Dimuat di Rimanews.com, Selasa/28 Agustus 2012
http://www.rimanews.com/read/20120828/73666/mengungkap-alasan-menjadi-vegan
Apakah pembaca pernah mendengar istilah EPW (Einstein Pain Waves)?
Dalam bahasa Indonesia artinya, “Gelombang Nyeri Einstein.” Trio
saintis berkebangsaan India meneliti frekuensi anisotropis akustik
tersebut. Menurut M.M. Bajaj, Ibrahim, dan Vijayraj Singh, semua
binatang melengkingkan getaran kesakitan tatkala disembelih secara
brutal di rumah jagal (halaman 137).
Lewat buku ini, secara kritis Prasasto Satwiko memaparkan dampak makro BIS (Brutal Intense Slaughtering) alias
pembantaian sadis intensif itu. Ternyata gempa bumi dapat terpicu
oleh EPW juga. Bukti empirisnya tatkala Eropa dilanda wabah sapi gila (mad cow).
Saat
itu, jutaan sapi dimusnahkan secara massal. Alhasil, getaran EPW
memberi tegangan ekstra pada rekahan bebatuan dan lempeng kerak bumi.
Gempa dahsyat di Italia dan Afganistan berhubungan erat dengan
penjagalan kolektif tersebut.
Itulah
salah satu alasan penulis menjadi vegan. Guru Besar Universitas
Atmajaya Yogyakarta ini hanya menyantap menu nabati sejak tahun 2006.
Menurutnya, dengan menjadi vegetarian manusia dapat turut
berkontribusi bagi kelestarian alam. Sebab, ada korelasi erat antara
isi piring di meja makan dengan masalah pemanasan global dewasa ini.
Buku Saya Vegan
memuat data mengejutkan. Ternyata, industri peternakan, daging,
telur, dan produk hewani lainnya melepaskan 60% N2O ke atmosfer bumi (UN News Center: 2006). Bersama karbondioksida (CO2) dan metana (CH4), dinitrogenoksida, ketiganya merupakan anasir Gas Rumah Kaca (GRK) pemicu global warming (halaman 65).
Riset
duo ilmuwan David Pimental dan Robert Goodland kian menghentakkan
kesadaran ekologis manusia. Menurut penelitian mereka, untuk setiap 1
kg daging sapi dibutuhkan 100.000 liter air. Praktisi vegetarian dapat
makan dari areal pertanian seluas 0,06 hektar, sedangkan para pemakan
daging membutuhkan 1,3 ha lebih. Artinya, jika seseorang berhenti
melahap 1 pon daging berbanding lurus dengan penghematan air untuk
mandi selama setahun.
Penulis
menyorot pola konsumsi nabati dari pelbagai sisi. Antara lain “Menu
Nabati dan Kesehatan” (halaman 43-64), “Menu Nabati dan Ekonomi”
(halaman 101-118), “Menu Nabati dan Agama” (halaman 153-167), “Menu
Nabati dan Lingkungan (halaman 65-94), dst. Dari aspek ekonomi,
misalnya, perlu dipertimbangakn ihwal biaya tersembunyi (hidden cost).
Ternyata pola makan berbasis hewani relatif mahal. Ini terkait ongkos
pengobatan di rumah (RS) akibat pola makan yang tak sehat.
Prasasto Satwiko juga menguak dampak pembalakan liar (illegal logging). Areal hijau di Amaz-on diubah menjadi tanah gersang Amaz-off. Akibatnya, limbah peternakan mencemari tanah. Sedangkan pada wilayah perairan (illegal fishing), eksplotasi tak terkendali dengan bahan peledak menyebabkan terumbu karang (great barrier reef) seluas 344,400 km2 terancam punah (World Wildlife Fund (WWF): 2012).
Buku
setebal 211 halaman ini kaya perspektif dan informatif. Secara
ilmiah mengajak pembaca mengurangi ketergantungan berlebih pada makanan
hewani. Kenapa? Karena kebutuhan nutrisi bisa diperoleh dari asupan
nabati. Antara lain berupa padi-padian, sayur-sayuran, buah-buahan,
umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Pungkasnya, penyitir pendapat Kak
Seto, “Menjadi vegan bukan hanya demi kesehatan dan kelestarian alam,
tetapi sekaligus membangun karakter cinta damai dan jauh dari
kekerasan.” Selamat membaca!
_______________________
Peresensi: T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM (Sekolah Alam) Angon
Judul: Saya Vegan
Penulis : Prasasto Satwiko
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/Juni 2012
Tebal: xi + 211 halaman
ISBN: 978-979-21-3122-2
Penulis : Prasasto Satwiko
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/Juni 2012
Tebal: xi + 211 halaman
ISBN: 978-979-21-3122-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar