Dimuat di Majalah Pendidikan Online, Rabu/8 Agustus 2012
“Jika Anda menginginkan sesuatu
yang belum pernah Anda miliki, Anda harus bersedia melakukan sesuatu
yang belum pernah Anda lakukan.” – Thomas Jefferson
Dalam samudera hidup senantiasa
terpapar pasang-surut. Saat berdiri kokoh di puncak, pantang
menyombongkan diri. Pun tatkala merangkak di dasar jurang, tiada kata
menyerah. Terus melangkah dengan penuh harapan. Sebab – Man Jadda Wa
Jadda – siapa bersungguh-sungguh pasti berhasil.
Tak sekedar beretorika, ke-14 penulis
dalam buku ini bereksperimen dengan kehidupan sehari-hari. Mereka tegap
berjalan menembus kabut pekat malam. Walau aral-melintang menghadang
di sepanjang perlintasan. Antara lain berupa kendala finansial (Bab 1:
Melawan Keterbatasan Harta), penyakit fisik (Bab 2: Menahan Rasa Sakit)
dan keterbatasan ruang untuk bergerak (Bab 3: Menembus Batas Usaha).
Salah satunya, Ahmad Fuadi. Ia penulis
novel Negeri 5 Menara (2009) dan Ranah 3 Warna (2011). Putra Minang
ini memiliki jiwa sosial yang tinggi. Hal ini dibuktikannya dengan
mendirikan komunitas Menara, yaitu sebuah komunitas yang bergerak di
bidang pendidikan. Tujuan dari komunitas ini tak lain adalah
menyediakan sekolah gratis untuk anak usia dini dari keluarga miskin.
Lokasinya terletak di daerah Bintaro, Tangerang Selatan.
Dalam buku Berjalan Menembus Batas ini,
pemenang Anugerah Pembaca Indonesia (API) 2010 tersebut menggandeng 13
penulis kreatif lain. Antara lain Bernando J. Sujibto, penyair belia
paling produktif menulis di media massa dari UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (2006); Rahmatika Choiria, siswi SMA Negeri 1 Ponorogo yang
memiliki nama pena Romantika Cahya Firdausza; dan Diannafi, ibu rumah
tangga pecinta purnama dan penikmat hujan.
Saat kecil, istilah byar-pet (listrik
mati) tak dikenal Bernando J. Sujibto. Karena yang ada di kampungnya
pet saja. Alias tiada listrik sama sekali. Kendati demikian, mahasiswa
kelahiran Sumenep, Madura ini berhasil menyabet beasiswa IELSP
(Indonesian English Language Study Program) dan IIEF (The Indonesian
International Education Foundation) di negara bagian selatan Amerika
Serikat. Tepatnya di South Carolina, tak jauh dari Colombia.
Selama dua bulan (Juni – Juli 2010) ia
ngangsu kawruh (belajar) bahasa dan budaya (culture programs). Semasa
menuntut ilmu di MTs dan Pesantren Annuqayah, Madura, Bernando memang
sudah jatuh cinta pada karya sastra. Novel Uncle Tom’s Cabin – karya
masterpiece Harriet Beecher Stowe, kisah petualangan Mark Twain dan
sejumlah terjemahan Ernest Hemingway menjadi santapan rutin.
Uniknya, ia membeli buku-buku tersebut
dengan uang sendiri. Walau masih duduk di kelas 2 MTs, Bernando tak
malu berjualan nasi bungkus kepada para santri. Dari setiap bungkus
yang terjual, ia mendapat untung Rp100. Dalam sehari ia bisa menabung
Rp1.500-Rp2.000. Perlahan namun pasti, rak lemari bukunya kian penuh.
Tak hanya karya-karya penulis barat,
buah pena penulis-penulis besar Indonesia seperti Pramoedya Ananta
Toer, Putu Wijaya, hingga Seno Gumira Ajidarma juga menghiasi kamar
berukuran 3×2.5 meter-nya. Di samping itu, Majalah Horison dan Kuntum
juga menjadi langganannya setiap bulan. Karena banyak membaca, ia mulai
memberanikan diri menulis dan mengirimkannya ke media massa. Pada
2001, tulisan-tulisannya mulai bermunculan di majalah Horison, Anninda,
Sahabat Pena dan Kuntum.
Selain itu, Bernando juga memiliki
obsesi untuk belajar ke luar negeri. Sehingga ia tekun belajar bahasa
Inggris di Pesantren Annuqayah Madura. Gurunya dua orang sukarelawan
berkebangsaan Australia, Margaret Rolling dan John Rolling. Pada 2010
kerinduannya bersentuhan langsung dengan dunia barat terwujud.
Sebuah kisah lain datang dari Boyolali.
Terbersit asa seorang anak yang ditinggal wafat ibunya saat masih
kecil. Kasih sayang seorang ayah menjadi satu-satunya tali harapan.
Shohifah Annur begitulah nama bocah tersebut. Keberhasilan meraih
beasiswa telah mengantarkannya untuk studi program S2 di negeri Der
Panzer. Kisah ini ia tulis saat ia telah bermukim di Jerman selama 1.5
tahun.
Buku setebal 172 halaman ini berdasarkan
kisah nyata. Tokohnya bukan elit politik yang “hobi” menyelewengkan
uang rakyat, tapi wong cilik yang bersimbah peluh di bawah terik
mentari. Sepakat dengan pendapat Rina Shu, “Tuhan menganugerahiku
dengan tangan yang masih berfungsi dengan baik, maka aku harus
bersyukur dengan memanfaatkannya sebaik-baiknya.” Selamat membaca!
Sumber: http://mjeducation.co/determinasi-wong-cilik-meraih-mimpi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar