Agustus 12, 2012

Menjadikan NLP sebagai Sikap

Dimuat di Rimanews, Minggu/12 Agustus 2012
http://www.rimanews.com/read/20120812/72253/menjadikan-nlp-sebagai-sikap

Alih-alih menjejali benak pembaca dengan timbunan teori, buku ini sekedar menganalogikan Neuro-Linguistic Programming (NLP). Menurut Istoto, NLP ibarat bebek. Praktisinya relatif terstruktur dan produktif. Artinya, mampu menuntaskan perkara secara urut-runut (baca: sistematis). Pun selain berbudaya antri, bebek rajin bertelur setiap hari (halaman 11).

Metode NLP berawal dari penelitian mahasiswa bernama Richard Bandler (1970). Ia dipandu Profesor John Grinder. Kedua orang itu penasaran, “Kenapa seseorang bahagia dan sukses, sementara ada pula yang tidak/belum?” Pasca penelitian intensif, mereka menemukan 1 jawaban. Ternyata, kualitas kemanusiaan berbanding lurus dengan tindakan yang tepat. Strategi tersebut dapat pula dikodefikasi. Duo ilmuwan itu meracik teknik belajar cepat dengan memodel (modelling). ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) menjadi jurus andalan.

Semula NLP hanya diterapkan di ruang terapi. Tapi dewasa ini perkembangannya kian semarak. Bidang kepribadian, peningkatan prestasi SDM, komunikasi, managemen organisasi, kepemimpinan, wirausaha, dll melirik pendekatan NLP sebagai pemecah kebuntuan.

Jika NLP merupakan sebuah rumah, maka ada 4 pilar utamanya. Pertama, merumuskan tujuan. Cita-cita perlu SMART (Specific, Measurable, Achievable, Reliable, Time bound). Selain spesifik, juga dapat terukur (menggunakan angka), bisa tercapai, diandalkan, dan ada rentang waktu (deadline).

Kedua, persiapan menalar tujuan. Jika sungguh terwujud, perasaannya seperti apa? Bentuk, warna, audio/suara, aroma dan rasa-cecapnya perlu dibayangkan dalam benak. Sehingga tatkala akhirnya tercapai, sang pikiran sudah memiliki tolok ukur. Selain itu, synap (sirkuit) sel-sel syaraf otak pun perlahan mulai terbentuk. Dalam konteks ini, pendapat Stephen R. Covey (alm) menjadi relevan, “Segala sesuatu memang dibuat 2 kali (everything is made twice).”

Ketiga, yakin (faith). Artinya membangun intimasi lewat aksi. Sehingga penalaran di atas masuk jadi tataran sikap. Tubuh, pikiran, dan jiwa berkolaborasi merengkuh patokan sukses yang sudah direncanakan. Keempat, fleksibel. Bukan dalam arti tidak berkomitmen alias mencla-mencle. Tapi kalau dalam rentang waktu tertentu, tujuan belum tercapai maka perlu kreatif menemukan cara lain yang lebih efektif. Kata gagal tak ada dalam kamus NLP. Itu sekadar data dan penemuan terobosan.

Buku ini sejatinya merupakan dokumentasi pelatihan Quantum Transformation di Thailand (2011). Penulisnya 2 praktisi NLP kondang di Indonesia. Krishnamurti mantan profesional IT. Lantas, ia banting setir menjadi Mindset motivator. Sedangkan, Istoto eks-biro pemasaran di penerbitan buku. Kemudian, ia beralih profesi menjadi Terapis Hipnoterapi. Bagi Krishnamutri, “NLP ala Backpaker” merupakan buku ke-7. Sedangkan untuk Istoto ini buku perdananya.

Menurut kesaksian Istoto, NLP dapat menjadi penangkal rasa mindernya. Ketika sungkan menghantui - dengan teknik know nothing state - rasa malu itu bisa diganti dengan kepercayaan diri (PD). Alhasil, “Saya menjadi berani maju tanpa ragu (halaman 163).” Hikmah tersebut dipetik dari pengalaman sederhana.

Suatu malam, Krishnamurti dan Istoto hadir dalam pertunjukan musik di penginapan. Krishnamurti turut memainkan alat musik. Kian lama acara semakin gayeng (ramai), Istoto tak kuat menahan diri ingin ikut berdansa. Lantas, ia memodel gerakan perempuan setengah baya di sebelahnya. Yang penting menari seperti anak kecil. Tanpa rasa malu, rasa ragu dan rasa takut. Benar tamsil para bijak, “Manusia yang dapat merasakan surga di dunia ialah mereka yang berjiwa anak-anak (childlike).”

Istoto  melenggok saja mengikuti irama. “Menari toh membuat sehat lahir dan batin,” ujarnya dalam hati. Tepat pukul 22.00 waktu Thailand, acara berakhir, “Kop pun mai, kaap!”, sambil sedikit membungkuk dan mengatupkan kedua tangan di depan dada. Sebagai ungkapan hormat dan terimakasih. Puncaknya, tanpa sungkan Istoto melepas kaos kebesaran bertulis, “Oi Kamu Pasti Bisa!” Warnanya merah menyala. Ia  menyodorkan kaos basah bersimbah peluh itu kepada seorang pemain musik.

Semula terbersit selarik keraguan. Bisa jadi remaja laki-laki itu tersinggung. Pun tak mau menerima kaos bekas pakai tersebut. Akhirnya, ia nekad menyodorkan saja. Kendaraan yang membawa rombongan itu mulai bergerak maju, remaja tadi menangkap lembaran kaos itu. Terulas senyum di bibirnya.

Belajar dari Monyet

Apa yang melintas di benak pembaca tatkala mendengar kata monyet? Ya benar, monyet itu binatang yang tak bisa diam. Ia senantiasa meloncat kesana-kemari. Bahkan ketika sedang duduk tangannya terus menggaruk-garuk. Monyet juga suka usil menjahili teman sebelahnya. Namun dalam buku ini, kedua penulis menimba inspirasi dari monyet.

Alkisah, Krishnamurti dan Istoto sejenak singgah di sebuah Vihara. Lantas mereka bertemu seorang Bante. Walau sudah berusia setengah baya, badan wakil ketua Vihara itu tetap tegap (halaman 86). Di sudut ruang tamu terpajang 3 patung monyet. Ukurannya tak terlalu besar. Hanya sekitar 30 cm tingginya. Yang menarik, posisi tangan ketiga monyet itu posturnya macam-macam. Pertama, kedua tangan menutupi kedua kelopak mata. Selanjutnya, kedua tangan menutupi kedua daun telinga. Terakhir, kedua tangan menutup mulut.

Sang Bante menjelaskan filosofi trio monyet tersebut. Kenapa posisi tangannya musti begitu? Karena monyet ibarat pikiran manusia yang notabene tak bisa diam. Selalu sibuk berinteraksi dengan sesuatu di luar diri. Lewat ketiga patung tersebut, para tamu Vihara diharapkan untuk menutup mata alias tidak melihat. Menutup telinga sehingga tidak mendengar. Menutup mulut agar tak bicara dan makan melulu. Intinya pengendalian diri.

Buku ini juga memuat definisi backpacker? Mereka ialah orang yang hobi jalan-jalan. Bedanya dengan pelancong biasa, si backpacker membawa seminimal mungkin bekal. Lazimnya hanya berupa tas ransel yang menggantung di pundak. Mereka piawai berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat lokal. Sehingga acapkali mendapat tempat menginap dan makan gratis. Bahasa NLP menyebutnya utilizing. Teknik memanfaatkan apa yang tersedia, mulai dari apa yang ada untuk mencapai tujuan yang seharusnya ada.

Ada 4 bekal yang dibutuhkan backpacker. Pertama, peta. Inilah harta paling berharga. Karena pasca menentukan tujuan, ia segera memikirkan jalan yang hendak ditempuh. Kedua, ia kemudian memutuskan apa saja yang paling penting untuk dibawa. Termasuk berapa jumlahnya.

Ketiga, selama perjalanan jika menemukan barang lain, ia segera meninggalkan yang terdahulu. Prinsip dasarnya, hanya membawa apa yang paling diperlukan. Keempat, ia fokus pada tujuan. Asyiknya, sembari menikmati pemandangan ia juga menemukan hikmah di perjalanan. Caranya dengan belajar dari orang baru. Sedangkah hal-hal yang tak perlu ditingggalkan saja.

Tiada mawar yang tanpa duri. Buku ini juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya, karena fokus pada pencapaian personal. Padahal nilai-nilai keutamaan di dalamnya dapat diterapkan secara kolektif pula. Selain itu, karena merupakan catatan perjalanan, alurnya cenderung meloncat-loncat.

Kendati demikian, buku setebal 300 halaman ini mengingatkan betapa pentingnya keberanian mengambil resiko. Karena menentukan pilihan dapat memutus rantai ketakutan itu sendiri. Konon saat ajal menjemput manusia cenderung menyesali apa yang tidak (sempat) dilakukan semasa hidup. Selamat membaca!
_______________________________
Peresensi: T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris PKBM (Sekolah Alam) Angon, Ekstrakurikuler English Club SMP Kanisius Sleman, dan TK Mata Air Yogyakarta.
Judul: NLP ala Backpacker
Penulis: Krishnamurti dan Istoto
Penerbit: Pohon Cahaya Yogyakarta
Cetakan: 1/April 2012
Tebal: 300 halaman
ISBN: 978-602-9485-19-6
1344792038628552894

Tidak ada komentar: