami dan merasakan kedamaian dengan dirinya sendiri.

Kedamaian Batin setiap individu (Inner Peace) niscaya otomatis mewujud sebagai Kasih yang Mengikat Masyarakat Majemuk dalam Persaudaraan (Communal Love), baik sebagai satu komunitas bangsa maupun dengan bangsa-bangsa lain di dunia

Pada gilirannya Kasih yang Mengikat Masyarakat Majemuk dalam Persaudaraan (Communal Love) ini yang mengantar kita mencapai Keselarasan Global (Global Harmony).

Dengan berpijak pada Piagam ini, kami menyerukan kepada masyarakat dunia untuk menyisihkan waktu sekurang-kurangya 20 menit setiap hari untuk bermeditasi. Silakan menggunakan teknik yang cocok atau sesuai dengan tradisi/sistem kepercayaan masing-masing. Sebab, hanya dengan menoleh ke dalam diri dan meditasi manusia dapat mencecap Kedamaian Batin (InnerPeace).

Berbarengan dengan latihan pemberdayaan diri lewat meditasi, kami juga mengajak semua manusia untuk melakukan karya pelayanan sosial tanpa pamrih. Durasinya minimal 2 jam dalam seminggu atau 8 jam setiap bulan.

Layanan sosial tersebut hendaknya tidak ditujukan kepada sebuah kelompok tertentu saja. Namun harus menjangkau komunitas-komunitas masyarakat yang berbeda suku, agama  dan afiliasi politiknya.

Akhirnya, kami menyerukan semua pihak agar secara aktif mensosialiasasikan Piagam ini. Yakni dengan menggunakan, media cetak dan elektronik serta media sosial atau bentuk-bentuk penyebarluasan lainnya. Sehingga dapat mangajak sebanyak mungkin orang terlibat dalam upaya kemanusiaan bagi tercapainya Keselarasan Global (Global Harmony).

Sumber: http://www.charterforglobalharmony.org/
***

1346570285523497753

Sdr. Haryadi selaku moderator menggantikan Ronny Sugiantoro (Wapimred KR) yang sedang sakit. Lantas, project manager perusahaan di Bandung tersebut mengundang semua pembicara maju ke depan sembari membacakan bidata para narasumber. Masing-masing memiliki waktu 7 menit untuk menyampaikan gagasan dan sharing pengalamannya. Jadi semacam kultum.

Inner Peace

134657031860960214

Kajian Inner Peace (Kedamaian Batin) diuraikan oleh Bikhu Sasana Bodhi Thera  dari perwakilan Buddhis. Alumus S2 Filsafat UGM dan Sekolah Tinggi Agama Buddha ini meminjam metaphor dari Sidharta Gautama. Apapun nama sungainya, dari mana pun asal sumber alirannya, ketika sampai di laut hanya ada satu rasa. Hanya ada rasa garam, rasa asin. “Tidak ada rasa khusus di Laut Selatan, entah itu rasa air Kali Progo, rasa air Kali Opak tak akan ditemukan di sana,” ujarnya.

Dosen mata kuliah Pluralitas Agama ini menambahkan bahwa dari agama yang berbeda dan keyakinan yang bermacam-macam itu, kebenaran sejati sesungguhnya hanya ada satu rasa. Yaitu rasa kebebasan, kemahardikaan. “Kebebasan ini terancam dan terasa hilang karena terkelabui oleh rasa melik nggendong lali. Ketika keberatan melik. Kita menjadi banyak alpa dan lupa pada apa yang disebut eling lan waspada: kesadaran,” imbuhnya.

Bhiku kelahiran Temanggung ini berpesan, “Oleh karena itu, agama ageming aji, siapapun orangnya yang sudah mudeng petuah leluhur kita itu apapun agamanya, dimanapun, kapanpun, dengan siapapun akan memberikan ayom, ayem, tentrem. Matur nuwun.”

13465703671020775228

Selanjutnya, YP Sukiyanto mengungkapkan bahwa ada aneka sumber keresahan manusia. Misalnya. egosentrisme, merasa lebih dari yang lain; tergesa-gesa, tidak sabaran, tak tahan derita; terlalu yakin, menganggap sepele; tak mengerti, tak menguasai masalah; berontak; dan sikap lemah.
Sebaliknya, penggiat Aliran Kepercayaan dan Ketua HAK (Hubungan Antar Agama Blora) tersebut menyatakan bahwa sumber ketentraman hati ialah hakekat diam, bhakti, kasih, dan damai di dalam hati.

Communal Love

13465703951662052972

Pada sesi Communal Love (Cinta pada Sesama), Romo Aloysius Budi Purnomo, Pr  dari perwakilan Katolik berbagi pengalamannya saat masih bertugas di Pematang Siantar. Komunitas harus dibangun dalam konteks global. Gagasannya memang universal tapi diwujudkan secara lokal. Seperti kata tamsil bijak, “Think globally act locally.”

Romo yang satu ini terlibat dalam komunitas-komunitas kasih tanpa pandang suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Ia bekerjasama dengan Komunitas para Bhante, kenal dekat Gus Umar (adik almarhum Gus Dur), dan turut hadir dalam deklarasi Gusdurian di Semarang.

Saat masih bertugas di Paroki Tanah Mas, Semarang, Ibu Shinta Wahid pernah berkunjung ke sana. Alumnus Magister Teologi Wedahabhakti Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ini suka bermain saksofon dan gitar. Ia menggunakan sarana seni dan budaya untuk mencairkan suasana dan perbedaan yang ada.

Baginya, mengajak anak-anak muda membangun komunitas-komunitas kasih juga penting. Ia mengajak muda-mudi Katolik live in di Pondok Pesantren. Sehingga mereka bisa saling belajar satu sama lain.

Ketua komisi hubungan antar agama dan kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (KAS) ini juga berupaya membangun hal serupa di tingkat global. Tepatnya di sebuah perkampungan Muslim di Bulgaria.

13465704411381675869

Pembicara selanjutnya Alissa Wahid menekankan pada hubungan dengan sesama. Berbelarasa dengan yang lemah dan dilemahkan. Tuhan pun mengutus Nabi Muhammad saw untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia ini menyatakan bahwa sebenarnya banyak ayat-ayat Al-Quran yang memberikan panduan bagi kehidupan umat Muslim. Hadis Nabi juga menandaskan bahwa sebaik-baiknya manusia ialah orang yang memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Panduannya sudah ada. Bahkan pesan tersebut bukan hanya untuk orang Muslim saja tapi untuk semua orang.

Dewan Pembina The Wahid Institute ini menggambarkan dunia saat ini ibarat sebuah desa yang besar. “Dulu kita hanya kenal orang yang hanya sedesa, sepulau, sekarang kita bisa bertemu orang Jawa di kutub utara. Orang kulit hitam di desa di China, dan bahkan orang India di ruangan ini,“ ujarnya.

Menurutnya, dunia kini makin mengecil. Dalam arti keterikataannya semakin erat. Kita tak bisa lagi hidup sendiri, dan mengganggap diri paling benar. Psikolog keluarga ini juga berpendapat, “Bahkan dengan free trade, semua orang bisa bekerja di mana saja.” Misalnya di New York, sopir taksinya dari Pakistan, suster-suster dari Filipina, dan insinyur di sana dari India. Ke depannya, di Indonesia, guru-guru di sini bisa jadi orang Kanada, Afrika Selatan, atau India.

Oleh sebab itu, putri alrmarhum Gus Dur ini menandaskan bahwa kita memang butuh global interfaith harmony. Karena kalau tidak dengan sengaja menuju ke sana - dan justru menganggap kelompoknya yang paling benar - maka kerusakan akan melanda. Bagi umat Muslim, menurutnya, itu mengingkari kerasulan Nabi Muhammad saw. Tujuan utamanya ahlak mulia dan budi pekerti bukan untuk kekuasaan semata.

Nabi sendiri memberi contoh untuk hidup dalam harmoni. Lewat piagam Madinah, beliau mengatur kehidupan demi kemaslahatan umat dan kesejahteraan bersama. “Kita tinggal mengambil apa yang sudah diterapkan sesuai konteks sekarang,” imbuhnya.

Ia kemudian mengutip pendapat KH. Achmad Shiddiq, Kyai besar NU. Beliau mengingatkan bahwa bersaudara itu dengan sesama muslim, sesama bangsa dan negara, dan seluruh umat manusia. Tujuannya demi keadilan, kesetaraan, dan persaudaaran yang hakiki.

Alissa menandaskan, “Mempertahankan yang baik dari tradisi dan mengambil yang baik dari hal-hal yang baru. Inilah bekal bagi seorang Muslim untuk menjalani road to global interfaith harmony. Gus Dur pun pernah berpesan bahwa makin beda makin mudah kita menemukan titik-titik pertemuan. Jadi yang sama jangan dibeda-bedakan, yang beda jangan disama-samakan.”

1346570509518608865
Peserta dari Luar Negeri


Dalam jeda antar sesi, Grup Musik Yayasan Anand Ashram juga mempersembahkan lagu-lagu bernuansa Inner Peace, Communal Love, dan Global Intefaith Harmony. Lewat seni dan budaya pesan-pesan itu lebih mudah diterima siapa saja. Berikut ini salah petikan lirik lagu yang bernada Selayang Pandang:

Satu bumi dan satu langit,
Juga satu umat manusia,
janganlah lupa budaya bangsa,
Sebarkan luas pada dunia…

Global Harmony

13465705791146770500

Pada sesi Global Harmony, WS Adjie Chandra dari perwakilan Kong Hu Chu berbagi 3 ayat penting. Pertama, kita bisa harmonis walaupun tidak sama, jangan sama tapi tidak harmonis. Kedua, di empat penjuru lautan sesungguhnya kita semua bersaudara. Ketiga, kalau kita ingin maju bantulah orang lain untuk maju, kalau kita ingin tegak bantulah orang lain untuk tegak.

Menurut Ketua Yayasan Tri Pusaka ini, Kong Hu Chu juga mendukung keharmonisan global. Caranya dirumuskan lewat 8 agenda. Antara lain rajin belajar, menguasai pelajaran untuk praktek dalam kehidupan, memantapkan ilmu itu agar bermanfaat bagi sesama, dengan ilmu yang dimantapkan manusia mampu mencapai kesuksesan diri, membina diri, membereskan rumah tangga, mengatur masyakarat dan bernegara, serta menciptakan kedamaian di dunia.

Fondasinya ada 3 prinsip. Pertama, manusia tidak lepas dari jalan suci Tuhan. Manusia tidak bisa hidup tanpa Tuhan. Kedua, manusia harus belajar mengenal sesama orang lain. Ketiga, Manusia harus merawat alam semesta dan memperhatikan lingkungan sekitar.

Dalam keluarganya sendiri, pria kelahiran Surakarta ini mempraktekkan hal itu. Ia 5 bersaudara, ada yang Kristen, Katolik, dan Muslim. Walau berbeda, tapi saat sembahyangan untuk arwah orang tua semua bisa berdoa bersama. “Ibarat jari kita 5, bentuknya beda-beda sehingga bisa berfungsi dengan baik. Kalau sama malah tidak bisa melakukan apapun,” ujarnya.

1346570610438289491

Kemudian, Drs. I. Nyoman Warta, M.Hum pemuka agama Hindu mengawali dengan tembang sekaligus doa. Isinya mohon agar semua pikiran yang baik datang dari segala penjuru. Menurutnya, dalam Hindu ada istilah Tat Tvam Asi, Wasudewa Kutumbaka, dan Tri Hita Karana. kamu adalah aku - aku adalah kamu, kita semua bersaudara, keselarasan antara manusia, sesama, serta lingkungan alam.

Dosen S2 di UGM ini juga menggambarkan perbedaan ibarat rambut. Rambut ada di kepala, alis, kumis, jenggot, dst. Masing-masing berada di tempatnya, fungsinya pun bermacam-macam. Kemudian ia mengutip prinsip ahimsa dari Mahatma Gandhi. Manusia tidak boleh melakukan kekerasan lewat kata dan perbuatan.

Pembimas Hindu Dharma ini mengajak hadirin belajar pada pohon, sungai, dan Ibu Pertiwi, “Pohon selalu meneduhkan, memberi buah, bunga, dan kayu untuk kepentingan manusia. Sungai walau dikotori tapi tetap selalu memberi sumber kehidupan dan airnya mengalir terus. Ibu Pertiwi juga, kita lahir disangga oleh bumi, semua yang lahir suatu saat pasti mati. Kita kembali ke sana lagi,” ujarnya.

Menurut I. Nyoman Warta, kesabaran dan ketabahan ialah intisari semua latihan rohani. Di dalam keluarga, istri, suami, anak semua beda. Bila ada perselisihan harus mau memaafkan. Kalau masih ada dendam tidak akan tercipta global harmoni. “Ono kupat ono santen, ono lepat nyuwun pangapunte,” pungkasnya.

Pendidikan

13465706921650547466

Prof. Dr. Muhammad A.S. Hikam, MA., APU membuka dengan rendah hati,  “Karena sekarang menjadi dosen, dan pernah sekolah mungkin itulah saya diminta bicara Communal Love dari sudut pandang pendidikan. Tapi saya tidak berani mengklaim diri sebagai seorang pakar, apalagi di Tamansiswa, pusatnya pendidikan.”

Kemudian, ia mengutip Jalaluddin Rumi. Seorang Sufi berkebangsaan Iran, kata-kata bijaknya paling banyak didominasi oleh statement cinta dan kasih sayang, “Tugas manusia bukan untuk mencari atau memburu cinta, tugas manusia ialah berusaha menyingkirkan apa yang menghalangi tumbuhnya cinta.”

Prof. Hikam juga menyitir pendapat Pendeta Kristen, Marthin Luther King Jr. Pejuang HAM anti kekerasan dan persamaan hak politik anti diskriminasi ras itu mengatakan,” Kegelapan tidak bisa menghilangkan kegelapan. Kebencian tidak mungkin menghilangkan kebencian. Yang bisa menghilangkan kegelapan hanyalah cahaya. Dan hanya cinta yang bisa menghilangkan kebencian.” Menurut Pak Hikam, tulisan itu terpahat di pagar Monumen Marthin Luther King Jr di Washington DC yang diresmikan pada 2011.

Kedua tokoh, Rumi dan Luther King Jr, menurut Pak Hikam, sangat concern seperti Pak Anand Krishna terhadap Communal Love dan persaudaraan antar iman.

Selanjutnya, Menristek pada era Gus Dur ini mengatakan bahwa sesungguhnya ibarat komputer manusia sudah punya software bawaan. Tapi oleh manusia program embedded itu malah diganti-ganti. Kasih sayang ditutupinya sendiri. Kemudian sibuk mencari di mana-mana. “Virus-virus yang menutupi Love tersebut harus dihilangkan,” ujarnya.

Pak Hikam menambahkan, “Dalam Al Quran dikatakan juga kalau manusia itu diciptakan dalam bayangan Tuhan itu sendiri. Embedded program, sifat ketuhanan ialah cinta. Kalau manusia mencari-cari cinta maka itu sangat salah. Akibatnya terjadi kekerasan, diskriminasi rasial, di Solo, di Sampang, semoga itu tidak terjadi di Jogja.”

Menurut peneliti ini, brotherly love sangat penting, caranya lewat proses pendidikan. Dalam pengertiannya yang sangat luas. Formal, sekolah, pesantren, dll. Informal dan juga nonformal. Intinya bagaimana mendidik anak sejak dari kecil sampai dewasa terus-menerus. Untuk menghilangkan virus-virus tersebut.

Dalam konteks Indonesia, Pak Hikam mengingatkan, “Kita perlu mencintai antar anak bangsa. Salah satu problem utama di negara ini, demokrasi dianggap apa-apa boleh, termasuk membenci sesama anak bangsa. Padahal tanpa ada kasih sayang, ajaran bisa ditafsirkan secara keliru.”

Pria kelahiran Tuban ini mengutip pendapat Gus Dur bahwa Indonesia butuh Islam yang ramah bukan yang marah. Karena penafsiran lain juga punya status epistemilogis yang sama. “Selama kita masih di dunia, kita tidak akan memiliki kebenaran dengan huruf K besar, “ujarnya.

Pak Hikam berpendapat bahwa The only solution is Love, itulah pesan utama Rumi, Luther King Jr, dan Pak Anand.

Pendidikan multikultur di Indonesia tak boleh sekadar konsep, tapi harus dipraktekkan. Intinya 3 hal: 1. Merayakan perbedaan. 2. Perbedaan bukan masalah. 3. Perbedaan itu esensial dalam kehidupan kita.

“Kini kalau menuntut semua harus sama itu pandangan jadul. Menciptakan insan kebangsaan, brotherly love, communal love, konkretisasinya ada di Indonesia Raya (NKRI). Yang tak setuju, silakan pindah saja ke tempat lain di Saudi Arabia, London, Washington, dst, “ pungkasnya.

Penyerahan Cinderamata

13465707901716690449

Tak terasa 3 jam hampir berlalu. Dalam waktu sesingkat itu, peserta bisa belajar begitu banyak hal. Dengan menyimak paparan dan sharing pengalaman para pembicara. Sehingga terinspirasi untuk melakoninya dalam keseharian hidup.

Sebagai ucapan terimakasih penyelenggara menyerahkan cinderamata diwakili oleh Bapak Yudhanegara dari Anand Ashram Mother Centre, Sunter, Jakarta; Ibu Erina, Anand Krishna Information Centre (AKIC) Semarang; Sdri. Ires, Generasi Muda Yayasan Anand Ashram; Ibu Santi, Kepala Sekolah One Earth School (OES); Bapak Triwidodo, Ketua Anand Krishna Centre (AKC) JogLoSemar; Ibu Harumini, Ketua Anand Krishna Education Foundation; Bapak Michael, Ketua Anand Krishna Information Centre (AKIC) Magelang; dan Ibu Yuni, Ketua Anand Krishna Information Centre (AKIC) Surabaya.

Pengalaman yang indah di penghujung pekan itu diakhiri dengan foto bersama. Monggo, silakan sebarluaskan reportase ini. Matur Sembah Nuwun

13465696461432665283
Foto Bersama

Fotografer: Prabu Dennaga
Sumber: http://www.facebook.com/media/set/?set=a.10151077640063611.441978.544843610&type=1

Tidak ada komentar: