“Jogja-Jogja tetap istimewa, istimewa negerinya, istemewa orangnya…
Jogja-Jogja tetap istimewa, Jogja istimewa untuk Indonesia…”
Jogja-Jogja tetap istimewa, Jogja istimewa untuk Indonesia…”
Refrain tembang Jogja Hip-hop Foundation (JHF) ini begitu membius telinga pendengar. Kelompok rapper muda yang njawani
tersebut semula biasa manggung dari kampung ke kampung. Hebatnya kini
“Jogja Istimewa” dinikmati pula oleh warga ibukota dan bahkan penduduk
dunia. Videonya sudah ditonton setidaknya 312,659 kali di http://www.youtube.com/watch?v=F18vJTtX_Ns&feature=related.
Jogja memang istimewa bukan? Kota Gudeg
tercinta menawarkan pengalaman selaksa makna. Aneka jenis wisata
tersaji di sini. Mulai dari menikmati keindahan alam berupa gunung
Merapi dan pantai Parangtritis, menyelami misteri budaya Jawa,
menyantap hidangan sembari lesehan di Malioboro, sampai mengagumi
kemegahan candi-candi peninggalan leluhur kita.
Salah satu destinasi wisata yang sayang
untuk dilewatkan ialah Candi Ratu Boko. Sebuah lanskap arkeologi berupa
kompleks kraton raja Mataram Kuno seluas 2500.000 m2. Konon Raja Rakai
Panangkaran dari Dinasti Syailendra membangunnya pada tahun 746-784 M.
Jadi kalau dibandingkan dengan Candi Prambanan dan Borobudur, umurnya
relatif lebih tua.
Kraton Ratu Boko memiliki gerbang yang
megah dan indah. Bahannya terbuat dari batu andesit hitam. Ada 2 gapura
masih berdiri kokoh hingga kini. Yang pertama berukuran panjang 12,15 m
x lebar 6,9 m x tinggi 5,05 m. Di sini ada 3 pintu masuk. Sedangkan
gapura kedua berukuran lebih jumbo, panjang 18,6 m x lebar 9 m x
tinggi 4,5 m. Di gapura ini ada 5 pintu masuk.
Gapura raksasa tersebut acapkali dipakai sebagai latar belakang foto prewedding
calon pasangan pengantin. Terutama saat mentari beranjak pulang ke
peraduannya di ufuk barat. Kombinasi warna jingga dan biru kian menambah
kesan romantis.
Di kompleks Kraton Ratu Boko ini juga terdapat peninggalan berupa Lingga-Yoni. Simbol Yoni (kelamin perempuan) terpahat di dinding pintu masuk Gua. Sedangkan, lambang Lingga (kelamin laki-laki) menonjol di dasar kolam. Sejatinya, kombinasi unsur Yin dan Yang ini merupakan representasi proses peningkatan kesadaran manusia.
Selain itu terdapat pula Pendopo yang
luas, Pekarangan rumput yang lapang, Sumur tempat air suci, Gua
Pertapaan yang mistis, Kolam Pemandian keluarga raja, dan Keputren untuk
permaisuri dan dayang-dayangnya. Hingga kini, sumber air suci masih
dipakai saat perayaan hari raya umat Hindu.
Keunggulan Kraton Ratu Boko ialah
letak geografisnya. Berada jauh di atas bukit dengan ketinggian 195.97 m
dpl, sehingga seluas mata memandang terbentang pemandangan alam yang
membuat lidah berdecak kagum. Semilir angin kian menambah kesejukan.
Di sisi utara, areal sawah hijau seperti
karpet raksasa yang digelar. Kemudian sebagai latar belakang gunung
Merapi bersanding mesra dengan Merbabu. Candi Prambanan dan Kalasan
juga tampak begitu mungil dari sini. Sedangkan di sebelah timur,
barisan perbukitan seribu berjajar dengan rapi. Di malam hari, temaram
lampu-lampu kota Jogja juga mempercantik suasana.
Menurut pemandu wisata di sana, kawasan
Ratu Boko juga disebut Abhayagiri Wihara. Artinya bukit yang jauh dari
bahaya. Pun diselimuti dengan kedamaian. Pada tahun 1790, Van
Boecholtz menemukan peninggalan bersejarah ini.
Kemudian pada tahun 1915, FDK Bosch
meneliti “Kraton van Ratoe Boko” secara lebih intensif. Istilah
“Keraton” ternyata berasal dari kata Ka-Da-Tu-An. Artinya tempat istana para raja. Kata “Boko” sendiri sinonim dengan burung bangau.
Pada hemat penulis, bisa jadi saat itu
banyak burung bangau hinggap di sana. Tapi ini bisa juga merupakan
metafor. Bangau sejenis dengan angsa. Spesies itu gemar terbang secara
berkelompok. Mereka membentuk formasi seperti huruf V di angkasa.
Tujuannya untuk mengurangi tekanan udara di atas sana. Sehingga bisa
menghemat energi tatkala melanglang buana.
Selain itu, angsa juga merupakan simbol pencerahan. Menurut Anand Krishna (Paramhamsa Yogananda:1999) para guru spiritual juga direpresentasikan sebagai Angsa Agung yang membimbing jiwa kembali ke sangkar jati diri (sangkan paraning dumadi).
Multikultur
Multikultur
“Holobis kuntul baris ayo dadi siji, nyebarake seni lan budi pekerti…”
Terusan lirik lagu Jogja Hip-hop Foundation (JHF) ini kembali mengingatkan betapa para leluhur kita hidup rukun dan damai dalam kebinekaan. Ibarat burung kuntul (sejenis bangau) yang guyup dan bersatu terbang dalam satu formasi tadi.
Terusan lirik lagu Jogja Hip-hop Foundation (JHF) ini kembali mengingatkan betapa para leluhur kita hidup rukun dan damai dalam kebinekaan. Ibarat burung kuntul (sejenis bangau) yang guyup dan bersatu terbang dalam satu formasi tadi.
Candi Ratu Boko berjarak 18 km ke arah
timur dari pusat kota Yogyakarta. Di sepanjang jalan Solo tersebut ada
banyak sekali candi. Mulai dari Candi Gebang, Candi Sambisari, Candi
Kalasan, hingga Candi Sewu dan Candi Prambanan. Walaupun aneka warna
coraknya tapi bisa hidup bersama.
Ngarso Dalem Hamengku Buwono X dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
pun terus melestarikan model multikultur semacam ini hingga kini. Di
sekitar Kraton, kita bisa menemukan Klenteng di Gondomanan, Gereja Kidul
Loji, dan Masjid Agung Kauman. Bhinneka Tunggal Ika menjadi perekat persatuan antar sesama anak bangsa. Walau berbeda kita semua orang Indonesia.
Secara khusus, Kompleks Keraton Ratu
Boko juga pernah digunakan oleh 2 penganut aliran yang berbeda. Awalnya
memang sebagai Wihara Buddha, seperti tercatat dalam Prasasti
Abhayagiri (792 M). Saat itu, para peneliti menemukan peninggalan
berupa arca Dhyani Buddha dan stupika.
Kemudian peninggalan leluhur ini sempat
dipakai pula sebagai kediaman Rakai Walaing Pu Kumbhayoni. Menurut
keterangan yang terpahat dalam prasasti Pereng (862 M), beliau seorang
pemuja Dewa Siwa. Selain itu, para arkeolog juga menemukan arca Ganesha
dan Durga.
Artinya secara saintifik, DNA leluhur
kita dan orang Indonesia memang inklusif. Perbedaan di kulit luar tak
menghalangi sinergi esensi dalam diri. Di balik lapisan kulit ini,
darah yang mengalir sama-sama berwarna merah dan tulang kita pun
berwarna putih.
Para peneliti juga menemukan peninggalan
keramik dari Dinasti Ming (abad 14-17) dan Dinsati Sung (abad 8-9) di
sini. Sehingga kompleks kraton Ratu Boko ditempati relatif lama, kurang
lebih 9 abad. Pembaca bisa menonton videonya di http://www.youtube.com/watch?v=FPZ0k0r6Djo. Sampai tulisan ini dibuat sudah dilihat 3.151 orang lebih dari pelbagai penjuru dunia.
Revitalisasi
Namun memang kini yang tersisa sebagian
besar berupa fondasi. Sedangkan, bangunan utamanya sendiri telah tiada.
Karena terbuat dari kayu dan tanah liat sehingga telah aus dimakan usia.
Upaya pemugaran situs Ratu Boko sudah dimulai sejak tahun 1983-1973.
Kemudian dilanjutkan pada 1990-2000-an.
Dalam konteks ini, Candi Ratu Boko harus
menawarkan konsep wisata yang berbeda. Sehingga para wisman (wisatawan
manacanegara) dan wisnu (wisatawan nusantara) berbondong-bondong
datang ke sini.
Menurut Anand Krishna, ada 3 aspek
utama dalam wisata. Yakni, ekosistem, budaya, dan keunikan lokal.
Tantangannya ialah bagaimana mengembalikan Ratu Boko sebagai pusat
pemujaan dan laku spiritual.
Di dunia ini ada 700-800 juta umat
Buddha dan 1 milyar lebih umat Hindu, mereka akan berbondong-bondong
datang ke sini lagi. Selain itu, kita perlu mendirikan juga kursus
singkat di sekitar komplek Kraton Ratu Boko.
Antara lain berupa kursus membatik,
mendalang, membuat wayang, membuat layang-layang, membuat tempe dan
tahu, dst. Kearifan budaya lokal ini bisa menjadi magnet bagi para
turis dalam negeri maupun internasional. Selain itu, tentu dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Di era globalisasi ini, pariwisata yang
paling laku memang wisata agama. Sungai Gangga, Kota Suci Yerusalem,
Mekah, Vatikan, dll tetap ramai walau dunia mengalami resesi ekonomi
sekalipun seperti sekarang.
Di Jateng-DIY tak hanya Borobudur dan
Prambanan. Masih banyak peninggalan bersejarah kaya filosofi lainnya.
Salah satunya tentu Kraton Ratu Boko ini. Pulau Jawa dan juga Nusantara
memang merupakan melting point of culture alias titik pertemuan pelbagai budaya dari seluruh penjuru dunia.
Kita perlu belajar dari Arab Saudi.
Mereka mampu meraup 18 trilyun US Dollar (2009) dari ibadah haji setiap
tahunnya. Selain itu, wisata agama perlu dimajukan menjadi wisata
budaya spiritual. Di setiap tempat pemujaan itu, perlu ada tempat
dialog dan sharing. Sehingga para pengunjung bisa belajar saling mengapresiasi pelangi perbedaan di antara sesama umat manusia.
Kita juga harus mengangkat kembali
nilai-nilai budaya lokal. Warisan leluhur seperti Kitab Wedhatama karya
Mangkunegara IV musti dikaji dan direvitalisasi. Sehingga para pemandu
wisata bisa menjelaskan filosofi esoteris tersirat di balik apa yang
terlihat dan kasat mata.
Tepat 5000 tahun silam sebelum tsunami
100 meter menerjang kepulauan Nusantara, leluhur kita masih berada
dalam satu peradaban dengan India. Istilah Hindu bukan mengacu pada
satu agama tertentu. Bahkan di dalam Kitab Negara Kertagama (200 tahun
silam) tak ditemukan kata tersebut.
Menurut sejarawan Al Beruni, bangsa ini
ialah anggota masyarakat berperadaban Hindu. Lokusnya membentang dari
Himalaya sampai ke Australia. Istilah Hindu, Sind, Hind, Indies merupakan sebuah cara hidup (way of life). Sehingga wajar kalau ada banyak kesamaan antara India dan Indonesia. Salah satunya dalam wujud bangunan candi.
Akhir kata, leluhur kita tentu membangun
Candi Ratu Boko tak berhenti sebagai sarana ritual formalistik. Tapi
lebih sebagai pusat pendidikan budi pekerti bagi generasi masa depan.
Semangat budaya inklusif tersebut yang musti dibangkitkan kembali.
Menyitir pendapat Fyodor Dostoyevsky (1821-1881), “Elemen
terpenting kita bukan pada otak. Namun, pada apa yang menuntun otak
kita–kepribadian, hati, kebaikan, dan ide-ide progresif.”
NB: Artikel ini telah
diikutsertakan dalam lomba jurnalistik Kompleks Kraton Ratu Boko, semoga
saja bisa menang :-). Mohon disebarluaskan ke teman-teman lainnya.
Terimakasih banyak dan salam budaya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar